Arigatou, Touchan !

.

.

.

.

.

Disclaimer Masashi Kishimoto

Story from Akemi Miharu

Dedicated for My beloved Touchan's Birthday

NaruHina Family

Rate : K +

Genre : Family

Warning : alur cepat, AU, typo(s), mainstream, geje, abal dan hal nista lainnya

Tidak berkenan silahkan tekan 'back' dan cari yang sesuai selera😃

.

.

.

.

.

Happy Reading ^-^

.

.

.

.

.

Mempunyai buah hati yang tengah menginjak masa remaja memang sering membuat para orang tua dilanda kegelisahan. Apalagi jika mempunyai dua buah hati yang sama-sama menginjak masa remaja, dengan gender yang berbeda pula. Tentunya penjelasan dan tindakan yang dilakukan berbeda. Dan itulah yang sedang dihadapi oleh Uzumaki Naruto, seorang pemimpin Direktur disebuah perusahaan ternama di Konoha sekaligus ayah dua anak yang sedang memasuki masa remaja.

Putra sulungnya, Uzumaki Boruto baru saja naik ke tingkat tiga di Konoha High School. Pemuda 17 tahun itu sedang dalam masa sulit untuk diatur. Membuat Naruto selalu mendesis kesal dengan tingkah putranya itu. Selalu saja membantah jika ia diberitahu. Selalu saja merasa bahwa ia sudah besar dan bisa berbuat seenaknya.

Sedangkan putri bungsunya, Uzumaki Himawari baru saja menginjak tingkat pertama di SMA yang sama dengan kakaknya. Gadis manis 16 tahun itu selalu ceria dan tak pernah membantah perintah orang tuanya, terutama sang ayah. Membuat Naruto sedikit bernafas lega karena putrinya bisa 'diatur'. Tapi disisi lain, Naruto mulai khawatir. Kehidupan SMA memang menyenangkan, tapi dibalik itu banyak pula sisi kelam. Pria bersurai pirai itu tentu saja takut jika Himawari sampai terjerumus ke hal yang tidak baik. Bukankah menjaga anak gadis itu sama saja dengan menjaga vas kaca yang ditaruh di ujung tombak? Riskan. Salah sedikit saja akan jatuh dan pecah berkeping-keping.

"Anata, ada apa?" tanya Hinata -istri Naruto- ketika melihat sang Uzumaki terduduk termenung di teras depan rumah mereka. Iris saphire menatap sendu Boruto dan Himawari yang tengah bermain dengan Kurama, si Siberian Huski yang berwarna jingga dan putih.

"Mereka sudah besar," ucap Naruto pelan.

"Ya, mereka sudah besar. Padahal aku merasa masih kemarin aku menggendong mereka," ujar Hinata lembut, iris indigonya memburam akibat air mata yang terperangkap disana.

"Hime?" panggil Naruto lirih ketika menyadari sang istri tercinta tengah tertunduk.

"Gomenasai, anata. Aku sedikit terbawa suasana," dengan lembut Naruto membelai pipi Hinata, menghapus air mata yang kini menimbulkan jejak di pipi wanita itu.

"Tidak apa-apa, Hime," ujar Naruto berusaha menenangkan sang istri.

Naruto POV

"Tidak apa-apa, Hime," ujarku berusaha menenangkan Hinata.

Aku tahu apa yang dirasakan istriku ketika melihat kedua anak kami yang sudah tumbuh besar. Beberapa tahun lalu, mereka hanya bayi mungil yang selalu membangunkanku dan Hinata saat malam hari. Beberapa tahun lalu, mereka hanya balita yang selalu membuat kami gemas dengan tingkah mereka yang menakjubkan sekaligus mengejutkan. Beberapa tahun lalu, mereka hanya anak-anak yang selalu merengek ketika meminta sesuatu dan menangis jika tidak dituruti.

Tapi sekarang, lihatlah mereka berdua. Tumbuh menjadi remaja, tumbuh menjadi dewasa. Boruto tumbuh menjadi pemuda yang tampan dan lincah. Jago dalam semua bidang olahraga. Entahlah, tapi aku merasa dia adalah 90% aku. Termasuk sifatnya yang keras kepala dan semaunya sendiri. Benar-benar mengingatkanku pada masa mudaku dulu.

"Tentu saja Boruto-chan mirip denganmu, Anata. Dia anakmu," begitulah kata Hinata setiap aku mengeluh tentang sikap Boruto.

Apa aku sayang dengan Boruto? Tentu saja. Tapi sikap dan kelakuannya sering membuatku naik darah. Bagaimana tidak, ia suka sekali ikut balapan. Mencuri-curi waktu untuk menyelinap keluar rumah waktu malam hari.

Baiklah, sekali dua kali aku masih bisa maklum. Tapi sampai setiap hari? Astaga aku tidak tahan lagi. Puncaknya ketika aku mendapat kabar dari rumah sakit jika ia berada disana akibat kecelakaan.

Flashback On

"Maaf suster, saya mencari pasien bernama Uzumaki Boruto. Dia masuk kemarin akibat kecelakaaan," ucapku cepat ketika sampai di rumah sakit.

"Sebentar tuan, akan saya cari," ucap suster itu sambil mencari di komputernya. Tanganku mengetuk meja, tak sabar. Sementara Hinata dan Himawari berdiri dibelakangku dengan sabar. Aku bisa mendengar tangisan lirih Hinata.

"Pasien Uzumaki Boruto sedang ditangani diruang ICU. Dari sini tuan bisa lurus kemudian belok kanan," ucap suster itu cepat. Tanpa menunggu kakiku segera berlari. Hinata dan Himawari mengikuti dibelakangku dengan langkah cepat.

Setibanya disana, aku melihat lampu diatas pintu ganda putih masih berwarna merah. Tanda penanganan pertama masih dilakukan.

"Niichan akan baik-baik saja, Kaachan," ucap Himawari pelan sambil memeluk sang ibu.

Tak berapa lama, aku lihat lampu itu berubah hijau. Seorang dokter keluar dari balik pintu itu.

"Bagaimana keadaannya?" tanyaku cepat pada dokter yang kukenal sebagai Haruno Sakura, teman masa kecilku.

"Tenanglah Naruto, ia baik-baik saja. Hanya mendapat beberapa jahitan di kaki kirinya yang sobek, selebihnya dia dalam keadaan baik. Tapi aku perlu melakukan X-Ray untuk memastikan," ujar Sakura. "Sebentar lagi dia akan dibawa ke ruang pemulihan, kalian bisa menemaninya,"

Oh Kami-sama, rasanya lega sekali mendengar berita itu. Begitu pula dengan Hinata dan Himawari. Aku bisa melihat seulas senyum di bibir Hinata, walaupun sangat tipis.

Tak berselang lama, pintu ruang itu terbuka. Dua orang suster terlihat keluar sambil mendorong Boruto yang terbaring di atasnya. Tertidur. Dengan langkah cepat kami segera mengikuti mereka menuju sebuah ruang VIP.

"Himawari, ajak Kaachan-mu pulang," perintahku setibanya kami diruang itu.

"Tapi anata, aku masih ingin disini. Aku masih ingin menemani Boruto," protes Hinata. Dengan lembut kubelai pipinya, mencoba memberikan penjelasan.

"Lebih baik kau pulang dulu Hinata, besok kau bisa kesini. Lagi pula Hima-chan masih harus bersekolah, sebentar lagi dia akan ujian,"

"Benar kata Touchan, Kaachan juga harus beristirahatkan?" imbuh Himawari, membantuku membujuk wanita lavender itu untuk pulang.

"Baiklah, aku akan pulang," ujar Hinata akhirnya, walau dengan nada enggan. Sejenak iris white pearl Hinata menatap sendu Boruto yang sedang terbaring, mengecup lembut dahi Boruto. "Lekas sembuh, sayang,"

Lalu Hinata dan Himawari pergi, meninggalku dengan Boruto yang masih tertidur. Jika boleh jujur, ingin rasanya aku menangis seperti Hinata saat mengetahui putra kami kecelakaan. Tapi ego-ku sebagai seorang ayah dan laki-laki tidak mengijinkanku untuk itu. Aku harus kuat, harus tegar didepan istri dan anakku.

Tapi sekarang mereka tidak ada, membuat air mataku menetes perlahan. Melihat Boruto seperti itu sangat amat menyakitkan. Andai aku bisa bertukar tempat dengannya, aku akan sangat senang. Lebih baik aku yang terbaring disana, bukan Boruto. Bukan putraku.

"Eng.." desis Boruto pelan membuatku segera menghapus air mata yang masih menggenangi irisku.

"Touchan.." panggil Boruto gugup ketika mengetahui aku yang sedang duduk disebelahnya.

"Hn," ucapku datar memandanginya dengan tatapan sedikit garang.

"Kenapa Touchan disini?"

"Kenapa kau disini?"

"Ugh, Touchan membuatku bingung,"

"Dan kau berhasil membuat Kaachan-mu menangis,"

Boruto terdiam, kami terdiam. Aku bisa melihat sorot sesal di iris saphirenya. Sebelah tanganku terulur membelai rambut pirangnya dengan lembut.

"Gomenasai," ucapnya pelan.

"Hah, sudahlah. Touchan tahu suatu saat hal ini akan terjadi," iris saphire Boruto menatapku bingung.

"Hei, hei.. Jangan kira Touchan tidak tahu kau menyelinap keluar rumah setiap malam," ucapku santai. Iris Boruto melebar, namun kemudian meredup kembali.

"Gomemasai," ucapnya lagi.

"Sudahlah. Tapi kau akan naik tingkat tiga musim semi ini, sebaiknya kurangi balapanmu. Fokus untuk ujian," saranku, lebih sebagai seorang teman.

"Ah, baiklah,"

"Yo, itu baru putraku -ttebayo," ujarku sambil mengangkat sebelah tanganku, mengajaknya high five.

"Arigatou Tou- ITTAI~ Kenapa Touchan memukulku?" geruto Boruto tak terima.

"Itu hukuman karena membuat Kaachan-mu menangis dan imotou-mu khawatir," ujarku santai. Boruto terlihat mendengus kesal.

Flashback Off

.

.

.

.

.

Malam pun datang. Tugas matahari telah digantikan oleh bulan dan bintang. Usai makan malam, kami semua berkumpul di ruang keluarga menyantap kue atau apapun yang dibuat oleh Hinata sebagai cemilan. Dan hari ini Hinata membuatkan kami Orange Cake kesukaanku.

"Himawari, bagaimana sekolahmu?"

"Baik-baik saja Touchan. Hima dapat banyak teman di sana," ucap Himawari ceria.

"Kudengar wali kelasmu Shino-sensei?" tanya Boruto.

"Iya, Niichan. Walaupun terlihat menyeramkan, ternyata Shino-sensei itu baik,"

"Hima-chan, tidak baik berbicara seperti itu tentang sensei-mu," tegur Hinata.

"Tapi Kaachan, Shino-sensei memang terlihat menyeramkan. Iya kan Niichan?" kata Himawari berusaha mencari bantuan.

"Entahlah," ucap Boruto datar sambil tetap memandang ponselnya.

"Ugh, Boru-nii menyebalkan. Awas saja kalau berani minta dukungan Hima waktu dimarahi Touchan atau Kaachan. Hima enggak akan bantu. TITIK," Himawari memajukan bibirnya cemberut. Aku dan Hinata hanya bisa tersenyum melihat ulah kedua anak kami yang memang sering bertengkar kecil.

Berbeda dengan Boruto yang sedikit cuek dan keras kepala, Himawari begitu ceria. Aku pikir gen Hinata-lah yang mendominasi di darah putri kami. Himawari sangat cekatan dalam segala hal. Juga pintar memasak seperti ibunya. Surai lavender Hinata bahkan menurun pada Himawari.

Ting tong !

"Biar aku yang buka," ujar Hinata sambil berjalan menuju pintu depan rumah kami. Walaupun samar, aku bisa dengar nama Boruto dan Himawari disebut-sebut oleh Hinata maupun tamu itu.

"Boruto-chan, Hima-chan, Shikadai dan yang lain menunggu kalian di ruang tamu," ucap Hinata begitu kembali.

"Ck, ternyata jadi ya," gumam Boruto lirih, namun masih terdengar ditelingaku.

"Jadi? Apa yang jadi Boruto?" tanyaku penasaran.

"Hari ini ulang tahun Inojin. Dia akan mentraktir kami semua ramen,"

"Kami?"

"Aku dan Hima, Touchan. Dengan teman-teman yang lain juga. Ayo, Hima," ujar Boruto meraih jaket dan kunci motornya.

"Tunggu Oniichan, kita kan harus meminta izin Touchan," ucap Himawari. "Touchan?!" panggil Hima lirih dan ugh- puppy-eyes andalannya kini menatapku penuh harap.

"Baiklah, baiklah. Karena besok libur kalian boleh pergi," putusku, tak tahan dengan rayuan putriku itu. Himawari meloncat girang kemudian melingkarkan sebelah lengannya ke leherku serta mengecup pipiku singkat.

"Arigatou Touchan. Touchan memang paling keren,"

"Tapi ingat, harus ada dirumah sebelum jam sepuluh. Terutama kau, Uzumaki Himawari," Himawari tersenyum lebar, meletakkan ujung jarinya di ujung alisnya.

"Siap bos. Ayo Oniichan," ujarnya sambil menyeret lengan sang kakak.

"Oi, oi. Jangan tarik-tarik -ttebasa!"

"Sudahlah, jangan protes. Ayo cepat,"

"Dasar anak-anak, mereka selalu saja bertengkar -ttebayo," ucapku lirik, kembali menatap layar televisi yang kini menayangkan berita.

"Tapi begitulah cara mereka menunjukkan kasih sayang, anata," aku meraih gelas teh yang baru saja dibawa oleh istriku tercinta.

"Benar juga. Aku tidak pernah tahu karena aku tidak punya saudara,"

"Tapi kau punya sahabat-sahabat yang baik, Naruto-kun," ucap Hinata menepuk-nepuk pelan punggung tanganku, membuatku lebih nyaman.

"Dan yang penting aku punya kau disisiku, Hinata," bisa kulihat semburat merah mulai menjalar dipipi wanitaku itu. Kusandarkan kepalaku dipundaknya.

"Biarkan begini," ucapku lirih, Hinata mengangguk.

.

.

.

.

.

Jam di dinding ruang keluarga sudah menunjukkan pukul 09.15. Masih ada 45 menit lagi sebelum batas yang kubuat bagi Boruto dan Himawari. Sebenarnya aku tidak terlalu khawatir jika hanya Boruto yang keluar. Dia laki-laki dan aku yakin dia bisa menjaga diri. Aku lebih mengkhawatirkan Himawari. Walaupun gadis kecilku itu bisa bela diri (berkat didikan Hinata), aku tetap tidak tenang.

Ting tong !

Dengan perlahan kulangkahkan kakiku menuju pintu depan. Aku lega dan sedikit kaget ketika pintu depan rumahku terbuka. Disana ada Himawari -yang membuatku lega- dan juga Shikadai -yang membuatku kaget-.

"Konbanwa, Uzumaki-jisan," ucap pemuda itu menundukkan kepalanya, memberi salam. Kutatap sejenak pemuda berambut nanas itu.

'Mirip sekali dengan Shikamaru,' batinku.

"Konbanwa Shikadai, panggil dengan nama depan saja. Aku dan kedua orang tuamu adalah sahabat sejak kecil, kau tidak perlu terlalu formal. Oh ya, bagaimana keadaan mereka?"

"Mereka baik-baik saja, Naruto-jisan. Sekarang sedang pergi ke Suna untuk menjenguk Gaara-jisan," ucapnya sopan.

"Souka~" iris saphireku beralih pada gadis lavender yang sedari tadi berdiri disamping Shikadai. "Himawari, mana aniki-mu?"

"Boruto-nii masih mengantar Sarada-nee, makanya Hima diantar Shikadai-nii,"

"Dasar anak itu. Baiklah, Hima segera masuk sudah malam. Shikadai terima kasih karena mengantarkan Himawari, titip salam untuk kedua orang tuamu,"

"Baik Jisan, akan saya sampaikan. Saya permisi dulu," ucap Shikadai.

"Arigatou, Shikadai-nii. Kiwotsukete," ujar Himawari sambil melambai-lambaikan tangannya.

"Hima," panggilku.

"Iya Touchan,"

"Kau menyukai si rambut nanas itu?" ucapku to-the-point. Benar-benar ayah yang tidak peka.

Walaupun samar aku bisa melihat pipi Himawari berubah merah. Dia sangat mirip Hinata jika seperti itu.

"Tou- Touchan ini bilang apa. Sudahlah Hima mau masuk," ujar Himawari sambil berlalu meninggalkanku yang masih terkikik geli di depan pintu masuk.

"Benar-benar masa muda -ttebayo," ucapku sambil menutup pintu depan kemudian menguncinya tanpa menunggu putra sulungku pulang. Anak itu bisa masuk lewat pintu samping atau memanjat pohon yang ada di dekat jendela kamarnya.

Naruto POV End

.

.

.

.

.

Normal POV

"Astaga, kenapa berantakan sekali?" iris Hinata melebar ketika memasuki dapur. Bagaimana tidak, berbagai bahan makanan berserakan. Dapur itu kini lebih mirip kapal pecah. "Boruto-chan, Himawari-chan, kalian sedang apa?"

"Etto~ Gomenasai Kaachan, kami sedang membuat ramen kesukaan Touchan," ucap Himawari ceria.

"Kenapa kalian tidak meminta bantuan Kaachan? Sini Kaachan bantu,"

"Tidak perlu Kaachan, aku dan Hima ingin membuat yang spesial untuk Touchan," cegah Boruto.

"Betul kata Niichan. Jadi Kaachan duduk saja," ucap Himawari sambil mendorong Hinata untuk duduk di kursi.

"Baiklah, terserah kalian," ujar Hinata mengalah. "Lalu kalian ingin membuat ramen apa?"

"Miso ramen," jawab Boruto singkat, sebelah tangannya mengaduk kuah ramen yang berwarna kuning kecoklatan yang sudah mendidih. Aroma gurih menyebar ke seluruh dapur.

"Kaachan, apa lauknya cukup?" tanya Himawari mengeluarkan beberapa kotak makanan. Hinata mulai mengecek topping yang sudah disiapkan putrinya.

"Daun bawang, daging ayam, nori, menma, irisan telur, acar jahe, kamaboko. Astaga Hima-chan, banyak sekali. Touchanmu pasti sangat senang," ucap Hinata sambil membanyangkan wajah sang suami saat menyantap ramen dengan lauk sebanyak itu.

"Hehehe, kan spesial untuk Touchan. Makanya lauknya banyak," Himawari tersenyum kemudian berlalu, mengecek mie yang sedang direbus.

"Tapi tidak sebanyak ini Hima-chan. Bisa-bisa berat badan Touchan kalian naik,"

"Tidak apa-apa, Kaachan. Sekali ini saja," ujar Boruto yang masih setia dengan kuahnya.

"Yei, mienya siap," pekik Himawari riang.

"Kuahnya juga sudah siap -ttebasa," imbuh Baruto sambil mematikan kompor listrik dihadapannya.

"Baiklah, sekarang bersihkan semua ini sebelum Touchan kalian pulang,"

"Siap bos," ucap Boruto dam Himawari bersamaan.

.

.

.

.

.

"Tadaima," ucap Naruto. Hening.

"Kenapa sepi sekali?" gumam Naruto melangkahkan kakinya memasuki ruang tamu. "Kemana Hinata dan anak-anak. Hem, baunya sedap sekali,"

Tanpa sadar Naruto melangkahkan kakinya menuju ruang makan.

"OKAERI TOUCHAN," teriak Boruto dan Himawari serempak begitu pria bersurai pirang itu tiba di ruang makan. Meja besar yang terletak ditengah sudah penuh dengan berbagai makanan dan minuman.

"Loh, ada apa ini? Kenapa banyak makanan? Ulang tahunku kan masih lama -ttebayo,"

"Tch, Touchan ini. Memang bukan perayaan ulang tahun," ujar Boruto.

"Lalu ada apa? Tumben sekali," Hinata terlihat tersenyum menghampiri sang suami.

"Mereka membuatkan sesuatu untukmu, anata. Lebih baik duduklah dulu," Naruto mengangguk pelan, menuruti permintaan sang istri.

"Ini spesial untuk Touchan. Hima dan Boruto-nii yang membuatnya sendiri," ucap Himawari sambil meletakkan semangkuk panas ramen dengan berbagai macam toping.

"Ini buatan kalian?"

"Iya Touchan,"

"Tumben sekali kalian baik pada Touchan," ucap Naruto sambil melayangkan tatapan menyelidik pada kedua anaknya.

"Touchan tidak sopan. Kami sudah susah membuatnya tapi Touchan berfikiran negatif," protes Himawari tak terima.

"Hehehe, gomen gomen. Lalu ada angin apa kalian membuat ramen ini untuk Touchan,"

"Sebagai ucapan terima kasih," ujar Boruto.

"Karena Touchan telah menjadi Touchan yang sangat baik dan keren," imbuh Himawari.

"Arigatou Touchan, atas semua yang Touchan berikan pada kami. Atas semua kasih sayang dan pengertian yang Touchan berikan pada kami. Dan maaf karena kami selalu menyusahkan Touchan. Walau Touchan tidak memperlihatkannya secara jelas, tapi kami tahu Touchan sangat sayang pada kami. Maaf karena hanya ini yang bisa kami berikan,"

Naruto terdiam. Menatap kedua anaknya bergantian. Ada rasa bangga, terharu dan bahagia terpancar dari tatapan Naruto.

"Kalian memang anakku yang paling hebat -ttebayo," ucap Naruto, menghapus air mata yang sedikit menggenang diiris saphirenya.

"Huwaa.. Touchan menangis -ttebasa," ejek Boruto dengan puasnya.

Bletak !

"ITTAI~" Boruto meringis kesakitan ketika jitakan sang ayah mendarat dikepalanya.

"Mata Touchan hanya kemasukan debu, bukan menangis," elak Naruto.

"Tch, Touchan tidak mau jujur,"

"BO-RU-TO," geram Naruto.

Bletak ! Bletak !

"ITTAI~" jerit Naruto dan Boruto bersamaan, menatap horor dua orang wanita bersurai lavender yang berdiri disamping mereka.

"Niichan berisik,"

"Anata, tidak baik bertengkar dengan anakmu sendiri. Apa lagi diruang makan,"

"Ha'i.." ucap keduanya pasrah.

"Yosh~ mari kita makan -ttebayo, aku sudah lapar,"

"Ittadakimasu~"

'Kami-sama, arigatou nee. Karena sudah memberikanku sosok ayah yang sangat hebat. Touchan, arigatou karena sudah membuat aku dan Oniichan menjadi anakmu,' batin Himawari tersenyum, kemudian menyantap ramen miliknya.

.

.

.

.

.

Fin

.

.

.

.

.

A/N :

OHAYOU MINNA~ ff singkat lagi dari Akemi, spesial untuk ayahku yang besok ulang tahun. Ah, Touchan Tanjoobi Omedetoo. Tetaplah menjadi hero untukku dan Arisa (adikku), tetaplah melihat kami tumbuh dan sukses.

Terima kasih kerena selalu mendengar keluhanku, terima kasih karena selalu menerima pendapatku, terima kasih karena selalu mendukung setiap keputusanku, terima kasih atas semuanya. Aku sayang padamu Touchan, sangat...

Yosh~ sekian ff dan curcol dari author. Semoga minna suka, jangan lupa review ya..

Sampai jumpa di ff selanjutnya.. Jaa nee~ Bye bye~ Adios~ Sayonara~

Sign,

Akemi Miharu dan Arisa Miharu juga (*^^*)

~28 Februari 2015~