Summary: Ia sudah terlalu mengerti bahwa cintanya ada untuk melepaskan—meninggalkan sang pemuda di bumi—sedang bayangnya menghilang bersama guguran ribuan kelopak merah jambu. Walau kembang itu layu. Walau jejak keberadaannya terlupa. Bila itu mampu membuat senyuman di bibir pemuda itu abadi, ia tak mengharap apa-apa lagi.
PROLOGUE OF A STRENGTH TO LET HIM GO
[Hei,
Kurokocchi.]
Kelopak-kelopak merah jambu itu berguguran, mendominasi rangkaian pepohonan dan bunga-bunga muda terkembang. Kemudian tersapu oleh hangatnya hembusan angin—menari-nari di bawah naungan payung-payung sentuhan warna angkasa pagi yang berpadu dengan tujuh warna spektrum pelangi. Bagai tirai-tirai gemerlapan yang tertimpa cahaya teduh sang mentari, mewarnai seisi jalan yang kulewati.
Dan di antara semua sajian itu, aku hanya tertarik oleh satu-satunya warna unik yang menyembul di antara tarian pelangi musim semi. Kau, sang pewaris warna langit musim panas—biru langit paling cerah yang pernah kutemui dalam hidupku. Kau yang diam-diam kupandang dari kejauhan, yang kukagumi untuk tiap bagian dirimu, dan yang mendapat tempat paling luas di dalam hatiku.
Jadi bagaimana bisa aku tidak menemukanmu di antara lautan dominasi merah jambu pohon-pohon sakura itu?
—dan bagaimana aku bisa lupa?
[Lancangkah bila aku...—]
Kau yang hampir tak pernah menunjukkan ekspresimu sama sekali, mengukir senyum simpul di bibir mungilmu. Kedua aquamarine itu memancarkan sebuah ketulusan, menatap lurus ke arah sewarna dalamnya biru lautan di hadapanmu. Rona merah menghias kulit pucatmu seraya surai-surai biru mudamu tersibak tak beraturan, terpantulkan cercahan cahaya matahari yang mengintip dari balik rimbunan kembang musim semi.
Yang kutahu, kedua mataku hanya memandang semua itu indah—semua tentang dirimu memang selalu indah. Kau selalu mampu membuat jantungku berdegup dengan kencang dan mengunci perhatianku hanya pada sosok mungilmu. Tersenyum di hari-hari terkelam pun aku mampu hanya dengan kau yang menemani setiap langkah yang kutapaki dan hari-hari yang kulalui. Kau tak perlu melakukan apapun. Kau tak perlu berkata apapun.
Tak perlu.
Sebatas keberadaanmu saja sudah membuatku sangatsangatsangat bahagia.
Kali ini pun, seharusnya tak ada yang berbeda kan? Berbataskan jarak beberapa petak, di depanku kau menunjukkan salah satu dari sekian banyak ekspresi langka yang tersembunyi dibalik ekspresi datarmu. Bukankah seharusnya aku bahagia ketika melihatmu tersenyum manis seperti itu? Bukankah seharusnya beberapa silabel yang terbentuk oleh bibirmu itu mampu membuatku melambung tinggi dan melupakan apa-apa yang kutinggalkan di tempatku berpijak?
Lalu, apa yang membuat kali ini berbeda?
[—...mengucap selamat tinggal...]
"—suki..."
Dunia seketika membisu—atau akukah yang menuli?
Hanya satu kata sederhana yang tertangkap oleh telinga dan itu sudah cukup untuk membuat duniaku runtuh.
Perasaan sesak yang sangat mencekik dan waktuku yang seketika terhenti. Kedua mataku membelalak lebar dan untuk beberapa saat, aku bahkan lupa bagaimana caranya mengedip hingga kedua mataku terasa panas dan perih.
Forget-Me-Not yang sedari tadi kugenggam erat, terhempas begitu saja ke tanah. Terabaikan oleh derap langkahku yang memaksa tubuh ini menyingkir pergi dari tempat itu. Tanpa sadar, air mataku menyeruak deras, mengalirkan seluruh perasaan yang ada bersama cairan tanpa warna—membasahi pipi yang merona merah akibat rasa sesak itu—
—dan rasa sakit akibat tombak imajiner yang tertancap ke jantung.
Gemerisik terpaan angin yang membuat ranting-ranting bergoyang dan kelopak-kelopak merah jambu pun berguguran, menemani sosokku yang berbaur dengan tarian musim semi.
Diantara semua warna itu, ia mewarisi warna paling rapuh.
(kuning itu, warna yang sangat rapuh)
[... sebelum aku pergi?]
Mereka yang rapuh pun melayang pergi.
.
.
.
_ o-O-o _
.
.
[ Senyuman Musim Semi ]
by KensyEcho
Disclaimer: Kuroko no Basuke © Tadatoshi Fujimaki
ßíoç (Bios) by Sawano Hiroyuki feat. Mika Kobayashi
Beta Reader: Arisa Yukishiro
.
Saya tidak mengambil keuntungan materil apapun dari pembuatan FanFiction ini.
.
Warning: AU, kemungkinan OOC, alur yang membingungkan, gramatikal seenak jidat
.
.
_o-0-o_
CHAPTER 1 : A STRENGTH TO LET HIM GO
.
.
.
.
.
"—otousan, bunga apa itu? Cantik sekali!"
Tangan besar seorang pria bersurai keemasan mengacak-acak rambut putra kecilnya sambil tersenyum lembut. Rasa lelah dan kantuk yang sedari tadi mengerayangi tubuhnya seketika sirna ketika ia akhirnya dapat bertatap muka dengan anak bungsunya lagi setelah berbulan-bulan tak bertemu.
"Forget-Me-Not. Itu bunga Forget-Me-Not, Ryouta-kun."
Yang diajak bicara hanya bisa mengerjapkan kedua kristal hazel besarnya, bingung—dan itu sukses mengundang tawa dari sang ayah. Diraihnya tubuh mungil si pirang kecil yang masih sibuk memandangi beberapa helai Foget-Me-Not di tangan sang ayah seolah dunianya hanya milik dirinya dan sang bunga berkelopak biru.
Wangi bunga sakura semerbak mendominasi indra penciumannya, memaksanya untuk mengalihkan perhatian dari si mungil biru kepada pohon merah muda yang lebih besar. Seketika hazel bulat Ryouta pun membesar. Bibir mungilnya bergetar dan isaknya mulai memecah suasana tenang di tempat itu. Ia usap kepala pirangnya pada dada bidang sang ayah—mencari perlindungan—dan ia remas kuat jas cokelatnya.
Sang ayah pun tak merasa terbebani dengan air mata deras si mungil yang mulai membasahi jas yang baru saja dibelinya di Jerman itu. Justru, ia malah mendekap anak tersayangnya lebih kuat seraya menyanyikan sebuah lullaby yang selalu mampu membuat Ryouta berhenti menangis.
Suara sang ayah mengalun lembut bersama jutaan sakura yang gugur dari pohon kokohnya dan mengudara—mewarnai angkasa raya dengan kemilau merah muda. Pijakan di sekeliling batang cokelat pohon sakura tua itu terlindung oleh teduh—satu-satunya tempat di area hijau itu yang tak tersentuh oleh sinar sang mentari sedikit pun.
Seolah melindungi apa yang ada di bawah tirai-tirai kelopak merah muda. Sebuah gundukan tanah yang masih baru dan kayu kecil sebagai nisan yang tertancap di atasnya.
—kuburan itu selalu membuat Ryouta menangis.
.
.
.
"Ryouta-kun, apa kau tahu apa arti makna dari bunga Forget-Me-Not?"
Tangis Ryouta mereda, walau masih enggan menunjukkan wajah mulusnya yang kini merona merah. Setelah beberapa saat, ia beranikan diri untuk menatap wajah sang ayah kemudian menggelengkan kepala pelan.
"Hmm... Artinya..."
Ryouta turun dari gendongan hangat sang ayah, menapakkan kaki pada tempat teduh lindungan pohon sakura. Tangan mungil si pirang kecil masih menggenggam erat tangan besar pria yang sebelumnya menggendongnya—enggan ia lepaskan. Sekumpulan Forget-Me-Not tersampir di atas tanah cokelat, mewarnainya dengan biru langit yang teduh.
"Jangan lupakan aku."
Kedua mata Ryouta membesar lagi walau fokusnya masih terkunci pada si biru mungil. Lambat laun, senyum cerianya merekah lebar, menyaingi kecerahan sang mentari pagi.
"Kalau begitu, Akicchi juga tidak akan melupakanku, kan?" Ia menoleh ke arah tubuh tinggi pria yang berdiri di sampingnya—yang menggenggam tangannya kuat.
"Ya, kan, otousan?"
Sang otousan hanya mengukir senyum lembut di wajahnya dan membiarkan Ryouta kecil yang menerka-nerka jawaban dari pertanyaannya sendiri.
"Di sana ... Akicchi tidak akan melupakanku, kan?"
.
.
.
.
.
[Ada sebuah kisah sederhana dari negeri nun jauh di sana tentang seorang ksatria—
—dan Forget-Me-Not terakhir di tangannya]
.
.
.
.
.
Suara decit sepatu yang bergesekkan dengan tempat mereka berpijak dan suara dentuman bola oranye yang sedari tadi begitu menarik perhatian keduanya, membahana di area lapangan basket yang biasa mereka gunakan sebagai tempat berlatih. Titik demi titik peluh berjatuhan membasahi permukaan lapangan—bagai titik-titik hujan—juga napas keduanya yang memburu mengiringi benda bulat itu bergulir dari tangan ke tangan. Walaupun otot-otot mereka telah lama meronta, minta diistirahatkan, tetapi tetap saja tak ada satu pun yang berniat untuk mengalah.
Kedua tangan salah satunya terentang ke udara sedang tungkainya ia tekuk sedikit—dan bola itu pun melambung tinggi, mengangkasa di antara lukisan cerah biru tanpa batas kemudian masuk ke dalam ring dengan sempurna. Three-point.
"KUROKOCCHIIIIIII! Kau lihat itu tidak? Kau lihat? Kau lihat? Three-point, lho!" Sang pemuda bersurai keemasan berlari pelan ke arah kawan bermainnya yang berlutut di tengah lapangan sambil berusaha menormalkan napasnya yang tersengal. Ia ikut berlutut di hadapan instrukturnya hingga sepasang hazel bertemu dengan biru cerah aquamarine.
Senyum Kise mengembang lebar. Rambut modelnya yang acak-acakknya diterbangkan angin dan keringat yang tak henti-hentinya mengucur dari sekujur tubuhnya—semua itu sama sekali tak ia pedulikan. Yang ada di dalam benaknya hanyalah bibir merah jambu lelaki di hadapannya yang membentuk lengkungan ke atas. Tangan mungilnya ia arahkan pada surai-surai halus milik si pemuda pirang, kemudian diusapnya lembut.
"Aku tahu kau memang hebat, Kise-kun."
Dan senyuman itu takkan bisa merekah lebih lebar lagi tanpa merobek mulutnya. Rona merah muncul di kedua pipi pucatnya entah akibat teriknya matahari siang itu atau akibat gejolak perasaan aneh yang menyeruak keluar dari dalam tubuhnya yang membuatnya ingin berjingkat-jingkat kegirangan.
Pemuda itu memujinya. Kurokocchi memujinya!
Tak pernah ada yang tahu bahwa sedikit pujian dari si pemuda bersurai biru muda itu dapat membuatnya merasakan euforia yang sebegini hebat. Senyuman tipis yang sontak menghancurkan imej tanpa ekspresinya itu mampu membuat jantung sang model berdegup kencang hingga lututnya terasa lemas—dan untuk beberapa saat ia telah lupa makna gravitasi bumi, membuatnya merasa melambung tinggi.
"Mau mampir ke Maji Burger dulu, Kurokocchi~? Aku traktir Vanilla Shake deh~"
"Hmm, boleh saja, Kise-kun. Tapi sebentar saja ya?"
Kise merentangkan kedua tangannya lebar, lalu ia dekap erat lelaki yang lebih pendek darinya itu sambil tertawa-tawa ceria—sedang yang dipeluknya malah sibuk melepaskan diri dari orang yang menempel padanya seperti lem. "Oke~!" sorak Kise dengan kekanak-kanakkannya.
Hari itu—yang telah lewat berbulan-bulan lamanya—menjadi sepotong kenangan spesial tak terlupakan bagi Kise. Hari berlangsungnya pertandingan basket perdana mereka berdua, juga hari ketika untuk pertama kalinya perasaan itu muncul dan merubah segala pikirannya pada anggota keenam tim basket terkenal Kiseki no Sedai itu. Opini remehnya berubah seratus delapan puluh derajat menjadi kagum.
Ya, kini ia begitu mengagumi dan mengelu-elukan Kuroko Tetsuya.
—hari itu, telah lewat berbulan-bulan yang lalu dan kini perasaan itu kian tumbuh dan tumbuh bagai sakura yang bermekaran di musim semi.
Sebuah perasaan yang menyesakkan, namun selalu mampu membuatnya merindu.
.
.
.
[Tak ada yang sadar—bahkan ia sendiri pun tidak—bahwa ada hal lain yang membuatnya begitu mengagumi pemuda langit itu.
Satu hal sederhana yang terlupa.]
.
.
.
"Uh, Kurokocchi sepertinya suka sekali dengan Vanilla Shake ya?" kedua kakinya ia hentak-hentakkan ke lantai saking tidak tahannya melihat pemuda kesayangannya kini duduk di hadapannya tanpa anggota Kiseki no Sedai yang lain—hanya mereka berdua. Jarang-jarang sekali ia bisa mendapatkan kesempatan menggiurkan seperti ini dan Kise tak sudi menyia-nyiakannya.
"Hmm? Kise-kun mau?"
Kuroko berhenti menyeruput cairan putih itu dan beralih menyodorkan gelasnya ke arah Kise yang memandanginya dengan sebelah alis terangkat. "Eh?" Ludah yang ia telan begitu sulitnya hingga mengeluarkan bunyi. Gugup. Seorang Kise Ryouta yang terkenal hiperaktif dan kelewat ceria apapun yang terjadi itu sanggup dibuatnya gugup seperti itu?
"K-kau menawariku untuk mencobanya, Kurokocchi?"
Kuroko hanya mengangguk dengan ekspresi datarnya.
Dalam sekali sergap, gelas itu telah direbutnya dari tangan Kuroko, lalu ia teguk isinya dalam satu tegukan besar. Wajahnya berseri-seri ketika rasa minuman kesukaan Kuroko itu menyentuh indra perasanya—
"Aomine-kun?"
—pahit.
Atensi sepasang aquamarine itu tak lagi miliknya. Kilauan cemerlang dari kedua matanya bukan di tunjukkan untuknya. Rona merah yang hampir tak kasat mata di pipi pucatnya itu bukan disebabkan oleh dirinya.
Hazel itu memutuskan untuk mengikuti arah yang terfokus oleh sang biru langit. Seolah ikut tenggelam ke dasar lautan ketika ia menyadari dalamnya biru samudra yang begitu menarik perhatian pemuda di hadapannya.
Tak pernah ia rasakan Vanilla Shake sepahit itu.
"Hmm? Oi Tetsu—dan Kise."
Seulas senyum tersungging di bibir pemuda yang menginterupsi acara makan Kise dan Kuroko. Sebelah tangannya tersembunyi di balik celana seragam SMP Teiko sedang tangannya yang lain sibuk memutar-mutar sebuah benda bulat oranye dengan jari telunjuknya.
"Aominecchi!" seru Kise girang. Bibirnya mengulum senyuman lebar hingga gigi-gigi putihnya terlihat. Dengan sikap easy going khas seorang Kise, ia ajak sang ace Kiseki no Sedai untuk duduk di kursi kosong yang ada di sebelahnya dengan menepuk-nepuk ruang kosong itu dengan cepat. "Kupikir, kau sudah pulang~! Aku tak menyangka bisa bertemu denganmu di sini!" Bola mata sewarna madunya berbinar-binar dan kurva senyumnya kian melebar.
(Bukankah ia seorang pembohong?)
Entah sejak kapan, Vanilla Shake di tangan Kise telah kembali ke hadapan Kuroko. Bibir mungil itu kembali menyeruput si cairan putih sedang sesekali kedua matanya melirik ke arah pemuda berkulit cokelat di sebelah Kise yang sedari tadi tak henti-hentinya menguap.
Percakapan demi percakapan di antara ketiganya pun terbangun—walau semuanya di dominasi oleh si ribut Kise yang entah bagaimana tak pernah kehabisan bahan untuk di ceritakan. Sesekali Aomine akan mengomeli sikap Kise yang menurutnya sangat mengganggu sedang Kuroko hanya menatap kedua kawan satu timnya dengan seulas senyum tipis.
Dan tak lama kemudian ia seolah tidak pernah berada di sana. Kurva senyumnya mulai merendah—membentuk sebuah garis lurus—walau sudah berkali-kali ia memaki dalam hati untuk menjadi Kise yang biasanya—yang terkenal selalu ceria. Kedua matanya tak pernah berbohong. Rasa sakit itu menyesakkan paru-parunya ketika kini dunia hanya milik Aomine dan Kuroko berdua.
Namun, ia tetap berusaha mendorong kedua sisi kurva senyumnya ke atas.
(—atau mungkin ia hanyalah sebatas badut sirkus?)
"—se! Oi, Kise! Jangan melamun terus, bodoh."
Lamunan si pemuda bersurai keemasan itu terinterupsi oleh suara berat Aomine dan pukulan pelan di kepalanya. Tak ia sangka, matahari telah turun ke cakrawala—melukis ulang langit yang sebelumnya berwarna biru muda menjadi didominasi warna oranye.
"Kita harus segera pulang sebelum hari gelap, Kise-kun."
Seulas senyum tersungging di bibir Kise dan rengekan demi rengekan pun bertubi-tubi keluar dari mulutnya yang mengundang bentakan Aomine lagi dan kali ini plus di tambah komentar 'kau berisik sekali, Kise-kun' dari seorang pemuda yang jarang mengeluarkan suara.
Dengan langkah gontai, Kise berjalan mengikuti kawan satu timnya keluar dari restoran cepat saji itu. Aomine dan Kuroko berjalan di depan sedang Kise berjalan di belakang. Dua orang pemilik surai berwarna biru itu terlihat begitu asyik bertukar pikiran satu sama lain dan sesekali si personifikasi biru lautan itu akan mengacak-acak rambut sang partner.
Bukankah mereka begitu akrab?
Tentu saja, mereka adalah duo bayangan dan cahaya yang begitu mengesankan di lapangan. Bahkan Kise pun mengagumi permainan keduanya—walau selama itu ia harus menyembunyikan rasa sesaknya di balik senyuman.
Kedua hazel Kise tertuju pada punggung pria paling pendek di tim basket mereka dengan tatapan sendu. Senyum tipis itu tersungging lagi di bibirnya walau ia tahu kali ini ia tak perlu berbohong karena kedua teman yang berjalan di depannya itu takkan bisa melihat ekspresinya saat itu.
[Hey Kurrokocchi,]
"U-um, Aominecchi, Kurokocchi~!" yang dipanggil sontak menghentikan obrolan seru mereka kemudian menoleh ke arah seorang temannya yang terabaikan di belakang mereka, "Aku baru ingat kalau aku ada pemotretan di sekitar sini sebentar lagi, jadi kalian duluan saja, oke~?"
Ia tak membutuhkan konfirmasi. Ia tak membutuhkan pemandangan seperti itu lagi.
[—sejak kapan aku hanya mampu menatap ke arah punggungmu saja?]
Kedua kakinya membawa tubuhnya berlari kecil ke arah yang berlawanan dengan Aomine dan Kuroko. Ia terus berlari dan berlari tanpa arah dan tujuan, membiarkan saja kakinya akan membawa ia kemana. Ia tidak peduli.
Dadanya begitu sesak. Kedua matanya terasa perih sedang pelupuknya penuh oleh air mata yang entah sejak kapan sudah mengumpul di sana. Kemudian, senyuman yang mampu membuat para gadis berteriak kegirangan itu pun runtuh seketika.
[—dan sejak kapan rasa kagum itu...]
Lapangan basket adalah tempat ke mana sang kaki membawanya, rupanya. Napasnya yang masih tersengal itu ia abaikan. Tas sekolahnya ia lempar entah kemana. Hanya ada satu tujuannya, bola oranye di sudut lapangan.
[berubah menjadi...]
Kise Ryouta berlari dengan cepat sambil mendribel bola. Berbagai teknik yang ia imitasi dari rekan-rekan lamanya ketika ia belum menjadi bagian dari Kiseki no Sedai itu ia aplikasikan secara beruntun. Tetes-tetes hujan yang mulai mengguyur tempat itu tak membuatnya memperlambat tempo permainannya. Ia justru bersyukur dengan keberadaan hujan yang selalu setia menyembunyikan air mata yang telah berhasil mendobrak bendungan kuat itu. Semua kekesalannya ia tumpahkan dalam setiap gerakan lincahnya di lapangan yang tak lagi kering.
Sebenarnya ia pun tidak mengerti kenapa ia bisa menjadi sekesal itu pada temannya—anggota Kiseki no Sedai yang paling ia idolakan—sendiri. Ia tidak mengerti kenapa rasa sakit itu begitu mengusiknya. Bahkan itu lebih menjengkelkan daripada ketika ia dikalahkan telak oleh Aomine berkali-kali dalam duel one on one-nya.
Yang ia tahu hanyalah—
[—rasa suka?]
—ia tak mungkin bersaing dengan sang samudra.
.
.
.
.
.
"Nee, Fuyumi-san, jadi apa kau bisa membantuku~?"
Wanita paruh baya itu membetulkan kacamatanya. Bola mata cokelatnya berputar ke atas kemudian ke samping sedang dahinya ia kerutkan seolah sedang berpikir keras. Bibir yang terpoles lipstik tebal itu akhirnya membuka dan senyuman lebar dari lelaki di hadapannya pun mengembang tak tertahankan, tak sabar menunggu jawaban yang telah ia tunggu-tunggu—
"Tidak."
"KENAPA!?"
Wanita itu menjitak kepala sang model dengan buku yang sedari tadi ia pegang, menimbulkan suara 'itai-ssu' dari pemuda dengan surai keemasan yang kini lepek akibat keringat yang mengucur deras dari pelipisnya. Sebelah tangannya ia letakkan di pinggang sedang yang lainnya ia pakai untuk memijat-mijat dahinya yang berkerut.
"Kau lupa ya kalau besok kau ada syuting iklan Pocari seharian penuh? Lagipula kau tak bisa terus-menerus telat datang untuk pemotretan, kau tahu? Kali ini tak ada alasan berlatih basket atau apa pun itu," ucap sang wanita berambut perak dengan nada memerintah.
"Tapitapitapi, ulang tahun Kurokocchi kan lusa! Aku harus menyelesaikan kue vanilla itu sebelum lusa dan kau harus membantuku, Fuyumi-san! Ayolah~"
"K-I-S-E R-Y-O-U-T—"
"Setelah aku memberikan hadiahku pada Kurokocchi, aku akan kerja lembur! Aku berjanji! Jadi, tolong bantu aku, Fuyumi-san!"
Fuyumi mengetuk-ngetukkan telunjuknya ke dagunya sedang Kise mengatupkan kedua tangannya di depan wajahnya dengan ekspresi penuh harap dan kedua mata berkaca-kaca seperti anak anjing terabaikan di pingging jalan. Sial, ia paling tidak bisa menolak permintaan seorang Kise Ryouta kalau ia sudah menggunakan jurus mautnya itu.
"Oke, oke, tapi janji ya?"
Kise melompat-lompat kegirangan ketika mendengar jawaban itu melesat dari bibir sang manajer. Walau Kise tidak pernah mengerjakan pekerjaan perempuan macam membuat kue seperti itu sebelumnya, ia sangat yakin bahwa di bawah bimbingan manajernya yang merupakan anak patissier terkenal itu, tangan tanpa nodanya mampu menghasilkan kue yang luar biasa enak. Ia benar-benar tidak sabar untuk memulai acara membuat kuenya!
"—dan, aku hanya membimbing, kau yang mengerjakan semuanya." Kise mengangguk-anggukan kepalanya cepat seraya bibirnya membentuk senyum lebar.
"Nah sekarang, cepat kau keringkan keringatmu itu dan ganti bajumu, lalu kita mulai sesi pemotretannya. Kau benar-benar sudah mengulur waktu sampai setengah jam, Kise."
Ia kerucutkan bibirnya ke depan dan ia letakkan kedua tangannya di pinggang. "Sudah kubilang, kan, aku ada latihan ekstra. Sebentar lagi akan ada pertandingan besar, Fuyumi-san~"
"Ya, ya, terserah."
Wanita bersurai keperakan itu memutar kakinya dan langsung meninggalkan Kise yang untuk beberapa saat masih mematung di tempatnya semula. Semua kru sibuk melakukan pengecekan terakhir berbagai macam alat yang sekiranya dibutuhkan untuk sesi pemotretan hari itu. Tak ada satupun yang memperhatikan bagaimana pundak Kise yang langsung turun ke bawah dan napasnya yang memburu dengan cepat. Kalau saja tidak ada sofa empuk di belakangnya, ia mungkin sudah ambruk di sana dengan kaki yang terasa lemas seperti itu.
Ternyata memang pada akhirnya ia agak kewalahan dengan segala aktivitasnya—sekolah, latihan basket, dan kerja sambilan—yang berturut-turut setiap hari. Tetapi ia pun bukan orang yang dengan teganya mengorbankan salah satunya. Ia pun merasa sedikit menyesal karena telah membuat manajernya memasang muka masam setiap kali ia terlambat datang ke pemotretan karena latihan dari kaptennya yang di gandakan berkali-kali lipat pada minggu-minggu sebelum pertandingan.
Tapi ia pun tak ingin melewatkan kesempatan untuk memberikan ungkapan perasaannya pada si pria bersurai biru muda yang begitu ia kagumi di hari ulang tahunnya. Ia ingin Kurokocchinya tahu bahwa ia pun ada di sana—di belakangnya—dan selalu memperhatikannya walaupun pandangan Kurokocchi tak pernah menatap spesial ke arahnya. Ia hanya tak ingin Kuroko lupa bahwa kuning itu perlambang cahaya dan apapun yang terjadi—walau sinarnya masih terlalu redup untuk bersaing dengan Aomine—ia juga ingin menjadi salah satu orang yang membuatnya bahagia.
.
.
.
.
.
Hari itu salju turun membasuh seisi kota dengan sapuan sedingin es. Jalanan mulai sepi oleh pejalan kaki maupun kendaraan yang berlalu lalang. Mereka agaknya lebih memilih untuk membalut seluruh badan di antara tumpukan selimut sambil menyeduh secangkir cokelat panas bersama keluarga di rumah.
Namun ada juga dua orang pemuda yang begitu bodohnya bermain basket di antara suhu yang mendekati nol derajat itu di lapangan terbuka. Apalagi tiba-tiba saja salju turun dari langit kelabu. Walaupun begitu, tetap saja tak ada dari keduanya yang berniat untuk beranjak dari tengah lapangan. Kedua tubuh mereka direbahkan di atas lantai yang dingin dan sedikit demi sedikit, kedua kulit kontras itu mulai tertutupi oleh salju.
Kise berusaha mengatur napasnya yang masih putus-putus akibat pertandingan one-on-one-nya beberapa saat yang lalu melawan pemuda yang sedang berbaring di sampingnya. Memang ia sudah sangat tahu bahwa bila ia ingin mengalahkan pemuda berkulit cokelat itu, ia harus berjuang ekstra keras. Aomine sering berkata bahwa mustahil bagi Kise untuk bisa mengalahkannya. Tetapi sampai detik itu, Kise tak pernah sekali pun menyerah.
"... Aominecchi."
Tarik, hembuskan. "Hmm?"
"Kau ..." Kise mengalihkan pandangannya ke gumpalan awan kelabu di atasnya. Bagaimana ia mengatakannya ya? Lagipula, apakah ia harus mengatakannya?
"... bagimu Kurokocchi itu siapa?"
Aomine sontak bangkit dari posisi tidurnya dan duduk sambil merebahkan kaki. Alisnya terangkat sebelah dan ia tatap pemuda bersurai keemasan di sampingnya dengan tatapan bingung. "Kau biacara apa, Kise? Otakmu kebanyakan membaca manga shoujo ya?"
"Uuh, bukan begitu, Ahominecchi!" Sulit benar berbicara dengan orang tidak peka itu. Kasihan, Kurokocchi.
"Bagimu, Kurokocchi itu siapa? Temankah? Partnerkah? Adikkah? ... atau lebih?"
Kedua alis sang pria bersurai biru gelap itu mengerut, "hee? Tentu saja dia partnerku. Untuk apa menanyakan hal yang sudah jelas?"
Bibir Kise membuka sedikit. Otot-ototnya menegang ketika satu-satunya pertanyaan yang ada di dalam benaknya itu kemudian ia suarakan, "... tidak lebih?"
Tawa berat Aomine pun membahana di area yang sebelumnya sunyi. Sambil terus tertawa, ia pun memutuskan untuk berdiri dari bantalan yang dinginnya benar-benar membuatnya mengigil. "Memang si pria yang ada di manga shoujo itu menjawab apa, hah? Kau itu seperti anak perempuan saja."
Aomine mengulurkan tangan kanannya ke arah Kise yang masih tak bergeming di tempatnya semula. Sepasang hazelnya yang meredup akibat suasana di sekitar mereka yang mulai berubah gelap itu menatap uraian tangan sang ace Kiseki no Sedai dengan ekspresi terkejut. Kali ini ia tidak merajuk setelah diledek seperti itu oleh kawan satu timnya. Kali ini tak ada sikap kekanak-kanakkan yang biasanya begitu kental dengan pribadi sang small forward.
Bahkan Aomine pun terkejut ketika menyadari bahwa kedua hazel itu kini basah oleh air mata.
"Kise?"
... padahal Kuroko selalu menempatkan Aomine di tempat tertinggi dalam kerajaan hatinya. Padahal ia selalu tersenyum ceria ketika Aomine datang menghampirinya. Padahal ia selalu mengharap lebih pada lautan dalam yang terpatri di kedua matanya pemuda yang diam-diam dikaguminya.
Tapi kenapa, Aominecchi? Ketika bahkan aku tak mampu menggapai sejengkal pun perhatiannya ... kau biasa-bisanya ...
—seminggu sebelum tanggal 31 Januari, ia hampir menangisi Aomine yang tak menyadari perasaan Kuroko.
.
.
.
.
.
[Nee, Kurokocchi,]
"Kau tidak apa-apa, Ki-chan?"
Yang diajak bicara hanya bisa mengulum seulas senyum tipis kepada gadis berambut merah muda di sampingnya. Kedua tangannya menggenggam erat sebuah bingkisan berbentuk kotak yang ia sembunyikan di bawah meja dan ia letakkan di atas pangkuannya—agar manajer Kiseki no Sedai itu tak bisa melihatnya.
"Aku baik-baik saja, Momocchi~ Memangnya kenapa~?"
Raut wajah khawatir jelas terpatri di sana. Mana mungkin Kise tak menyadari ekspresi itu. Oh, betapa ia membenci dirinya sendiri yang membuat temannya menunjukkan raut wajah seperti itu.
"Sungguh?"
Kise melebarkan senyum di bibirnya selebar yang ia mampu. Di ulurkan tangannya ke arah Momoi dan ia usap surai merah jambu itu dengan lembut. "Yuppie~!" Gigi-gigi putihnya ia pamerkan sehingga senyumnya semakin merekah lebar. "Daripada itu, hey, hey, Momocchi, bagaimana persiapan pesta kejutan untuk Kurokocchi~?"
Seulas senyum pun akhirnya terukir di bibir merah Momoi. Ekspresi khawatirnya lama terlupakan, berganti dengan ekspresi bersemangat. "Sudah siaaap!"
"Benarkah~?"
"Sayang sekali, Kise-kun tidak bisa ikut ..." Helaan napas panjang kelar dari bibir Momoi dan kepalanya pun tertunduk lagi.
"Eh? Tidak apa-apa, Momocchi! Lagipula aku sudah berjanji kalau hari ini aku takkan membolos pemotretan lagi, hehe. Sepertinya aku sudah terlalu sering membolos, jadi manajerku memastikan bahwa hari ini aku akan hadir."
Bukan. Bukan itu alasan utama Kise tak ikut menghadiri pesta kejutan kawan satu timnya, walaupun kenyataannya semua yang ia katakan barusan tak satupun yang dusta. Sebenarnya ia hanya menjadi seorang pengecut yang kabur dari kenyataan menyesakkan yang baru saja menamparnya.
"Momocchi ke tempat teman-teman saja, oke~? Sampaikan ucapan selamat ulang tahunku pada Kurokocchi ya?"
Ekspresi Momoi kembali berubah sendu. Diraihnya tangan Kise yang sedari tadi sibuk mengelus-elus rambut panjang terurainya atau menepuk-nepuk pundaknya, berusaha menyemangati. Digenggamnya erat dan ia letakkan di depan wajahnya—tangan yang tak lagi mulus tanpa cacat, jemari yang kini dipenuhi plester.
"Kalau ada masalah, berjanjilah untuk menceritakannya padaku atau anggota Kiseki no Sedai yang lain, ya, Kise-kun?" Kise memiringkan kepalanya ke samping dan menatap ekspresi gadis manis itu dengan ekspresi bingung.
"Janji?"
Satu anggukan pelan untuk menjawab pertanyaan itu yang disusul oleh sebuah lengkungan ke atas di bibir sang manajer.
Untuk beberapa saat kemudian, Momoi bertukar candaan ringan dengan Kise sebelum ponsel Momoi berdering dan pesan dari Akashi yang memintanya untuk menemuinya saat itu juga masuk. Dengan sebuah lambaian tangan, Momoi pun meninggalkan sang model berambut pirang yang duduk sendirian di ruang kelas yang kini hanya dihuni olehnya.
Dipandanginya langit petang di balik jendela yang menciptakan suasana gelap di ruang kelas itu. Kedua hazelnya memandang kosong pada daun-daun menguning yang berguguran dari pohonnya dan melayang pergi. Pikirannya melayang pada kejadian itu—kejadian yang entah kenapa terus saja melintas di dalam kepalanya bagai sebuah rol film yang terus menyajikan adegan yang sama...
.
.
.
[Aku menyukaimu.]
.
.
.
Langkah gemetapnya menimbulkan suara yang ramai di lorong SMP Teiko. Sapaan demi sapaan yang tertuju dari para fansnya tak ia gubris sama sekali. Ia terlalu kegirangan hendak memberikan hadiah yang telah ia buat dengan susah payah seharian kemarin kepada seorang pemuda bersurai biru langit yang berulang tahun hari ini.
Kedua kakinya tak berhenti menciptakan suara gaduh. Napasnya memburu, jantungnya berdegup kencang sedang tubuhnya banjir peluh. Berbelok ke kanan, menuruni tangga, keluar gedung sekolah, kemudian melangkah ke arah pepohonan di halaman belakang sekolah yang kini telah kehilangan daunnya. Ia sudah membuat janji dengan Kuroko untuk bertemu sepulang sekolah di bawah pohon tertinggi di halaman belakang sekolah.
Ia tak ingin dikira mendahului teman-temannya yang mungkin kini sedang sibuk menyiapkan sebuah pesta kejutan untuk anggota keenam Kiseki no Sedai itu—walaupun itu memang benar. Makanya, ia tidak ingin ada yang mengetahui niatnya untuk memberikan hadiah darinya duluan kepada Kuroko.
Lorong demi lorong berlalu, seolah berpacu dengan langkah kakinya tak kunjung melambat walau sesak terasa dari paru-parunya. Akhirnya kedua hazelnya menangkap sesosok pemuda yang tengah berdiri memunggunginya dari kejauhan. Surai-surai biru muda tersibak tak beraturan oleh angin sepoi yang mengalun lembut. Daun-daun menguning bertebaran di sekitarnya, menambah efek indah pada pemandangan yang tersaji di depan matanya. Senyumnya mengembang lebar untuk setiap langkah yang ia ciptakan mendekati tempat pemuda itu berada—
"Kurokoc—"
—kemudian runtuh.
[Sangat, sangat menyukaimu.]
Kedua tangannya terkepal kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Kedua iris hazelnya membelalak lebar sedang kedua bibir yang kini memucat itu membuka. Kedua lututnya yang sedari tadi begitu bersemangatnya menggerakkan kedua kaki itu ke depan dan ke belakang dalam sebuah keteraturan, tiba-tiba terasa seperti jelly yang mendukung gaya gravitasi memaksa tubuhnya runtuh ke bumi.
Salahkan pemandangan itu. Salahkan sepasang iris aquamarine yang manatap sendu pada apa yang ada di depannya.
Lagi-lagi ia menemukan pemuda itu mengarahkan pandangan pada sosoknya. Sosok pemuda dengan seringai lebar dan peluh yang membajir keluar dari pori-pori kulit sewarna pasir pantai di musim panas. Seorang pemuda yang mewarisi warna samudra lepas di kedua matanya, yang sedang mendribel bola seorang diri di lapangan basket outdoor sekolah mereka.
Bukankah seharusnya semua anggota Kiseki no Sedai sedang menyiapkan pesta kejutan untuk Kuroko? Oh apakah jangan-jangan pemuda itu lupa bahwa mereka sudah merencanakan acara itu? Atau memang karena perangainya saja yang pemalas dan terlalu mencintai si benda bulat oranye?
Apapun itu, yang pasti...
"Oh, Kise-kun?"
Kuroko Tetsuya tengah mengarahkan pandangan pada Aomine Daiki.
[Tapi aku tidak mau kau merasakan perasaan sakit yang aku rasakan ketika kau mengejar seseorang yang takkan pernah menoleh ke arahmu.]
Ayo tersenyum, Kise! Mana senyummu yang biasanya? Kau tak mungkin kan menunjukkan ekspresi buruk seperti itu di depan orang yang begitu berharga keberadaannya bagimu?
Bibir mungil merah mudanya membentuk seulas senyum simpul dan kali ini senyuman itu terarah padanya—pada Kise. "Kau terlambat, Kise-kun."
(Bukankah seharusnya ia senang? Kurokocchinya tersenyum untuknya, lho.)
"Apa yang mau kau bicarakan denganku, Kise-kun?"
"O-oh, a-ano, Kurokocchi..." Suara yang keluar dari bibirnya yang bergetar terdengar begitu serak di telinganya sendiri. Sekuat tenaga, ia mendorong ujung-ujung kurva senyumnya ke atas. Bingkisan yang ia bawa ia sembunyikan di belakang tubuhnya kemudian ia tundukkan kepala sembari menormalkan kembali detak jantungnya yang berdegup kencang tak karuan.
(Tapi kenapa?)
Tarik napas, buang, tarik, buang, keluar, masuk, hirup, hembuskan. "Nee, Kurokocchi~" Kali ini, ia siap menemui wajah tanpa ekspresi milik lelaki bersurai biru muda itu dengan senyuman lebar tulus di wajahnya.
"Kau tahu, mungkin kau perlu mencoba memberikan anggrek putih kepada Aominecchi~" Kuroko mengangkat sebelah alisnya sedikit, walau sepintas wajahnya masih telak tanpa ekspresi.
Ia geratakkan gigi-giginya di balik lengkungan senyum di bibir itu dengan harapan agar rasa sakit di dadanya tak tercermin pada ekspresi yang seharusnya selalu mampu menyaingi kecerahan cahaya sang mentari—untuk menahan luapan perasaan yang mampu merobohkan bendungan kuatnya lagi. "Kau tahu apa makna dari anggrek putih?"
Berpikir sejenak kemudian menggelengkan kepalanya pelan sambil terus memandangi setiap eskpresi yang tercipta di wajah pemuda berambut pirang di hadapannya.
Kau bodoh, Kise. Benar-benar bodoh. Untuk apa kau berkata seperti itu? Bukankah kau sudah tahu bahwa ketika ekspresi itu muncul di wajah sang pemilik bola mata aquamarine—
[Makanya,]
"Anggrek putih berarti ... perasaan cinta yang murni."
—seketika itu juga kau akan benar-benar hancur?
Kedua bola mata Kuroko membelalak lebar diikuti oleh semburat merah padam yang muncul di kedua pipi pucatnya. Ia tak menyangka kalau pria pelit ekspresi itu mampu menunjukkan ekspresi seperti itu. Rasanya jadi ingin tertawa. Namun rasa sesak itu terlalu mengoyaknya, mencabik-cabik sekujur tubuhnya, untuk bisa ia mengoar tawa.
"K-Kise-kun ... bagaimana ...?"
Mendengar ucapan yang terdengar begitu gugup di telinganya, sang model pun menggaruk bagian belakang kepalanya yang tidak gatal sambil mengarahkan pupilnya pada arah yang lain—apapun asal bukan binar cemerlang lautan aquamarine itu. "Hmm, bagaimana ya? Hanya tahu saja?"
(—karena aku selalu memperhatikanmu dari jauh.)
"Uh, aku akan merahasiakannya kok, tenang saja~!" Kedua matanya semakin terasa panas dan bibirnya mulai bergetar lagi. Dalam hati ia terus berdoa agar topengnya tak runtuh di hadapan pemuda yang paling disayanginya itu.
Sepertinya ia memang terlalu banyak bicara.
"...habis, aku kesal sekali Kurokocchi tak juga menyampaikannya pada Aominecchi!" Nama itu terasa pahit di mulutnya.
Bibir mungil Kuroko sekali lagi membentuk sebuah senyuman. Mungkin senyuman terakhir yang bisa ia lihat dari pemuda itu yang hanya tertuju untuknya. "Ya, terima kasih, Kise-kun."
Dan entah bagaimana, bibirnya pun ikut mengukir lengkungan ke atas. Bukan sebuah senyuman yang kelewat dipaksakan, tapi sebuah senyuman tulus dari dasar hatinya yang terdalam.
Sesederhana ketika ia melihat orang yang dicintainya tersenyum bahagia. Ia pun juga akan merasa bahagia. Ternyata sesederhana itu.
[Aku tidak mau bersaing dengan Aominecchi.]
.
.
.
"Kise-kun?"
Kise Ryouta mengalihkan pandangan ke arah seorang penghuni baru di ruang kelas yang sebelumnya hanya diisi oleh kesunyian yang begitu damai. Di sana, di sebelah pintu ruangan yang terbuka, sepasang aquamarine menatap lurus-lurus ke arah kedua hazel miliknya.
"Kenapa masih ada di sini?" menengok ke kanan dan ke kiri, "mana yang lain?"
Hanya seulas senyum tipis dan sorot mata yang teduh. "Kurokocchi? Umm, daritadi aku belum melihat mereka, tuh."
Kise buru-buru memasukkan buku-bukunya ke dalam tas dengan ekspresi serius, tanpa menoleh ke arah Kuroko sedikitpun. Kuroko yang melihat gelagat aneh dari kawan satu timnya itu hanya bisa memandanginya dengan alis sedikit dikerutkan. Ditelusurinya setiap inci tubuh Kise dari atas ke bawah hingga ia menemukan sesuatu yang membuatnya dengan cepat berlari ke sisi Kise dan sontak meraih kedua tangannya.
"Tanganmu kenapa, Kise-kun?"
Sesaat, sang model berambut pirang itu hanya bisa memandangi ekspresi khawatir Kuroko dengan kedua bola mata membesar. Kemudian, senyumnya pun merekah lagi dan dengan perlahan, ia lepaskan genggaman tangan Kuroko dari jari-jemarinya. Ia tatap sepasang aquamarine itu lekat-lekat untuk meyakinkan bahwa dirinya tidak apa-apa.
"Aku kemarin belajar membuat kue dan tanpa sengaja melukai tanganku. Tidak sakit kok, Kurokocchi. Jadi, berhentilah berwajah seperti itu~"
—karena aku ingin kau selalu tersenyum.
Hening. Keduanya seolah sedang memikirkan sesuatu yang rumit. Suasana yang begitu menyesakkan. Kalau begini terus, ia jadi tidak bisa menahan diri, kan?
"... Kurokocchi, boleh ... aku memelukmu?"
Lagi-lagi dahi yang dikerutkan dan mata yang membelalak lebar. "Kise-kun? Bukankah sebelumnya Kise-kun tak pernah meminta izin bila ingin memelukku?"
Kedua lengan Kise sudah melingkari tubuh mungil Kuroko. Dihirupnya wangi Vanilla yang mengoar dari kulit pucat itu dan diingatnya baik-baik. "... oh ya?" Anggaplah itu sebuah perpisahan untuk perasaan cintanya yang ia sadari ada untuk meninggalkan.
Dengan perlahan tapi pasti, pria bersurai biru langit itu pun balas memeluknya, membuat sekujur tubuh Kise menegang untuk sesaat. Lagi-lagi pelupuk kedua matanya terasa berat sedang tubuhnya mulai bergetar. Tapi ia tidak boleh menangis di depan Kuroko. Ia tidak boleh terlihat lemah di depan orang yang sangat disayanginya.
Maka, ia lepaskan pelukan yang hanya berlangsung beberapa detik itu. Ia ambil tas selempangnya kemudian berlalu melewati Kuroko yang membisu di tempat.
"Mata ashita, Kurokocchi!"
Kuroko menoleh ke belakang, ke arah Kise yang kini sudah berdiri di ambang pintu.
"Selamat ulang tahun~!"
Di suatu tempat di lingkungan sekolah itu, aroma Vanilla mengoar dari dalam tempat pembuangan sampah. Sebuah bingkisan berwarna biru muda dengan pita kuning yang sudah koyak dan lusuh kini terabaikan di antara tumpukan sampah. Sama seperti temen-temannya yang lain, hasil jerih payah itu kini hanya tinggal seonggok barang tidak berguna yang tak pernah tersampaikan.
.
.
.
[Waktuku memang terbatas. Namun cintaku tidak.
Cintaku untukmu tak berbatas. Makadari itu—]
.
.
.
Earphone itu terpasang kuat pada kedua telinganya. Jari-jemarinya sibuk menekan-nekan layar sentuh iPhone kuningnya—mencari-cari sebuah lagu yang akhir-akhir ini sering ia dengarkan.
"Kanagawa?"
Kedua hazelnya terpaku pada tiap deret huruf yang muncul pada layar benda persegi panjang di tangannya. Kedua indra pendengarannya terfokus nada demi nada dari lagu dalam bahasa asing yang baru ia putar.
"Dai-chan~! Jangan bilang kalau kau tidak tahu sekolah akan mengadakan karya wisata terakhir untuk angkatan kita ke Kanagawa?"
Namun, kedua telinga itu masih bisa menangkap sayup-sayup suara kawan-kawan Kiseki no Sedai-nya yang sedang berkumpul di dalam salah satu gedung olahraga yang ada di SMP Teiko.
"Makanya kau jangan membolos terus!"
"Geez, jangan bicara sekeras itu di telinga orang, Satsuki. Lagipula, tahu pun, aku tidak berniat datang."
"Hee? Nande, Dai-chan~?" volume suara rengekan Momoi sampai-sampai mengalahkan suara lagu yang ia putar melalui iPhone-nya, membuatnya sempat mengernyitkan dahi sebelum ia memutuskan untuk kembali memfokuskan perhatiannya pada sang manajer dan teman-teman satu timnya itu.
"Karya wisata itu wajib bagi semua siswa kelas dua, Aomine-kun. Kau tidak bisa membolos tanpa alasan yang jelas."
Bibir merah jambunya mengukir sebuah lengkung senyum tipis. Permata sewarna madunya memandang teduh pada sosok pemuda bersurai biru muda dan rona merah tak kasat mata yang menyembul di kedua pipi pucatnya. Sudah lama ia perhatikan rona merah itu yang hanya akan muncul setiap kali anggota keenam Kiseki no Sedai itu berada di dekat sang power forward.
"Heh, lebih baik aku tidur di rumah atau bermain basket daripada harus merepotkan diri mengikuti acara membosankan seperti itu." Aomine merebahkan diri di atas lapangan berwarna oranye dengan benda bulat sewarna sama di atas perutnya. Kedua matanya menatap malas pada langit-langit gedung olahraga di atasnya.
"Akan ada babak penyisihan Inter High tingkat SMA di Kanagawa hari itu, jadi aku ingin semua dari kalian—tak terkecuali kau, Daiki—untuk ikut. Aku akan meminta izin pada penanggung jawab karya wisata kita agar kalian bisa menonton pertandingan itu. SMA terkuat di Kanagawa akan hadir di sana."
"SMA terkuat?" tanya Murasakibara acuh tak acuh sambil mengunyah beberapa buah keripik kentang di mulutnya.
Kise melepas sebelah earphone putih itu dari telinganya kemudian menanggapi dengan senyum mengembang, "SMA Kaijou, ya~? Wah, aku ingin sekali bersekolah di sana nanti-ssu~"
Akashi mengulum seulas senyum simpul ke arah Kise kemudian balik menatap anggota Kiseki no Sedai yang lain. "Lagipula kalian belum pernah pergi ke Kanagawa sebelumnya, kan? Anggap saja ini sebagai liburan dari latihan kalian."
Semuanya—kecuali Aomine dan Kise—menganggukkan kepala dengan mantap.
Pemilik emperor eyes itu kembali mengalihkan pandangan ke arah sang model berambut pirang. Mulutnya membuka dan sebuah pertanyaan yang lebih terdengar sebagai sebuah pernyataan pun terlontar, hanya padanya.
"Kalau kau, mungkin sudah pernah pergi ke Kanagawa sebelumnya ya, Ryouta?"
Sang manajer berambut merah jambu pun menanggapinya dengan sebuah kekehan pelan, "tentu saja! Ki-chan kan seorang model. Pasti Ki-chan sering bepergian keliling Jepang ya? Aku jadi iri..."
Kise menyunggingkan seulas senyum simpul seraya tangan kirinya sibuk menggosok-gosok bagian belakang kepalanya yang tidak gatal. "Momocchi~ Walaupun aku model, aku belum per—" Tiba-tiba saja Jantung Kise serasa berhenti berdetak. Kedua bola matanya membelalak lebar sedang seluruh tubuhnya menegang sempurna.
Apa yang baru saja hendak ia katakan?
Sekelilingnya membisu dan suara musik dari iPhone-nya mengeras.
Ia tidak pernah pergi ke Kanagawa sebelumnya.
Kalimat itu terulang bagai mantra hingga kepalanya terasa pening.
Kedua kakinya melemas, seolah tertarik ke dalam void hitam tanpa batas. Tenggelam.
"Kise? Oi, Ki—"
Lirik demi lirik dalam bahasa Jerman yang tak ia ketahui artinya, tetapi entah kenapa, perasaan yang mengalir bersama musik itu terasa begitu menyesakkan. Sesak. Ia tidak bisa bernapas.
Kanagawa.
"...dak. Aku..."
Ia tak pernah mencium wangi lavender wisteria yang berpadu dengan merah jambu sakura di sana.
Ia tidak pernah berjalan menyusuri rel kereta memanjang di sana.
Ia tidak pernah bermain-main di dalam sebuah manshion tua di sana.
Ia tidak pernah memberikan setangkai anggrek putih kepada—
"Aku..."
(—pernah)
—seseorang yang begitu berharga baginya.
(—kau tidak ingat ya?)
Ingat apa?
(Kau begitu mencintainya.)
Yang kucintai hanya Kurokocchi. Yang kucintai—
"Tidak pernah."
(Kau ingin ia mengingatmu, kan?)
Kise mengukir seulas senyum tipis di bibirnya. Earphone dan bait demi bait lirik itu lama terabaikan.
"Aku tidak pernah pergi ke Kanagawa sebelumnya."
(—selalu.)
(Selalu menunggu.)
.
.
.
[Erinnerst du dich noch?
—Erinnerst du dich noch an dein Wort, das du mir gegeben hast?]
.
.
.
"Hai!"
Menunduk—memberi hormat.
"Siapa namamu?"
"?"
"Hmm? Kau bukan berasal dari Kanagawa ya?"
Sebuah anggukkan lemah.
"Kebetulan~ Ayo kita berkeliling bersama! Aku tahu tempat-tempat bagus di sini!"
Hening.
"Hee? Jangan berwajah kaget seperti itu dong~ Kita kan teman!"
"Siapa yang memutuskan seperti itu?"
"Tidak bisa ya kalau tidak tahu nama satu sama lain? Kalau begitu, perkenalkan, aku ..." menjulurkan tangan dengan senyum mengembang, "kalau kau? Siapa namamu?"
"..."
.
.
.
.
"A—"
.
.
.
[Erinnerst du dich noch?
—Erinnerst du dich noch an den Tag an dem du mir ... ?]
.
.
.
Kelopak-kelopak bunga sakura bertebaran di angkasa biru membentang. Bisikan semilir angin mengalun lembut, menebarkan aroma lavender wisteria ke seluruh penjuru. Desing roda yang bergesekan dengan rel besi yang bergetar ketika terlewati, juga rerumputan hijau yang membungkuk ke arah perginya angin. Udara hangat melelehkan salju-salju putih seraya sang surya mulai berani menampakkan diri.
Musim dingin pun berganti dengan musim semi.
Sebuah musim yang mengawali semuanya—pertemuan pertama kita dan petak rel pertama yang tak kutapaki sendiri, tetapi bersamamu—juga musim ketika aku belajar untuk mencintai langit membentang yang ada di atasku.
Aku ingin hidup di bawah naungan langit itu. Bersamamu, melewati semua musim bersama dengan untaian jemari yang tak pernah terlepas. Namun, bila harapanku itu terlalu tinggi untuk bisa terkabul, maka aku hanya berharap agar aku bisa selalu memandang senyuman musim semi-mu dari tempat dimana aku selalu memandang langit.
Tak ingatkah kau pada tempat itu?
Tak ingatkah kau pada Kanagawa?
Catatan:
[1] Akicchi berasal dari kata 'Aki' (ditambah suffix –cchi oleh Kise Ryouta sebagai bentuk ungkapan rasa hormat) yang dalam bahasa Jepang berarti musim gugur
[2] Fuyumi berasal dari kata 'Fuyu' yang dalam bahasa Jepang berarti musim dingin
Terjemahan:
[1] Otousan : Ayah
[2] Itai : Sakit, nyeri
[3] Mata ashita : Sampai jumpa besok
[4] Nande : Kenapa
A/N:
Ini adalah FanFiction pertamaku di Fandom Kuroko no Basuke. Jadi, mohon maaf bila dirasa masih abal, OOC, dan tidak memuaskan. Sebenarnya FanFiction ini sudah lama ada di laptopku dan sudah lama selesai di-beta oleh Arisa san. Tapi karena banyak kesibukan sampai aku hiatus jadi reader #soksibuk dan keberanian aku untuk mempublish ini tidak muncul-muncul juga, akhirnya pem-publishan FanFiction ini tertunda sampai entah berapa bulan QAQ Ampuni aku Arisa san! Mohon maaf juga untuk diksi dan grammar yang berantakan! Terima kasih karena telah membaca, me-review, atau mem-fav FFn abal ini QuQ *bows* Aku masih belum tahu kapan akan mempublish chapter keduanya tetapi aku usahakan akan selesai secepatnya *bows*
Prolog - Musim Semi; Kenangan Kise dan Otousan - Musim Semi; Cerita Chapter 1 - Musim Panas hingga awal Musim Semi, Teiko Arc akhir tahun Ke-2
Salam,
KensyEcho
