Teman Kencan untuk Sakura

.

.

"Kau boleh berpikir aku kekanak-kanakan. Tapi tekadku sudah bulat." Ino meringis, percakapan mereka hampir 3 jam rasanya sia-sia karena pemikiran Sakura tak berubah sama sekali. Ide gila, sebut Ino dalam kepala.

"Kalau dia bisa berkencan dengan 3 orang sebelum memastikan kembali kepadaku, kenapa aku tidak?"

.

Thanks a lot for Kishi sensei~

No profit, just a hobby

Well, deep inside I wish Shikamaru belong to me. XD

-3SHOOT FF-

.

Kau pernah mendengar istilah CLBK? Cinta lama bersemi kembali. Istilah yang indah bukan? Seperti kuntum bunga yang layu lalu kemudian bersemi kembali. Orang-orang seperti lupa, sebelum bunga tersebut mekar kembali, kelopak bunga itu terlebih dahulu meninggalkan warnanya yang gemilang untuk menjadi coklat usang. Kemudian jatuh ke tanah, tak jarang diinjak-injak orang. Dan kuntum yang mekar kembali itu pun tak berasal dari untai yang sama. Ya, bersemi kembali tak seindah kedengarannya.

Mungkin itu yang tengah dirasakan Sakura. Walaupun ia tahu bersemi kembali berarti bersinar lagi, ia juga tidak siap untuk layu yang kedua kali. Siapa yang bisa menjamin kesiapannya? Siapa yang bisa menjamin bahwa ia tak akan remuk dan lebih parahnya, jauh tak tertahankan dibanding dulu. Ia hanya tidak ingin mengenal cinta yang lama. Setidaknya, tidak semudah itu.

Tidak semudah langkah kaki pemuda yang meninggalkannya tujuh tahun lalu, ke depan pintu apartemennya, dengan sekuntum bunga dan sekotak coklat berbentuk hati kesukaannya. Tidak semudah senyum nan tipis pemuda bermata onyx kelam itu. Tidak segampang manis rayu kalimat aku kembali dan uluran tangan kerinduan.

Mungkin ia rindu, tapi itu tidak sebanding.

Oleh sebab itu ia butuh melakukan perhitungan.

"Jidat, itu adalah ide terburuk yang pernah keluar dari mulut lebarmu" nada itu diucapkan dalam satu not dan mata Ino menatap datar setengah tak percaya pada gadis berambut merah jambu yang dengan santainya meminum jus strawberry miliknya.

"Itu disebut keadilan, Pig" Ino memutar bolamatanya. Menggeleng-gelengkan kepalanya sebelum mengambil kembali gelas jus miliknya.

"Dengan berkencan dengan 3 orang pria? Beberapa hari setelah Sasuke mengajakmu balikan? Kau benar-benar sinting, kau tahu?" kata Ino. Sakura menatapnya tak terima.

"Karin, Shion, ah, bahkan Tayuya. Dia berkencan dengan tiga wanita sebelumnya. Dan aku tidak boleh berkencan dengan 3 pria juga? Kau dan Sasuke yang sinting kau tahu!" suara Sakura meninggi. Kedua lengannya dilipat di dada. Ino menghela nafas. Memerhatikan sekitar, tepatnya sekeliling kedai kopi langganan mereka ini, memastikan percakapan sengit mereka tidak menggangu siapa-siapa.

"Tapi itu terjadi, ya ampun kalaupun itu benar, setelah kalian putus kan? Dia tidak mengkhianat—"

Brak! Sakura menghentakkan gelas kopi pesannya. Ino lantas kaget, terutama saat bolamata Sakura nyalang menatapnya.

"Kau itu teman siapa sih, Pig? Bisa-bisanya kau membela pantat ayam itu. Kau—"

"Jidat, pelankan suaramu kalau tidak aku akan mengalami kejadian memalukan dalam hidupku, diusir karena teriakan gadis aneh yang tidak terima mantan pacarmu mengajaknya kembali begitu saja" Amarah Sakura sedikit mereda, entah karena mata Ino yang ikut melotot atau karena beberapa tatapan ingin tahu yang terarah ke meja mereka.

Sakura membuang nafas, berharap kekesalannya sedikit berkurang dibawa karbon dioksida yang ia hempaskan.

"Kau sendiri tahu apa alasannya memutuskan hubungan kami 7 tahun yang lalu. Dia—" memikirkan wajah Sasuke kala itu saja sudah membuat Sakura kesal, "bilang tidak bisa berkonsentrasi pada hubungan dan studi yang dia kerjakan. Makanya dia meminta hubungan kami berakhir." Sakura mendecih, mengingat kejadian tempo dulu memang tidak pernah menyenangkan. Kedua lengannya yang sempat bebas kini kembali dilipat, punggungnya ia senderkan ke badan kursi. Wajah gadis itu masam bukan kepalang.

"Tapi selama 4 tahun dia belajar mendapatkan gelar doktornya, dia berkencan dengan 3 orang wanita" Sakura membuang nafas kasar, "ya, dia benar-benar tidak bisa berkonsentrasi" ujarnya sartastik.

"Sakura, berita tentang hubungan Sasuke dengan tiga orang wanita itu bahkan belum tentu benar! Sakura, aku tahu kau pasti sakit hati soal itu. Tapi—" Ino mengambil nafas pendek sebelum membuka kembali mulutnya, sedikit melirik Sakura, memastikan gadis itu tidak akan meledak tiba-tiba, "yang terpenting sekarang adalah hatimu. Aku tidak akan menentang kalau hatimu memang berkata kau tidak mencintainya lagi. Tapi apa memang hatimu berkata demikian?"

Tidak ada jawaban. Sakura tidak melembut ekspresi wajahnya, namun juga tidak menentang. Pandangannya lurus ke depan, seperti seseorang yang disuruh memikirkan kesalahan-kesalahan sendiri, tapi dengan keengganan yang tinggi.

"Aku…" akhirnya bibir ranum itu terbuka, meski tertutup kembali. Pandangan matanya seolah mengkhianati otaknya, "tidak tahu". Ino memandang penuh simpati. Dia benar-benar merasa prihatin pada sahabatnya ini. Tapi sekesal apapun ia pada objek yang membuat Sakura nelangsa, ia tahu bahwa soal hati tidak ada yang bisa mengatur. Bahkan logika dan nalar sekalipun.

"Tapi, Ino…" Sakura tidak benar-benar menatap sahabatnya, ia hanya tidak ingin menunduk dan dituduh tidak percaya diri, "aku tidak ingin kembali kepadanya seperti ini. Tidak, hatiku tidak mengizinkanku" Alis Ino bertaut, tapi tidak menimpali apa-apa.

"Kau boleh berpikir aku kekanak-kanakan. Tapi tekadku sudah bulat." Ino meringis, percakapan mereka hampir 3 jam rasanya sia-sia karena pemikiran Sakura tak berubah sama sekali. Ide gila, sebut Ino dalam kepala.

"Kalau dia bisa berkencan dengan 3 orang sebelum memastikan kembali kepadaku, kenapa aku tidak?"

"Sakura—"

"Dan cinta sekalipun," yang entah masih ada, atau sudah hilang ikut ditelan bumi seperti mantan kekasihnya, "tak akan merubah keputusanku."

"Sakura, apa kau ya—"

"Yakin, Ino. Aku tidak pernah seyakin ini seumur hidupku"

Dan begitu kalimat itu terucap, Ino tahu inilah akhir dari sorenya yang panjang dan melelahkan. Kepala batu, pun orang yang dicintai gadis beriris emerald itu. Maka yang tersisa hanya helaan nafas Ino dan wajah penuh tekad Haruno Sakura.

…..

"Tim kesebelasan Manchester United tampil—"

"Nar—"

"Striker andalan mereka sayang sekali harus—"

"Uzuma—"

"Tapi tidak menutup kemungkinan bahwa—"

"Kau dengar aku tidak, sih?"

"City tampil cukup apik pada pertandingan sebelumnya, kita—"

"BAKAAA!"

"Pertandingan bersiap dimulai, selamat—"

Klik

Layar itu hitam sempurna, tidak menyisakan apa-apa, bahkan seorang Roonie. Naruto mengerang seperti seorang anak TK yang diambil mainannya. Tapi begitu bertemu emerald yang membulat, pemuda itu merengut seperti kucing siap diguyur air dingin.

"Sakura-chan, itu final liga—"

"Jadi kau tidak mendengarkan aku sedari tadi? Yang kau lakukan hanyalah curi pandang pada layar televisi iya kan?"

"Bukan begitu Sakura-chan, tapi ini final. Kau kan juga suka olahraga, masa kau tidak tahu pentingnya final?" kata Naruto berkilah. Pandangan Sakura memicing, harusnya Naruto tahu satu-satunya orang yang paling sulit ia bohongi tegak persis di hadapannya.

"Kalau kau menuruti perkataanku, kita bisa menyelesaikan semua ini sebelum pertandingan dimulai, Baka Naruto!"

Alasan, alasan, alasan. Naruto benar-benar butuh alasan. Sebelum kepalanya berakhir di penggorengan.

"Ano, Sa-sa-kura-chan" ujarnya terbata-bata tak ubahnya kekasihnya Hinata, "sudah kubilang aku tidak punya kenalan yang single. Mereka semua—" Sakura mendengus.

"Kalau ada satu orang yang punya kenalan pria single paling banyak se-Konoha, kaulah orangnya, Baka!" balas Sakura sengit.

"Aku hanya minta diatur kencan buta dengan mereka. Apa susahnya sih?"

Apa susahnya?

APA SUSAHNYA?

Naruto menghela nafas kesal. Ya, sangat tidak susah mengingat puluhan bahkan ratusan ultimatum yang Sasuke berikan padanya. Dari mulai yang ringan sampai yang bisa mengantarnya ke ujung kehidupan. Sungguh tidak susah, bukan?

Naruto mengerang frustasi. Benar-benar tidak tahu harus bersikap bagaimana. Sakura dan Sasuke adalah dua sahabatnya yang paling dekat. Ini sama saja seperti pertanyaan seperti pilih ayah atau ibu.

"Sakura-chan…" Dan Naruto memilih untuk jujur, sekalipun—mungkin—itu pahit.

"Aku tidak bisa membantumu. Itu sama saja menghancurkan hati Teme."

"Dia sudah menghancurkan hatiku lebih dulu." Kata Sakura tak mau kalah.

"Dan sekarang kau ingin dia membunuhku? Kau tidak ingin bertemu denganku lagi?" Naruto tahu ia terdengar menyedihkan. Tapi ia tidak bisa membantu siapa-siapa di sini. Setidaknya ia tidak mau berpihak.

"Kalian adalah orang yang berharga untukku. Aku tahu sakit hatimu pada Teme. Dan aku juga kesal padanya soal itu. Tapi membantumu mencari teman kencan buta…" hembusan nafas Naruto terdengar, membuat Sakura mengalihkan pandangannya pada layar televisi yang hitam sempurna, "bukan cara yang tepat membalas tindakan kurang ajar Sasuke, Sakura-chan" Naruto menghela nafas lagi, rasa bersalahnya pada Sakura perlahan naik, "setidaknya bukan dariku".

Sakura tidak menyahut. Karena sesungguhnya ia mengerti kenapa Naruto berujar demikian, ia bahkan tidak sakit hati pemuda itu menolak membantunya. Tapi perkataan barusan tidak menyentuh ketidaktentraman hatinya. Sejak kepulangan Sasuke ke Konoha, batinnya terus bergejolak. Dan pemikirian untuk segera memaafkan pemuda itu benar-benar membuatnya berontak. Entah mengapa, entah bagaimana caranya meredam itu semua.

Mungkin tidak dengan Naruto, atau Ino. Sakura tidak lantas hilang akal. Maka gadis itu berdiri dari tempat duduknya, meraih remot dan menekan tombol power. Begitu suara televisi mengisi ruangan apartemen Naruto, ia melangkah menuju pintu keluar.

"Sakura-chan—"

"Aku minta tolong Sai saja."

….

"Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif, mohon—" perempatan siku di kepala Sakura muncul. Ini sudah keduapuluh kalinya gadis itu menelpon ke nomor Sai dan hasilnya adalah jawaban penuh intonasi yang familiar dari perempuan tak dikenal.

Sai tidak pernah sulit dihubungi. Yang ada pemuda itu terlalu terikat dengan ponselnya selama ini. Dan mengapa, di siang bolong begini, ia justru tidak bisa dihubungi?

Oh, seandainya gadis itu tahu alasan pemuda dengan senyum palsu itu erat kaitannya dengan orang yang menjadi buah pemikirannya akhir-akhir ini. Kebetulan, wajah keduanya pun mirip.

"Mereka benar-benar…" pikir Sakura geram. Ia juga merutuki diri sendiri yang minim pergaulan. Ia bukannya tertutup atau apa, hanya saja koleganya itu-itu saja. Dan dari sejumlah kenalannya, rasanya tidak ada yang mungkin dimintai tolong mengaturkan kencan buta untuknya lagi.

Atau ada?

Pemikiran itu muncul begitu lelaki berambut nanas keluar dari toko hardware dengan sebuah tas panjang berwarna hitam. Senyum di wajah Sakura kembali. Entah mengapa, firasatnya berkata pemuda paling cerdas yang ia kenal itu mampu memberikan jawaban atas kebuntuannya.

"Hei, Shikamaru!"

Dan sapaan itu membuahkan hasil. Mereka berdua berakhir di sebuah kedai okonomiyaki yang berada di satu jalan yang sama dengan kedai ramen favorit Naruto.

"Jadi kau bisa membantuku?" Shikamaru terdiam sebentar, berpikir.

"Kau yakin kau akan benar-benar mencoba?" Sakura mengangguk semangat.

"Aku rasa tidak ada salahnya membantumu. Lagipula aku punya seseorang yang butuh teman kencan" Kilat di mata Sakura kembali, kini ia menatap Shikamaru seolah pemuda itu adalah patung manusia yang terbuat dari emas nan berkilau.

Tangan Shikamaru menari-nari di ponselnya, begitu juga dengan jantung Sakura.

"Moshi-moshi…" Shikamaru menyeringai, "Gaara?"

TBC

Thanks for reading, Minna~ Btw, ini cuma bakal jadi light romance gitu kok, dan tamat di chap ketiga (seperti info di awal). Saya akan upload 4 hari sekali. Mohon kritik dan sarannya ya~ Arigatou!