Harry Potter © J.K Rowling ( itu nama samaran saya XD /plak )

Always © n4na

Warning: typos, mencoba membuat karakter terlihat IC tapi entahlah … Canon yang dimodifikasi ala saya, jadi suka2 saya *seenaknya*

A Drastoria fanfiction buat ulangtaunnya WatchFang tanggal 9 Juli kemarin :* happy birthday kamuh cewe ketje! ( oke cuma buat hari ini aja aku blg kamu kece ) Maap ya kadonya sedikit telat …

Dan untuk semua penggemar DMAG!

Happy reading! ^^

.

.

.


Bagian Satu: The News


Astoria Malfoy selalu menunggu sosok itu untuk mencintainya.

Selalu.

Dan ia akan terus bertahan disitu. Dengan hati yang semakin hancur saat ia mengetahui sepasang mata keperakan milik lelaki yang ia cintai tak pernah sekalipun tertuju padanya.

Hanya tertuju pada Pansy Parkinson.

.

.

Hujan malam itu turun amatlah deras. Sesekali petir menyambar. Suaranya menggelegar―mengusik ketenangan penghuni Mansion Malfoy yang terlihat megah namun suram.

Tidak semua penghuninya, sebenarnya. Tuan dan Nyonya Malfoy tengah tertidur dengan nyenyak di kamarnya. Para peri rumah kiranya sudah beristirahat setelah seharian melaksanakan tugas mereka yang melelahkan.

Hanya ia yang masih terjaga. Memeluk tubuhnya sendiri untuk meredam rasa takut yang menguasai diri. Ia tetap membuka kedua matanya waspada―menanti seseorang yang tak kunjung kembali sedari pagi.

Seseorang yang bernama Draco Malfoy.

Ia merapatkan tubuhnya pada senderan ranjang berukuran king size yang telah ia tempati sejak tujuh bulan yang lalu. Tempat tidur yang hampir selalu terasa dingin karena ia tempati sendiri. Tempat tidur yang hampir selalu terasa hampa karena ditiduri seorang diri.

Tempat tidurnya dan Draco Malfoy.

Ia menghela nafas getir ketika nama itu terngiang-ngiang dalam kepalanya. Selimut yang sedaritadi membungkus tubuhnya sekarang menutupi wajahnya. Pegangannya pada ujung selimut berbahan wool berkualitas tinggi itu mengerat―ketika tanpa dapat ia tahan, setetes air mata jatuh membasahi selimut berwarna hijau emerald. Timbul noktah pucat pada selimut itu.

Draco Malfoy. Putera tunggal Lucius Malfoy dan Narcissa Malfoy nee Black. Suaminya sejak tujuh bulan yang lalu. Calon ayah dari buah cinta yang telah tumbuh dalam rahimnya sejak sebulan yang lalu.

Ia mengusap perutnya yang belum membesar dengan penuh sayang, walau hatinya begitu perih bagaikan ditusuk seribu jarum. Kepalanya terasa begitu penat memikirkan reaksi Draco jika lelaki itu tahu ia mengandung. Ia takut, lelaki itu tak akan dapat menerima kehadiran calon anak mereka―takut kalau lelaki itu akan menyuruhnya menggugurkan anak dalam rahimnya.

Karena ia tidak akan sanggup melakukannya.

Ia kembali menghela nafas perlahan sambil menahan isakannya yang sedaritadi keluar seenaknya dari bibirnya. Tubuhnya bergetar pelan, lalu terlonjak ketika suara petir kembali menyambar. Ia memeluk tubuhnya semakin erat untuk meredam rasa takut yang ia rasakan.

Masih jelas dalam ingatannya … Ketika tepat sepuluh bulan yang lalu saat ia bertemu dengan keluarga Malfoy untuk menghadiri pesta ulangtahun Draco yang ke dua puluh enam. Disaat pernikahan mereka diumumkan secara sepihak oleh orangtuanya dan orangtua Draco malam itu.

Ketika itu wajah Draco nampak pucat pasih seperti kulit mayat. Pansy Parkinson yang sedaritadi berdiri di samping Draco sama terkejutnya. Baik Draco, maupun Pansy kemudian menatapnya dengan penuh kebencian―membuat dadanya terasa begitu nyeri dan merasa bersalah sekaligus.

Merasa bersalah karena ia menyebabkan Draco harus mengakhiri hubungannya dengan Pansy Parkinson.

Ia dan Draco memang sejak dulu sudah dijodohkan oleh orangtua mereka. Sebuah perjodohan untuk mengangkat nama Malfoy dan Greengrass menjadi lebih tinggi lagi. Untuk melestarikan garis keturunan penyihir pureblood, seperti para kalangan pureblood lainnya yang menjunjung tinggi kemurnian darah mereka dan menjodohkan anak-anak mereka dengan anak-anak yang memiliki kualitas darah sama dengannya.

Kalau boleh jujur, ia amatlah bahagia saat pertama kali mengetahui ia dijodohkan dengan Draco Malfoy disaat ia berumur sembilan tahun―disaat ia berjumpa dengan keluarga Malfoy di peron sembilan tigaperempat. Saat itu Lucius Malfoy yang menyadari kehadiran keluarga Greengrass jelas langsung menghampiri keluarga ningrat yang hampir setara dengannya dan melakukan obrolan basa-basi tak penting.

Lalu terselip topik tentang perjodohan mereka. Yang membuat wajah Astoria berbinar cerah dan wajah Draco masam seketika. Kakaknya, Daphne Greengrass tentu bahagianya bukan main ketika mendengar berita itu.

Jelas Daphne gembira karena ia tahu adiknya ini telah menyukai Draco Malfoy sejak dulu―sejak pertama kali mereka bertemu dalam pesta ulangtahun Draco yang keenam. Ketika ia menangkap basah adiknya yang tersenyum sendiri saat manik mata berwarna cokelat itu memandangi sosok Draco Malfoy dengan penuh damba. Daphne sudah tahu tunas cinta sudah berkembang diantara dua sosok anak manusia itu.

Sejak masuk ke dalam Hogwarts, Daphne selalu mengirimkan surat kepada Astoria sebulan sekali. Memberitahukan semua aktivitas Draco yang ia ketahui kepada adik manisnya. Membuat Astoria iri setengah mati kepada kakaknya ini karena bisa satu asrama dengan lelaki pujaannya.

Sejak saat itu, ia memutuskan untuk masuk ke dalam asrama Slytherin, bukan ke dalam asrama Ravenclaw seperti yang dulu selalu ia dambakan.

Dua tahun kemudian, ia akhirnya mendapat surat undangan dari Hogwarts―membuatnya senang bukan main. Dengan semangat ia mengelilingi Diagon Alley bersama Daphne dan ibunya untuk berbelanja kebutuhan sekolahnya. Ia menata rapi rambutnya dan berdandan semanis mungkin saat ia telah tiba di peron sembilan tigaperempat. Jantungnya berdetak kencang menanti kedatangan sang pujaan hati yang sejak tujuh tahun yang lalu telah mengisi hatinya.

Tak lama, sosok yang ia nanti terlihat di antara rombongan para murid yang berbondong-bondong menuju pintu kereta―bersama dengan kedua orangtuanya yang berjalan angkuh tak jauh di belakangnya. Draco Malfoy mendorong kereta barangnya sambil mengulaskan senyum sombong―yang bagi Astoria amatlah mempesona.

Ia dan Daphne kemudian berpamitan dengan sang ibunda―menerima kecupan hangat di pipi masing-masing. Nyonya Greengrass lalu mendoakan keselamatan kedua puterinya dan kesuksesan belajarnya di Hogwarts. Tak lupa wanita paruh baya itu berpesan kepada Astoria untuk selalu bersikap baik kepada Draco karena mereka telah dijodohkan―yang dibalas oleh anggukan mantap oleh Astoria dan disahuti dengan suara cekikikan Daphne.

Mereka kemudian masuk ke dalam gerbong kereta dan menempati ruangan yang sama dengan Draco Malfoy―yang ternyata sudah menempati gerbong itu terlebih dahulu bersama Vincent Crabbe dan Gregory Goyle―dua antek bertubuh gempal yang setia menemani Draco, serta sesosok gadis seusia Daphne yang duduk tepat di samping Draco sambil bergelayut manja. Membuat Astoria geram setengah mati melihatnya.

Namun Draco bukannya menyingkirkan gadis lancang itu dari sisinya, justru malah merangkul gadis itu dan menunjukkan kemesraannya tepat di depan calon istrinya. Untuk pertama kalinya Astoria meneteskan air mata di depan kedua sejoli itu.

Tak lama setelah ia masuk ke dalam Hogwarts, ia baru mengetahui ternyata Draco telah menjalin kasih dengan Pansy Parkinson, si gadis menyebalkan berambut cokelat yang kutemui di gerbong kereta di hari itu. Si gadis yang dengan seenaknya bermesraan dengan Draco di depannya.

Saat ia menyatakan kemarahanku kepada Draco, lelaki itu malah bersikap acuh padanya dan balik memarahi Astoria dengan kata-kata menyakitkannya yang menghancurkan hati.

"Aku tidak peduli! Aku mencintai Pansy dan itu tak ada hubungannya denganmu! Aku tak peduli kita ini dijodohkan atau bagaimana karena jelas-jelas aku ini tidak menginginkan dirimu!"

Sejak malam itu, ia kerap kali mendapati Draco bermesraan dengan Pansy di depan matanya. Di tahun ke empat di Yule Ball, bahkan lelaki itu memilih Pansy sebagai pasangan dansanya, bukan Astoria.

Berada dalam satu asrama dengan Draco Malfoy yang dulu merupakan impiannya justru membawanya dalam lubang neraka tak berujung. Kadang kala di saat ia tak dapat tidur, ia tak sengaja dapat mendengar suara desahan Pansy yang menggumamkan nama Draco. Hatinya yang telah hancur menjadi lebur seperti gumpalan kentang tumbuk.

Lalu saat perang dikumandangkan, Draco bukannya melindunginya malah melindungi sosok Pansy. Lelaki itu tak mengubris panggilan frustasinya untuk tetap tinggal di kediaman Greengrass dan pergi ke medan perang meninggalkannya seorang diri.

Pada detik itu, tangisannya pecah mewakili rasa sakit dalam hatinya.

Setelah Voldemort dijatuhkan, keadaan berangsur-angsur membaik. Ia kembali ke Hogwarts untuk melanjutkan pendidikannya yang sempat tertunda―yang dilakukan hampir seluruh murid yang masih hidup selama perang. Ia memfokuskan dirinya dalam pelajaran, menumpahkan seluruh perhatiannya ke dalam buku-buku tebal. Mengabaikan eksistensi Draco yang juga kembali melanjutkan pendidikannya di Hogwarts.

Walau sebenarnya, amatlah sulit dan perih ia rasakan tiap kali tak sengaja tatapannya bersibobrok dengan tatapan lelaki itu.

Namun ia mencoba kuat. Mencoba sebisa mungkin menjauhkan diri dari Draco. Setahun kemudian, Draco lulus bersama kakaknya dan si gadis―atau ia bisa katakan wanita―Parkinson. Sejak saat itu, ia merasakan hidup tenang sembari mengubur dalam perasaan tak terbalasnya kepada Draco. Tapi ia tahu, dalam lubuk hatinya yang paling dalam ia masih amatlah mencintai pemuda yang selalu menyakitinya.

Setelah tujuh tahun tak bertemu, tepat tujuh bulan yang lalu mereka disatukan dalam ikatan pernikahan. Pestanya diselenggarakan dengan amat meriah. Tamu-tamu yang diundang pun tak sembarangan―semuanya adalah orang penting dan berpengaruh di dunia sihir London. Teman-temannya di Hogwarts pun diundang sesuai dengan permintaan Astoria―yang sebelumnya ditentang habis-habisan oleh Draco karena lelaki itu tak suka pernikahannya diketahui oleh teman-temannya sendiri.

Karena Draco masih mencintai Pansy … Betapa berangnya lelaki itu saat mengetahui keputusan pernikahan itu secara sepihak. Kini lelaki itu semakin menatapnya dengan tatapan benci itu―tatapan yang selalu sukses menggoyahkan tembok yang ia pasang mengelilingi hatinya yang rapuh. Tatapan yang membuatnya diam-diam menangis lirih hampir tiap malam.

Di hari pernikahannya, ia kembali meneteskan air mata pedih ketika bibir tipis Draco menyentuh bibirnya untuk pertama kali. Menyegel janji pernikahan mereka dalam satu ciuman singkat yang begitu kaku dan dingin. Ciuman pertama yang tak seindah Astoria inginkan. Ciuman yang selalu ia kira terasa hangat dan mendebarkan hati, ternyata terasa begitu dingin dan menyakitkan hati.

Dan saat itu ia sadar, ia terikat dalam pernikahan yang hanya akan menyiksa dirinya sendiri.

Malam pernikahan mereka bahkan terasa lebih buruk dari ciuman pertamanya tadi. Tak ada kelembutan ataupun perasaan hangat. Hanya ada rasa sakit karena Draco tanpa tendeng aling langsung mengoyak keperawanannya tanpa mempersiapkan Astoria terlebih dahulu. Membuat gadis―yang telah menjadi wanita itu menjerit lirih karena nyeri yang ia rasakan pada kemaluan dan hatinya.

Suara tangisannya bahkan tak digubris oleh Draco. Lelaki itu terus mengoyaknya hingga kepuasan telah tercapai. Setelah itu Draco tidur memunggunginya. Tak mempedulikan sang isteri yang masih terisak pedih.

Hari-hari pernikahan mereka tak seindah seperti hari-hari pernikahan Daphne. Kakaknya selalu menceritakan betapa bahagianya ia bersama suaminya, Theodore Nott. Rasa iri kerap menjalari hatinya ketika membaca cerita kemesraan sang kakak pada sepucuk surat yang ia terima setiap minggu dari Daphne.

Ya, Daphne telah menikahi Theodore tiga tahun sebelum ia menikah. Menikah atas dasar cinta. Tak seperti dirinya yang menikah atas dasar perjodohan …

Namun karena ia tak ingin membuat Daphne khawatir, ia selalu mengirimkan surat berisi cerita bohong menceritakan kebahagian semu dalam kehidupan pernikahannya dengan Draco.

Yang hanyalah harapannya semata.

Draco jarang pulang ke rumah. Kalau pulang pun pasti lelaki itu biasanya telah mabuk berat. Astoria yang kurang terbiasa dengan bau alkohol harus menahan mual tiap ia berusaha membantu Draco untuk mengeluarkan isi perutnya di kamar mandi. Namun ia tetap bertahan melakukan yang terbaik untuk suami yang tidak mencintainya itu.

Kadang ia dapat mencium bau parfum asing yang bercampur dengan bau alkohol. Bau parfum yang sama dengan parfum yang selalu dikenakan Pansy. Membuatnya kadang tanpa sadar mencengkeram ujung kemeja mahal Draco hingga membuat kain itu menjadi kusut masai.

Lalu, tetes demi tetes air mata akan tumpah saat ia memandangi punggung Draco yang telah terlelap karena efek alkohol yang masih tertinggal pada sistem sarafnya. Ia akan selalu menahan suara isakannya agar tak terdengar oleh suaminya itu. Yang sebenarnya sia-sia juga karena Draco tak akan pernah peduli padanya. Menganggap rasa cintanya ini adalah perasaan yang tak berguna.

Ia tahu, ia tahu kalau ia amatlah bodoh. Mengharapkan cinta seorang Draco Malfoy yang bahkan tidak mencintainya. Selalu berharap kalau suatu saat Draco akan melupakan sosok Pansy Parkinson lalu membuka hatinya untuk diisi oleh seorang Astoria Malfoy.

Tubuhnya mulai gemetar pelan. Entah sejak kapan bulir air mata telah membasahi pipinya. Nafasnya tercekat kala ia menahan isakannya untuk kesekian kali. Ia memeluk tubuhnya semakin erat untuk menahan lonjakan tubuhnya saat petir kembali menyambar.

Sungguh, ia sebenarnya tak tahan. Ingin rasanya ia memutuskan janji sakral yang telah membelitnya dengan Draco. Ingin lari dari dunia yang kini ia tempati dan pergi jauh dari kenyataan. Ingin lepas dari sakit hati yang tak pernah lelah merongrong hatinya yang telah berdarah-darah karena luka yang tak sanggup disembuhkan lagi.

Namun ketika ia melihat cincin pusaka keluarga Malfoy yang melingkari jari manisnya, semua keinginan itu menguap dari kepalanya. Apalagi kini dalam perutnya telah tertanam benih Draco yang mulai berkembang … Calon anaknya yang amat ia kasihi …

Pelan, ia mengusap kembali perutnya dengan penuh sayang. Rasa sakit yang menggerogoti dadanya berangsur-angsur pudar bersamaan dengan senyum yang terkembang dari bibirnya. Setidaknya kalaupun ia akan menderita seumur hidup, ia masih memiliki sosok mungil yang akan menyayanginya dengan amat tulus …

Namun baru saja ia merasa tenang, tubuhnya kembali terlonjak kaget ketika ia mendengar suara derit pintu yang dibuka perlahan. Ia langsung membalikkan tubuhnya dan mendapati sosok sang suami―Draco Malfoy―tengah berdiri diambang pintu dengan wajah kusut. Kemeja pria itu agak awut-awutan namun kancingnya masih terkait rapi. Jas perlente yang sebelumnya lelaki itu kenakan kini tersampir pada lengannya.

Astoria bergegas beranjak dari tempat tidurnya lalu berjalan menghampiri Draco yang berdiri kaku di depan pintu. Iris keperakan lelaki itu memicing tak suka saat Astoria mengambil jas ditangannya―namun membiarkan wanita itu bertindak sesukanya karena ia sudah terlalu lelah untuk marah-marah.

"Kenapa kau masih belum tidur?"

Astoria memberikan senyum hangat kepada sang suami―sebuah senyuman yang tak lelah Astoria berikan kepada Draco walau lelaki itu tak pernah mengubrisnya barang sekalipun ataupun membalas senyumannya.

"Aku menunggumu … Apa tidak boleh?"

Draco mendengus sambil melemparkan tas kerjanya asal di atas sofa berwarna emerald―warna khas Slytherin. Lelaki itu bergumam pelan, namun cukup keras untuk indera pendengaran Astoria. Membuat hati wanita itu untuk kesekian kalinya tergores perih karenanya.

"Seperti peri rumah saja. Menyedihkan."

Namun Astoria memilih untuk bersikap tak acuh seakan tak mendengar apa yang baru saja Draco ucapkan. Ia masih tersenyum dan berjalan mengikuti Draco yang tengah menuju kamar mandi.

"Akan kusiapkan pakaianmu, Draco."

Lelaki itu melirik sekilas ke arah Astoria yang tengah berjalan menuju lemari pakaian Draco untuk mengambil baju tidur milik suaminya itu. Draco mendengus lagi lalu masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri.

.

.

"Tory …!"

Si pemilik suara jeritan itu dengan ganas memeluk Astoria yang belum sigap. Hampir saja tubuhnya jatuh menyentuh lantai kalau saja kakinya tak cukup kuat menahan berat badan yang menghantam tubuhnya secara tiba-tiba.

"Daph …! Kau membuatku hampir jatuh tahu!"

Daphne melepaskan pelukannya sambil mengulasnya senyum hangat kepada sang adik. Sepasang mata kecoklatannya berbinar cerah.

"Maaf Tory … Aku sangat merindukanmu hingga aku jadi lupa diri dan memelukmu mendadak."

Astoria kali ini tertawa kecil lalu membalas pelukan hangat yang diberikan sang kakak.

"Ooh Daph … Aku juga amat merindukanmu! Tapi daripada kita berbincang di sini, bagaimana kalau kau ikut sarapan bersama kami? Aku yakin kau pasti belum makan."

"Dengan senang hati. Ada banyak hal yang ingin aku bicarakan denganmu." Ujar Daphne bersemangat.

Kedua puteri Greengrass yang telah melepas nama keluarga itu berjalan berdampingan sambil tertawa kecil. Tanpa terasa mereka telah tiba di ruang makan yang sudah ditempati oleh Narcissa dan Lucius Malfoy.

"Mom, Dad, hari ini Daphne datang berkunjung." Ucap Astoria sambil menuntun Daphne masuk. Narcissa langsung bangkit dari tempat duduknya dan berjalan menuju wanita-wanita yang berdiri tak jauh dari pintu ruang makan.

"Halo Daphne sayang. Lama tak berjumpa denganmu." Narcissa memeluk Daphne hangat sambil mengecup kedua pipi Daphne―yang dibalas juga oleh kakak tertua Greengrass itu.

"Aunt Cissi. Maaf tak menyempatkan diri berkunjung … Mengurus anak membuat waktuku banyak tersita." Nada suara Daphne terdengar sedih. Narcissa menggelengkan kepalanya sambil mengibaskan tangannya.

"Ooh Daphne, kau tak perlu merasa sedih begitu. Ayo bergabung bersama kami untuk menyantap sarapan pagi."

Astoria mengikuti Narcissa dan kakaknya menuju meja makan besar di depannya. Lucius masih duduk di atas kursinya dengan angkuh. Namun raut wajahnya terlihat lembut ketika ia melihat sang menantu bersama kakaknya ikut bergabung di meja makan.

"Uncle Lucius. Lama tak berjumpa." sapa Daphne sopan. Ia tak memeluk pamannya seperti ia memeluk Narcissa karena ia tahu, pamannya ini memang agak canggung jika melakukan kontak tubuh.

"Lama tak berjumpa, Daphne. Bagaimana kabarmu dan Theodore?" tanya Lucius. Daphne tersenyum cerah.

"Kami baik-baik saja. Yaah walau awalnya agak sulit menyesuaikan diri tinggal di rumah baru kami di Prancis, namun akhirnya kami dapat menyesuaikan diri." cerita Daphne antusias. Sejenak ia menganggukkan kepalanya mengucapkan terima kasih kepada elf rumah yang mengantarkan sarapan pagi untuknya di atas piring.

Ya, setelah menikah selama kurang lebih tiga tahun dan kini telah masuk ditahun keempat, Theodore Nott memutuskan untuk memperluas sayap bisnisnya ke Prancis. Yang itu berarti ia harus membawa Daphne serta anak mereka―Richard―menuju negara yang dikenal sebagai negara teromantis sedunia itu.

Memikirkan anak, membuat perut Astoria terasa mulas.

"Aah. Sayang sekali kau tidak membawa Richard kemari. Kami merindukannya." keluh Narcissa sambil memotong pancake dengan saus maplenya dengan pisau.

"Richard sedang sakit Aunt, makanya aku tidak mungkin membawanya kemari." Sejenak raut wajah Narcissa terlihat kecewa. "Aah tapi aku janji lain kali aku akan mengajak Richard dan Theo kemari. Aku sebenarnya ke sini juga karena terlalu antusias mendengar kabar yang diberikan Astoria padaku melalui surat dua hari yang lalu."

Pandangan Astoria yang sebelumnya tertuju pada sarapannya yang belum tersentuh langsung teralihkan pada kakaknya yang masih tersenyum senang. Narcissa dan Lucius terlihat sama-sama bingung.

"Kabar? Kabar apa?" tanya Lucius kali ini.

"Lho Aunt dan Uncle belum tahu? Astoria hamil!"

Raut wajah Narcissa langsung berubah. Kedua mata wanita berusia lanjut itu berbinar cerah. Sama dengan Lucius yang begitu bahagia mendengar kabar bahagia itu.

"Kau hamil, Tori? Kenapa tidak menceritakannya kepada ibu?" Narcissa langsung bangkit dari tempat duduknya dan memeluk Astoria dengan antusias. Astoria dengan agak canggung membalas pelukan dari ibu mertuanya.

"Tunggu sampai Draco tahu! Ooh dia pasti akan bahagia sekali!"

"Tahu apa, Mom?"

Empat pasang mata milik empat orang penyihir yang tengah berbahagia itu teralihkan pada sesosok pemuda berusia dua puluh enam tahun yang tengah berdiri di depan pintu ruang makan sambil menatap sang ibu dengan bingung. Lelaki itu telah mengenakan pakaian kerjanya, dan sepertinya ia tidak akan bergabung di meja makan kalau dilihat dari jubah yang tersampir pada lengannya.

Narcissa melepaskan pelukannya dari Astoria dan langsung berjalan menuju sang putera, lalu memeluknya erat. Sepasang matanya berkaca-kaca.

"Kau belum tahu? Ooh Tory pasti bermaksud memberimu kejutan!" ujar sang Nyonya Malfoy sambil mengerling sekilas ke arah Astoria yang berdiri tegang di depan kursinya. Draco melirik sekilas ke arah sang isteri lalu kembali menatap ibunya.

"Kejutan? Kejutan apa Mom?"

Debar jantung Astoria semakin cepat seiring dengan tiap kata yang keluar dari bibir Narcissa. Tanpa sadar ia meremas gaun berwarna putih gadingnya dengan begitu erat.

"Tory hamil, Draco. Tory hamil!"

Sepasang biji mata keperakan Draco terbelalak lebar.

.

.

Draco menyeret Astoria menuju ruang baca sesaat setelah berita bahagia itu berkumandang di ruang makan. Tiga orang lain yang ditinggalkan di sana mengira Draco begitu bahagia hingga tanpa perlu bersabar lelaki itu menyeret Astoria dari ruangan itu.

Mungkin untuk bermesraan, kedua Malfoy dan satu Nott memberikan spekulasi dalam kepala mereka masing-masing.

Tanpa menyadari kalau sedaritadi Astoria meringis nyeri karena Draco mencengkeran pergelangannya terlalu erat. Nafas Astoria sedikit terengah karena Draco berjalan begitu cepat. Menggunakan high heels setinggi tiga senti tidak membantunya untuk dapat berjalan dengan rileks. Astoria merutuki dirinya karena tidak mengenakan selop pagi itu.

Akhirnya mereka tiba di ruang baca. Draco langsung menyeret Astoria masuk, menggumamkan mantera pengunci dan 'Silencio' agar tak ada yang dapat mendengar percakapan mereka. Draco membalikkan tubuhnya lalu menatap sang isteri dengan pandangan gusar.

"Kenapa kau tidak memberitahuku terlebih dahulu, Astoria?!"

Astoria sedikit berjengit ngeri mendengar nada suara Draco yang terdengar lebih dingin dari biasanya. Wanita berambut kecoklatan itu menundukkan kepalanya ngeri.

Draco yang kesal karena pertanyaannya tak kunjung dijawab oleh Astoria dengan kasar memegangi dagu Astoria dan membuat sepasang mata cokelat milik Astoria bertatapan langsung dengan matanya. Astoria menelan ludahnya dengan gugup.

"Kau ini bisu atau tuli?! Jangan membuat habis kesabaranku, Astoria…!"

Nafas Astoria tercekat mendengar hujatan Draco. Dengan susah payah ia menahan kedua pasang matanya yang telah berkaca-kaca untuk tidak meneteskan air mata di depan suaminya itu.

"A-Aku takut kau a-akan marah … kalau ta-tahu aku … hamil …" ujar Astoria dengan suara yang bergetar. Draco entah kenapa merasakan dadanya terenyuh melihat pemandangan di depannya. Tanpa sadar ia melepaskan genggaman tangannya pada dagu Astoria. Wanita itu kembali menundukkan kepalanya.

"Kukira Daphne tidak akan membocorkannya kepada Mom dan Dad ketika aku menceritakannya … Tapi ternyata …" Astoria tak melanjutkan perkataannya ketika ia merasakan setetes air mata jatuh dari sudut matanya―yang untungnya tak terlihat oleh Draco.

Astoria mencengkeram gaunnya yang telah kusut sebelumnya, "Aku bermaksud … menceritakannya p-padamu saat w-waktunya … su-sudah tepat …" kali ini Astoria terisak. Pertahanan dirinya jebol. "Tapi ternyata …"

Draco terdiam sembari menunggu Astoria menyelesaikan penjelasannya. Kedua tangannya terkepal erat melihat sosok rapuh di depannya. Entah kenapa … Rasanya ia ingin memeluk isterinya itu dan menenangkannya …

Draco tanpa sadar menggelengkan kepalanya. Gila, sejak kapan ia peduli dengan Astoria?

"Ma-maafkan aku … Seharusnya aku m-memberitahukannya padamu dulu …" kepala Astoria semakin tertunduk. Ia memejamkan matanya, bersiap-siap untuk mendengar kata makian yang akan ditujukan Draco padanya.

Yang paling buruk, ucapan berupa perintah dari Draco untuk menggugurkan buah hati mereka.

Namun bukannya suara menggelegar Draco yang terdengar, melainkan suara helaan nafas yang meluncur dari bibir pria Malfoy itu.

"Tak apa Tory … Kau … tak perlu meminta maaf." Kepala Astoria langsung terangkat mendengar kata-kata Draco yang terdengar agak gamang. Kedua matanya terbelalak lebar saking terkejutnya, membuat Draco merasa sedikit kurang nyaman mendapati sepasang biji mata bundar Astoria menatapnya kebingungan.

"D-Draco …"

Dengan agak canggung, Draco mengusap sebulir air mata yang menggantung pada sudut mata Astoria. Menyadari apa yang baru saja ia lakukan, buru-buru Draco menjauhkan tangannya dari wajah Astoria yang kini menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Aku harus berangkat kerja. Sampaikan salamku kepada Daphne."

Draco berjalan melewati Astoria untuk keluar dari ruangan itu―meninggalkan Astoria yang sekarang tertuduk lemas di atas lantai berlapiskan karpet dari bahan kasmir berwarna hijau gelap. Tanpa dapat ia tahan, senyuman terbentuk dari bibirnya serta wajahnya kini bermandikan air mata haru.

Dengan lembut, ia mengusap perutnya yang masih rata berulang kali. Untuk pertama kalinya sejak sepuluh bulan terakhir, kelegaan luar biasa dapat ia rasakan membuncah dalam dadanya.

Merlin … Apa ini keajaiban? Apakah … ia masih boleh berharap?

.

.

Draco menghela nafas gusar. Tubuhnya ia sandarkan pada kursi empuk yang ia tempati saat ini. kepalanya tengadah, sementara kedua matanya terpejam. Tangannya ia gunakan untuk memijit pangkal hidungnya. Kedua matanya cukup lelah setelah seharian ia memeriksa berkas bisnis keluarganya.

Setan apa yang tadi pagi merasukinya sehingga ia dapat bersikap lembut dengan Astoria? Draco mengeram nafas kesal memikirkan peristiwa tadi pagi, dimana ia untuk pertama kalinya mengusap air mata yang kerap kali Astoria tumpahkan dalam hatinya. Ia bahkan tak mengerti dengan rasa sakit yang mencubit dadanya saat itu.

Ia sendiri tidak mengerti, kenapa sejak dua minggu yang lalu ia tak pernah pulang larut dan mengunjungi Pansy seperti yang ia lakukan sejak tujuh bulan lalu? Kini Ia hanya pulang larut jika pekerjaan menumpuk, ataupun ketika ia menghadiri pesta koleganya …

Ia juga tak pernah protes lagi ketika ia mendapati Astoria menungguinya hingga larut malam. Malah akhir-akhir ini ia merasa bersalah tiap kali melihat sosok Astoria yang terkantuk-kantuk di atas ranjang kala ia tiba di rumah pada jam-jam yang kurang wajar …

Ia pun sampai merutuk diri dalam hati tiap kali ketika tanpa sadar ia melontarkan kalimat ejekan kepada isterinya itu. Ia bahkan kini selalu memakai pakaian tidur yang dipilihkan Astoria setelah mandi. Suatu hal yang tak pernah ia lakukan sejak hari pertama pernikahan mereka.

Ia malah tak pernah lagi mengubris undangan Pansy ke atas tempat tidurnya sejak dua minggu lalu. Menjauhkan diri dari wanita yang telah merebut hatinya sejak tahun ketiganya di Hogwarts. Mengabaikan protes dari Pansy tiap kali tawarannya ditolak. Tak pernah membalas satupun surat yang dikirimkan oleh kekasih gelapnya itu dan langsung membuangnya ke dalam perapian tanpa menyempatkan diri membacanya terlebih dahulu.

Merlin, apa dia sedang sakit?

Ia yakin ia masih sehat wal'afiat. Ia rajin memeriksakan dirinya kepada healer pribadi keluarga Malfoy tiap dua kali sebulan. Ia bahkan tidak merasakan dia sedang berhalusinasi. Semuanya normal dan baik-baik saja.

Lalu, apa yang salah dengan dirinya?

Draco mengeram putus asa.

Ia langsung bangkit dari tempat duduknya lalu menyambar mantelnya dengan gusar. Ia berjalan menuju perapian kantornya lalu menebarkan bubuk floo dalam perapian itu setelah ia menggumamkan tempat tujuannya.

Ia rasa ia harus beristirahat di rumah dan menenangkan pikirannya yang kacau.

Merlin, ini bahkan belum jam makan malam dan ia sudah ingin pulang!

.

.

"Son, kau pulang cepat sekali. Tak seperti biasanya."

Suara Lucius Malfoy menyambutnya saat ia keluar dari perapian di ruang keluarga mansion Malfoy. Draco mengibaskan abu yang menempel pada jubahnya sambil menggerutu pelan.

"Pekerjaanku selesai lebih cepat dari yang kuperkirakan Dad." Draco kemudian melepaskan jubahnya dan membuka dua kancing kemejanya. Ia melemparkan jubahnya yang dengan sigap ditangkap oleh elf rumah, lalu mendudukkan dirinya di atas sofa empuk berhadapan dengan sang kepala keluarga Malfoy.

"Hm? Tak mengunjungi si wanita Parkinson itu?"

Sepasang mata keperakan milik Draco terbelalak lebar mendengar pertanyaan sang ayah yang tengah sibuk membaca buku bersampul beludru.

"Apa maksudmu, Dad?"

"Jangan kau kira aku bodoh, Son. Aku tahu affair yang kau lakukan di belakang Tory."

Lucius Malfoy kini meletakkan buku yang ia tengah baca di atas meja. Tak lupa melipat terlebih dahulu lembaran terakhir yang ia baca. Sepasang biji mata berwarna senada milik Draco menatap sang putera dengan serius.

"Dengar, Son. Aku tidak ingin mencampuri urusan pernikahanmu dengan Tory …" Draco merasakan atmosfir ruangan yang ia tempati semakin sesak―membuatnya kini terduduk dengan tidak nyaman di atas sofa ketika mendapati sepasang mata Lucius menatapnya lamat-lamat. "Tapi sebagai ayah dan mertua, aku ingin kau bersikap baik kepada isterimu. Tory sangat mencintaimu, Son …"

Rasanya dadanya seperti dicubit kuat-kuat.

Ia tahu. Ia amatlah sangat tahu kalau Astoria mencintainya. Isteri yang terpaut umur dua tahun darinya itu telah mencintainya semenjak mereka pertama kali bertemu di peron Sembilan tigaperempat lima belas tahun yang lalu. Namun ia tak menyangka kalau ayahnya tahu kalau Astoria amatlah mencintainya―terlepas dari pernikahan mereka yang diputuskan oleh keluarga bukan kehendak sendiri.

Draco tersenyum getir ketika ia teringat pernikahan yang diputuskan secara sepihak ini.

"Jadi …" Lucius bangkit dari tempat duduknya. Lelaki itu nampaknya memang tidak membutuhkan jawaban dari Draco. "Aku harap kau bisa bertindak lebih bijak, Son. Kau telah menyakiti Tory terlalu lama."

Lucius meninggalkan sang anak sendirian di ruang keluarga. Membiarkan Draco memikirkan kata-katanya. Lelaki yang tak muda lagi itu melangkahkan kakinya menuju kamarnya sambil membawa bukunya yang sempat terabaikan.

Sementara Draco duduk tepekur di atas sofa. Kepalanya sibuk memutar ulang perkataan sang ayah yang entah kenapa membuatnya terasa seperti tertampar dengan kencang. Lebih kencang dari tamparan yang dilayangkan Hermione Granger padanya tiga belas tahun yang lalu.

"Kau telah menyakiti Tory terlalu lama."

.

.

.

To Be Continued

.

.

.


a.n: Yap! Fic ini aku bikin MC soalnya kalo oneshot kepanjangan ._.

HAPPY BIRTHDAY NISA A.K.A WATCHFANG! Semoga fic ini sedikit memuaskan ya … ( baru pertama kali bikin fic harpot canon, bikin tegang euyy Dx ) Aku doain karirmu makin bagus, rejeki makin lancar, panjang umur, sehat selalu, berkah melimpah. Amiiiinn! Puasanya yg semangat yuaahh. Maap kadonya agak telat soalnya WB ini menggerogotiku /halah

Maap ya kalo ini typosnya banyak. Semoga feelnya kerasa juga. fiuuhh. *usap keringat*

Oh ya berkenankah untuk mereview? Saran, kritik diterima kok. Diflame juga boleh, soalnya kan aku maso XD /plak/

Btw, selamat puasa buat yang menjalankan. Semangat ya puasanya jangan bolong-bolong :3