.

.

.

Hana Yori Dango 3

THE NEXT GENERATION

.

.

.

Disclaimer

Hana Yori Dango selalu menjadi milik Yoko Kamio–sensei,

sementara Naruto dan karakter-karakter lainnya milik Masashi Kishimoto.

Written by ButaTokki and CamsaHead

Translated by Ravensky Y-chan

.

.

.

Chapter 1

Sakura mendesah sambil membiarkan kepalanya merosot ke belakang. Dia benci bahasa Perancis, bahasa konyol dengan aksen bodoh dan putaran lidah yang aneh... dia benci itu. Tidak ada yang masuk akal dalam bahasa Perancis, tapi tentu saja terserah kepadanya untuk masuk ke sekolah di mana Perancis adalah mata pelajaran wajib. Dia membuka matanya dan menghirup napas agak keras sebelum duduk tegak dan menatap buku teks di hadapannya. Saat ini seharusnya adalah waktu belajar mandiri, tapi untuk beberapa alasan di sekolah ini hal itu berarti 'pergi ke kantin atau aula untuk makan, ngobrol dan bergaul' dan anehnya sekolah ini menjadi SMA paling bergengsi di Japan Eitoku Gakuen. Orang-orang kaya, bermasalah.

Dia tidak bisa bersabar menghadapi orang-orang kaya. Mereka semua hanyalah bocah manja yang berpikir uang bisa memberi mereka segalanya. Mereka berjalan di sepanjang lorong-lorong sekolah seperti pewaris tahta menuju singgasana. Tapi di antara semua anak manja ini, ada sebuah kelompok yang melampaui semua tingkat kekayaan mereka. Kelompok ini terdiri dari empat penguasa sekolah ini, F4. Mereka adalah anak-anak dari kelompok F4 sebelumnya. Dalam kelompok ini ada Shimura Sai, putra Shimura Sojiro, Akasuna Sasori, putra Akasuna Akira, Uzumaki Naruto, putra Uzumaki Minato, dan terakhir pemimpin mereka, Uchiha Sasuke, putra Uchiha Fugaku dan Uchiha Mikoto. Mungkin kau akan berpikir bahwa Uchiha Sasuke akan menjadi "rakyat jelata" seperti Sakura karena ibunya dulu juga orang biasa, tapi dia benar-benar berbeda.

"Yo, Haruno."

Sakura menoleh ke asal suara yang memanggil namanya. Dia melihat teman-temannya berjalan ke arahnya, tiga orang penerima beasiswa lainnya. Nara Shikamaru si ranking satu di kelas, Rock Lee si ranking empat, dan Yamanaka Ino si ranking tiga. Ketiganya duduk dengan buku dan makan siang kecil mereka. Mereka memang menerima beasiswa, tapi bukan berarti mereka mendapatkan kemewahan dengan masuk ke sekolah ini.

"Pelajaran apa?" Shikamaru bertanya sambil membuka bentounya.

"Bahasa Perancis," jawabnya dan melihat Shikamaru meringis... Dia membenci Perancis juga. "Ne, Lee-kun, bantu aku," katanya, beralih ke Lee yang mengangkat tangannya defensif.

"Hei, keahlianku adalah bahasa Inggris."

"Tapi kau bisa berbahasa Jepang dan Inggris dengan sangat baik, jadi bukankah itu memberimu semacam lidah super?" Sakura bertanya putus asa.

"Apa?" tanya Lee sambil tertawa. "Tentu saja tidak. Aku terpaksa belajar bahasa Jepang karena aku tinggal di sini."

"Eh~," Sakura mengangguk.

"Jangan terlalu khawatir Sakura-chan, Kau kan si nomor dua di kelas," kata Ino, mencoba memisahkannya dari buku teks agar mereka bisa benar-benar makan siang bersama.

"Tapi—,"

"Tidak," kata Shikamaru dengan nada final dan merebut buku teksnya. "Kau berpikir berlebihan. Ayolah, berikan buku itu," tambahnya ketika Sakura menahannya tapi gagal dan akhirnya menyerah.

"Ya ampun," kata Sakura cemberut.

"Sekarang makan bentoumu atau kau akan kelaparan saat bel berbunyi," perintah Lee.

"Hai', hai'. Aku tidak perlu diasuh begitu!" balas Sakura sambil tersenyum, mengetahui bahwa teman-teman peduli padanya.

Dia ingat betapa takutnya dia pada hari pertama sekolah, dikelilingi oleh anak-anak yang berjalan-jalan dengan berlian pada pita rambutnya dan emas di bingkai kacamatanya. Benar-benar luar biasa dan menakutkan sekaligus. Dia takut salah langkah karena jika dia merusak apapun, dia tidak akan sanggup menggantinya. Namun kemudian dia bertemu Lee yang dia sadari sama sepertinya, penerima beasiswa, dan Lee mengenalkannya pada Shikamaru dan Ino, dan sejak itu terbentuklah kelompok kecil mereka. Sakura tertawa saat Lee dan Shikamaru tampak berdebat.

"Apa yang tidak kausukai? Peperangan, pistol, darah! Ini akan menakjubkan. Kita harus melihatnya!" Lee berseru saat Shikamaru menyuapkan nasi ke mulutnya.

"Aku tidak suka film perang," jawab Shikamaru simpel.

"Tapi ini akan terkenal!" Lee berargumen. Sakura melihat Shikamaru berhenti dan berpikir sejenak sebelum menjawab.

"Aku benci film perang," jawab Shikamaru dan Lee menghela napas.

"Bagaimana denganmu, Sakura? Mau menonton film itu denganku?" Lee bertanya, tahu bahwa ada sisi "boyish" dalam diri Sakura.

"Eh? Well, ya tentu saja. Ne, Ino, mau ikut dengan—"

"AH! Itu F4!" Ino berseru dan semua orang menolehke ujung ruangan di mana keempatnya berjalan masuk dan kerumunan orang menatap mereka dengan kagum.

"Tak bisa dipercaya, mereka diijinkan tidak memakai seragam. Konyol, mereka menguasai peraturan." Sakura metutar matanya.

"Shh, jika mereka mendengarmu, kau akan mendapat kartu merah," Lee memperingatkan.

Jujur, Sakura akan dengan senang hati berperang dengan bocah-bocah itu tapi dia tidak bisa karena dia harus tinggal di sekolah ini untuk belajar. Demi masa depannya. F4 masuk lebih dalam ke kantin dan mencapai meja Sakura dkk. yang berada di dekat tangga yang menuju ke tempat pribadi F4. Sasuke melirik dan memberi mereka tatapan jijik.

"Sungguh menakjubkan bagaimana hama sepertimu dapat menyentuh lantai sekolah ini," katanya, jelas kesal. Selalu seperti ini. Hanya dengan melihat mereka, dia selalu bisa menggertak atau mengatakan hal semacam itu. Dia benci "rakyat jelata". Tapi sekali lagi, dia juga mewarisi darah itu dari ibunya.

"Sasuke, tenanglah agar kita bisa makan dengan tenang," kata Naruto, meletakkan tangannya di bahu Sasuke dan setelah memberi tatapan terakhir ke semua orang, mereka melanjutkan perjalanan mereka ke atas. Sai dan Sasori saling bertatapan geli mendengar kata-kata Sasuke, lalu menyusul keduanya menaiki tangga ke atas. Sasuke menjatuhkan dirinya ke sofa, satu kakinya ditempatkan di atas lengan kursi. Tiga orang lainnya mengambil kursi mereka dan pelayan mulai melayani mereka.

"Aku tidak mengerti mengapa sekolah membiarkan kalangan bawah masuk ke sini," katanya jengkel.

Sasori menatapnya. "Bukankah sekolah ini milikmu?" katanya.

Sasuke menyipitkan mata. "Jadi…"

Sai menyeringai. "Jadi, secara teknis kau membiarkan mereka masuk."

Sasuke duduk tegak. "Tunggu, tidak, ayahku yang memiliki sekolah ini dan beasiswa bodoh ini adalah ide wanita tua itu," katanya, merujuk ibunya. "Aku tidak ada hubungannya dengan ini dan aku terus berusaha meyakinkan ayahku untuk mengubahnya, tapi kalian kenal dia, dia tidak akan ikut campur dalam urusan wanita tua itu." Dia menggerutu. Sai, Naruto dan Sasori bertukar pandang dalam diam. Mereka semua paham akan kemarahan Sasuke terhadap ibunya.

"Ada apa dengan si brengsek itu?" Sakura berkata kesal saat mereka mulai mengemasi kotak bentou dan kembali ke kelas mereka.

"Apa kau benar-benar perlu bertanya?" kata Shikamaru sambil menaikkan alis ke arah Sakura.

"Pertanyaan retoris. Aku hanya tak bisa menghadapinya! Aku tak percaya dia putra dari wanita baik hati yang mengijinkan kita bersekolah di sini. Aku dengar ayahnya bahkan berubah jadi baik sejak mereka berpacaran. Jadi apa yang salah dengan dia? Apakah dia semacam keturunan yang rusak?" Sakura berseru.

"Mungkin ada sesuatu tentangnya yang tidak kita ketahui," kata Ino.

"Tidak, dia sama seperti biasanya. Dia benar-benar bocah," kata Sakura sambil menggeleng, menolak adanya penjelasan lain. "Itu hanyalah rumor bodoh dan masyarakat tidak tahu banyak. Mereka bukan selebriti yang semua orang ingin ketahui tentang detil hidup mereka. Ini faktanya dan hanya satu-satunya: Uchiha Sasuke bukan apa-apa selain bocah manja dan tidak berguna."

"Bayangkan apa yang akan dilakukannya jika dia mendengarmu…," Shikamaru mengingatkan.

"Dia tidak bisa melakukan apa-apa. Seluruh sekolah menghormati tuan dan nyonya Uchiha. Mereka mematuhinya dan membiarkan kita masuk. Kita punya persetujuan mereka dan putra bodoh mereka tidak bisa melakukan apapun," kata Sakura.

Sasuke melihat ke bawah, ke arah Sakura. Dia bisa mendengarnya, lantang dan jelas. Sekali lagi ayahnya mempermalukannya dan ini bahkan belum tengah hari. Sasuke mendecakkan lidah sebelum berdiri. Yang lainnya memandang ingin tahu, bukan berarti Sasuke tidak punya kebiasaan aneh berdiri tiba-tiba tapi ini dua menit lebih awal.

"Ada apa?" tanya Sai seraya memasukkan daging ke mulutnya.

"Siapa mereka?" dia bertanya dengan tenang dan matanya menatap Sakura dan teman-temannya ketika mereka mulai berjalan keluar kantin.

"Itu Haruno Sakura," jawab Sasori. "Penerima beasiswa. Yang lainnya juga penerima beasiswa."

Sasuke menyeringai. "Aku menemukan target selanjutnya."

.

.

#The Next Generation#

.

.

"Sakura-chan, ayo pergi," kata Ino kepada temannya, mendekati mejanya. Jam pulang sekolah akhirnya tiba dan anak-anak kaya berjalan perlahan dan elegan keluar sekolah dengan pelayan-pelayan yang membawakan barang-barang mereka. Sakura tidak terlalu memerhatikan mereka. Yang dia pedulikan hanya keluar dari sini.

"Hai', ayo kita pergi," katanya sambil berdiri.

"Akhirnya kita bisa pulang," kata Shikamaru sambil menghela napas dan berjalan keluar kelas.

"Tapi kau harus mengakui, benda-benda di sekitar sini memang bagus," Lee berkomentar, menunjuk furniture. Masing-masing bagian harganya lebih mahal dibandingkan apapun yang sanggup mereka dapatkan.

"Aku tidak peduli. Aku hanya ingin pulang dan—"

"Halo," seseorang berkata dan muncul tiba-tiba dari sudut, mengagetkan mereka, menghalangi Sakura.

"Uzumaki Naruto!" kata Ino terkejut.

"Haruno kan?" tanyanya, menatap lurus ke arah Sakura.

"Hai'…" katanya, masih belum menyerap kejadian tersebut.

"Aku hanya ingin mengatakan… berhati-hatilah," dia memperingatkan, ragu jika kata-katanya akan membocorkan rahasia.

"Eh?" tanya Sakura.

"Dah," adalah satu-satunya jawaban sebelum dia pergi.

"Lelaki misterius…," kata Sakura.

"Chotto… apakah kau menyadari bahwa dia tidak mengatakan '-san'?" tanya Lee.

"Kurasa dia sama seperti bocah lainnya," kata Sakura, mengalihkan kejadian barusan. Bagaimanapun dia merasa terganggu, dia tidak dapat mengalihkan tatapan dari kepergian Naruto. Ada sesuatu tentangnya yang sedikit memesona Sakura. Apa itu… dia tidak terlalu yakin.

"Yo~" kata Ino, menekan ringan sambil memutar bahunya.

"Dia sangat aneh." Sakura berkata pelan seolah untuk menutupi bahwa ia baru saja melamun. Ino menyeringai dan mengaitkan lengannya dengan lengan Sakura lalu menyeretnya ke gerbang sekolah.

"Jadi, mengenai film itu.." Lee memulai dan Shikamaru terlihat meringis.

"Kau yakin kau bisa menanganiku ketika menonton film perang, Lee?" Sakura bergurau dan Lee membuat wajah penuh tekad.

"Bring it on."

"Tidak. Tidak boleh!" kata Shikamaru. Ino sebenarnya tidak peduli, dia menonton apapun selama itu memiliki jalan cerita. "Jangan!" Shikamaru memohon tapi sudah terlambat, Lee dan Sakura sudah terperangkap dalam perdebatan siapa yang akan lebih menikmati film tersebut.

Sasuke memerhatikan rakyat jelata tersebut berjalan keluar sekolah sambil berdiri di pintu dengan teman-temannya. Mereka terlihat tidak peduli dan bahagia… tapi itu semua akan berubah besok. Dia tidak akan membiarkan mereka melanjutkan hidup di sekolah yang tidak pantas mereka masuki. Mereka akan selalu jadi orang biasa yang dekil.

"Oi, oi. Apa yang kau pikirkan dengan seringai jahat di wajahmu?" tanya Sasori, memerhatikan suasana hati Sasuke.

"Tidak banyak," dustanya sembari menyodorkan tasnya ke arah pelayannya. Sebelum dia memasuki mobil, Naruto memegang lengan dan menghentikannya.

"Naruto, dari mana saja kau? Kau menghilang tiba-tiba," kata Sai.

"Aku tahu apa yang kau pikirkan dan aku pikir kau tidak perlu melakukannya," kata Naruto, memandang Sasuke.

"Jangan bilang kau akan meninggalkanku juga," Sasuke menambahkan dengan nada kasar.

Naruto terdiam, tidak mampu menjawab. Emosinya terbagi dua, dia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Dia pikir permainan Sasuke harus dihentikan tetapi dia tidak dapat menghianati temannya yang sudah cukup terkhianati. Naruto menggeleng ragu-ragu. Jika ada seseorang yang ditinggalkan lebih dari cukup dalam satu fase kehidupan, itu adalah Uchiha Sasuke. Sasuke memberi tatapan terakhir ke arah Naruto sebelum memasuki mobilnya. Menghembuskan napas cukup keras, Naruto menatap kepergian mobil tersebut. Sai dan Sasori saling berpandangan, kemudian menatap Naruto.

"Ada apa?" tanya Sasori ketika mereka masuk ke mobil Sai. Naruto menggeleng.

"Bukan apa-apa..." kata Naruto.

"Apanya yang bukan apa-apa Naruto. Ada masalah apa?" Sai bertanya sambil memberi tanda kepada supirnya agar mulai jalan. Naruto memandang keluar jendela.

"Terkadang… sesuatu… berjalan dengan tidak adil," dia berkata tanpa melihat kedua temannya yang sekarang lebih dari sekedar bingung. Ada sesuatu yang terjadi, Naruto teringat sesuatu yang familiar, seperti cerita ibu Sasuke ketika mereka masih kecil. Dia menutup matanya dan mencoba tidak memikirkan sesuatu yang dia ketahui, sesuatu yang dengan menyesal dia ketahui. Ketika akhirnya dia menoleh ke arah Sai dan Sasori, dia tersenyum. "Sungguh, ini bukan apa-apa… aku hanya bosan dengan permainan Sasuke. Itu saja."

Sai mencibir. "Tapi kau tahu itu satu-satunya hal yang bisa ditangani Sasuke dengan baik. Itu sifat turunan keluarganya," Sai menertawakan komentarnya, merujuk masa muda ayah Sasuke.

"Aku rasa kita semua punya sifat keluarga masing-masing," Sasori bergabung dalam gurauan Sai.

"Kurasa kau benar...," Naruto bergumam. Dia terus melihat ke luar jendela dan setelah beberapa saat dia memejamkan mata, mencoba berhenti memikirkan kembali cerita itu… cerita yang sepertinya membentang sendiri tanpa bisa dia cegah untuk tidak terlibat di dalamnya.

.

.

#The Next Generation#

.

.

"Tadaima," kata Sasuke saat dia memasuki rumahnya meskipun dia tahu berteriak seperti itu sama sekali tidak berguna. Pertaman, karena rumahnya terlu besar dan kedua, karena tidak ada yang peduli untuk mendengarnya. Dia melewati ruang kerja ayahnya, pintunya sedikit terbuka sehingga ia dapat mendengar suara ayahnya yang sedang marah kepada seseorang melalui telepon yang dipegangnya di sisi wajahnya.

"Aku bilang tinggalkan itu!" Dia mendengar ayahnya berteriak sebelum membanting telepon, memutus seseorang yang sedang berbicara kepadanya. Ayahnya menatap telepon kemudian tiba-tiba beralih ke arah Sasuke yang berdiri di luar koridor, seolah menyadari kehadirannya. "Apa yang kau lihat?!" tanya Fugaku kasar.

"Tidak...," jawab Sasuke sambil terus berjalan menuju kamarnya. Rumah itu punya banyak kamar yang sangat besar sehingga masing-masing seperti apatemen tersendiri. Dia mengancingkan bajunya sebelum berhenti di salah satu pintu. Dia menatap sejenak, kemarahan menyala di matanya saat menatap pintu itu.

Tangannya terulur memutar kenop, seolah ragu apakah dia benar-benar ingin masuk, namun beberapa bagian dari dirinya bukan hanya marah... dia kesepian. Saat membuka pintu matanya menatap ke seberang ruangan, ke arah wanita di tempat tidur. Dia berjalan perlahan, setiap langkah terasa semakin berat. Ruangan itu terasa sangat besar baginya. Semua hal di ruangan itu terasa asing, termasuk wanita di tempat tidur tersebut. Kamar ini dibuat khusus untuknya; peralatan medis memenuhi ruangan seperti halnya warna-warna lembut yang memberi sentuhan pribadi terhadap ruangan itu.

Tidak ada yang pribadi di ruangan ini.

Sasuke meraih tempat tidur, menatapnya... Wanita itu tampaknya tidak menua... Dia terlihat sama seperti sepuluh tahun yang lalu ketika kecelakaan itu terjadi... Yang paling buruk adalah bahwa ia terlihat seperti tertidur, seolah setiap saat dia bisa membuka matanya seolah-olah tidak ada yang terjadi. Mungkin itulah alasan mengapa ayahnya sangat terobsesi dengan ide bahwa dia akan bangun. Sasuke mendengus sambil menatap wanita itu.

"Kau tak akan pernah bangun," dia berkata, suaranya tenang namun mematikan, memberi tatapan terakhir sebelum pergi, sekali lagi merasa marah kepada wanita yang berbaring di sana, kepada istri Uchiha Fugaku, kepada Mikoto, kepada ibunya.

.

.

#The Next Generation#

.

.

"Sakura-chan, ohayo~," panggil Ino sambil menghampiri temannya yang baru memasuki pintu kelas.

"Ohayo," sahut Sakura.

"Ne, apakah kau bisa mengerjakan PR matematika? Aku tidak terlalu yakin jawabanku benar," kata Ino, mengikuti temannya menuju loker.

"Aku juga tidak terlalu yakin apa yang aku kerjakan—," kata Sakura, suaranya serak ketika matanya menatap sepotong kertas merah menggantung di dalam lokernya dan bertuliskan 'Dari F4'.

.

.

.

TBC