Alfred kembali mengecek ranselnya.
"Ya, sudah semua," gumamnya pada dirinya sendiri.
Diambilnya ransel hitamnya dari atas tempat tidur kemudian ia taruh di kedua bahu kokohnya.
"Aku akan menunggumu," gumamnya sekali lagi sebelum melangkahkan kaki keluar dari kamarnya.
Ya, penantian Alfred akan dimulai dari sekarang.
#~**~#
Hetalia Axis Power by Hidekaz Himaruya
Warning! SongFic, AU. Dont like dont read!
Song by The Script - The Man Who Can't be Moved
The Man Who Can't be Moved by Chiho Nanoyuki
Italic: lirik lagu
#~**~#
Going back to the corner where I first saw you
Gonna camp in my sleeping bag, I'm not gonna move
Got some words on cardboard, got your picture in my hand
Saying "if you see this boy can you tell him where I am,"
Aku berhenti berjalan, dan memandang ke tempat di seberang jalan itu. Aku menghela napasku sekali, memantapkan tekadku dan akhirnya setelah aku merasa cukup kuat, aku melangkahkan kakiku menuju ke tempat itu. Tempat yang membuatku bertemu dengannya. Pemuda polos yang mewarnai hidupku.
Tempat itu sebenarnya bukanlah tempat yang istimewa. Tempat itu hanyalah trotoar yang besar dengan dua lampu tinggi yang menghiasinya. Di antara ke dua lampu itu, ada lampu lalu lintas besar. Trotoar biasa yang terletak di tikungan jalan biasa di kota ini.
Tapi itu hanya untuk sebagian orang. Tapi bagiku, tempat ini bukan hanya sekadar trotoar yang banyak dilewati orang-orang begitu saja. Jika kau mau tau, tempat ini surga. Bagiku.
Aku memandang salah satu dari kedua lampu itu. Aku berhenti tepat di hadapannya. Tatapan mataku kosong. Aku sedang mengenang saat-saat itu. Saat ketika aku pertama kali bertemu dengannya. Aku menghela napasku lagi, dan mendudukkan diri di trotoar jalan itu, meletakkan ranselku di sampingku.
Aku duduk, dengan tenang. Ya, seorang Amerika harus selalu tenang walaupun sedang dalam kesedihan yang begitu larut. Well, itu prinsipku saja sih.
Aku diam memandangi orang-orang yang sedang berjalan. Tertawa, mengobrol, mendengarkan iPod, bermain dengan ponsel dan segala macam lainnya.
Setelah beberapa menit orang-orang mulai melirik kearahku dengan pandangan 'Sedang apa dia disini?'
Aku tak memperdulikannya dan mulai melamunkannya.
Aku begitu menyesal dengan apa yang telah terjadi. Dan aku sudah memutuskan, aku akan menunggunya di sini, di tempat kami pertama kali bertemu, selama apapun. Bahkan, aku rela menunggu selamanya. Menunggunya kembali ke pelukanku kembali.
Aku mengeluarkan secarik foto dari ranselku. Foto dirinya. Satu-satunya foto dirinya yang aku punya. Aku memandangi foto itu lekat-lekat, merasakan sesuatu yang menusuk hatiku tiap kali aku memandang foto itu. Kenapa dia harus pergi? Apa aku terlalu kasar padanya malam itu? Apa aku terlalu jahat untuknya? Apa dia tidak bisa menunggu penjelasanku? Kenapa dia harus langsung pergi begitu saja malam itu?
Aku segera menghela nafas. Seharusnya aku sudah tau jawaban dari semua pertanyaan tersebut. Aku memang terlalu kasar padanya saat itu. Sudahlah. Yang harus kulakukan sekarang hanya menunggunya, karena aku tak tahu lagi apa yang harus kulakukan untuk mendapatkannya kembali kepelukkanku.
"Arthur..."
Nama itu. Nama yang selalu kuingat. Nama seseorang yang selalu membuat perasaanku senang tapi sekarang membuat perasaanku jadi berantakan.
Aku menghela napas lagi. Aku harus memulainya sekarang.
"Maaf," kataku ketika melihat seorang pria berambut coklat dengan wajah manis tapi tak semanis Arthurku.
"Ve~?" jawab pria itu.
"Apa Anda melihat pemuda ini?" aku menyodorkan padanya foto yang kupunya. Foto seorang pemuda dengan senyum khasnya, mata hijau cerah yang selalu membuatku terpesona, dan rambut pirang mencolok yang mudah dikenali.
Pria berambut coklat tersebut mengambil foto itu dari tanganku dan mengamati foto itu beberapa saat, dan berkata, "Maaf, ve~. Tapi aku belum pernah lihat dia, ve~" Dia menyerahkan kembali fotonya padaku.
Aku menerimanya. Well, aku tahu hal ini tidaklah mudah. "Kalau Anda melihatnya, bisakah Anda mengatakan padanya bahwa Alfred menunggunya di sini?" pintaku.
Pria itu tersenyum ramah dan mengangguk. "Tentu, ve~. Tentu saja aku akan mengatakan padanya, ve~" Dia menepuk bahuku sekali dan langsung pergi.
Aku mengamati punggung pria itu sampai dia menghilang di belokan berikut. Masih banyak orang lain yang bisa ditanyai, Alfred. Jangan menyerah. Kau pasti bisa menemukannya dan membuatnya kembali padamu.
Some try to hand me money, they don't understand
I'm not broke I'm just a broken hearted man
I know it makes no sense, but what else can I do
How can I move on when I've been in love with you
Aku terduduk dengan lemas di trotoar panjang itu. Sudah tiga hari aku berada di sini, tidak bergerak sedikit pun. Terus menanyai orang-orang yang lewat. Tapi tak ada satupun yang pernah melihat Arthur. Sebenarnya di mana dia?
Aku menenggelamkan wajahku ke telapak tanganku untuk meredakan rasa frustasiku.
"Ini,"
Sebuah suara membuatku mendongak. Seorang pria berambut hitam menyodorkan selembar uang kepadaku. Wajahnya menyorotkan rasa kasihan. Tapi bukannya menerimanya, aku hanya tersenyum lemah dan menarik napas dalam-dalam.
"Maaf, Tuan. Aku bukan pengemis," kataku. Aku tahu mungkin aku terlihat sangat kumal. Tiga hari aku tidak pergi dari tempat ini, jadi otomatis aku belum menyentuh kamar mandi kecuali untuk buang air. Makan? Aku selalu membeli hot dog dari seorang pemuda yang sangat ramah yang selalu berjualan dijalan ini. Dia bernama Gilbert. Aku tak berani meninggalkan tempat ini lama-lama. Takut saat Arthur akhirnya kembali dan aku tidak berada di tempat ini.
Harus aku ingatkan, aku bukan orang miskin, aku hanya seorang pria yang patah hati.
"Oh," komentar pria itu, sedikit terkejut. Ia mengantongi kembali uangnya. "Sorry," katanya, sedikit malu. "Tapi setiap pagi aku lewat jalan ini untuk berangkat kerja, aku pasti melihatmu di sini. Begitupun saat malam saat aku akan pulang kerumah. Kau tak pernah pergi dan semalam saat aku habis lembur aku lihat kau tidur di trotoar ini juga. Jadi kupikir kau-"
"Tak apa-apa," kataku, memotong kalimatnya karena bosan dengan penjelasannya. Aku berdiri dan segera mengeluarkan foto Arthur dan menyerahkannya ke arah pria itu, lalu menanyakan hal yang sama seperti yang sudah kutanyakan pada setiap orang selama 3 hari ini.
Dan jawaban yang kudengar dari mulut pria itu sama dengan jawaban orang lain. "Tidak. Aku tidak pernah melihatnya," Kemudian pria itu berlalu pergi. Meninggalkanku dengan perasaan kecewa yang mendalam.
Aku kembali duduk dan mengeluh pelan. Mungkin yang kulakukan ini memang tidak masuk akal sama sekali. Nihil. Tidak berguna. Sia-sia. Tapi apa lagi yang bisa kulakukan? Aku tak bisa memikirkan cara lain untuk bisa bertemu kembali dengan Arthur selain menunggunya di tempat kami pertama kali bertemu. Mana bisa aku pergi dari sini kalau aku masih mencintainya? Bahkan sangat mencintainya? Hanya ini satu-satunya cara.
Telepon? Arthur sudah mengganti nomornya sejak dia pergi dari apartemenku. Kerabat dan keluarganya? Aku tak pernah kenal dengan mereka. Sepertinya Arthur benar-benar serius melupakanku.
Aku kembali memandangi foto Arthur dan pikiranku melayang ke saat pertama aku bertemu dengannya...
-Flashback-
Pagi itu aku sedang menikmati coklat panasku seraya berjalan untuk pulang setelah seharian jalan-jalan tidak jelas. Tapi tiba-tiba aku melihat sesuatu yang menarik. Pemuda dengan alis yang sangat tebal yang sedang kebingungan. Ia berkali-kali menyapa orang yang lewat yang hanya ditanggapi dengan gelengan.
Merasa kasihan aku menyapanya yang terduduk lesuh diatas trotoar, "Hey, ada yang bisa kubantu?"
Ia mendongakkan kepalanya yang nembuatku melihat sebuah mata hijau yang amat indah.
"Ya! bisakah kau membantuku mencari pasportku yang hilang?"
Rasa lelah yang menyerang membuatku ingin menolak akan tetapi mata hijau yang menatapku dengan tatapan memohon membuatku tak bisa menolak. Sampai akhirnya aku menjawab, "Ayo, kita cari bersama-sama,"
-End of Flashback-
Itu semua hanya masa lalu sekarang, walaupun perasaan yang menyerang hatiku saat itu masih ada sampai detik ini dan kujanjikan perasaan itu untuk selamanya juga.
'Cause if one day you wake up and find that you're missing me
And your heart starts to wonder where on this earth I could be
Thinking maybe you'll come back here to the place that we'd meet
And you'd see me waiting for you on the corner of the street
So I'm not moving
I'm not moving
Dan aku juga teringat, di hari ketika aku terbangun di pagi hari, aku tidak melihatmu di sampingku lagi. Aku benar-benar kacau, menyesal dan bingung saat itu. Kau pergi meninggalkanku, tanpa pamit. Aku mencari ke semua tempat, tapi aku tidak juga menemukanmu. Sebenarnya kau ada dimana, Arthur? Tidakkah kau tahu seberapa besar rasa menyesalnya diriku padamu?
Hanya ada sepucuk surat elektronik dari nomor ponselmu yang lamalah yang kau tinggalkan untukku.
Dear Alfred,
Aku tahu ini keputusan sepihakku, tapi aku benar-benar harus melakukannya.
Aku memutuskan untuk meninggalkanmu Alfred.
Mungkin aku tak akan kembali lagi.
Maafkan aku.
Jangan cari aku. Aku tidak cukup berharga untuk dicari. Yakan? Seperti katamu kemarin. Aku ini tidak berharga bagimu.
Aku mencintaimu, Alfred. Hanya hal itu yang tak pernah berubah dalam hidupku.
Lupakan aku. Ah, mungkin hal itu hal yang mudah bagimu. Kau sendiri yang bilang kau tak pernah mencintaiku kan?
Goodbye.
-Arthur Kirkland-
Aku menyandarkan diriku di tiang lampu lalu lintas yang dingin dan keras. Hari sudah semakin sore. Sudah nyaris sepuluh hari aku ada di sini, menunggunya.
Satu-satunya hal yang membuatku bertahan hanyalah pikiran kalau suatu hari nanti Arthur akhirnya sadar dan merindukanku, dan ketika dia mulai bertanya-tanya di mana aku, mungkin dia akan kembali ke tempat ini, tempat di mana kami pertama kali bertemu. Dan akhirnya dia akan melihatku duduk di sini, menunggunya. Hanya hal itulah yang membuatku tidak beranjak dari tempat ini.
Ketika matahari terbenam, semakin sedikit orang yang melalui jalan ini. Aku memutuskan untuk istirahat. Aku sudah sangat lelah, tapi aku tak boleh menyerah. Kalau aku menyerah, aku tak akan pernah mendapatkan Arthur kembali. Aku sangat merindukannya dan aku sangat menyesal telah mengatakan hal yang paling bodoh.
Aku menengadahkan kepalaku, menatap langit di atasku. Bintang-bintang mulai bermunculan. Dan aku kembali menghela nafas.
Policeman says, "son you can't stay here"
I said, "there's someone I'm waiting for If it's a day, a month, a year"
Gotta stand my ground even if it rains or snows
If he changes his mind this is the first place he will go
"Maaf nak, kau tidak bisa berada di sini. Menganggu masyarakat,"
Kata-kata itu memaksaku menghentikan lamunanku. Aku membuka mataku. Seorang pria yang kira-kira seumuran dengan ayahku, dengan rambut pirang yang menjurus ke perak, tatapan mata tajam dan seragam polisinya berdiri di hadapanku. Benar-benar garang. Tak ada ekspresi sama sekali di wajah kakunya.
"Aku sedang menunggu seseorang," timpalku, tak merasa takut sama sekali dengan tatapan mengancam di mata polisi itu.
"Tapi Kau tak bisa terus menerus berada di sini. Ini bukan tempat untuk menginap. Ini jalan umum. Kau tak bisa menggunakannya sebagai tempat tidur tanpa ijin,"
"Kalau begitu aku meminta ijin dari anda," jawabku tak peduli. Tak akan ada yang bisa mengusirku dari tempat ini sebelum aku bertemu dan membuat Arthur kembali padaku lagi.
"Kau bercanda?" tanya polisi itu, nada sinis tertangkap jelas dalam suaranya.
Aku menggeleng, keras kepala memang sifatku.
"Tapi kau sudah berhari-hari disini," jawab polisi berkulit putih itu.
"Tapi saya benar-benar sedang menunggu seseorang. Dan saya tidak peduli akan menunggunya sampai kapanpun. Tak peduli itu berarti berhari-hari, berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun. Atau mungkin selamanya. Dan sampai saat itu tiba yaitu saat orang yang kutunggu kembali, tak akan ada orang yang bisa mengusir aku dari sini." kalau tekadku sudah kuat memang susah untuk dipatahkan.
"Bagaimana dengan orangtuamu?" tanya polisi itu lagi.
Aku tersenyum pahit dan menjawab, "Mereka telah lama mati,"
Polisi itu menghela nafas. Membuang wajah dinginnya. Yang ada diwajahnya sekarang ada ekspresi lelah, "Maaf kalau begitu. Siapa nama Anda?" tanyanya.
"Alfred F. Jones,"
"Siapa nama orang yang Anda tunggu?"
"Arthur Kirkland,"
"Dia hilang?" tanya polisi itu.
Pikiranku melayang ke surat yang Arthur tinggalkan untukku. Aku menggeleng. "Tidak. Dia hanya pergi. Itu saja."
Polisi itu mengernyit, "Aku tak tahu apa yang membuat kau mau melakukan hal gila semacam ini. Tapi sebentar lagi musim hujan. Kau bisa sakit. Aku mengusirmu untuk kepentingan kau juga."
Aku menerawang jauh kearah langit dan berkata pada polisi itu. "Terima kasih tapi jangankan hujan, salju pun tak akan mengubah tekadku. Aku tahu di sinilah tempat pertama yang akan didatanginya jika dia memutuskan untuk kembali."
Polisi itu memandang lelah ke arahku. "Terserah kau kalau begitu. Tapi aku sarankan kau untuk mandi. Ada kamar mandi umum di sana," polisi itu menunjuk ke seberang, di dekat taman.
"Tapi-"
"Aku akan berjaga di sini sementara kau pergi."
Aku terbelalak kaget memandang polisi itu. "Oh, terimakasih tuan- Ehm, Braginsky." kataku setelah melirik papan nama di seragam polisi itu. Tiba-tiba aku teringat sesuatu, segera kukeluarkan foto Arthur dan memberikannya pada polisi yang mempunyai nama panjang Ivan Braginski itu.
"Jika kau melihat pemuda ini disini tahan dia sampai aku kembali," pintaku padanya.
Ia mengangguk dan menyuruhku pergi dengan satu tatapan matanya. Aku memandangnya sebentar dan bergegas melakukan apa yang disarankannya. Sudah cukup baik ia membiarkanku tinggal.
'Cause If one day you wake up and find that your missing me
and your heart starts to wonder where on this earth I could be
Thinkin maybe you'll come back here to the place that we'd meet
And you'll see me waiting for you on our corner of the street
So I'm not moving, I'm not moving,
I'm not moving, I'm not moving
People talk about the guy
Who's waiting on a guy, oh whoa
There are no holes in his shoes
But a big hole in his world
"Apa dia tak pernah pergi dari situ?"
"Aku selalu melihatnya setiap kali lewat sini,"
"Ya, sambil menanyakan ke orang-orang tentang seorang pemuda,"
"Nama pemuda yang dicarinya katanya sih bernama Arthur,"
"Memang Arthur itu siapanya sih?"
"Katanya Arthur itu kekasihnya yang pergi meninggalkannya ya?"
Aku hanya mendengus sebal mendengar bisikan-bisikan itu. Sudah sebulan aku berada di tempat ini, terus menunggu dan menunggu. Dan sampai sekarang belum ada hasilnya. Aku sedikit menyerah. Apa memang benar Arthur tak akan pernah kembali lagi padaku?
Aku menarik napas. Kulit putihku lama-kelamaan menjadi sedikit kecoklatan karena terlalu lama terjemur dibawah matahari. Tapi aku tidak peduli.
Apa Arthur meninggalkanku karena dia sudah tidak mencintaiku lagi?
Aku menggelengkan kepalaku, mengusir pikiran itu. Tidak, itu tidak mungkin. Arthur selalu mencintaiku seperti aku mencintainya. Dia pergi karna secara tak langsung aku telah mengusirnya! Bukan karena dia yang sudah tidak mencintaiku. Aku memang brengsek. Mensia-siakan cintanya yang begitu tulus padaku. Aku masih ingat semua tentangnya. Kelembutan bibirnya. Usapan tangannya dirambutku. Desah nafasnya tiap kali kami bercinta. Ck, sial. Arthur, aku begitu merindukanmu, kau tahu? Kapan kau akan kembali padaku?
Hah.
Maybe I'll get famous as the man who can't be moved
And maybe you won't mean to but you'll see me on the news
And you'll come running to the corner
'Cause you'll know it's just for you
I'm the man who can't be moved
Setelah dua bulan penuh aku terus duduk, menunggu dan bertanya, orang-orang mulai mengenalku. Bahkan tampaknya aku sudah menanyai semua orang yang melewati tikungan ini. Mereka mulai menyapaku dan tersenyum padaku, bahkan pria yang tempo dulu memberiku uang, ia duduk di sebelahku pada suatu pagi dan mengajakku mengobrol. Tapi sayangnya, aku lebih sering berbicara tentang Arthur. Dan pria berambut hitam yang ternyata bernama Kiku Honda itu bisa mengerti dan selalu mendengarkan curahan hatiku.
Aku mendengus saat tau orang-orang sudah mengenalku sebagai pemuda yang selalu menunggu di trotoar di tikungan jalan. Hal itu nyaris membuatku tertawa. Setidaknya kalau aku terkenal dan masuk ke salah satu kolom berita surat kabar, Arthur akan melihatku, dan dia akan segera menuju ke tikungan ini, karena dia tahu aku sedang menunggunya. Hanya untuknya.
Tapi aku tahu itu hanya imajinasiku. imajinasi kosong yang mungkin tak akan pernah tercapai. Kenapa?
Aku tersenyum simpul pada diriku sendiri. Karena kalaupun dia baca koran sekalipun, pasti dia sudah tidak berada di kota ini. Kau bertanya mengapa aku berkata seperti itu? Kalau ia masih dikota ini ada kalanya dia berjalan dijalan ini, bukan? Tapi apa? Selama dua bulan aku tak pernah melihat sosoknya. Mungkin dia memang benar-benar ingin melupakanku Benar-benar ingin meninggalkanku. Mungkin luka yang aku buat dihatinya sangat dalam sampai ia begitu inginnya melupakanku.
Kalau itu benar, aku tidak terlalu mempermasalahkannya sekarang. Itu keputusannya. Aku bisa menerimanya, selama itu membuatnya bahagia. Haknya lah untuk meninggalkan pria brengsek tak tahu terima kasih seperti diriku ini. Tapi, kalau ia benar-benar pergi hanya satu yang tak pernah berubah. Hanya satu. Aku akan tetap mencintainya seperti ketika pertama kali aku bertemu dengannya. Yang kuperlukan sekarang hanyalah melihatnya untuk yang terakhir kali, meminta maaf, dan mengucapkan salam perpisahan seperti yang seharusnya. Setelah itu, aku akan membiarkannya pergi lagi, dan aku akan bunuh diri. Bercanda. Aku tak sebodoh itu. Mungkin aku akan pergi menjauhi London. Pindah ke German mungkin? Dan mulai menata hidup dari nol tanpa pasangan hidup sampai ajal menjemput. Kenapa? Karena aku hanya mencintai Arthur.
-Flashback-
"Arthur, kau tahu. Kau adalah sahabatku yang sudah kuanggap adikku,"
Arthur yang sedang menikmati makan siangnya menatapku bingung.
"Hah? Maksudmu? Tentu saja aku tahu. Karena bagiku, kaupun sahabatku walaupun dulu aku menggapmu adikku. Tapi berubah karna tiba-tiba kau menjadi lebih tinggi dariku,"
Aku menghela nafas dan merendahkan volume suaraku.
"Aku ada rahasia. Janji tak akan menyebar?" kataku sok misterius.
Arthur menatapku penasaran dan menjawab, "Apa itu?"
Aku tersenyum, "Aku sedang jatuh cinta,"
Arthur tersedak minumnya. Setelah batuknya mereda ia bertanya, "Apa? Pada siapa Alfred?"
"Pada sahabat dan adikku yang sedang duduk dihadapanku,"
Hening.
Wajahnya segera memerah dan setelah rasa kagetnya hilang dia menjawab, "Kau bercanda?"
"Apa aku terlihat bercanda?" jawabku santai. Puas rasanya melihat wajahnya yang memerah. Ah, makin manis saja dia itu.
"Tidak sih. Kalau begitu aku juga akan membagi rahasiaku," ungkapnya. Tatapan matanya menyiratkan sedikit kelicikan. Hm, mencurigakan.
Aku menaikkan alisku sebagai jawaban.
"Aku juga mencintai sahabat dan mantan adikku yang berada dihadapanku," jawabnya seraya tersenyum lebar dengan wajah yang makin memerah.
Dan akupun langsung tersenyum.
-End of Flashback-
Cahaya matahari mulai meredup. Aku mendongakkan kepalaku kearah langit dan melihat awan mendung bergantung rendah di sana. Beberapa saat kemudian, hujan turun, menyamarkan air mataku yang entah sejak kapan mengalir. Aku menutup mataku, merasakan tetes-tetes air yang dingin dan menyegarkan itu di wajahku.
Aku akan terus menunggumu, Arthur, Sampai kau kembali padaku. Sampai kau mendengar permintaan maafku. Sampai kau memaafkanku.
Going Back to the corner where I first saw you
Gonna camp in my sleeping bag I'm not gonna move
The End
Gantung? Video klipnya juga! Sebenernya ini fic nyontek dari video klipnya dan juga nyontek dari artu lagunya ._.v
Ah ya ini fic pertamaku di Hetalia! Sebenernya dari pertama denger lagu ini sekitar 2 atau 3 bulan yang lalu aku langsung bikin fic ini! Tapi karna males akhirnya ga dipublish. Dan juga karna gatau mau dibuat di fandom apa. Tapi karena paksaan dari My Beloved Uke a.k.a Yukaeri aku memutuskan untuk mempublishnya di fandom Hetalia -..-v
Ah iya kata-kata 'she', 'her' dan 'girl' di sini aku ganti dengan kata 'he', 'his', 'him', 'guy' dan 'boy'. ^^v
Dan soal, Surat Elektronik itu ,maksudnya SMS ya -_-v
Review?
