Konnichiwa minna-san ^^
Hanabi by Kiki Suzuki
Disclaimer : Axis Powers Hetalia milik Himaruya-sama
Taiwan, HK – Family, Hurt/Comfort
"Aku ingin memperlihatkan ini di perayaan itu."
AN : Yosh! Fict ini saya persembahkan buat diikutsertakan dalam kontes IHAFest yang bertemakan 'festival'. Dalam pikiran saya, festival/perayaan identik dengan kembang api, dan kembang api itu identik dengan Hong |D /mutermuter.
Warning : Ada kemungkinan OOC (karena saya selalu terbawa suasana saat ngetik sehingga tidak memperhatikan karakter aslinya) dan alur yang cepet.
Mataku tak terlepas dari sebuah kembang api yang meletus kesekian kalinya. Kembang api itu melancarkan aksinya di udara, membentuk sebuah objek bunga krisan dengan kelopak-kelopak api yang berwarna-warni. Kurasa kesempatan melihat kembang api nan indah itu hanya beberapa kali dalam setahun, saat hingar bingar orang-orang yang sedang menumpahkan kebahagiaan mereka dan saling bertukar canda tawa terkumpul dalam sebuah momen akbar di pusat kota.
Entah kenapa, rasanya baru kali ini aku melihat kembang api seindah ini. Ia menyala-nyala di tengah gelapnya angkasa. Suara gemerisik percikannya membisikkan tentang semua perasaan orang-orang yang ada saat ini. Sebelumnya aku bahkan tidak ingat apakah aku pernah melihat sesuatu yang bernama kembang api.
Dan bahkan aku tidak mengenal tempat ini.
Tapi aku mengurungkan niatku untuk berdiri dan mencari segelas minuman hangat. Aku masih ingin mencari tahu jawaban atas sebuah pertanyaan besar, dengan berusaha membongkar ingatan-ingatan lama yang teronggok dalam benakku. Selama ini aku belum bisa menemukannya, mungkin karena aku baru menyadari bahwa aku seorang gadis lugu yang tidak tahu harus berbuat apa setelah aku terdiam di sebuah tempat asing dan seseorang yang tak dikenal membawaku ke kediamannya dengan paksa, beberapa minggu yang lalu. Aku merasa seperti bayi yang baru dilahirkan—menurutku dunia ini begitu unik, aku berlagak seperti alien yang sedang menyusup ke bumi untuk menginvasi planet terindah itu. Aku selalu menatap mata orang lain seperti memandang sebuah manekin, hingga mereka menganggap diriku aneh, tapi biarlah, toh mereka tak mengenalku.
Kecuali orang yang bersikeras membawaku pulang. Gege Wang Yao sangat mengkhawatirkan keadaanku dan berusaha menjadi pengasuh—lebih tepatnya, figur seorang ibu—yang baik untukku. Entah apa tujuan di balik semua jasanya yang tanpa pamrih itu, aku tidak mengetahuinya, karena begitu kutanyakan padanya ia selalu menjawabnya dengan sebuah senyum simpul dan dari raut wajahnya terpancar sedikit kesedihan.
Dan pada akhirnya, semua rekaman tentang kegiatan-kegiatan itu membuatku berpikir keras tentang sebab-musabab aku melakukan semuanya, membuat hatiku dipenuhi rasa gundah gulana. Aku tidak tahu apakah aku dikendalikan oleh sesuatu, sehingga anggota tubuhku dapat bekerja tanpa aku pikirkan masak-masak. Aku tidak tahu apakah aku melakukannya karena aku bisa mendapatkan suatu imbalan setelahnya.
Aku pun tidak tahan lagi, udara dingin malam telah menembus mantelku dan menusuk-nusuk kulitku. Segera aku berdiri dan berbaur dengan keramaian perayaan untuk mendapatkan sesuatu yang dapat menghangatkan tubuh. Ah, aku tertarik dengan kedai yang ada di salah satu area sudut, banyak orang yang berpikiran sama denganku. Maka aku pun memesan segelas minuman, dan tanpa sengaja sebuah tangan menyentuh tanganku yang hendak menukar minuman itu dengan sejumlah uang.
"Maaf," kata seorang pemuda singkat, dengan segera menarik tangannya. Aku memandanginya sebentar, kemudian menyadari si bapak penjual telah mengambil uang dari tanganku. Pemuda itu bahkan sama anehnya denganku—ia sama sekali tidak menampakkan rasa bersalahnya di wajahnya, seperti patung manusia yang ada di museum kota. Aura tenang dan kalem yang ia pancarkan sangat bertolak belakang dengan situasi saat ini. Dan yang lebih aneh lagi, tampaknya ia masih memperhatikan gelagatku secara seksama, seakan aku benar-benar menjadi sesosok alien di depan matanya. Buru-buru aku membalikkan badan, tidak menghiraukan pandangannya.
Aku menyeruput minumanku sedikit demi sedikit. Entah kenapa semakin aku menyeruputnya lebih lama, kegundahan yang baru saja kupikirkan mulai lenyap. Hatiku mulai merasa tenang, dan itu membuatku merasa lebih baik. Aku menghela nafas lega untuk memastikan bahwa kegundahan itu benar-benar lenyap, sehingga aku bisa melangkahkan kakiku menyusuri setiap keramaian ini dengan tenang.
Untuk sesaat mataku terasa lebih fokus memandangi sekeliling. Aku benar-benar ingin tersenyum melihat seorang anak kecil yang tertawa senang karena mendapatkan hadiah sebuah boneka. Kemudian aku pun mulai memainkan imajinasiku, membayangkan bahwa aku adalah anak kecil itu. Kebahagiaan dan senyum tawa yang meluap hingga tumpah ruah keluar area perayaan memenuhi jalan-jalan di sekitar, rasa-rasanya tidak akan ada habisnya. Pasti masih banyak anak kecil yang seberuntung dirinya.
Namun keadaanku yang sedang berbahagia ini tidak berlangsung lama. Lagi-lagi, orang itu, orang yang tak sengaja menyentuh tanganku, tertangkap oleh bingkai penglihatanku di sebuah toko dekorasi. Kali ini ia berbicara dengan si penjual toko, masih saja dengan wajah datarnya. Benakku pun mulai diliputi sebuah tanda tanya besar yang baru, mengapa aku bisa melihatnya dua kali di perayaan ini?
Setelah itu, kembali tanpa sengaja, matanya tertumbuk ke arahku ketika ia sedang menoleh. Begitu melihat sosokku, ia segera menyelesaikan perbicaraannya dengan si penjual dan memasukkan sesuatu ke dalam kantong mantelnya. Kemudian dengan entengnya ia berlari menghampiriku yang masih kebingungan.
"Kau... baik-baik saja?" tanyanya spontan.
Otakku sudah tidak bisa bertoleransi lagi, sehingga aku balik bertanya, "Aku saja tidak mengenalmu, kenapa kau menanyakan hal itu padaku?"
Pemuda itu pun menangkap sebuah sinyal dariku. Kemudian ia menggenggam tanganku dan menuntunku menuju sebuah tempat, di mana tadinya aku melihat kembang api seorang diri sebelum bertemu dirinya. Setelah langkah kami terhenti, ia mencengkeram bahuku dan menatap mataku lekat-lekat.
"Kau bahkan tidak ingat aku?" tanyanya lagi.
Aku menggeleng keras sambil mengernyitkan dahi, tanda bahwa aku memang tidak merasa mengenalnya, apalagi mengingatnya. Ia menghela nafas panjang. Aku bisa melihat kekecewaannya dari uap hangat yang berhembus dari mulutnya, meskipun wajahnya tidak berkata demikian. Ia pun merogoh sakunya dan mengambil suatu benda tabung panjang dengan sumbu di tengahnya. Ia juga mengeluarkan sebuah pemantik api.
Kini aku balik memperhatikannya dengan seksama. Ia sibuk dengan kegiatannya sendiri—menyalakan pemantik apinya, membakar sumbu benda panjang itu, dan meletakkannya di satu titik, beberapa meter di depan kami berdiri. Tiba-tiba, tabung panjang itu berubah menjadi sebuah roket kecil yang meluncur ke atas, kemudian meledak pada tinggi maksimumnya, memercikkan bunga api yang sama dengan yang kulihat tadi. Kembang api bunga krisan.
Aku masih tidak paham. Melihat sorot kebingungan di wajahku, ia kembali melakukan hal yang sama, sebanyak tiga kali. Akhirnya ia menyerah, tiba-tiba ia memelukku erat dengan tangannya yang hangat.
"Ternyata aku sudah membuat kesalahan fatal," ujarnya pelan. "Maafkan aku, sekali lagi aku minta maaf. Sebenarnya akulah yang telah membuatmu jadi begini."
"Tunggu! Sebenarnya apa maksudmu? Kenapa kau tiba-tiba menyalakan kembang api dan setelahnya malah memelukku begini?" berbagai pertanyaan mulai keluar dari mulutku, sambil berusaha melepaskan diri. Sebelum sempat aku bertanya lagi, jari telunjuknya menempel erat di kedua belah bibirku, mengisyaratkan padaku untuk tidak banyak bertanya.
Kemudian ia mulai berkisah tentang masa laluku, ya, masa laluku yang sebenarnya. Bahwa dua bulan yang lalu, ketika aku sedang merasa linglung karena rasa ketidaksabaranku yang meluap-luap, tiba-tiba aku terhempas ke jalanan beraspal setelah sebuah sepeda motor yang melanggar lampu merah menabrakku dengan kerasnya. Pemuda itu, orang yang mengajakku pergi ke sebuah perayaan, orang yang ingin memperlihatkan sesuatu padaku, orang yang tersadar bahwa aku telah terbaring tidak berdaya dengan ceceran darah di mana-mana setelah genggaman tangannya terlepas dari tanganku, dengan sigap membawaku ke rumah sakit.
Dan ternyata, di sana, kata-kata seorang dokter yang memeriksaku mampu membuat gege Yao sangat terpukul dan nyaris ingin menangis sekencang-kencangnya. Ia putus asa, ia tidak ingin mengetahui kenyataan bahwa aku sudah tidak bisa mengingat dirinya lagi. Juga saudara-saudaraku yang lain, masing-masing dari mereka tidak dapat menyembunyikan kesedihannya. Tetapi di saat yang sama, pemuda yang ada di hadapanku ini sedang menyibukkan diri dengan urusan pekerjaan, sehingga perihal kabar itu membuatnya mampu merubah raut wajah datarnya dan memaksa gege Yao untuk menceritakan hal yang sebenarnya. Gege Yao sudah terlalu syok untuk memberitahunya dan membiarkan pertanyaan-pertanyaan darinya tentang keadaan diriku setelah keluar dari rumah sakit menggantung begitu saja.
Kini aku mengerti. Orang itu kembali menatapku dengan sorot matanya yang teduh, dengan alis yang sudah sedikit naik. Ia saudaraku, yang tidak secara teknis menyebabkan aku mengalami hilang ingatan. Aku tidak tahu harus berbuat apa selain membalas tatapannya. Melihat gerak-gerik tubuhnya yang sudah mencerminkan kesedihan dan rasa bersalah yang mendalam, rasanya aku tidak tega untuk menyalahkannya begitu saja. Lagipula, setahuku, bukankah saudara harus saling rukun?
Ah, ajaib. Aku mampu mengingat frase yang berulang kali diucapkan gege Yao ketika kami sedang bertengkar, di masa ketika kami masih bermain hujan-hujanan dan saling berebut makanan dengan asyiknya.
"Lalu, untuk apa kau menghabiskan empat batang kembang api hanya untuk mencoba mengembalikan ingatanku?" tanyaku.
Ia pun kembali menyalakan satu batang kembang api, kali ini ukurannya lebih besar dari empat kembang api sebelumnya. Kembang api itu pun melakukan hal yang sama, mengeluarkan puluhan peri-peri kecil beraneka warna berselendang cahaya dan menari-nari dengan indahnya dalam panggung udara berlatar angkasa malam sebelum mereka undur diri dan menghilang beberapa detik kemudian.
"Aku ingin memperlihatkan ini padamu di perayaan itu," sahutnya.
Senyumku mengembang perlahan, berterima kasih pada seseorang yang tidak kukenal sebelumnya. Akhirnya aku telah berhasil keluar dari jurang yang dalam dan gelap, membiarkan tubuhku tertimpa terang cahaya matahari, berkat bantuan seorang pemuda yang dengan gigihnya meraih tanganku meskipun aku hampir tidak bisa menggapainya karena panik mencari jalan keluar, semata hanya karena ingin menolongku. Aku menghambur ke dalam pelukannya, dan ia membelai rambutku pelan setelah sesaat ia terkejut dengan reaksiku. Tak terasa, air mata mengalir dari ujung mataku.
Sebuah air mata bahagia.
"Terima kasih, Hong."
+OWARI
Arigatou gozaimashita~~ untuk siapa saja yang sudah baca :D
Kali ini saya nggak bakal membacot banyak-banyak, soalnya saya agak capek (saya sering kecapekan di saat weekend /lho?). Sekali lagi, maaf kalau ide ceritanya jelek nan abal /emangdarisononya, inggih manawi kula kirang trapsila anggenipun matur, kula nyuwun pangapunten~~ /bows. Sampai ketemu lagi~~ /nyiurmelambai.
PS: RnR teuteup berlaku :D /duakk
