Disclaimer: Naruto belongs to Masashi Kishimoto

Warning: AU, OOC, abal, typo.

Me and You in High School

Chapter 1

Angin yang semilir berhembus, mentari yang bersinar tak terlalu terik, langit yang cukup cerah. Suasana yang dirasa sedikit mirip dengan surga walau Hinata sendiri belum pernah melihat surga itu. Keadaan hampir saja sempurna jika seandainya pemuda ini, yang sedang berjalan di samping Hinata, tidak menggenggam tangannya erat, menyeretnya seolah gadis kecil yang tersesat, tanpa menyadari si gadis yang sangat tak nyaman dengan semuanya.

Ketika kaki mereka menginjak pekarangan sekolah, ketika itu juga Hinata merasa ingin sekali ditelan bumi. Wajahnya memerah semakin gelap menyadari pandangan setiap orang yang mereka lalui. Dalam hatinya hanya memohon satu: semoga 'dia' tak melihatnya.

"Angkat wajahmu," perintah suara dingin itu.

Mau tak mau, dengan lambat dan terkesan ogah-ogahan Hinata mengangkat wajahnya dan melihat lagi sosok yang membuatnya merasa terjebak di sini.

"Bagaimana kau mengantarkanku kalau kau bukannya melihat jalan, tapi melihat lantainya?" suara datar yang mulai terdengar sedikit kesal itu berkata lagi.

Ok. Hinata mulai merasa ingin menangis. Kenapa semua orang selalu bertindak seenaknya. Dia ingin melawan, tapi tak berani. Tatapan mata pemuda di depannya ini sama mengerikannya dengan tatapan Neji-nii saat sedang marah.

Omong-omong, memang siapa yang mau mengantar pemuda ini? Memang Hinata pernah bilang begitu?

"Ng…a-ano-"

"Kau yang menabrakku, dan sekarang kau mau lari dari tanggung jawab?" sahut pemuda itu.

Hinata menghela nafas. Usahanya untuk membela dirinya sendiri gagal. Syukurlah cita-citanya bukan jadi seorang pengacara. Yah, siapa yang berani membayangkan apa yang akan terjadi jika ada pengacara yang tak berani membela haknya sendiri seperti Hinata saat ini bertebaran di bumi?

Lagi pula, soal tabrak menabrak itu mungkin salah Hinata. Dia yang asyik melamunkan seseorang dengan rambut kuning jabrik tak menyadari kalau ada orang yang muncul di persimpangan. Ketika kakinya melangkah lagi, yang ia rasakan hanya sakit dan keadaan dirinya yang terduduk di pinggir jalan.

Sungguh benar kata paman Hizashi, bahwa keteledoran membuahkan kesialan.

Dan tak disangka, ternyata yang ditabraknya ini adalah orang yang kelihatannya suka memanfaatkan keadaan.

Bukan! Jangan berprasangka buruk dulu. Dia tak seperti yang pada reader pikirkan.

Dia tak seperti Jiraiya yang mesum yang suka aneh-aneh. Dia hanya seorang pemuda pindahan yang tak tahu letak sekolah barunya karena sang sepupu yang seharusnya mengantarkannya malah pergi duluan, meninggalkan dia yang kelihatannya tersesat. Dan sejujurnya, sudah setengah jam lebih dia berputar-putar di kompleks perumahan tanpa tahu arah yang benar.

Merasa mirip seseorang di karakter anime yang lain?

Maka dari itu, melihat Hinata yang mengenakan seragam sekolah dengan lambang sekolah yang sama dengan dirinya, sebuah ide terlintas dan dia mulai maju. Berjongkok di depan Hinata yang baru akan berdiri, mendekatkan wajahnya yang masih tetap datar hingga jarak beberapa senti, dan mulai bertanya, "Konoha High. Tahu?"

Hinata yang dapat merasakan nafas pemuda itu menerpa wajahnya, mengangguk dengan gugup. Wajahnya yang putih mulai merona. "I-iya."

Pemuda itu berdiri lagi, menatap Hinata yang malang, lalu melihat ke langit, "Cepatlah," ujarnya tanpa ada niat untuk membantu.

Jadi, di sinilah mereka sekarang. Koridor Konoha High.

Hinata memberanikan diri melihat pemuda yang masih saja menyeretnya menaiki tangga sekolah. Rambut merah, dengan mata jade yang entah kenapa serasa sayang untuk tak dilihat, hidung yang mancung, bibir tipis, bentuk wajah yang proporsional, tulang rahang yang terlalu jelas yang menunjukkan kalau pemuda ini orang yang keras. Matanya perlahan tertuju pada name tag yang ada di seragam si pemuda.

Sabaku Gaara.

"Mm… a-ano Sabaku-san… aku…k-kelasku di lantai satu, j-jadi…" Hinata ingin pergi segera.

Gaara mendengar tapi lebih memilih mengacuhkannya. "Ruangan kepala sekolah."

Hinata tak berani membantah lagi.

Say 'good bye' to good bye.

OoOo

Uzumaki Naruto, pria yang selalu membuat hati Hinata berdebar karena senyumannya yang lebih mirip cengiran, duduk di bangkunya sambil tertawa terbahak-bahak bersama beberapa temannya yang memiliki sifat yang tak jauh-jauh dari dirinya.

Lihat saja Kiba, bocah pecinta anjing, yang kadar keberisikannya hampir sama dengan Naruto. Atau Lee yang memiliki semangat berkobar dengan cengiran yang bahkan lebih parah dari Naruto. Mereka bertiga masih asyik cekikikan tanpa sadar kalau sepasang mata di sudut kelas mengamati mereka dengan seulas senyum.

Siapa lagi kalau bukan Hinata tercinta kita.

Dengan wajah yang sedikit memerah matanya terus terpaku pada satu sosok yang selalu membuatnya jadi ingin tersenyum sumringah sama seperti orang itu. Daya imajinasinya mulai berkembang, membayangkan seandainya si bocah blondie tersenyum seperti itu padanya.

Hinata mengalihkan pandangannya ke jendela yang persis berada di sebelahnya, berniat menghilangkan pikiran aneh yang barusan masuk ke dalam otaknya. Hari ini langit memang cerah.

Pandangannya langsung menubruk kerumunan siswa yang sedang bermain bola di lapangan. Kelas 1A memang sedang ada jadwal olahraga saat ini, jadi tak heran jika murid cowok lebih memilih main bola sepak untuk membunuh waktu yang masih tersisa. Tapi masalahnya bukan itu.

Di sana, di salah satu sudut kerumunan itu, seseorang yang tadi pagi menyeretnya, meminta bantuan tanpa mengucapkan 'tolong' dan 'terima kasih', berdiri di sebelah seorang cowok yang juga berambut merah. Hinata kenal orang itu. Dia…

"Sasori-kun?"

Hinata berjengit, menoleh ke samping.

Ino yang entah dari mana muncul, telah duduk di kursi sebelah Hinata sekarang. Ikut memandangi lapangan.

"Orang di sebelahnya itu… jangan-jangan sepupu yang pernah diceritakan olehnya." Ino asyik mengira-ngira sambil mengetuk-ngetukkan jari telunjuk di dagunya. "Siapa ya namanya? Aku rasa namanya…" pandangan Ino menerawang ke langit-langit, seolah ada jawabannya di sana.

"Sabaku-san?"

"Iya!" Ino berdecak, "Sabaku Gaara."

.

.

.

Hening sekitar beberapa menit, lalu Ino memecah kesunyian.

"Eh, Hinata-chan kenal, ya?"

OoOo

Sasori yang jengkel berjalan dengan kaki menghentak lantai. Dia melirik pada sepupu yang dari tadi setia mengikutinya. Merasa emosi yang sudah memuncak, dia berhenti. "Kau kenapa, sih?"

Gaara tak menjawab.

"Kau mengikuti ku terus! Itu menyebalkan!" Sasori setengah berteriak, "Kau itu seperti stalker!"

Gaara masih tenang, hal itu membuat cowok keren di sebelahnya frustasi. Sasori menjambak rambutnya sendiri, berniat ingin menyalurkan emosinya tapi justru membuat Gaara ingin tertawa mengasihani sepupunya yang bodoh ini.

"Aku baru di sini." Gaara menutup mulutnya lagi. Berharap Sasori mengerti apa maksudnya.

"Jadi apa masalahnya? Kenapa mengikutiku? Itu sama sekali tak ada hubungannya!"

Ternyata Sasori memang bodoh.

"Gaara, dengarkan aku. Aku mau berkencan dengan Ino. Kalau kau ikut, namanya bukan kencan."

Seumur-umur pun Gaara nggak akan pernah mau kalau disuruh ikut ke acara pacarannya orang. Dia nggak berminat dengan hal yang begituan. Baginya, jauh lebih menyenangkan bermain game, atau makan, atau berlatih karate. Urusan yang berbau dengan perasaan, gelora, rasa, cinta, membuatnya sedikit mual. Dia adalah seorang lelaki kuat yang tak perlu memiliki cinta. Cinta hanya akan membuatnya lemah.

Tapi sekarang bukan itu masalahnya.

"Aku nggak tau jalan pulang."

Sasori menepuk jidatnya hingga menimbulkan cap tangan merah di sekitar kening. "Argh!"

"Sasori-kun?"

Suara feminim yang didengar Sasori membuatnya merasakan damai seketika. "Ino-chan…"

Gaara memandang tak berminat pada sepupu yang sedang berlari ke arah kekasihnya di depan pintu kelas. Kenapa tiba-tiba jadi mirip film Bollywood?

Jangan heran Gaara tahu jenis film begituan. Temari yang terus mencekokinya dengan hal itu saat mereka masih tinggal satu rumah.

"Em… kalau begitu, aku duluan ya?"

Suara yang barusan didengar Gaara membuat pemuda itu mengalihkan fokusnya pada seseorang di balik tubuh Ino.

"Eh! Tunggu Hinata!" Sasori memanggilnya.

Gadis itu berhenti. Berbalik dengan pandangan bingung, "Ng…ano…kau kan satu arah dengan rumahku…jadi…tolong antarkan sepupuku, ya?"

Ting.

Tong.

Hinata mengikuti arah yang ditunjukkan telunjuk Sasori. Matanya melebar.

"Hai!" Sapa Gaara datar dengan tangan kanan terangkat. Mencoba ramah yang sebenarnya lebih terkesan aneh.

Oh my…

Tanpa banyak omong Gaara langsung berjalan dan menarik tangan Hinata.

…God.

OoOo

"Mm…Sabaku-san baru pindah ke sini?" tanya Hinata yang berniat mencairkan suasana yang senyap ini.

"Hm." Hanya dua konsonan yang dilontarkan Gaara. Kelihatan sekali dia tak tertarik untuk bicara.

"Ng, b-bagaimana-"

"Bisa tidak berbicara tanpa tersendat?"

Hinata tersentak.

Baiklah. Ini bukan kemauannya. Bukan salahnya kalau ia menjadi gugup seperti ini. Salahkan Gaara yang terus mengenggam tangannya semenjak meninggalkan Sasori dan Ino untuk kencan. Kenapa harus Gaara yang merasa terganggu? Bukankah Hinata tadinya ingin meminta Gaara melepaskan tangannya tapi cowok di sebelahnya ini terlalu tak sabaran hingga memotong ucapannya.

Dengan menggigit bibirnya Hinata berusaha untuk sedemikian rupa agar tak terisak. Untunglah rambutnya panjang sehingga bisa menutupi wajahnya yang sedikit basah. Hinata menunduk menatap jalan yang mereka lalui.

"Kau itu suka sekali menunduk, heh?"

Hinata tak menjawab. Gaara yang sebenarnya tahu ada yang ganjil malah cuek bebek.

Tak lama, Gaara telah tiba di rumahnya dengan selamat sentosa. Matanya masih asyik memandangi Hyuuga yang ternyata berumah tepat di depan rumahnya –rumah Sasori tepatnya. Sampai Hinata menghilang di balik pintu, baru dia masuk ke dalam rumah.

Sedikit menyeringai Gaara sepertinya sudah punya sedikit rencana untuk besok. Dia akan pastikan kalau besok dia tak akan telat atau tersesat. Ya. Tentu saja!

Dan entah kenapa Hinata yang berada di rumahnya merasa tak enak.

Apakah ini firasat seorang gadis? Atau hanya intuisi seorang wanita yang merasa dirinya dalam bahaya?

TBC

Haze datang dengan fic yang nggak jelas lainnya. Haduh, setelah diteliti, fic 'Pandakun Says' itu endingnya memang agak rush. Ahaha… maaf…

Yah, fic ini bisa dibilang sebagai rasa syukur saya karena ternyata nilai yang saya peroleh nggak jelek-jelek amat.

HORREE! *niup terompet*

Semoga semester depan nggak menurun, malah meningkat.

Amin…

Saya tahu mungkin yang satu ini agak kurang menarik, tapi boleh kan minta review pada readers sekalian? *puppy eyes no jutsu* taboked#tepar

Mind to Review?