LuciferLussie Present
EXO © SM Entertainment
Ruse
-Xi Luhan, Oh Sehun, Byun Baekhyun, Park Chanyeol, Kim Jongin-
WARNING
Keseluruhan Ff ini berdasarkan hasil imajinasi saya sendiri. Tidak ada unsur menyudutkan siapapun. Bangsa. Agama. Ras. Dll.
Bila pembaca menemukan suatu kejanggalan serta keanehan yang tak masuk akal itu karena saya tidak merunut referensi manapun. Hal-hal mistis, pengusiran setan, pelenyapan makluk halus. Maupun kelebihan yang dimiliki Sehun serta kekurangan yang terjadi pada Luhan itu murni hanya imajinasi semata.
Termasuk konflik-konflik yang akan banyak tersebar dalam FF ini hanya imajinasi saya, tidak sesuai fakta.
Chapter 1: Pencuri Kesempatan
.
.
.
Luhan tuli, ia masa bodo, dan tidak peduli.
Sugesti merapalkan, rumah. Rumah. Rumah.
"Luhan ..."
Derap kaki saling mengejar menghiasi sore hari di daerah perumahan elit Jongno-gu Cheongun-dong. Gesekan sepatu pada aspal dari pemilik tungkai yang mengenakan celana olahraga, dibalik rok pendek kotak-kotak DOshin Senior High School.
Luhan berjalan semakin cepat menghindari langkah dibelakangnya yang mengejar. Seseorang di belakang memanggil-manggil namanya namun ia tidak hiraukan.
Daerah perumahaan sepi kendaraan. Luhan sangat menyukainya, karena ia benci keramaian jalan raya yang dipenuhi kendaraan lalu-lalang.
Lima blok lagi sampai rumah, melewati Caffe yang masih dalam tahap persiapan launching dan taman bising di warnai permainan anak-anak dan lapangan bola.
Langkah Luhan terhenti. Pandangannya tertuju pada anak tujuh tahun yang sedang melakukan freestyle bola. Ia berkerut tidak senang.
"Bagaimana bisa seorang bocah meniruku?" ia terhina, teknik yang digunakan si bocah sama persis dengan teknik rahasia yang ia miliki. Lagi pula Luhan jarang memamerkannya pada orang lain. Ia lebih suka memainkan bola untuk kesenangannya sendiri.
Pandangannya teralihkan pada pemuda tinggi berkulit putih. Laki-laki yang sedang mengajari si anak berbaju biru cara melakukan freestyle bola dengan teknik yang Luhan patenkan hanya miliknya.
"Apa dia telah memata-matai ku untuk mencuri hak cipta?" pemuda itu bahkan melakukan freestyle andalanya, jelas saja Luhan tidak terima.
"Kurang ajar, awas saja kau." Luhan mendesis mengepalkan tangan. Siap memberi perhitungan pada pemuda tak dikenal.
Sayang, suara seseorang yang memanggil namanya semakin mendekat. Luhan mengumpat, ia kembali berjalan cepat, menghilang di sebuah tikungan.
.
.
.
"Jika dia tahu, aku pasti akan dimarahi karena telah mengajarimu." Sehun duduk diatas rumput memandang langit senja.
"Memangnya Hyung akan dimarahi siapa?"
"Tentu saja oleh orang yang telah menciptakan freestyle yang sedang kau mainkan."
Anak kecil berbaju biru berhenti memainkan bola dua warna.
"Lalu kenapa Hyung malah mengajariku?"
"Karena aku ingin melihatnya marah." sesuatu yang dinantikan Sehun.
Anak itu menatap tidak mengerti
"Hyung aneh."
"Kau mengejek orang yang telah mengajarimu?" jari berkulit putih menyentil dahi si anak.
Anak itu malah tertawa.
"Hentikan tawa jelekmu. Sekarang tunjukan alamat ini." secarik kertas ia ambil dari kantong celana.
Anak itu menghela nafas lelah.
"Sudah kukatakan hyung, tidak ada alamat seperti itu di daerah sini. Kau keras kepala sekali."
"Mana mungkin tidak ada."
"Memang tidak ada hyung, bukankah tadi kau bilang sudah mencarinya dari blok A sampai ujung blok. Dan tidak ada 'kan?"
Si anak kecil menatap kerutan di dahi kakak tampan yang mengajarinya.
"Mungkin alamatnya salah hyung."
"Ayahku sangat teliti, ia tidak pernah melakukan kesalahan."
"Kalau begitu kenapa hyung tidak dapat menemukan alamatnya?"
Bocah kritis.
"Baiklah, mungkin kau benar. Tapi sayangnya, aku tidak bisa meminta alamat baru pada Ayahku karena dia sedang masa tugas. Di telepon pun tidak terjawab." curhat Sehun.
"Nasibmu sedang tidak beruntung hyung." ledeknya.
"Pulang sana!"
"Hyung tidak asyik," si anak masih betah di taman, Sehun mengendikan dagu agar dia cepat pergi.
"Oke, aku tidak akan mengganggumu. Terima kasih sudah mengajariku." anak itu membungkuk memberi penghormatan.
Sehun, mendegus geli.
"Tidak usah berterima kasih, aku sudah menurunkan teknik rahasia temanku. Kau cukup buktikan tidak akan dibully lagi. Jangan membuatku menyesal."
"Siap bos," bocah itu membuat gerakan hormat.
"Namaku Eren, kalau alamat yang hyung cari telah diperbaharui. Temui aku saja disini jika butuh bantuan." ia memamerkan cengiran khas anak-anaknya.
"Bye hyung," Eren melambaikan tangan gembira.
Sehun balas melambai seadanya.
"Aku jadi rindu masa kanak-kanak." Sehun menghela napas, "andai saja aku tidak lupa meminta nomor paman, pasti tidak akan sesulit ini."
.
.
.
Sebagian orang menganggap terlahir kembar adalah suatu keunikan, dimana orang yang berbeda terlihat sama persis. Persetan, Luhan lebih berpendapat kesialan yang ia alami saat lahir kedunia adalah sebuah musibah.
Ia benci orang-orang idiot yang memandang kagum dirinya ketika berjalan bersama saudara kembarnya. Mereka menatap wajah mirip seolah hewan langka yang siap punah.
Rumah sepi, Ibu dan ayah selalu pulang telat. Sedetik sampai rumah, Luhan langsung menuju dapur mengambil minum. Ia lelah setelah menghindari Baekhyun yang sepertinya ingin pulang bersama.
"Luhan ..." Baekhyun baru sampai rumah sepuluh detik setelahnya.
Raut wajah manis berkacamata dilanda khawatir dan kelelahan mengejar sang kakak.
"Kenapa kau membuangnya lagi?"
Luhan menatap datar botol putih kecil di tangan adiknya.
"Barang buangan berarti sampah dan kau malah memungutnya, Idiot pun lebih pintar darimu."
Makian penolakan dari Luhan adalah makanan sehari-hari Baekhyun. Ia kebal dan justru tidak mempedulikanya.
"Ibu akan marah kau terus membuang obatmu."
Luhan mendengus jengkel, "obat itu sama sekali tidak berguna."
Muak melihat wajah Baekhyun, ia pergi meninggalkan dapur.
"Tapi Lu, kau membutuhkannya." Baekhyun mengejar menaiki tangga. Luhan berhenti karenanya.
"Obat sialan yang ada di tanganmu tidak memberi efek apapun padaku."
"Mungkin kau harus menambah dosisnya." si kacamata menatap polos dibalas tatapan malas Luhan.
"Kau ingin membunuhku."
Sontak saja Baekhyun terkejut.
"Tidak! Tentu saja tidak, kenapa kau bisa berpikiran seperti itu?"
Luhan memutar bola mata malas.
"Minggir."
"Kau harus menyimpan obatmu."
"Tidak mau."
"Ayolah Lu."
"Enyahlah."
"Luhan."
"Sifat menyebalkanmu membuatku muak."
"Aku tidak menyebalkan."
"Ya, kau menyebalkan."
"Tidak. Aku hanya peduli padamu."
Luhan mendengus.
"Kau sama sekali tidak peduli."
Baekhyun sakit hati.
"Aku peduli Lu."
"Tidak. Jika kau memang peduli, kau tidak akan memaksaku."
Baekhyun bersabar, sifat kakaknya memang seperti ini.
"Itu karena aku sangat peduli."
Luhan tertawa hambar.
"Dokter mengatakan tidak ada satu pun penyakit dalam tubuhku. Untuk apa aku menyimpan obat yang tidak ku butuhkan."
"Lu, jangan seperti ini."
Luhan mendesis kesal.
"Aku bukan orang pesakitan."
Sadarkah Luhan, ia terlalu banyak mendengarkan bisikan sesat mahluk trasparan yang kini menyeringai senang menonton pertunjukan yang diciptakannya.
.
.
.
Perdebatan yang selalu terjadi tidak pernah di menangkan Baekhyun. Ia gagal membujuk Luhan, botol obat itu kini tersimpan di meja belajarnya.
Suara decitan sepatu mengisi keheningan kamar luas dengan dekorasi berbeda di kedua sisinya.
Sebelah barat milik Luhan. Interiornya simple dengan gaya lelaki khasnya. Rak buku di isi komik dan serba serbi koleksi Ironman. Miniatur serta robot-robot Ironman adalah kesayangannya.
Cermin besar menutupi dinding digunakan untuk latihan dance. Di sebelahnya jendela yang tidak pernah terbuka sejak dua tahun lalu. Tirainya berdebu tebal, Luhan melarang siapa pun mendekati jendela tersebut.
Sedangkan di timur milik Baekhyun. Terkesan manis dengan warna laut yang menenangkan. Seluruh rak di isi buku ragam bahasa. Dinding wallpaper lumba-lumba lucu dihiasi banyak piagam pengharga berbagai olimpiade dan semacamnya. Menandakan betapa pintarnya Baekhyun.
Sebenarnya ide sang kepala keluarga menyatukan kedua putri kembarnya dalam satu kamar.
Baekhyun senang, tentu saja. Namun tidak dengan Luhan. Meskipun ruangan luas, berbagi kamar adalah hal paling merepotkan. Apalagi Luhan tipe orang yang tidak suka melihat orang lain menyentuh barang-barang miliknya.
Maka dari itu ia membuat garis merah memanjang di tengah-tengah kamar. Sebagai tanda batas wilayah yang dapat di injak baekhyun.
Musik menggema berdentum-dentum.
"Luhan?" Baekhyun sepertinya gatal sehari saja tidak memanggil nama itu.
Si pemilik nama tuli mendadak. Ia sedang menari membelakangi adiknya.
"Lu ..."
Luhan melakukan gerakan seirama hentakan musik.
"Luhan?"
Baekhyun akui, kakaknya berbakat menari sejak kecil dan bakat menjengkelkan tidak pernah menanggapi kehadiran dirinya membuat ia bersahabat dengan kesabaran.
Inginnya Baekhyun melewati pembatas merah menepuk pundak Luhan. Mengatakan bahwa ia ada disana bersamanya, menghirup udara yang sama.
"Lu ..."
Pernah sekali Baekhyun nekat memasuki wilayah kakaknya. Si tomboy murka. Ketika pagi Baekhyun harus rela rambutnya menggulung ditempeli permen karet.
"LUHAN."
Ternyata bakat menyanyi pada nada tinggi bermanfaat menjahit lubang kesabarannya.
Luhan baru saja melakukan gerakan kalajengking. Ia mendelik.
"Ganggu saja terus hidupku! Apa mau mu?"
"Ini sudah malam."
"Lalu?"
"Matikan musiknya."
Baekhyun selalu apa adanya. Polos, namun menyimpan rahasia.
"Matikan saja sendiri." tantang Luhan.
Baekhyun melangkah, setiap langkah memberat. Satu langkah lagi melewati pembatas, ia gigit bibir dalamnya menatap Luhan ragu. Nona tomboy mengangkat sebelah alis seakan mengatakan masuk saja kalau berani.
Baekhyun menyerah, ia tidak mau menghadapi kejahilan Luhan.
"Kau harus mematikan musiknya Lu, besok remedial di kumpulkan. Kau belum menggerjakannya 'kan?"
Luhan menghembuskan napas berat. Tatapan iba Baekhyun luntur menjadi senyuman cerah bersemangat.
"Ayo kita kerjakan bersama?" si adik berharap sang kakak menjawab iya. Jarang sekali mereka menghabiskan waktu bersama.
"Jangan menipuku, jenius sepertimu mana mungkin mendapat remedial."
Penolakan terselubung.
"Tapi 'kan aku bisa mengerjakan hal lain saat menemanimu."
Ninja pirang mempunyai jurus seribu bayangan dan Baekhyun mempunyai seribu alasan.
"Kau pikir aku bayi ditemani?"
Baekhyun terkekeh lucu.
"Tentu saja tidak, kau lebih cepat lima menit lahir kedunia dari pada aku."
Mata rusa berputar jengah.
"Bukan itu maksudku idiot."
"Aku tidak idiot."
"Kau idiot."
"Tidak."
"Kau, ya."
"Tidak."
"Ya."
"Kalau aku idiot kau juga idiot. Kita satu sel telur bersama."
Sudut bibir Luhan berkedut.
"Heran, kemampuan bicaramu lebih aktif dirumah dari pada di sekolah."
"I-itu karena ..." keceriaan mata sipit dibalik kacamata meredup.
"Karena kau senang membuatku menderita." Luhanlah yang melanjutkan kalimat Baekhyun.
"Untuk apa aku membuatmu menderita."
"Diamlah, berisik."
Luhan mematikan musik, meninggalkan Baekhyun.
"Lu, kerjakan remed-mu."
Jawaban yang di berikan Luhan adalah debuman keras pintu kamar mandi.
Baekhyun memandang sendu pintu putih yang dipenuhi coretan kata-kata kotor yang dibuat Luhan.
Ketika Luhan habis kesabaran menunggu dirinya yang lama di toliet. Ia sengaja berlama-lama di kamar mandi. Agar setelahnya bisa berdebat dengan sang kakak.
Kekesalan Luhan, Baekhyun anggap anugerah. Setidaknya nona tomboy masih mau berbicara dengannya meskipun hanya makian. Gadis kacamata tersenyum miris. Kesenangannya bertukar kalimat dengan Luhan dianggap penderitaan.
Baekhyun terbiasa merasakan sakit, tapi ia tidak akan menyerah. Sekalipun berulang kali menerima penolakan.
Baekhyun tersenyum untuk dirinya sendiri. Segala yang ia lakukan hanya agar mendapatkan kembali Luhan.
Luhan yang dulu.
.
.
.
Komputer menyala, waktu menunjukan tengah malam lebih setengah.
Hening bergelut kesunyian mencekam. Kamar tertular kegelapan malam. Penerangan hanya dari cahaya komputer. Pemiliknya berkutat dengan rumus-rumus matematika.
Lembaran soal remedial berjumlah empat-puluh-lima. telah di isi seperempat bagian. Perlu usaha keras bagi Luhan mengerjakan tugas sekolah.
Kepalanya selalu berdenyut menyakitkan tiap kali digunakan untuk berpikir. Hapalan jenis apapun hanya melekat setengah bagian di otaknya.
Mata Luhan memerah, angka dan simbol mulai berbayang. Rambut coklat madu berantakan, jidat diketuk pensil, berharap denyutan kepalanya menghilang.
Malam sudah larut, semakin banyak teman yang meninggalkan obrolan. Siasat awal merilekskan kepala mendidih dengan berselancar di sosial media bersama teman-temannya.
Gagal.
Luhan heran, kenapa ia mendapatkan otak yang gampang hang. Ia melirik Baekhyun yang sudah terlelap. Adiknya pintar dan selalu ingin mengerjakan tugas bersama. Tapi ia bukan orang payah yang butuh bantuan orang lain. Luhan dapat melakukan sendiri meskipun kemampuannya memang payah.
Botol kecil putih dimeja belajar Baekhyun menarik perhatian. Dahi berkerut, di tatap lembaran remedial lalu kembali pada botol kecil berisi butiran pil.
Obat itu tidak kau butuhkan Lu, jika kau meminumnya. Berarti kau memang orang sakit.
Kertas remedial disimpan dalam tas sekolah. Cukup untuk hari ini, otak payahnya perlu istirahat.
Angin berhembus entah dari mana. Menyuarakan hawa dingin mengundang aura tidak menyenangkan.
Luhan ...
Suara setipis angin memanggil. Ia menoleh, tidak menemukan apapun. Hanya dengkuran halus adiknya yang terdengar. Lagipula suara barusan bukan suara Baekhyun.
Luhan mengangkat bahu tidak peduli.
Lu ..
Bisikan itu terdengar jelas dekat telinga. Ia menghela napas lelah.
"Harusnya, kau tidak usah belajar Lu, lihat. Sekarang kau berhalusinansi." nasihat kurang ajar untuk dirinya sendiri. Luhan merasa seperti ada seseorang yang mengawasinya di suatu sudut kamar.
Selimut ditarik sebatas leher. Luhan mencoba tuli dengan suara apapun. Detik berubah menjadi menit, kesunyian menusuk tiap sudut ruangan.
Tiba-tiba suara jendela terbuka kasar membentur dinding dengan keras mengejutkan Luhan. Angin besar meniup tirai mengibarkannya, bernyanyikan gemerencing gesekan besi, mengganggu pendengaran.
"Baekhyun sialan, apa susahnya mengunci jendela sendiri."
Luhan menatap geram Baekhyun. Anak itu tidak terusik sedikit pun oleh suara benturan keras jendela, bunyi gemerincing, maupun desauan angin.
Berat hati ia melangkah malas-malas melewati pembatas merah, menginjak wilayah Baekhyun. Arus dingin udara malam menusuk kulit. Angin tak berperasaan menerbangkan rambut kusut jadi makin kusut.
Jendela dikunci. Tirai ditarik. Luhan menatap si kacamata yang tidur pulas.
"Orang merepotkan sepertimu perlu di beri pelajaran ekstra."
Luhan mengambil tali di bawah ranjang untuk mengikat kedua tangan dan kaki Baekhyun. Senyum mengembang membayangkan wajah adiknya yang tersungkur mencium lantai. Kalau beruntung besok pagi ia berharap melihat si kacamata melompat-lompat seperti kangguru berusaha ke kamar mandi.
Andai saja Luhan tahu ia tidak tersenyum sendiri. Sudut tergelap sana, sesosok tembus pandang berdiri melayang, menyeringai senang melihat aksi Luhan. Wajah pucat menatap sarat makna. Haus dendam menyulut dengki. Lengah sedikit. Dia curi kesempatan.
To be continue ...
A/N:
Ff ini petama aku update di grup fb dengan judul What The Hell. Main castnya OC : Ahn Naehyun, Ahn Jihyun, Oh Sehun, Park Chanyeol, Kim Jongin.
Karena permintaan adikku yang pengen castnya diganti jadi official couple, yaudah aku ganti ajah. Ff ini juga pernah aku share di Note fb aku dengan cast Hunhan Chanbaek judulnya masih What The Hell.
Jadi jika ada yang bilang aku plagiat, itu salah besar. Karena emang aku sengaja merubah beberapa bagian adegan supaya memperkuat karakter. Soalnya pas aku baca ulang. Alurnya terasa ngambang. Jangan khawatir, jalan cerita, plot, karakter-karakter yang aku punya masih sama kok. Ini aku LuciferLussie yang sama.
Ada yang bingung sama Sehun?
Tanya aja sama aku.
Maaf yah, buat yang merasa gedek sama sifat Luhan atau gak suka sama karakter Baekhyun. Aku minta maaf banget kalo kurang memuaskan. Karena tuntutan karakter aku buat mereka kayak gitu.
Maaf yah, maaf juga aku kebanyakan bacot hehehehhee 😁😁
Salam kenal guyss.. ✋✋I
