Warning: AU, OOC, Don't like? Don't read!
Disclaimer: MASASHI KISHIMOTO.
.
.
.
Pagi hari yang panas bersama hembusan udara yang diciptakan oleh kendaraan yang berlalu lalang—alias asap polusi.
Adalah seorang gadis yang berambut indigo panjang—yang tengah berjalan di pinggiran jalan Konoha. Dengan membawa seberkas map-map yang isinya ijazah dan surat-surat lulus lainnya—ia berencana akan melamar pekerjaan di salah satu sekolah yang terbilang biasa saja.
Sebuah sekolah yang cukup besar—yang letaknya berada di pinggiran jalan besar ini.
Semoga semua berjalan dengan lancar.
Hanya itu doa yang selalu diucapkannya kala pagi datang, ia selalu tulus dengan hasil yang dicapainya, apapun itu.
Tiga tahun sudah ia menyelesaikan kuliahnya disalah satu perguruan tinggi di Konoha. Beberapa minggu yang lalu ia sudah memakai baju toga. Rasanya masa-masa belajar sangat terasa singkat.
Teng-Teng-Teng-Teng.
Baru saja ia menginjakkan kaki di depan halaman SD—tempat yang ditujunya ini, bunyi suara lonceng pun terdengar. Buru-buru Hinata mempercepat laju langkah kakinya sampai ia berada di sebuah ruang kepala sekolah.
"Selamat siang, Pak." sambil mengucapkan salam Hinata membuka pintu kantor tersebut.
Di dalam sana ada seorang pria yang tengah duduk di meja kerjanya dengan tenang. "Oh, Hinata ya?" sang pria ternyata sudah menduga akan kedatangan Hinata, "silahkan duduk."
Hinata mengangguk, kemudian ia berjalan dan langsung duduk di depan meja tersebut. Sejujurnya Hinata sekalipun tidak pernah melamar pekerjaan, ia tidak tahu harus berbicara apa untuk memulai semua itu.
Melihat Hinata hanya diam saja, sang pria—yang diketahui kepala sekolah itu bicara langsung pada intinya, "Sasuke sudah bicara padaku, mulai besok kau mengajar di kelas 5-A."
"I-iya." Hinata juga sudah menduga hal ini, pasti sang kekasih—Sasuke sudah membicarakannya kepada kepala sekolah yang berada di depannya ini. Untung saja sang kepala sekolah adalah kakak Sasuke itu sendiri.
Diam-diam ia hanya bernapas lega. Sungguh ini adalah kali pertamanya ia melamar kerja. Rasanya sekarang juga ia ingin bertemu dengan Sasuke dan... dan memeluknya erat mungkin.
"Te-terima kasih."
Beberapa obrolan singkat tentang cerita sekolah ini dijelaskan oleh pria itu. Sambil mendengar cerita sang kepala sekolah Hinata melirik nama yang berada di atas meja kerjanya. Di sana tertulis sebuah nama; Itachi Uchiha.
Oh, ternyata nama kakak Sasuke adalah Itachi. Selama ini Hinata tidak pernah tahu itu.
Sebenarnya Hinata paling tidak suka bicara panjang lebar dengan orang asing. Kalau boleh memilih ia lebih suka Sasuke saja yang menjelaskan tentang pekerjaannya di sekolah ini.
Sang kepala sekolah mengulurkan tangannya kepada Hinata. "Semoga kau betah di sini."
"Terimakasih banyak," jawab Hinata sembari membalas uluran tangan Itachi. Setelah itu ia pun bergegas keluar dari sana dan segera ingin bertemu dengan Sasuke.
Baru saja Hinata kembali menutup pintu ruang kepala sekolah itu—kala itu pula ia mendapati Sasuke yang berdiri sambil menyenderkan punggungnya di samping pintu tersebut.
"Sasuke?" Hinata langsung menghambur ke dalam pelukkan pria itu. Entah mengapa kalau memeluk Sasuke rasanya, ehm... mungkin sudah kebiasan Hinata selama ini ketika merasa senang dengan apa saja yang diperolehnya. Dan sang kekasih pun tidak keberatan dengan kebiasaan Hinata walau ia memeluknya di depan umum.
Bagi Sasuke pun tubuh mungil Hinata sangat nyaman didekap, mereka merupakan pasangan yang serasi memang.
"Ma-maaf." Hinata langsung menarik dirinya dari Sasuke—sedikit mengambil langkah mundur sebelum orang lain ada yang melihatnya. Apalagi kalau anak SD yang melihat ini.
"Terimakasih, Sasuke." entah sudah berapa kali Hinata mengucapkan kata-kata itu untuk hari ini.
Sasuke hanya menarik senyum tipis. "Hn, kau memang cocok jadi guru SD."
Hinata hanya tersipu malu mendengar ucapan dari sang kekasih. Memang inilah cita-citanya. Ia suka anak-anak yang baru menginjak remaja, bagi Hinata mereka sangat lucu dan juga polos seperti dirinya. "Kau tidak bekerja?"
"Hari ini, aku ingin keluar bersama denganmu saja."
Sudah lama sekali Hinata ingin mendengar ajakkan itu dari Sasuke. Ia langsung menjadi gugup sendiri. Selama ini Sasuke jarang sekali mengajaknya keluar bersama. Paling hanya bermain ke rumahnya saja, atau Sasuke-lah yang tiba-tiba datang ke rumahnya.
Sepertinya hari ini adalah hari keberuntungannya.
"Ayo aku yang traktir." tidak mau berbasa-basi lagi, Hinata langsung menarik lengan Sasuke agar pria itu mengikuti langkahnya.
.
.
.
Hinata melirik jam di pergelangan tangannya. Hari menunjukkan pukul empat sore. Sudah seharusnya ia berada di rumah sekarang. Sudah seharian ia bersama dengan Sasuke hari ini. Dan ia sudah merasa lelah.
Tapi, ia masih ingin berlama-lama dengan sang kekasih.
"Sasuke?"
Sasuke menoleh menatap Hinata yang masih berjalan beriringan dengannya untuk sampai menuju ke rumahnya.
Tanpa bicara gadis itu mencium pipi Sasuke sekilas membuat rona merah tipis keluar dari pipinya sendiri.
"Hahahaha..."
Entah sudah berapa lama mereka tidak tertawa lepas. Jika kebersamaan yang jarang terjadi. Rasanya kalau sudah terwujud memang luar biasa.
"Masuklah ke dalam, aku menunggu." ujar Sasuke ketika mereka berdua sudah berdiri di depan rumah Hinata.
"Kau saja yang duluan pulang."
"Pulanglah, nanti ayahmu marah."
Hinata hanya mengangguk lemah, "baiklah, bye bye!" setelah itu Hinata segera masuk ke dalam pagar rumahnya.
"Jangan lupa besok kau bekerja, bye." setelah itu pula Sasuke pun segera berbalik mengambil langkah menjauh dari sana.
Hinata pun langsung masuk ke dalam rumah dan duduk di tangga yang terdapat di depan pintu dalam rumahnya. Sementara itu ia mencoba melepas sepatunya.
Sasuke.
Rasanya ia memang gadis yang paling beruntung sedunia. Mendapatkan pria yang baik seperti Sasuke. Di bantu masuk kerja oleh Sasuke. Diajarkan banyak hal oleh pria itu. Walau terkadang pria itu sangat dingin. Pokoknya ia sangat merasa senang.
Hinata langsung berdiri kembali dari duduknya. Tanpa alas kaki ia menuju keluar rumah lagi. Ia memandang lurus pada jalan yang tadi ditelusuri Sasuke. Ternyata pria itu sudah menghilang dari sana.
Ya sudahlah, ia hanya menghela napas pelan. Hanya saja ia ingin melihat pria emo itu sekali lagi untuk hari ini.
"Eeeh!" Hinata langsung terkejut ketika pandangannya beralih di depan pagar rumahnya. Ia tersentak kaget ketika mendapati seorang pemuda yang lebih tinggi darinya—berambut merah yang di dahinya ada tatonya. Apa dia preman di sini? Sepertinya Hinata baru melihatnya.
"A-ada apa ya? Mencari siapa?" dipikiran gadis itu, ia mengira pria itu adalah teman kakaknya—Neji.
"Kau Hinata, kan? Benar ini rumahmu?" tanya pemuda itu yang sedikit membuat Hinata bingung. Jelas saja ia bingung. Belum lagi nada suara pria itu yang terdengar dingin, datar dan sedikit mengerikan.
Bagaimana bisa pria ini mengenalnya padahal sedikitpun ia tidak pernah bertemu dengannya. "Ma-maaf kau siapa?" dengan wajah polosnya Hinata bertanya begitu.
"Benar, kau Hinata Hyuuga." pria itu malah menarik senyum yang terlihat hampir menyeringai.
Tentu saja Hinata tidak terpesona dengan senyum itu. Baginya Sasuke-lah yang terbaik.
"Iya, a-aku Hinata." ingin melangkah mundur tapi ia gugup.
"Aku Gaara. Sabaku Gaara."
"Oh..." hanya itu kata yang terlempar dari mulut Hinata. Sesaat mereka saling diam, dan Hinata malah menggaruk pipinya. Kalau saja sekarang malam hari mungkin bunyi jangkrik akan terdengar dengan jelas.
Rasanya sekarang juga Hinata ingin masuk ke dalam rumahnya dan mengunci pintu rapat-rapat.
"Sepertinya kau lupa," Gaara angkat bicara karena sudah agak lama Hinata membuang waktunya.
"Ma-maaf,"
Gaara sudah menduga hal ini terjadi. Mungkin sedikit bercerita dengannya tak apa.
Gaara tahu, Hinata bukan pikun. Ia hapal sifat Hinata walau ia tidak mengenalnya lama. Gadis itu hanya mau memikirkan satu hal saja di setiap waktunya. Ia tidak suka pikiran yang bercabang. Itulah yang tertulis di blog milik gadis indigo itu.
"Aku pria yang yang waktu itu kau tolong."
"To-tolong?"
Tentu saja hal ini Hinata pasti lupa. Karena mereka berdua hanya bertemu satu kali seumuran hidup mereka. Beruntunglah Gaara yang mempunyai ingatan kuat itu.
"Pria yang bertemu denganmu di bandara dan..." haruskah Gaara memberitahukan kelanjutan ceritanya bahwa sewaktu itu ia dikeroyok di bandara?
Sepertinya itu tidak baik untuk sekarang.
"Engh, masuklah dulu ke dalam." Hinata membukakan pintu pagar rumahnya dan mempersilahkan Gaara masuk.
Gaara masuk lalu duduk di tempat yang di tuju Hinata—tempat duduk halaman depan rumahnya.
Tidak enak bagi Hinata pria dan perempuan berlama-lamaan di depan rumah hanya sekedar untuk bicara. Bisa saja mereka dilihat oleh tetangga lalu menjadi bahan gosipan di sekitar sini.
"Itu, kapan ya?" tanya Hinata dengan maksud ucapan Gaara yang terpotong tadi. Rasanya ia sedikit mengingat hal itu.
"Beberapa bulan yang lalu."
"Oh, iya aku ingat!" Hinata terlanjur berteriak karena otaknya sudah teringat akan sesuatu. "Ma-maaf," ia mengecilkan suaranya. "K-kau yang waktu itu kena... keroyok?"
Gaara hanya meghela napas dan bersyukur kalau ternyata Hinata sudah ingat.
"Kita hanya bertemu sekali tapi kau mengingatnya." Hinata diam sebentar. "Kau tahu darimana rumahku?" tanya Hinata.
"Dari blogmu. Blogmu aku tahu karena aku mencarinya sendiri."
Hinata tidak menyangka ternyata ada juga yang mengunjungi blognya. Padahal jarang sekali ia menulis di sana. Hanya beberapa curhat yang baginya sangat tidak penting juga tidak jelas.
"Boleh tanya sesuatu?"
"Tanya saja."
"Kenapa kau dikeroyok waktu itu?"
"Oh, itu karena kakak perempuanku kesal padaku."
Hinata tidak menyangka, ternyata tebakkannya salah. Dikiranya kemarin Gaara dikeroyok karena melakukan sesuatu yang merugikan orang lain.
"Benarkah?"
"Waktu itu aku kabur dari rumah. Makanya aku dihajar oleh suruhan dia," jelas Gaara apa adanya. Gaara jadi ingin menganggu kakaknya sekarang. Habis Nee-chan-nya sering berbuat kejam padanya. Tapi, terkadang salah Gaara sendiri yang seenaknya kabur dari rumah. Itu hanya cerita dahulu.
Dan sekarang, ia sudah bisa berpikir yang mana yang baik dan buruk. Semua itu berkat kekerasan Temari—kakaknya yang mendidiknya sebagai pengganti ibunya.
"Tapi, setelah itu kau pulang ke rumahkan? Maaf, waktu itu aku buru-buru jadi aku tidak bisa membantumu berlama-lama."
"Iya, tidak masalah. Yang penting karena kau mereka berhenti menghajarku." Gaara mengingat waktu itu Hinata berani sekali menarik baju para suruhan kakaknya untuk menghentikan aksinya. Tentu saja Hinata waktu itu melakukannya tanpa pikir panjang untuk membantu Gaara yang belum dikenalnya kemarin. Untung suruhan kakaknya waktu itu tidak mau memukuli Hinata juga.
Mungkin saja, kalau Hinata tidak datang, Gaara akan berakhir di rumah sakit untuk yang kesekian kalinya.
Gaara melirik jam tangannya. Sepertinya sebentar lagi hari akan gelap. Ia berdiri dari duduknya—membuat Hinata yang memandangnya tadi mendongakkan kepalanya.
Lagi-lagi Gaara menghela napas untuk mengatakan apa tujuannya yang rela jauh-jauh datang kemari. Jujur saja Gaara sendiri tidak percaya akan hal itu.
Ya ampun, sejak kapan ia merasakan hal ini? Perasaan aneh dan tidak jelas. Mungkin setelah ini ia harus ke rumah sakit jiwa. Tapi, kalau dipendam saja, mungkin ia akan merasa bersalah pada dirinya. Ia juga bingung.
Baru kali ini ia menyukai seorang perempuan.
"Mulai sekarang, aku ingin kau mencoba lebih mengenalku."
"Eh?" Hinata langsung tersentak kaget karena perkataan Gaara. Apa maksudnya pria ini berbicara begitu? Ia semakin merasa pria ini dari keluarga yang tidak baik. Lagipula dari perkataannya ia terkesan memaksa.
"A-aku senang bisa berteman denganmu." Hinata mencoba menarik senyum terbaik yang ia milikki.
"Tidak. Lebih dari itu. Kau mengertikan?" ujar Gaara benar-benar terkesan memaksa. Ia paling malas kalau harus bicara—apalagi pengungkapan seperti ini dengan diperjelas. Cukup orang yang diajak bicara itu mengerti sendiri.
Dan bagi Hinata sepertinya ia butuh kejelasan. Apa-apaan pria ini? Tiba-tiba memaksanya untuk mengenalnya lebih dekat. Ia harus segera memberitahukan ini kepada Sasuke nanti.
"Ja-jadi pacarmu?" tanya Hinata ragu-ragu dan tentunya dengan kepercayaan diri karena sudah menebak itu.
"Kalau kau setuju, aku mau menikah denganmu."
What? Dengan lancar dan dinginnya pria itu berkata. Apa maksudnya?
"Aku bawa cincinnya."
Benar-benar Hinata tidak mengerti. Orang ini mungkin sudah gila karena sering dipukuli. Tapi, dari penampilannya sungguh tidak menunjukkan kalau ia gila. Ia malah memakai jas dan celana yang rapi. Seperti seorang direktur mungkin.
Kalau ia direktur, lalu kenapa tampangnya menyeramkan seperti itu?
"A-aku tidak mengerti maksudmu. Mungkin kau salah orang." Hinata sungguh merasa dipermainkan oleh seorang pria. Ia ingin segera ke kamarnya sekarang juga. "K-kau tidak bisa memutuskan langsung seperti itu." Hinata mencoba berdiri dengan kaki yang gemetaran.
"Kenapa? Aku serius." ekspresi Gaara masih tetap datar. Kalau saja sekarang ia sedang akting, ia sudah dipecat dari film itu. Karena raut dan perkataannya sama sekali tidak senada.
Sepertinya Hinata harus menjelaskan sesuatu dahulu agar pria itu mengerti. "Me-menikah itu bukanlah sesuatu yang mudah. Dan bukanlah hal yang terburu-buru. Se-semua itu butuh proses."
"Oh... bagimu seperti itu ya? Jadi, kau menolakku?"
Sekarang, Hinata malah merasa bersalah. "Bu-bukan." tapi memang sih, Hinata memang menolaknya, "ma-maaf..." hari ini Hinata sungguh sudah bosan bicara maaf terus dengan pria ini. "Aku sudah punya pilihan. Sampai jumpa." Hinata membungkukkan badannya, berpamitan—berharap segera lari dari pria itu.
"Oh, pria yang tadi itu ya?"
Langkah Hinata yang akan berbalik terhenti karena ucapan Gaara. Ternyata pria ini sudah mengetahui dan melihatnya sendiri. Lantas, kenapa masih mengganggunya? Benar-benar tidak berpendidikkan!
"Tidak masalah," gumam Gaara sendiri.
Ya Tuhan, dosa apa yang sudah dilakukan Hinata sehingga membuat ia harus mengalami hal semacam ini?
Kalau saja ada orang di dalam rumahnya mungkin ia akan berteriak minta bantuan untuk mengusir pria ini.
"Dan aku pasti akan datang dilain waktu. Sampai jumpa." sebelum Gaara pergi meninggalakan rumah itu, ia sempat menaruh kotak cincin di atas tempat duduknya.
"Hei!" Hinata langsung meraih kotak merah kecil tersebut lalu mengejar Gaara yang sudah keburu keluar pagar. "Cincinmu tertinggal!" sayangnya suara Hinata terlalu kecil untuk berteriak. Sehingga tubuh Gaara sudah menghilang masuk ke dalam mobilnya—yang terparkir tidak jauh dari sana.
Hinata keluar pagar rumahnya dan menuju mobil Gaara. Tapi terlambat, mobilnya sudah melaju dengan meninggalkan asap dari cerobongnya.
Digenggamnya erat kotak cincin merah itu. Sama sekali sedikitpun ia tidak berniat untuk membuka isinya. Mungkin lebih baik, jika ia melihat Gaara datang lagi, ia akan melemparinya dengan kotak merah cincin tersebut.
Dan apabila ia menceritakan ini kepada Sasuke, Sasuke pasti marah. Mungkin juga lebih baik tidak usah diceritakan saja. Mengingat ceritanya sangat tidak masuk akal.
Hinata salah. Hari ini bukanlah hari keberuntungannya.
.
.
TBC
.
.
A/N: Rencananya sih 3shot, semoga enggak panjang. Maaf ya kalau banyak kesalahan dan ceritanya ngawur abis (otak benar-benar lagi konslet) bikinnya aja ngebablas, abis aku suka Gaara yang pemaksa #plak. OOC banget deh kayaknya.
Yang pasti aku cinta sama pair ini #kumat
-Thanks for reading-
