"Get Married"
Chapter 1 : Perjodohan
A BoBoiBoy Fanfiction by Fanlady
Disclaimer : BoBoiBoy © Monsta. Tidak ada keuntungan material apapun yang diambil dari fanfiksi ini.
Warnings : AU, TaufanxYaya, adult!charas, OOC, and probably some typos
.
.
.
Yaya Yah, 20 tahun. Seorang mahasiswi tahun kedua di jurusan Sastra Inggris. Seumur hidup tak pernah merasakan jatuh cinta, apalagi pacaran. Baginya pacaran dan jatuh cinta hanya membuang-buang waktu yang seharusnya ia gunakan untuk mengejar icta-cita. Namun kini ia justru dihadapkan pada cobaan terberat dalam hidupnya.
"Apa? Dijodohkan?" Sekotak cokelat lezat nyaris terjatuh dari tangan Yaya saat mendengar kabar yang dibawa kedua orangtuanya.
"Ya, sayang. Mami dan Papi sudah sepakat untuk menjodohkanmu dengan anak dari teman lama Papi yang tinggal di Amerika," ibu Yaya berujar ceria.
"Tapi, Mami ... Setidaknya Papi Mami harus membicarakannya dulu dengan Yaya sebelum asal menjodohkan Yaya seperti ini..." protes gadis berkerudung merah muda itu.
"Lho, sekarang kan kami sedang membicarakan ini denganmu, iya kan, Pi?" Ibu Yaya melirik suaminya yang tengah asyik bermain video game dengan putra bungsu mereka.
"Hm," balas ayah Yaya tak jelas.
Yaya menarik nafas panjang untuk menahan kesabarannya. "Iya ... maksud Yaya, harusnya Papi dan Mami bertanya lebih dulu apa Yaya mau dijodohkan atau tidak," ujarnya setenang mungkin. "Bagaimana kalau Yaya sudah punya pacar? Atau orang lain yang Yaya sukai? Nanti kan bisa repot ..."
"Justru karena itulah kami membuat keputusan ini, sayang ..." kata sang ibu serius. "Mami dan Papi khawatir karena kamu sama sekali tidak terlihat tertarik berpacaran, atau bahkan jatuh cinta. Kamu cuma tau belajar, belajar, dan belajar. Itu memang bagus sih, tapi Mami takut nanti kau malah tidak menikah-menikah dan jadi perawan tua."
"Mami, please ... Yaya masih dua puluh tahun, apanya yang perawan tua?" gerutu Yaya sebal. "Masih panjang waktu untuk mencari jodoh, Mi. Tidak perlu buru-buru ..."
Yaya tak habis pikir mengenai apa yang dipikirkan kedua orang tuanya, atau mungkin hanya sang Mami, karena Papinya jelas-jelas hanya menuruti keinginan istri tercintanya. Kebanyakan orangtua mengeluh karena anak mereka terlalu sibuk berpacaran dan lupa belajar, tapi kenapa orangtua Yaya justru mengeluh sebaliknya?
"Tapi, Yaya sayang ... lebih cepat lebih baik, kan? Daripada nanti kamu malah disambar laki-laki tak jelas, lebih baik Mami yang memilihkan jodoh yang tepat untukmu," terang ibu Yaya penuh kasih sayang. Nah, 'kan, ternyata memang sang ibu biang kerok dari perjodohan ini.
Yaya memanyunkan bibir cemberut. Bukannya ia tak suka dijodohkan, malah kalau boleh jujur ia lebih memilih untuk seperti ini karena dirinya memang sama sekali tak berniat pacaran. Tapi tak perlu secepat ini juga, kan?
"Dia anak yang baik, kok, jadi kau tidak perlu khawatir, sayang. Wajahnya juga tak kalah dengan para aktor Hollywood, Mami yakin kamu tidak akan menyesal dijodohkan dengannya," ibu Yaya masih berusaha membujuk putri kesayangannya. Namun Yaya masih tetap bergeming, sama sekali tidak tertarik. "Oh, iya, apa mami sudah bilang kalau dia adalah seorang lulusan Harvard?"
Yaya akhirnya menoleh kembali pada sang ibu begitu mendengar kalimat terakhirnya. "Yang benar, Mi? Lulusan Harvard?" tanyanya, mulai sedikit tertarik. Dari dulu Yaya ingin sekali melanjutkan pendidikannya di salah satu universitas paling terkenal itu. Sayang sang ibu tak mengizinkannya pergi menempuh pendidikan di tempat yang terlalu jauh. Takut kenapa-kenapa, katanya.
"Tentu saja benar, mana mungkin Mami bohong?" Ibu Yaya tertawa kecil.
"Yah, kalau begitu apa boleh buat. Sepertinya dia tidak buruk juga," gumam Yaya akhirnya. Mudah sekali membujuk seorang Yaya Yah. Hanya dengan iming-iming 'lulusan Harvard', ia langsung setuju dijodohkan dengan laki-laki yang sama sekali tak dikenalnya.
"Jadi kau setuju dijodohkan dengannya?" tanya sang Mami gembira.
"Yah, begitulah ... Lagipula Mami dan Papi tidak mungkin menjerumuskan Yaya pada sesuatu yang buruk, kan?"
"Tentu saja, sayang. Kami selalu memikirkan yang terbaik untukmu," ibu Yaya memeluk putrinya dengan gembira. Yaya mau tak mau ikut tersenyum. Ia senang jika bisa membuat orangtuanya bahagia.
"Jadi, kapan aku bisa bertemu dengan orang itu?" tanya Yaya beberapa saat kemudian.
"Jangan khawatir. Kau akan segera bertemu dengan calon suamimu. Dia akan kembali dari Amerika bersama kedua orangtuanya minggu depan. Setelah itu, kita akan mulai mempersiapkan pesta pernikahan kalian!"
Yaya yang baru saja menggigit kembali cokelatnya langsung tersedak. "A-APA?!"
"Eh? Kenapa kaget?" tanya ibu Yaya heran.
"Tadi Mami bilang ... 'pesta pernikahan'?"
"Iya, memangnya kenapa?"
"Siapa yang mau menikah?"
"Ya kamulah. Masa Mami? Nanti Papi ngambek lagi kalau Mami nikah lagi," kata ibu Yaya sambil menyenggol suaminya pelan. Yang disenggol terlihat sama sekali tak terpengaruh, masih tenggelam dalam permainan video game-nya.
"Tapi—tapi tadi Mami bilang cuma dijodohkan? Kenapa sekarang malah bilang menikah?" tanya Yaya panik setengah mati.
"Lho, dijodohkan memang berarti menikah, kan?"
"Tapi masa langsung menikah? Yaya masih dua puluh tahun, Mi! Yaya bahkan belum selesai kuliah, bagaimana bisa menikah?" seru Yaya histeris.
"Jangan cemas. Kamu masih bisa tetap kuliah walau sudah menikah, kan? Lagipula tidak ada larangan tidak boleh menikah saat masih kuliah," ujar ibu Yaya enteng.
Yaya membelalak memandang sang ibu dengan tatapan tak percaya. Yang benar saja ... ia—Yaya Yah— akan segera menikah dengan orang yang belum dikenalnya? Cobaan apa ini Tuhan ...?
.
.
.
Boboiboy Taufan, 22 tahun. Baru saja lulus dari salah satu kampus paling termahsyur di seluruh dunia, Harvard University. Pria tertampan nomor urut 1996 di kampusnya, dan juga seorang playboy kelas kakap. Kini tengah menghadapi salah satu krisis terberat dalam hidupnya.
"Aku benar-benar minta maaf, Amy honey ... aku juga tidak ingin putus denganmu, tapi aku tidak bisa menentang perjodohan dari orangtuaku. Ibuku mengancam akan mengutukku jadi batu kalau aku menolak perjodohan ini ..." ujar Taufan dengan wajah memelas.
Gadis berambut pirang yang duduk di kursi di seberangnya melipat lengan di depan dada dan menatap Taufan dengan sorot mata membunuh.
"Kau bilang kau mencintaiku, jadi kenapa kau lebih memilih dijodohkan dengan gadis lain daripada denganku?" ujar Amy berapi-api.
"Ini bukan mauku, Amy ... Ini permintaan—bukan, perintah dari orangtuaku. Kau tau aku tidak pernah bisa menentang mereka," Taufan berujar dengan terus memasang ekspresi putus asa terbaiknya.
"Tapi ... kita baru dua minggu pacaran, Taufan ..." Gadis kelahiran Melayu-Amerika itu terlihat berkaca-kaca.
"Aku tau, aku tau ..." desah Taufan. Ia sudah mengabiskan dua bulan untuk mengejar-ngejar Amy, salah satu gadis tercantik di kampusnya, dan itu termasuk rekor terlama ia mengejar seorang gadis. Biasanya hanya dalam sehari-dua hari gadis manapun pasti akan takluk dengannya. Tapi sekarang, ia malah harus menyia-nyiakan usaha kerasnya itu.
"Aku juga tidak ingin kita berakhir seperti ini ... Tapi kau harus mengerti, Amy ... aku tidak ingin jadi anak durhaka yang menentang kedua orang tuaku, karena itu aku terpaksa melakukan ini," ujar Taufan mendramatisir. Kalau saja ini sebuah drama, saat ini pasti akan ada sound effect lagu yang menyayat hati, ditambah daun-daun yang berguguran di luar jendela untuk menambah efek dramatis.
Kedua manik azure Amy telah digenangi air mata. Sebagai seorang gentleman sejati, Taufan mengambil sehelai tisu dan mengusap kedua sudut mata gadis itu.
"Jangan menangis, baby ... Aku yakin kalau berjodoh, kita pasti akan bertemu lagi suatu hari nanti ..." kata Taufan dengan mata berkaca-kaca.
"Berjodoh apanya! Kau 'kan sudah dijodohkan dengan gadis lain, idiot!" Amy menggebrak meja kasar, membuat suasana romantis di antara mereka hilang seketika.
"Tapi siapa tau kita memang berjodoh," ujar Taufan nyengir. Amy berdecak sebal dan mengambil tisu dari tangan Taufan untuk mengusap air matanya sendiri.
"Berjodoh, gundulmu!" sungut Amy. "Pergi sana pulang ke kampung halamanmu dan menikahi gadis pilihan orang tuamu! Jangan pernah temui aku lagi!"
Amy bangkit dengan kesal dan berniat meninggalkan tempat itu, namun Taufan buru-buru menahan tangannya.
"Tunggu dulu, Amy, aku benar-benar tak ingin berpisah denganmu. Karena itu, bolehkah aku bertanya satu hal?" kata Taufan serius.
"Apa?" tanya Amy, mau tak mau sedikit berharap bahwa Taufan benar-benar akan lebih memilihnya ketimbang gadis itu.
"Kalau aku sudah menikah nanti ... bagaimana kalau kau jadi wanita simpananku saja? Jadi dengan begitu kita tetap tidak akan berpisah," Taufan berujar dengan senyum lebar terukir di wajahnya.
PLAK! PLAK!
Dua tamparan telak mengenai kedua pipi Taufan, membuat pemuda itu mengaduh kesakitan. Amy menghentakkan kaki keluar dari cafe itu dengan penuh amarah diiringi tatapan pengunjung lain yang penasaran, meninggalkan Taufan yang hanya bisa meratapi kedua pipinya yang memerah.
"Haah... masih ada lima gadis lagi yang harus kuputuskan hari ini, semoga saja aku tidak kena tampar lagi," gumam Taufan sambil masih mengelus-ngelus wajahnya yang terkena tamparan.
Pemuda itu mengeluarkan sebuah ponsel pintar dari dalam sakunya dan memandangi foto seorang gadis berkerudung merah muda yang kemarin dikirimkan ibunya.
"Aku melakukan semua ini untukmu, lho... Jadi kau seharusnya merasa sangaaaat bersyukur ..." gumam Taufan sedih. Ia terus menatap foto di layar ponselnya cukup lama, dan diam-diam tersenyum tipis.
Taufan lalu memasukkan kembali ponsel ke dalam sakunya. Setelah meletakkan beberapa lembar uang di atas meja, Taufan kemudian beranjak dari kursinya dan melangkah pergi meninggalkan tempat itu.
.
.
.
To be continued
A/N:
Aku tau utang ffku masih banyak, tapi malah ditambah lagi /digebuk
Habis aku tidak tahan untuk tidak nulis ini. Gara-gara nonton ulang sinetron Pernikahan Dini sih x'D
Dan berhubung aku juga lagi nge-hype TaufanxYaya, akhirnya jadilah fanfic abal-abal ini. Semoga kalian suka~
Oh, iay, aku mau menyampaikan sesuatu.
Dalam waktu dekat ini kemungkinan aku tidak bisa update kilat semua fanfik-fanfik yang ada, karena komputerku rusak (lagi)
Sebenarnya aku berniat hiatus dulu sampai komputernya bener, tapi aku tau aku tidak bisa tahan lama-lama tidak nulis, jadi aku bakal usahain untuk ngetik lanjutan fanfik sedikit-sedikit di warnet.
Semoga pembaca sekalian bisa memahami~
Makasih yang udah bersedia baca fanfik ini~
Berkenan meninggalkan review?
