Shingeki no Kyojin ( c ) Isayama Hajime

"WE'RE DIFFERENT"


PRESENT

KANETAKI YUUKI FIRST FIC.

AU/ROMANCE/ANGST

OOC!Rivaille. OOC!Petra

HOPE YOU LIKE IT!

.

.

.

LEVIPETRA:

WE'RE DIFFERENT

...

Kau dan aku berbeda.

Aku menyukai cerita sad ending. Cerita yang biasanya berakhir dengan kesedihan, perpisahan, bahkan kematian. Cerita apapun yang menyedihkan. Karena cerita seperti itu bisa membuatku menangis. Dan aku suka sekali menangis.

Berbeda denganku, kau membenci cerita sejenis ini. Kau benci melihatku menangis karena hal ini. Kau selalu bilang padaku, kalau seseorang menyukai sad ending, pasti kisahnya akan berakhir sedih juga. Aku tak percaya. Itu tak benar, kan?

...

Air mata menetes dari balik mata seorang Petra. Hanya karena menyelesaikan satu lagi novel yang dia baca, dia menangis. Rivaille yang duduk di sampingnya segera mengulurkan selembar tissue ke arahku.

"Menangis lagi. Dasar cengeng!" Aku hanya terisak pelan. "Sudah tau kau itu cengeng, mengapa kau suka sekali membaca cerita yang sedih-sedih?" lanjutnya ketus.

"Sejak awal aku menyukai cerita yang sad ending. Rasanya itu lebih kena di hati," jawabku sambil masih terisak. Dia melengos.

"Kalau begitu, kau ingin kisahmu berakhir dengan sad ending juga? Kau juga pernah bilang kalau kau ingin yang ada di novel terjadi pada kenyataanmu."

Petra terhenyak. Dia memang pernah bilang padanya kalau Petra menginginkan kisah dalam cerita terjadi sungguhan pada dirinya, tapi bukan maksudnya begitu.

"Bukan begitu juga! Aku memang suka cerita sad ending. Tapi bukan berarti kenyataanku harus berakhir sedih juga, kan!" balasku tak terima.

"Sama saja! Menyukai sad ending pasti kisahnya sad ending juga!"

"huh!"

"Berhentilah menangis saat membaca cerita. Kau itu cengeng sekali…"

"Tapi… Aku menyukai cerita seperti itu. Aku bisa menangis sepuasnya."

"Cobalah kau baca sesuatu yang lebih bermanfaat. Jangan cuma menghabiskan waktumu untuk menangisi cerita saja."

"Memangnya apa yang kulakukan merugikan banyak orang?" ungkap Petra.

"Ya, terserahlah."

...

Kau dan aku berbeda.

Aku menyukainya, cerita dimana biasanya seseorang baru menyadari berapa berharganya kehidupan setelah ia menderita suatu penyakit menyakitkan. Karenanya, aku bisa lebih menghargai hidup.

Tapi kau membenci cerita seperti ini. Kau selalu memprotesku karena pernyataanku itu. Kau selalu berkata, apa menghargai hidup hanya bisa dilakukan setelah menderita penyakit mematikan? Tidak, kan?

Memang. Tidak harus. Tapi setidaknya, dengan cara seperti itu, seseorang akan lebih menghargai kehidupannya, kan?

...

Gadis itu menarik lagi selembar tissue dari kotak tissue di hadapannya. Entah lembar yang keberapa ini dia tak tahu. Sudah tak terhitung lagi. Dia menangis. Kali ini karena sebuah film. A Long Visit. Film tentang seorang anak yang divonis menderita penyakit mematikan, seorang anak yang berusaha menebus kesalahannya di masa lalu dan membuat ibunya bahagia sebelum ia meninggal.

"Apalagi kali ini?" tanya Rivaille seraya ikut duduk di samping Petra. Ia mengambil tempat DVD yang sedang gadis itu putar saat ini. "A Long Visit?" tanyanya lagi. Gadis bermata cokelat itu hanya mengangguk sambil menghapus air matanya yang mulai mengering.

"Petra, sudah kubilang berapa kali, jangan menangis jika menonton cerita sedih seperti ini! Kau jelek tau kalau menangis!"

Seketika wajah gadis itu memerah.

"Aku sudah melihatnya dan aku tak menangis," ucap Rivaille yakin. Petra melengos. Pria itu memang jarang menangis saat melihat film ataupun membaca cerita sedih. Berbeda dengan Petra. Mungkin hal itu yang menyatukan dua insan ini.

"Aku sudah berusaha menahannya! Tapi apa boleh buat aku tak sanggup."

"Dari awal aku mengenal mu hingga status kita berpacaran harimu kau habiskan dengan menangisi cerita yang tak bermanfaat itu."

...

Kau pernah bertanya padaku, apa yang menyebabkan suatu cerita yang kubaca ataupun film yang kulihat bisa membuatku menangis. Masalah apa yang paling bisa membuatku menangis.

Jawabanku: Penyakit. Segala hal yang berhubungan dengan penyakit, apalagi yang mematikan, aku membencinya. Kau pun demikian.

Satu-satunya persamaan kita, aku dan kau, membenci penyakit.

...

"Karena penyakit lagi?" suara Rivaille mengagetkan Petra yang matanya sudah sembab setelah melihat sebuah film dirumah Rivaille. Lagi-lagi dia menangis. Entah keberapa kali dia menangis gara-gara sebuah film.

Perempuan itu hanya mengangguk. Ya, rata-rata cerita yang dia tonton membuatnya menangis karena ada penyakit di dalam ceritanya.

"Apalagi kali ini? Kanker? Tumor?" tanya Rivaille yang tiba-tiba sudah berada di sampingku sambil membawa dua cangkir teh.

"Kanker darah," jawabnya pelan.

Rivaille terdiam sesaat, namun kemudian ia tersenyum tipis(?). Ia menghapus sisa-sisa air mata gadis itu yang jatuh dengan ibu jarinya.

"Petra, kau membenci penyakit, kan?" tanyanya.

Dia hanya mengangguk.

"Aku juga." jawab Rivaille pendek.

"Terutama penyakit yang mematikan." lanjutnya diiringi helaan nafas.

"Yah. Rasanya aku ingin sekali menjadi dokter yang bisa menyembuhkan orang-orang dari berbagai penyakit. Tapi aku tak yakin." Petra mulai bersuara.

"Kenapa? Bukankah baik? Kau bisa membantu menyelamatkan nyawa seseorang, sehingga keluarga dan orang terdekatnya tak akan menangis. Kalau kau berhasil, takkan ada air mata yang jatuh sepertimu." kata laki-laki itu tanpa ekspresi.

"Percuma. Menjadi dokter pun tak berguna," ucapnya ketus.

Rivaille menatap gadis itu heran.

"Kenapa kau bilang begitu?"

"Ya, Percuma. Sehebat apapun dokter, kalau Tuhan sudah berkehendak, kita tak bisa berbuat apa-apa, kan?" ucap Petra pelan.

Pria itu terdiam lagi.

"Apa dokter yang merawat kedua orangtuaku dulu bisa membuat mereka kehilangan penyakitnya? Membuat mereka sehat kembali, sehingga sekarang mereka masih berada bersamaku? Tidak, kan? Kalau memang sudah waktunya, ya sudah. Percuma menentang," lanjut gadis itu dan terlihat jelas matanya sudah berkaca-kaca.

Rivaille menghela nafas. "Kau benar. Semuanya memang sudah ditakdirkan Tuhan. Tapi… Kita masih bisa berusaha sedikit, kan? Walaupun hanya sedikit, tapi itu sangat berarti, kan?"

"Tapi.. walaupun sudah berusaha tetap..tetap saja jika hasilnya menyakitkan siapapun tak akan mau." serunya sambil terbata-bata.

Rivaille terdiam sambil menatapnya erat-erat dan sudah jelas dia mengeti akan kondisi saat ini. Tak mau gadis manis yang satu ini menangis lagi Rivaille langsung memegang erat tangan Petra dan laki-laki itu memberikan sentuhan lembut yang menenangkan dari bibirnya ke bibir Petra sambil mendekap erat tubuh mungil gadis berambut broken blonde itu. Tentu saja Petra terlonjak kaget atas perilaku tiba-tiba dari pria bersurai hitam itu dan seketika wajah Petra memanas dan merah padam.

"Sepertinya aku harus ganti topik. Aku tak ingin kau menangis lagi." ucap Rivaille menenangkan gadisnya yang sedari tadi matanya sudah berkaca-kaca.

...

Kau dan aku berbeda.

Aku cengeng. Aku suka sekali menangis. Hampir setiap saat kau melihatku menangis. Dan tiap kali melihatku menangis, kau selalu memelukku, menenangkanku.

Berbeda denganmu yang selalu melihatku menangis, aku bahkan tak pernah melihat kau menangis. Hanya sekali aku melihatmu menangis. Itu pun hanya sehari. Setelah itu, senyumanmu kembali.

Kenapa seperti itu? Apa lelaki memang ditakdirkan untuk pandai menyembunyikan air matanya?

...

Hari itu, pertama kalinya dalam hidup Petra melihat Rivaille menangis. Selama dia bersamanya, wanita itu tak pernah melihatnya menangis sekalipun. Baru kali ini.

Keadaan Rivaille terlihat begitu hancur sore itu. Saat Petra mengunjungi rumanya dia mendapati Rivaille dengan wajah yang penuh dengan air mata. Gadis itu hanya terdiam tak berani menenangkannya. Petra memandang pria didepannya lekat-lekat. Lalu, dia memeluk lembut tubuh kekar Rivaille. Melihatnya seperti ini, membuat gadis itu ingin menangis juga. Apa yang bisa membuat seorang seperti Rivaille menangis seperti ini?

Tak lama setelahnya orang tua Rivaille pulang sambil menangis, ayahnya datang. Ia segera mendekati Rivaille dan memeluknya. Ayah dan Ibunya berusaha menenangkannya dan sesekali air matanya pun ikut jatuh.

Ada apa ini? Kenapa lelaki yang ku tahu jarang menangis ini malah menangis seperti ini? Petra benar-benar dibuat bingung. Namun, tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Setelah keaadan mulai membaik Petra segera berpamitan kepada semuanya.

...

Hal seperti apa yang berhasil membuat seorang lelaki menjatuhkan air matanya?

...


.,TBC,.

Konichiwaa~

Gomen ne ini first fic saya, abal banget kan ya..? Lagi mikirin selanjutnya, bingung,,, +_+.. bahkan saya gak tau ini Angst apa Fluff,, yasudahlah (`w`) singkat kata aja ya..

'Kayaknya' bakal Cuma 2 chapter. Tunggu chap.2nya aja.

Arigatou buat yang sudah membaca^^

Salam kenal buat senpai-senpai disini ^^

Yoroshiku!~

KANETAKI YUUKI