Monochrome Tune
by
Shigure Haruki
Rated : T
Summary :
"Kalau begitu kau harus mendengarnya suatu saat nanti. Aku akan bernyanyi 'live' khusus untukmu di pertemuan kita selanjutnya."
Lagi-lagi Ciel tersenyum mendengarnya. Kali ini tampak dipaksakan karena tersirat kesedihan di dalamnya, namun luput dari perhatian si raven.
Warning : AU, OOC, shonen-ai, gombal *plaak*, typo -maybe- and bad grammar alert. You've been warned. Don't like don't read.
Disclaimer : Kuroshitsuji punya Yana-sensei. Semua orang juga tau saya cuma pinjem. Tapi plot ini punya saya loh. *sweatdrop*
Enjoy...
I
Adagio
.
.
Seorang pemuda bertubuh tinggi tegap berbalut busana serba hitam berjalan menyusuri taman kota. Sepasang lensa kelam ia kenakan untuk menyembunyikan mata crimsonnya yang dapat meluluhkan siapapun yang melihatnya. Tak lupa sebuah topi hitam yang menyembunyikan rambutnya yang seindah malam hingga hanya menyisakan rambut bagian depannya.
Hitam. Hanya satu kata itu yang dapat melukiskan rupa sang pria rupawan. Namun, tetap saja beberapa gadis melirik ke arahnya sambil menggumamkan ketampanannya. Haaah, dasar artis!
Pemuda tersebut adalah Sebastian Michaelis, musisi belia yang tengah naik daun karena suaranya yang menghanyutkan dan talenta bermusiknya yang mengagumkan. Kemampuannya merangkai bait demi bait pun tak diragukan lagi. Tak heran lagu-lagunya selalu menjadi hits di kalangan anak muda seusianya. Ya, Sebastian meraih semua ketenaran itu di usianya yang baru 17 tahun. Luar biasa bukan?
Hari ini memang bukan hari yang istimewa, hanya satu hari musim gugur di London. Di hari yang biasa-biasa ini, Sebastian melarikan diri dari agensi dan manajernya untuk melepas stress.
Stress? Orang setenar dia bisa stress? Ya ampun Sebastian, apa sih yang tidak kau miliki? Ketampanan, kepandaian, kekayaan, kepribadian, segalanya lengkap pada dirimu. Seolah-olah Tuhan telah melakukan kesalahan karena telah menciptakan manusia sesempurna engkau. Tapi di sinilah kau sekarang, duduk seorang diri di tengah bangku taman Grenchilled Park. Berusaha melepas penat karena pekerjaan.
"Haah, sial … " gumam Sebastian sambil menyandarkan punggungnya ke bangku taman.
Hal apa yang membuat seorang Sebastian Michaelis sampai frustasi seperti itu? Karena ia belum memiliki seorang kekasih? Tolong, ya… dia ini digilai banyak fans perempuan. Jika memang ingin tinggal pilih saja bukan? Hanya Sebastian saja yang belum ingin. Hubungan seperti itu harus benar-benar dengan orang yang tepat, kan?
Lantas apa? Mungkin bosan? Ya, bosan. Sebastian yang sudah berada di puncak merasa bosan dengan kesibukannya. Rasanya ia ingin berhenti saja. Ia benar-benar merasa kehilangan alasannya untuk bermusik.
.
.
"Kak! Kakak sedang apa di sini sendirian?"
Sebastian menoleh ke arah sumber suara. Ternyata seorang anak laki-laki. Umurnya kira-kira 12 tahun. Rambutnya biru kelabu, serasi dengan kedua bola matanya yang seindah langit, menantang batu safir dengan keindahannya. Anak itu mengenakan busana kemeja lengan pendek putih dan celana hitam selutut. Tanpa sadar Sebastian tengah menatapi anak di depannya dalam diam.
"Umm… mungkin sedang merenung," jawab Sebastian salah tingkah karena menyadari bahwa tanpa sadar ia tengah mengagumi paras anak itu.
"Merenung? Merenungi apa?" tanya sang anak laki-laki sambil mengambil tempat duduk di sisi kiri Sebastian tanpa diminta.
Sebastian tidak menjawab. Siapapun tentu akan bingung harus berkata apa saat berada dalam situasi seperti ini, kan? Setelah melarikan diri dari pekerjaan, masa ia masih harus berbohong pada anak kecil yang tidak dikenalnya?
"Kakak kabur dari pekerjaan, ya?"
DEG. Kedua orb crimson itu melebar.
Tunggu! Kok bisa tepat, ya? Sebastian tak pernah mengatakan apa pun mengenai alasan keberadaannya di sini. Ia bahkan tak menjawab sama sekali. Lantas mengapa anak ini bisa tahu? Jangan-jangan anak ini paranormal?
"Kenapa kau berpikiran seperti itu?" tanya Sebastian penasaran masih berwajah bingung.
"Intuisi mungkin? Atau logika? Habis kakak berpakaian serba hitam dan tertutup di hari secerah ini. Selain itu kakak juga mengenakan topi dan kacamata hitam, seperti sedang dalam penyamaran. Jadi kupikir kakak sedang melarikan diri dari pekerjaan atau sejenisnya. Dan dari penampilan kurasa kakak seorang model atau sejenisnya. Bagaimana?"
Sebastian terperangah mendengar jawaban dari anak yang sedang tersenyum manis di depannya. Anak yang cukup pintar untuk usianya yang mungkin masih sepuluh tahun.
"Oh, ya? Bagaimana seandainya aku seorang buronan?" si raven mulai tersenyum dan menguji anak itu.
"..."
"..."
"Kalau memang buronan masa bisa duduk santai di bangku taman yang dilalui banyak orang begini, sih? Lagipula penampilan kakak tetap mencolok. Buktinya dari tadi banyak anak perempuan yang melirik kakak, loh," jawab bocah bermata biru itu dengan santai.
"Hahaha. Kau memang anak yang tak terduga," ucap Sebastian, "Lagipula setiap anak pasti selalu diperingati orang tuanya untuk tidak menyapa orang mencurigakan, bukan?"
"Mungkin karena aku tidak pernah mengenal mereka," gumam anak itu pelan dengan mata yang hampir tertutup. Sebastian berani bersumpah ia menangkap kesedihan dalam setiap kata yang diucapkan anak itu. Namun, ketika Sebastian menatapnya anak itu tengah tersenyum manis, menorehkan luka menyakitkan bagi sang pemuda bermata seindah ruby.
"Maaf," ucap Sebastian lirih. Ia melepas kacamata yang sedari tadi ia kenakan lalu meletakkannya di bagian bangku yang kosong. Kemudian ia menyembunyikan mata indahnya di balik bulu mata yang hitam panjang.
"Kenapa minta maaf?" anak laki-laki itu memiringkan kepalanya, tanda tak mengerti.
"Karena kata-kataku membuatmu berwajah seperti itu."
"Kakak tidak suka aku tersenyum?"
"Jangan berbohong padaku," ucap Sebastian lembut sambil menyentuh kedua belah pipi si rambut kelabu. Ia tatap dalam kedua orb safir itu, mencoba menelusuri setiap bayang-bayang kelam yang tersembunyi di balik biru jernih.
Wajah si empunya orb safir mulai memerah. Malu ditatap lembut oleh orb crimson yang rupawan. Pemuda di hadapannya ini seolah menyuruhnya untuk bersandar dan membagi beban.
"Maaf aku sudah berbohong," ucap anak laki-laki berwajah manis itu tanpa berusaha melepaskan diri. Tidak pula berusaha untuk mengalihkan pandangan dari kedua manik seindah ruby itu. Wajahnya yang masih memerah dihiasi sebentuk penyesalan terpantul di kedua bola mata Sebastian.
"Tak apa. Tak mungkin kau mau menceritakan masalah pribadi pada orang asing sepertiku bukan? Orang yang namanya saja kau tidak tahu," ucap Sebastian seraya melepaskan kedua tangannya dari wajah anak itu. Wajah manisnya kembali memerah begitu sadar merasa kehilangan kehangatan tangan sang musisi.
"Aku tahu, kok," anak itu memalingkan wajahnya sesaat, "Sebastian Michaelis, kan? Aku baru sadar saat menatap kedua mata kakak. Tidak banyak artis di London yang bermata semerah delima."
"Kalau begitu curang sekali, ya. Aku bahkan tidak tahu siapa namamu," Sebastian tertawa kecil. Rupanya anak manis ini sudah tahu siapa lawan bicaranya.
"Ciel... Namaku Ciel Phantomhive. Aku tidak menyangka dapat berkenalan dengan orang setenar kakak di sini," jawab Ciel malu. Ia baru sadar akan kelancangannya yang tidak memperkenalkan diri terlebih dahulu sejak awal.
"Ciel, ya? Nama yang manis. Cocok sekali dengan parasmu yang elok, terutama dengan warna kedua bola mata itu. Kuakui aku sempat tersesat di dalam sana," ujar si raven sambil kembali menyentuh pipi kanan Ciel.
"Gombal," lirih Ciel lagi-lagi memalingkan pandangannya meski sesaat, "aku ini anak laki-laki tahu..."
"Aku tahu, kok," Sebastian tersenyum, "biar kutebak yang lainnya. Umurmu sepuluh tahun, kan?"
"Dua belas!"
"Maaf, tidak kelihatan," Sebastian tersenyum usil.
"Maksud kakak?" Ciel berusaha memukul anak laki-laki yang lebih tua darinya itu. Kesal. Itu sama saja Sebastian mengatainya pendek. Namun, kepalan tangannya ditangkap pelan oleh Sebastian.
"Panggil aku Sebastian," ucapnya dengan nada tegas seolah memerintah dengan tatapan agak menusuk.
"Se... bas... tian," entah untuk keberapa kalinya wajah Ciel memerah hari ini. Rasanya Sebastian tak kunjung kehabisan akal untuk membuatnya salah tingkah.
"Manis," gumam Sebastian melihat ekspresi wajah Ciel.
"Berhenti menggodaku!" Ciel menepis tangan Sebastian yang dari tadi masih melekat di pipi kanannya. Meski malu dan salah tingkah, anehnya Ciel selalu menatap wajah Sebastian ketika berbicara.
"Haha, maaf, Ciel," ucap Sebastian sambil bangkit berdiri.
"E..eh.. Ka.. Sebastian mau kemana?" Ciel merasa sedikit panik ketika si raven tak lagi duduk di sisinya.
"Aku mau kembali kerja, Ciel. Setelah bertemu denganmu aku jadi bersemangat lagi untuk menyanyi. Saat ini saja perasaanku meluap-luap untuk menciptakan sebuah lagu."
Sebastian tersenyum lembut ke arah Ciel yang masih duduk di bangku taman. Diam-diam ia merasa senang Ciel menatapnya lekat seolah takut kehilangan.
"Aku yakin suaramu sangat indah, Sebastian," Ciel tersenyum, "Aku ingin mendengarmu bernyanyi suatu hari nanti."
"Tentu Ciel. Tapi, memangnya kau belum pernah mendengar lagu-laguku?" perkataan Sebastian hanya ditanggapi Ciel dengan menggeleng. Sebastian menganggap Ciel sangat lucu, mengenal namanya tetapi belum pernah mendengar lagunya? Aneh bukan?
"Kalau begitu kau harus mendengarnya suatu saat nanti. Aku akan bernyanyi 'live' khusus untukmu di pertemuan kita selanjutnya. Aku janji. Lalu setelah itu kau juga harus memberikan pendapatmu, ya!"
Lagi-lagi Ciel tersenyum mendengarnya. Kali ini tampak dipaksakan karena tersirat kesedihan di dalamnya, namun luput dari perhatian si raven.
"Oh iya, apa kau punya handphone?" lagi-lagi Ciel menjawab pertanyaan Sebastian dengan menggeleng.
"Hm. Tadinya aku mau minta nomormu. Kalau tidak, kita akan sulit bertemu lagi," Sebastian menghela napas. Ia tampak berpikir keras bagaimana cara berjumpa lagi dengan anak laki-laki di depannya ini. Di sudut hatinya ada sebuah rasa yang bersembunyi. Tak ingin kehilangan.
"Sebastian tahu 'kan harus ke mana kalau ingin bertemu?" balas Ciel sambil tersenyum. Kali ini ia ikut bangkit dari tempat duduknya semula.
Sebastian tersenyum. Untuk terakhir kalinya ia tatap lekat-lekat kedua bola mata Ciel yang seindah langit.
"Baiklah, aku pergi, ya. Sampai jumpa, Ciel."
Setelah mengucapkan salam perpisahan, Sebastian melangkah maju. Ia merendahkan badannya hingga wajahnya setara dengan Ciel. Sebuah kecupan lembut di kening membuat kedua orb safir itu membesar.
Tanpa mengucapkan apapun lagi, Sebastian berbalik pergi. Meninggalkan Ciel yang terhenyak karena tiba-tiba mendapat perlakuan semanis itu dari orang yang baru dikenalnya. Terlebih lagi di depan umum.
Ciel benar-benar tak tahu lagi harus berwajah seperti apa sekarang. Meskipun ia tahu kecupan tadi hanyalah sebuah salam perpisahan, ada rasa yang tak semestinya yang membuat Ciel mengartikan lebih perlakuan Sebastian.
"Sampai jumpa lagi, Sebastian..."
.
.
To be continued …
Author's Note :
Hajimemashite, minna-san…
Watashi wa Shigure Haruki desu.
Hahaha, saya ga nyangka di fic pertama malah bikin Sebas jadi gombal, ke anak di bawah umur pula. *ngakak* *di death glare Sebas*
Ini fic pertama saya di Fandom Kuroshitsuji Indonesia a.k.a FKI. Satu lagi bahasa Inggris berjudul "The Silent Vow". *digigit Pluto karena promosi*
"Monochrome Tune" memang bukan fic pertama yang saya buat. Tapi ini fic pertama yang saya publish. Mungkin… *others : sweat drop*
Kenapa judulnya begitu? Hm.. karena adagio artinya santai atau pelan. Ini adalah istilah musik dalam bahasa Italia. (kalo saya ga salah nyalin dari Google~)
Jadi apa hubungannya sama chapter 1? Saya ga tau. *Plaak*
Berhubung saya ini author baru, tidak berpengalaman, gaje, dan ga terlalu bagus dalam hal bahasa, saya mohon maaf kalau ada hal-hal yang kurang berkenan. Saya juga berharap anda sekalian me-review supaya saya bisa memperbaiki kekurangan saya. Haha. Tentu kalo anda ga keberatan…
Oke, cukup sekian cuap-cuap ga penting saya. Terima kasih sudah membaca.
N.B : This fic takes place in modern era.
