Terselimut kebencian, dibentengi kegelapan.
Hatinya penuh paksaan!
Dia mausia, dengan kata kasar teruntai dari bibir dan pisau belati yang mencabik hatinya.
Ia mencoba jadi segalanya.
Jadi segala yang diminta, walau harus terus berpura-pura.
{HunHan Brothership}
(Ps: coba denger lagu Christina Perri – Human)
.
.
.
"SEHUN BERHENTI"
Lengking nyaring suara Luhan terdengar dari arah pintu masuk kantin. Lelaki itu menenteng sebuah pemukul besi yang amat panjang. Beberapa orang yang melihat itu memilih menyingkir dan menonton dari pinggir. Sehun, lelaki dengan tubuh jangkung dan rahang yang kentara menoleh dan menghadap kearah belakang. Ia tercenung sesaat melihat pemukul besi berkarat itu.
"Ada apa ?" Sehun masih nampak tenang dan menyelipkan kedua tangan kesaku celana biru dongkernya.
"Cepat kembali kekelas mu! Atau..." Luhan mengacung-acungkan pemukul itu tepat didepan mata Sehun. "kau mau dipukul dengan ini ?"
Sehun melirik malas. Lelaki itu masih sempat mendecak dan menatap Luhan dingin dan tajam.
"Kakak ketua OSIS yang terhormat." Kilat mata Sehun berubah angker.
"Saya tidak akan kembali kekelas. Dan lebih baik saya tidur siang." Ia melanjutkan perkataannya sembari mengedikkan dagu. Mengisyaratkan Luhan untuk tidak mengurusi si dingin, si berandal, si nakal, si pembangkang, si pembolos, si pemarah, si tukang tawuran, Sehun.
"Oh, benarkah ?" Luhan tidak gentar dan balik menantang Sehun. Ia tidak mau image ketua OSIS nya hancur hanya karena tidak tegas menghadapi Sehun.
"Bukankah kata-kataku sudah jelas Kakak Ketua OSIS ?" Seringai miring milik Sehun menusuk harga diri Luhan. Gigi Luhan gemretak. Geram dan marah.
Sehun melangkah mundur, masih dengan seringai menyebalkan yang tak henti ia tujukan untuk Luhan. Lelaki berambut blonde dengan tatanan belah tengah, kulit putih pucat, dan mata elang itu mempercepat langkah mundurnya. Ia berbalik, dan berlari menghindar dari kejaran seorang Luhan.
"AKU MEMBERIMU WAKTU 3 DETIK UNTUK MENGHINDAR. BERLARILAH SELAGI KAU BISA BOCAH VAMPIRE!" Sumpah serapah menjadi liar dalam hati Luhan yang bijaksana. Kesabarannya sudah didorong kedalam jurang dalam yang gelap.
Tuk…
Tuk…
Tuk…
Luhan menghitung dengan ketukan besi diatas marmer putih susu dengan keras. Degub jantungya meningkat, nafasnya memburu emosi. Kelopak matanya terpejam, dahinya berkedut, dan mimik wajahnya berlipat.
Ia sudah siap memburu Sehun.
.
.
.
Semua mata tertuju kearah Sehun yang saat ini tengah duduk dengan dagu terangkatnya. Matanya terpejam, ia tengah diinterogasi Guru BP, dan Luhan.
"Hhhhhh…." Yang jadi pusat perhatian bernafas berat.
"Sudah kubilang, aku bosan hyung~~" Sehun mengubah ekspresinya, menjadi anak manis. Nada bicaranya bergelombang di bagian belakang—mirip lenguhan kucing.
Guru BP yang ada diruangan itu menganga. Terkejut dengan perubahan sifat Sehun yang agresif. Luhan menatap Sehun intens, tatapannya menusuk. Tidak mengasihani, maupun percaya.
"Sudah berapa kali kau tidak menghadiri kelas eh ?" Arah duduk Luhan berubah, menyerong kearah Sehun.
"Baru kali ini. Sungguh." Sehun mengerutkan bibirnya, berpura-pura sedih.
"Eingg…" suara lain terdengar dari bibirnya—kali ini anak anjing, Guru BP yang tengah dihadapinya menjadi tidak tega karena sifat kekanak-kanakan Sehun.
"Kau berbohong kan Sehun ?"
Wajah Luhan yang biasanya hangat, bersahabat dan terhias senyum mendadak berubah karena sifat Sehun yang tidak bisa ia toleransi lagi.
"Lihatlah! Kau kakakku hyung~~. Berilah adikmu ini pengampunan eh." Protes Sehun innocent.
"Aku memang kakakmu Oh Sehun! Tapi aku tidak akan pernah menyalah gunakan kekuasaanku untuk memanjakanmu! Kau itu sudah besar! Demi Tuhan jangan berulah!"
Sehun menggesek telapak tangannya, ia terlihat hilang akal karena ucapan Luhan. Sedikit sih, tapi dalam.
"Oh, yasudah!" dengan ketus, ia menjawab gertakan Luhan.
"Seonsaengnim, aku menyerahkan Sehun. Jangan manjakan anak ini. Aku tahu, sonsaengnim dapat membuat keputusan yang terbaik." Luhan berkata cepat.
Ia beranjak pelan, dan tidak menoleh.
"Seonsaengnim, masalah Sehun adalah adikku…" Luhan berbalik, memandang Sehun lembut.
"…tolong rahasiakan ini." Sebelum ia menutup pintu cokelat susu itu, ia berbisik pelan.
Sehun terhenyak, tapi wajahnya kembali berubah normal dengan cepat. Ia tahu, akan datang masa dimana rahasia yang ia simpan berdua dengan Luhan akan terbongkar. Bertahun-tahun ia nyaman bersanding dengan status tidak mengenal Luhan sebagai saudaranya. Ia dan Luhan hanya saudara di atas kertas. well, itu pemikirannya semenit lalu. Tapi sekarang, salah satu dewan pengajar disekolahnya sudah tahu.
Sehun memandang lelaki paruh baya bertubuh gempal itu, ia tersenyum miring dan mengambil langkah mundur.
"Aku rasa, aku tidak ada urusan lagi disini. Setelah si bodoh itu keluar, kau tidak ada hak menahanku. Benarkan?"
"Bicara yang sopan Oh Sehun!" Protes lelaki itu.
"Aku sudah bicara dengan sangat sopan. Anda tidak mendengarnya?" Sehun mendial salah satu nomor dari phonebooknya.
"…atau, anda mau berbicara langsung dengan…" Seolah tahu dengan lanjutan kalimat menggantung itu, lelaki itu cepat-cepat menghapus nama Sehun dari komputer berwarna hitam-nya.
Lelaki itu nampak terhipnotis, wajah penuh kerut tua itu mengangguk saja. Ia menurut, menganggap Sehun hanya salah masuk ruangan. Tatap garang yang biasa ia tunjukkan luntur begitu Sehun menunjukkan ID nomor yang ia hubungi—Ayah—atau jelasnya lagi Tuan Oh yang berkuasa. Seringaian lebih lebar tertarik dari bibirnya.
.
.
.
Semilir angin musim semi menelisik helai demi helai rambut brunette Luhan, begitu ia menyibak gorden jendela. Dahinya menyiratkan garis-garis melintang, saat melihat sepetak taman kecil tepat dibawah jendela kamarnya. Bermacam bunga yang ia tanam sejak setahun yang lalu raib. Tersisa tanah bekas galian dan beberapa tangkai bunga yang rusak karena terinjak.
Detik berikutnya, tatapnya teralihkan semakin nyalang. Sehun memasuki setapak kecil dari gerbang depan dengan motor hitamnya. Luhan menutup kasar gorden berwarna abu itu, dengan cepat ia tapaki tangga untuk menyambut adik nya dengan beramah-tamah.
Pintu besar, berkasen ukiran naga itu terbuka ketika kakinya menapak anak tangga terakhir. Deru nafasnya terdengar berat dan wajah putihnya semakin pucat.
"Oh, selamat sore Luhan." Pria jangkung dengan seragam kotor dan wajah lebam itu menyapanya.
"Tidak usah berbasa-basi kau Oh Sehun!" tatap curiga ia layangkan tajam.
"Tahan Lu, ada apa ini? kenapa kau menyambutku dengan nada sindiran tidak bermutu mu itu?"
Kaki jenjang dengan sepatu kets berbalut lumpur itu melenggang dengan bebas keruang tengah.
"Sehun! Berhenti!"Luhan memekik nyaring. "Kau mengotori lantainya." Ia berdesis tidak terima.
Yang disinggung diam saja. Malah tambah menjadi dengan menginjak perrmadani yang terbuat dari bulu domba kesayangan ibu mereka.
"Sehun! Hentikan semua sikap mu!" tangan ramping berbalut kulit pucat itu ditarik dan dihempas paksa oleh Luhan. Menjerembabkan Sehun kebelakang—terduduk dengan pandangan terkejutnya.
Luhan masih mengatur detak jantung dan nafasnya yang agak anarkis. Emosi berkali-kali lipat menjerat haitnya. Ia memandang taman kecil dengan babatan tanah asal yang terintip dari celah pintu.
"Kau!" Tunjuk Luhan kewajah Sehun, dan ia menjeda karena nafasnya mulai memburu emosi.
"Kau kan yang merusak taman ku?" Tudingan itu dilayangkannya juga.
Sehun, yang dituduh berdiri dengan gaya sok angkuhnya. Ia melempar tas yang sedari tadi berada dipunggungnya kelantai.
"Apa masalahmu HAH?" ia mulai bersikeras.
"Masalahku? Masalahku adalah KAU! Bodoh sekali kau tidak menyadarinya." Luhan membalas Sehun sengit.
"Aku tidak bodoh Xi Luhan, aku tau kau jenius! Tapi, apa hanya itu isi dari otak jeniusmu itu?" Sehun tersenyum miring. Mencoba tenang dan berdiri tegak, menantang Luhan.
"Kau mengatai aku jenius? Kau mau membuatku mati tertawa?" Luhan berlagak menahan tawa dengan ekspresi hina nya.
"Terimakasih ya bodoh!" ia kembali melayangkan ejekan.
"Sudahlah! Apa yang membuatmu menuduhku merusak taman menjijikan mu itu? Kau itu laki-laki Luhan! Buat apa menanam bunga dan sok memiliki kasih sayang terhadap tanaman tidak penting seperti itu? lagi pula, kalau taman itu musnah, rencanaku untuk membuat kolam ikan piranha akan terwujud! Biar kau bisa ku jadikan santapan ikan-ikan itu jika kau terus berulah dan sok mengaturku!"
Tangan Luhan mengepal, menahan gejolak emosinya.
"Oh! Kau baru saja mengakuinya ya Sehun? Kau memang merusak taman ku, sialan!" Luhan meraup kerah seragam Sehun dan menariknya.
"Aku tidak akan melakukan pembalasan sehina ini, jika saja kau tidak menjadi sok pahlawan dan mempermalukanku di sekolah pagi tadi!", jika saja Sehun tidak membisik tegas, kepal tangan Luhan sudah menampar Sehun habis.
"Kau lupa Xi Luhan terhormat?" kukungan jemari Luhan mengendur.
"Perjanjian delapan tahun yang lalu!" Sehun menyambung ucapannya.
"Jika salah satu dari kita secara sengaja atau tidak, membeberkan status saudara ini diluar rumah dan lingkungan keluarga. Maka, hal paling berharga yang orang itu miliki akan hancur!"
Nampak tatap mata luhan berubah sayu kala mengingat perkataan Sehun dulu. Ia tidak lupa, hanya terkecoh emosi dan fikirannya linglung sendiri.
Sehun menyudahi perdebatan singkat itu, ia berlalu kearah kamarnya. Berjalan memunggungi lelakiyang lebih tua darinya itu.
"Oh, apa kau mau tau. Kenapa aku masih memanggilmu dengan marga keluarga Xi itu?"
Sehun menekan pada kata Xi untuk menyadarkan Luhan dari lamunannya.
"Itu karena, kau orang asing Luhan. Kau bukan kakak ku. Kau tak lebih dari bayangan semu yang tak pernah ku anggap nyata. Jangan harap aku akan memanggil namamu dengan sandingan marga Oh! Ck!"
.
.
.
Luhan berubah pendiam, dan ia lebih banyak menyibukkan dirinya pada kegiatan organisasi. Di rumah, ia memilih mengunci diri dalam kamar dan mengerjakan soal-soal ujian tahun sebelumnya. Diam-diam, ia juga menanam lagi bunga chrysanthemum berkelopak putih dan ungu di balkon kamarnya.
Sejak pertengkarannya dengan Sehun tiga bulan yang lalu, memberinya beban berat yang ia pikul sendirian. Tidak ada teman yang ia percaya untuk menyimpan ceritanya. Ia lebih memilih menjadi anti sosial dan fokus untuk tujuannya.
Sehun sering pulang larut malam, dengan seragam yang masih melekat pada tubuh kurusnya. Tak jarang, lebam dan goresan bertambah banyak melahap kulitnya. Membuat Luhan mengaduh, nyeri saat tak sengaja melihatnya dari atas.
Tuan, dan nyonya Oh pergi dalam waktu lama ke Ottawa untuk urusan bisnis. Dan rencananya mereka pulang hari ini—tepat saat pembagian raport Luhan dan Sehun.
Hari itu, mentari tak seterik biasanya. Awan mendung menebal dan menutup cakrawala. Luhan menatap serumpun chrysanthemum yang tengah ia siram, melamunkan harinya yang kian buruk.
"Masih dengan hobi banci mu itu ya." Suara berat menginterupsi kegiatannya.
Luhan sebal sendiri dengan suara yang sudah tiga bulan ini tak terdengar rupanya. Ia menaruh penyiram tanaman itu di sudut balkon lalu berbalik memandang lelaki itu malas.
"Ada apa Sehun? Belum puas merusak tanamanku tempo hari?" Luhan masuk kedalam kamarnya.
"Apa yang harus aku puas kan? Itu sih, tidak ada apa-apanya." Sehun mengekor dari balik punggung Luhan.
Kamar dengan dinding hijau tosca milik Luhan berpengharum mint. Boleh dikatakan, untuk ukuran lelaki Luhan benar-benar rapi. Pakaian tidak tertumpuk, buku-bukunya tersusun dalam rak cokelat didekat meja belajar, selimut serta bantal-gulingnya tertata di tempat tidurnya.
"Sudahlah, aku lelah dan tidak ada selera untuk beradu mulut denganmu."
Luhan berhenti sebelum kaki kanannya menginjak lantai luar kamar.
"Katakan, apa mau mu Sehun!" Ia menghadangkan tubuhnya diantara bingkai pintu putih itu.
"Tak ada, aku hanya ingin menyapamu." Sehun keluar, dan menyenggol tangan Luhan yang tadi menghadang jalan. Luhan berdesis sebal.
"Luhan."
Panggilan lembut terdengar dari balik pintu kaca yang tengah ia punggungi. Luhan berbalik, menatap siluet wanita dengan tinggi tidak lebih dari bahunya. Ia tersenyum—kelewat lebar malah.
"Ibu." Kata itu lolos dari bibirnya. Ia menatap wanita itu rindu.
"Luhan-ah, ibu sangat sangat sangat merindukanmu. Kau tau itu?" Luhan tertawa kecil saat capitan jari ibunya menjepit hidungnya.
"Oww! Ibu, apa-apaan itu? kenapa kata sangatnya sampai ibu sebutkan tiga kali?" ia bertingkah manja dan memeluk ibunya erat.
"Itu karena, ibu memang sangaaat merindukanmu rusa." Wanita itu menyubiti perut Luhan gemas, membuatnya geli sendiri.
"Oke, oke aku tau bu. HAHAHAHA ibu aku mohon hentikan cubitan itu." Luhan bersimpuh dilantai karena perlakuan ibunya.
Tanpa sadar, Sehun mendecih. Ibunya saja memilih langsung menggoda Luhan saat ia belum 24 jam ada di Korea. Membuat Sehun sebal sendiri, anak kandungmu itu siapa bu? Jerit Sehun tidak terima.
"Ekhem!" Sehun melirik kearah Luhan dan ibunya sengit.
"Sudah melepas rindunya? Kalau sudah, cepat kebawah. Ayah sudah menunggu dari tadi, Ibu."
Luhan tahu Sehun mati-matian menahan caci-maki yang sudah tersendat dipangkal tenggorokannya. Ia hanya tersenyum lalu menggandeng ibunya—ibu Sehun kebawah, menemui ayahnya.
Tuan Oh, tengah serius membandingkan buku bersampul abu-abu itu. Wajah lelahnya benar-benar terlihat jelas. Luhan bertanya, berapa jam ayah nya itu tidur selama di Ottawa?
"Yeoboo."
Nyonya Oh menghampiri suaminya dan mengelus lengannya sayang.
"Bagaimana raport mereka?"
Yang ditanya diam saja, malah kerut di dahinya tambah dalam dan banyak.
"Huhhh…" hembusan nafasnya terdengar berat.
"Sehun, ada apa dengan nilaimu?" Bingkai kaca mata yang tadi turun diujung hidungnya, kembali dibenahi hingga atas.
"Tidak ada apa-apa ayah. Nilaiku baik-baik saja." Yang ditanya menjawab tak peduli.
"Lihat! Nilaimu berkurang 10 point dari semester lalu. Nilai moral, sopan santun dan kedisiplinanmu semua C!"
Masih dengan wajahnya yang tenang, ia melirik raport itu tidak ada minat.
"Kakakmu, semua nilainya bisa naik. Nilai ekstrakulikuler dan moralnya A. Jangan sangka kami tidak memperhatikanmu Sehun!"
Ia merasa kepalanya berdenyut sakit, seolah diremas-remas hingga kecil. Mendengar orang tuanya membandingkan nilai Luhan dan miliknya begitu mudah. Mereka selalu membaanggakan Luhan didepannya, seolah Luhan memang ditakdirkan menerima kasih sayang lebih dari mereka. Rasanya sungguh menyakitkan. Lama tidak bertemu dan berkumpul membuatnya lebih kecewa hari ini.
Sehun tersenyum kecut. Bahkan ayahnya tak peka dalam membaca sorot matanya. Ia kecewa! Semua yang harusnya ia miliki secara penuh, di ambil dan di dominasi begitu saja oleh Luhan, Ck!
.
.
.
To be continued :v
Halo selamat hari kamis!
Aku bawa FF brothership lagi :v dan aku harap ada yang berkenan buat baca FF ini. Karena kayanya kepanjangan mau aku pecah dua atau tiga part, Cuma cerita pendek kok. Ini FF aku nulis udah lamaaaa sekali. Muehehe
Tapi baru ada waktu buat post. Maafkan buat Typo(s) dan diksi yang mungkin belum tepat.
Reviewnya sangat ditunggu. Dan selamat untuk kemenangan pertama EXO dan EXO L di era LOVE ME RIGHT ini ^^9
Terimakasih untuk semua kerja kerasnya, banyak cobaan bikin kita tambah kuat yaaaaaaa.
Love youuuuu~~~ XOXO
