Black Cloudy
Hanya dengan memandang punggungmu dari arahku berdiri sekarang, sudah menjadi kepuasan tersendiri bagiku. Menatap bahumu yang terkadang berguncang ketika sedang berbincang bahkan tertawa dengan Dia, juga merupakan kepuasan tersendiri bagiku.
Hati wanita mana yang tak sakit, raga wanita mana yang tak akan terbunuh, jika setiap hari melihat orang yang dia cintai selalu memancarkan sinar cinta kepada wanita lain?
Disclaimer © Tokoh-tokohnya masih dan selalu milik Om Masashi Kishimoto
Warning : abal, gaje, typos menyebar di segala penjuru, OOC, membosankan, membingungkan, dan alur tak tentu arah.
Rated M
Genre : Romance, Hurt/comfort
Chara : KakaSaku
A/N : Don't like, don't read! Segera tekan tombol back, jangan memaksa, author tak bertanggungjawab atas kejadian yang akan menimpa Anda setelah membaca fict gaje ini. Come back-ku setelah hampir dua tahun nggak nulis fanfict. So… Maaf kalau terasa aneh. :D. Dan fanfict ini juga untuk kado spesialku untuk suamiku tercinta yang besok ulang tahun. Abang Kashi, maaf ya cuma bisa ngasih kado ini. #peyuk2 Abang Kashi tercinta. Silahkan Read and Review yah... :D
R&R yah... ^_^
Sakura PoV.
Kamu boleh tak mencintaiku. Tetapi jangan berharap aku akan melepaskanmu begitu saja. Walaupun aku tahu betul, dengan tetap mengikatmu pada hubungan ini, sama saja membunuh diriku sendiri secara perlahan.
Hanya dengan memandang punggungmu dari arahku berdiri sekarang, sudah menjadi kepuasan tersendiri bagiku. Menatap bahumu yang terkadang berguncang ketika sedang berbincang bahkan tertawa dengan Dia, juga merupakan kepuasan tersendiri bagiku.
Hati wanita mana yang tak sakit, raga wanita mana yang tak akan terbunuh, jika setiap hari melihat orang yang dia cintai selalu memancarkan sinar cinta kepada wanita lain?
"Tahukah kau, untuk membuat seseorang menyadari apa yang dirasakannya, justru cara terbaik melalui hal-hal menyakitkan. Misalnya kau pergi. Saat kau pergi, seseorang baru akan merasa kehilangan, dan dia mulai bisa menjelaskan apa yang sesungguhnya dia rasakan."
Terkadang terlintas dipikiranku untuk melakukan hal yang ditulis pada cuplikan novel yang berjudul "Sunset Bersama Rosie" tersebut, sebuah karya novel dari novelis idolaku. Novel yang berisi tentang sebuah pengorbanan, rela melepaskan sang calon suami untuk wanita lain yang menjadi cinta pertama sang calon suami.
Ingin sekali aku mencoba untuk pergi dari hidupmu dengan harapan mungkin saja akan mengubah keadaan. Siapa yang tahu ketika aku memilih untuk pergi dari hidupmu, ketika itu pula kau akan merasakan kehilangan diriku. Tapi tentu saja tidak akan ada yang berbeda. Kau akan masih tetap mencintai Dia, sedangkan aku akan semakin tenggelam dengan imajinasiku, dengan fantasiku, dan dengan harapanku. Harapan tentang suatu saat nanti cintaku pasti akan terbalas. Harapan jika suatu saat nanti kau pasti akan berpaling kepadaku.
Hidup memang tak selalu indah seperti halnya dalam dongeng-dongeng ataupun kisah-kisah yang ada di FTV. Apa yang kamu inginkan juga belum tentu bisa kamu dapatkan. Ah... Tapi aku selalu bisa mendapatkan apa yang aku inginkan. Tentu saja aku harus bisa mendapatkannya. Jangan panggil aku Sakura jikalau aku tak bisa mendapatkan apa yang kuinginkan. Termasuk untuk mendapatkan pria yang kucintai. Walaupun dengan cara yang bisa dibilang culas untuk mendapatkannya, tak terlalu kupedulikan, yang penting aku bisa bersama dengannya. Anggap saja aku sebagai pihak antagonis dalam sebuah drama, tentu saja aku tidak akan mempermasalahkannya. Aku memang berhasil mendapatkan pria itu, tapi aku tak tahu haruskah hal itu kuanggap sebagai berkah atau malah sebagai musibah.
.
.
.
Kata orang, hidup itu bagaikan roda. Kadang berada di atas namun terkadang juga berada di bawah. Jika ditarik garis lurus dengan hal yang aku hadapi sekarang, berarti bisa dikatakan, jika sekarang aku bisa memiliki pria itu, berarti di lain waktu nantinya aku bisa saja kehilangan pria itu juga, begitukah?
Jangan pernah mengira jikalau aku akan mempunyai pemikiran yang seperti itu juga. Bukannya aku tak mempercayai "konon katanya" itu, hanya saja aku mempunyai sedikit inovasi, kenapa kita tidak berusaha untuk mengganjal roda itu saja. Tak masalah jika roda itu tidak berpindah tempat yang penting kita selalu berada di atas.
.
.
.
Malam tak selalu ada bintang. Bulan terkadang sendirian. Terkadang juga bersembunyi karena sedih, lalu langit pun menangis. Matahari yang pergi, esok akan kembali, entah dengan kegembiraan bersama teriknya atau kesedihan bersama mendung yang melanda, langit berubah keabu-abuan, daun-daun jatuh ke tanah, kekuningan dan kecoklatan. Langit pun masih setia meneteskan air matanya.
Gerimis masih mengguyur ketika kubelokkan mobilku untuk menuju sebuah café yang tidak terlalu besar dan tentu saja tidak terlalu ramai. Dan itulah alasannya kenapa aku menjadikan café ini sebagai tempat favoritku. Tidak berisik, tidak glamour, dan tentunya café ini menawarkan 'kesunyian' di tengah ramainya suasana kota ini sekaligus menawarkan kenyamanan dengan sedikit bumbu suasana kisah masa lalu.
Dari sekitar jarak kurang lebih tiga puluh meter, aku sudah bisa melihat café yang menjadi tempat tujuanku. Sebuah café yang tidak terlalu besar dengan cat berwarna putih yang dilengkapi dengan lampu-lampu redup berwarna kuning yang dipadukan dengan lampu hias berwarna merah muda berhasil menghasilkan kesan romantis.
Nama dari café ini tertulis dengan jelas di atas teras dari bangunan café ini. Sebuah gambar pancake beserta tulisan dengan tipe huruf latin dengan warna merah muda –cocok sekali dengan warna rambutku– mengokohkan identitas café ini. Sepertinya café ini memang cocok untukku.
.
.
.
Kuinjak pedal rem untuk memelankan laju mobilku ketika akan berbelok menuju halaman parkir dari café ini. Terlihat seorang tukang parkir yang menyambut kedatanganku untuk mengarahkan ke tempat parkir mobil. Tangan dari tukang parkir itu memberikan instruksi untuk terus memajukan mobilku. Dengan perlahan kulajukan mobilku mengikuti instruksi dari tukang parkir itu. Dan beberapa saat kemudian sang tukang parkir itu mengubah gerakan tangannya untuk menghentikan mobilku. Kembali kuinjak pedal rem hingga mobilku berhenti.
Kumatikan mesin mobilku dan melepaskan seat belt yang mengukung tubuhku. Kuambil sebuah tas lukis handmade yang tergeletak di jok sampingku yang bergambar seorang wajah pria, vokalis sebuah band ternama yang berasal dari benua seberang –Maroon 5, siapa lagi kalau bukan Adam Levine. Siapa yang tidak akan menyukai pria bersuara melengking ini, apalagi ketika Adam sedang topless dan memperlihatkan tubuh bagian atasnya yang penuh dengan tato yang membuatnya sangat sexy. Membayangkannya saja dapat membangunkan fantasi terliarku. Tapi tentu saja, aku lebih menyukasi seorang pria berambut perak yang sekarang telah menyandang status sebagai suamiku. Ah… Bukan hanya menyukai, tetapi aku sangat mencintai pria berambut perak ini.
Kubuka pintu mobilku dan kemudian kututup. Kurasakan tetesan gerimis dari sang langit. Hanya gerimis kecil-kecil, tak cukup untuk membuat tubuhku basah. Malah memberikan kesan segar. Tak lupa kutekan sebuah tombol pada remote kunciku untuk mengaktifkan alarm mobil. Kulangkahkan kakiku untuk menjauh dari tempat parkir itu dan tak lupa kusunggingkan sebuah senyuman kepada sang juru parkir sekadar sebagai ucapan terima kasih.
.
.
.
Kakiku mengayun pelan, melangkah untuk memasuki café ini. Di halaman café ini terdapat meja yang dilengkapi dengan payung untuk menikmati live music yang disuguhkan di malam-malam tertentu. Biasanya tiga sampai empat kali dalam seminggu akan disuguhkan live music. Aku bersyukur karena malam ini tidak disuguhkan live music. Suasana tentu akan lebih senyap ketika tidak ada live music, walaupun sebenarnya musik yang disuguhkan adalah musik ber-genre blue jazz. Namun tentu saja suasana akan lebih sunyi ketika tidak ada live music bukan.
Kakiku terus melangkah memasukki café. Aku lebih memilih untuk duduk di dalam saja. Tepatnya di teras café bagian kanan sehingga tidak akan ada dinding yang menghalangiku untuk melihat tetesan gerimis dari sang langit. Salah satu meja favoritku di café ini. Dan keberuntungan sepertinya masih berpihak kepadaku. Meja favoritku ini masih kosong. Kutarik kursi ke belakang dan kemudian kududukan tubuhku. Kutaruh tas yang kubawa tadi di kursi sebelahku. Meja ini memang diperuntukkan untuk lebih dari satu orang. Dan tentu saja akan ada kursi yang masih kosong mengingat aku hanya sendirian.
.
.
.
Sungguh aku sangat mengagumi café ini. Café ini mampu tampil beda, bukan saja karena tempatnya yang strategis dan mengusung sisa masa lalu. Betapa tidak, café yang berdiri sejak sekitar lima tahun yang lalu ini adalah sebuah bangunan yang merupakan hasil 'sulapan' dari sang pemilik café, di mana rumah tua yag bergaya oldiest disulap dengan sentuhan artistisk sehingga dapat bersaing dan tentunya eksis di tengah gempuran café-café modern lainnya. Kemudian, yang membuat tampil beda berikutnya adalah menunya. Sesuai dengan gambar pancake yang menjadi maskot dari café ini, menu utama café ini adalah pancake dan waffle dan tentu saja dengan sajian minuman berkafein dengan segala varian yang menjadi favoritku.
Tak berapa lama aku duduk, seorang laki-laki berpakain rapi dengan senyum yang tersungging di bibirnya menghampiriku dan menyuguhkan buku menu. Tak memerlukan waktu lama untuk memilih menu yang akan kupesan. Tentu saja aku sudah memiliki menu favorit dari café ini. Sebenarnya banyak varian dari pancake atau waffle dengan berbagai topping yang terlihat menggoda, tetapi tetap kujatuhkan pilihanku pada classic choco waffle dengan secangkir black coffee americano. Setelah mencatat pesananku dan membacakan ulang pesananku, laki-laki itu mengundurkan diri sambil masih tetap menyunggingkan senyumannya.
.
.
.
Aku memang membutuhkan kafein. Belum ada kafein setetes pun yang masuk ke mulutku hari ini. Rekor terpanjangku. Sejak pagi hingga sore hari belum ada setetes pun kafein yang mengalir di tenggorokanku. Ada tidaknya kafein yang mengalir di tenggorokanku ternyata cukup memengaruhi mood-ku. Hanya dengan kafein di secangkir americano yang bisa menyulap muka kusutku ini untuk menampilkan senyum sok ceria. Senyum untuk menghadapi Dia. Dia yang selalu menghujamkan belati untuk menikam jantungku. Tapi tak apa, asalkan masih ada secangkir americano semua pasti akan teratasi dengan baik. Termasuk sandiwaraku untuk selalu terlihat ceria di depan Dia.
.
.
.
Tak berselang lama, secangkir black coffee americano yang menjadi pesananku telah datang, lengkap dengan satu mug kecil yang berisi gula. Tentu saja kopi ini tanpa gula dan tentunya terasa pahit. Namun itulah yang membuatku menjadikan minuman berkafein ini sebagai minuman favoritku. Kuberikan seulas senyum kepada waiters pria yang telah mebawakannya untukku. Dan kuucapkan terima kasih kepadanya. Waiters pria tersebut menganggukkan kepalanya dan kemudian beranjak pergi dari hadapanku.
Hmm. Aku mengaduk secangkir americano ini dan kuhirup dalam-dalam aroma kafein yang menguar yang bercampur dengan udara dingin di malam ini. Kuangkat cangkir berisi kopi dengan tangan kananku dan menyeruputnya sedikit untuk membasahi tenggorokanku yang mengering, setelah sedikit menyeruputnya, kuletakkan kembali cangkir itu di atas meja. Memang benar jika kafein bisa membuat candu bagi penikmatnya. Terasa nikmat. Sungguh nikmat. Rasa americano di café ini tidaklah kalah dengan racikan coffee shop tenar seperti –you know what– yang franchise asal Seattle itu. Ternyata secangkir americano benar-benar dapat memperbaiki mood-ku.
.
.
.
Tak lama kemudian, classic choco waffle yang menjadi pesananku datang. Kembali kuberikan seulas senyum kepada waiters yang telah membawakannya untukku. Dan sekali lagi kuucapkan terima kasih kepadanya. Waiters itu mengangguk, mengucapkan selamat menikmati, dan kemudian beranjak pergi dari hadapanku.
Waffle dengan topping saus cokelat dan taburan kacang serta ditambah dengan ice cream cokelat yang sengaja diletakkan di bawah selembar waffle ini cukup menggugah selereku.
Sebelum menikmati hidangan yang telah kupesan, kurasakan semilir angin malam yang membelai anak rambutku. Senyum terukir di bibirku. Ah… Ternyata memang besar sekali pengaruh dari secangkir americano.
Gerimis masih mengguyur. Hanya mengguyur lembut. Sungguh suasana favoritku. Aku merasa senang karena setidaknya bukan hanya hatiku yang merasa mendung, tetapi juga sang langit. Kusunggingkan sebuah senyum miris. Hai… Langit berawan, kenapa kita bernasib sama.
.
.
.
Sambil menikmati hidangan yang telah kupesan, kuraih touchscreen smartphone dari dalam tasku. Kugeser tombol screen lock untuk membukanya. Dan kulihat sebuah pesan singkat yang kukirimkan kepada Dia beberapa jam yang lalu. Delivered, itulah status pesan singkat yang kukirimkan tadi. Tapi sungguh aku tak merasa heran sama sekali jika sampai sekarang aku belum juga mendapatkan balasan dari pesan itu. Mungkin aku malah akan merasa heran jika aku mendapatkan balasan dari pesan itu. Tapi satu hal yang kuyakini, walaupun Dia tidak juga membalas pesan yang telah kukirim itu, Dia pasti membaca pesan itu. Ya setidaknya walaupun tidak dibaca, Dia pasti melihat pesan itu.
Jangan pernah berpikir aku akan menyerah untuk mendapatkanmu, Sayang. Semakin kau berusaha untuk tak menghiraukanku, semakin gigih pula aku akan berusaha menggapaimu.
.
.
.
Kulirik sebuah kotak yang terlihat dari dalam tasku yang tak kututup resletingnya, sebuah kotak yang tidak terlalu besar yang terbungkus dengan kertas kado berwarna cokelat. Kusunggingkan sebuah senyuman di bibirku. Mungkin Dia tidak akan menerima kado ini. Tapi masa bodoh, aku akan tetap memberikannya kepadamu, Sayang. Kalaupun Dia tidak mau menerima kado ini, akan kupastikan suatu saat nanti Dia akan memakainya. Sebuah dasi berwarna biru gelap dengan garis-garis putih berada di dalam kotak itu, akan kupastikan Dia akan memakainya.
Otanjoubi omedetto, Suamiku. Aku akan menunggumu malam ini, walaupun aku tahu pasti, kau pasti akan lebih memilih bersamanya untuk merayakan peringatan hari kelahiranmu di tahun ini.
Tetesan air mata dari sang langit belum juga berhenti. Dan tentu saja sang bulan dan sang bintang belum mau menampakkan dirinya karena mendung masih setia menggelayuti sang langit. Kuangkat cangkir berisi americano dan kembali menyesapnya. Kupejamkan mataku untuk menikmati kafein yang meluncur di tenggorokanku. Nikmat. Tentu saja nikmat. Kuletakkan kembali cangkir itu di atas meja dan kuambil sebuah pisau beserta garpu yang tergeletak di samping piring waffle pesananku. Kupotong-potong classic choco waffle dan kumasukkan ke dalam mulutku. Kukunyah dan kunikmati rasa nikmatnya. Ternyata cokelat masih menjadi makanan yang terasa lezat.
.
.
.
TBC
Pertama-tama aku mengucapkan otanjoubi omedetto Kakashi-kun tercinta. Peluk hangat dari istrimu ini. :D. Masih besok kan yah, tapi nggak papa donk aku ngucapin duluan, biar jadi yang pertama gitu. #maksa ceritanya
Berasa lama sekali aku nggak nulis fanfict KakaSaku. Berasa kangen juga, dan akhirnya setelah kena bujuk rayu dari Kak Awan, akhirnya aku nulis lagi. *ngek. Itung-itung buat pemanasan mengarang bebas untuk nulis skripsi ya. Hehehe…
Dan maaf untuk reader –emang ada yang baca?– kalau belum ada interaksi KakaSaku-nya.
Feedback dari reader dalam bentuk konkrit, baik berupa review, kritik, saran, atau apa saja boleh. Saya akan menerimanya dengan senang hati.
Don't be silent reader! Ok...
Arigatou gozaimasu...
Sign in
Rieki Kikkawa
14092014
