Matahari di musim panas sama sekali tidak bersahabat di pusat kota. Kaito yang hanya memakai kemeja putihnya, mengibaskan korannya ke wajahnya yang berkeringat. Wajahnya sangat kusut hingga dia merasa bisa memukul orang-orang di sampingnya yang tidak berhenti mengobrol. Di halte bus, Kaito sudah menunggu bus-nya sekitar 30 menit, namun masih saja belum tiba. Saking panasnya, dia tidak sadar jika ponselnya sudah bergetar berkali-kali, seketika dia langsung mengangkat ponselnya tanpa melihat nama kontaknya.
"Selamat siang!" Jawab Kaito dengan nada tertekan dan terdengar seperti orang yang mencoba menjaga etika.
Di balik telepon, suara tawa seorang wanita terdengar dengan jelas, "Kaito! Kau kenapa?"
Wanita itu adalah teman sekantor Kaito di penerbitan majalah, Meiko. Kaito dan Meiko terkenal karena persaingan mereka di kolom berita utama, mereka selalu berburu berita paling menarik untuk ditaruh di kolom tersebut. Meskipun banyak orang yang berkata mereka bagai anjing dan kucing, mereka sebenarnya adalah teman baik dan selalu bepergian bersama-sama.
"Kau masih mencari berita?" Tanya Meiko di balik telepon.
Kaito sama sekali tidak ingin membahas masalah ini karena dia berada di ujung tanduk. "Entahlah, aku tidak tahu harus meliput apa."
"Hei, cepat kembali ke kantor. Kepala Editor ingin berbicara denganmu." Ucap Meiko agak terburu-buru, "Uwah, dia datang. Cepat kembali!" Lalu dia pun menutup teleponnya.
Kaito tahu apa yang akan dibicarakan oleh Kepala Editor. Dia menatapi ponselnya dan menghela nafas panjang.
Sesampainya di kantor, Kaito langsung menaruh semua berkas yang dia liput selama seminggu di mejanya. Dia duduk di kursi dan mulai merasa pusing karena dia mendapat jalan buntu. Meja Kaito dan Meiko saling berhadapan dan hanya dibatasi oleh sebuah pembatas setinggi dada mereka jika berdiri. Meiko berdiri dan melihat Kaito yang sedang menutupi mukanya dengan kedua tangannya.
"Tidak berhasil?" Tanya Meiko dengan perasaan khawatir.
Kaito mengerang karena sudah malas, "Aku pergi ke tempat yang tidak aku kenal, dan tidak mendapatkan apa-apa. Aku benci jalan buntu." Dia melepaskan kedua tangannya dari wajahnya dan menatap Meiko. "Dan aku akan lebih membencimu jika kau sudah masuk tahap pengecekan."
Meiko mengangkat berkasnya yang sudah rapi. "Maaf. Berita tentang bebek langka yang memiliki kelainan lebih mudah didapat dan sangat mudah menarik perhatian pembaca."
Kaito kini menaruh wajahnya di tumpukan kertas di mejanya dan mulai bergumam, "Sekarang aku membencimu secara resmi."
"Jangan salahkan aku. Kau sendiri yang ingin meliput kasus orang yang hilang sejak 7 tahun yang lalu." Meiko pun tidak sengaja melihat pintu ruang kerja mereka dan melihat Kepala Editor datang menghampiri mereka. Meiko langsung melempar Kaito dengan pensil. "Hei, Badut Setan datang." Lalu dengan seketika Meiko kembali duduk di kursinya.
Kaito bangkit dan langsung berdiri begitu Kepala Editor datang.
"Shion." Kepala Editor menyilangkan tangannya dengan wajah yang tidak menyenangkan. "Aku dengar kau gagal dengan berita yang kau liput."
"Itu..." Kaito terlihat panik dan mulai mengoceh tidak jelas. "Sepertinya ada beberapa hal yang belum aku selidiki dan aku sudah mencapai titik yang seharusnya belum-"
Kepala Editor menghela nafasnya dengan keras, dia menatap Kaito dengan wajah yang penuh pertimbangan, "Dengar, aku menyukai berita yang kau tulis. Tapi ingat, kita adalah Jell-O, salah satu majalah ternama di negara ini. Jika kau kehilangan satu berita saja..."
Kaito pun mencoba meyakinkan Kepala Editor, meskipun dia kurang yakin, "Tidak usah khawatir, Pak! Aku akan segera-"
"Kau gagal dalam berita ini. Aku sudah tahu." Ucap Kepala Editor. "Waktumu tinggal 2 minggu, dan jika kau tidak mendapat berita..." Kepala Editor sangat kecewa dan cukup mengerikan di mata Kaito.
Akhirnya, Kaito pun menghela nafasnya dan menerima peringatan dari Kepala Editor dengan lapang dada, "Saya mengerti, Pak."
"Baiklah. Usahakan kau bisa meliput berita baru dalam 2 minggu." Tanpa mendengar jawaban Kaito, Kepala Editor pun meninggalkan ruangan.
Meiko kembali berdiri dan melihat Kaito yang sudah putus asa. Meiko mengernyit dengan rasa khawatir jika temannya tidak memiliki berita. Lalu, Meiko pun mengambil sebuah kertas di mejanya yang bertuliskan beberapa berita yang tidak dia pakai dan memberikannya pada Kaito.
"Aku tahu kau tidak suka jika aku menolongmu, tapi setidaknya ijinkan aku memberimu beberapa usulan untuk beritamu." Ucap Meiko yang masih menyulurkan kertasnya ke hadapan Kaito.
"Aku tidak perlu usulanmu, Meiko." Ucap Kaito dengan nada malasnya, "Kita memiliki 2 tema pilihan yang berbeda. Dan setelah aku cek, aku tidak terlalu cocok di temamu."
"Setidaknya aku sudah berusaha." Meiko pun menyimpan kembali kertasnya dan kini dia menaruh tangannya di pembatas meja. "Bagaimana jika malam ini kita makan di restoran rekomendasi pembaca? Mungkin kau bisa mengulasnya."
Kaito yang sudah malas pun akhirnya menerima tawaran Meiko. "Baiklah, tapi bayar masing-masing. Aku tidak mau ditraktir."
Mereka sampai di sebuah restoran sederhana bergaya eropa bernama Moon. Dilihat dari tempatnya, Kaito yakin tempat ini tidak main-main dengan harganya. Di tempat ini, tamu tanpa reservasi pun bisa masuk, Kaito langsung mencatatnya di catatan miliknya.
Tanpa reservasi, tempat ini masih melayani tamu.
Meiko mengintip catatan Kaito dan tersenyum, "Tambahan, mereka tidak mempermasalahkan reservasi. Mereka menerima tamu secara langsung."
Kaito melihat sekelilingnya dan menyadari sesuatu, "Tempat ini juga tidak terlalu ramai. Apa karena harganya?"
Meiko terkekeh, "Entahlah. Tapi aku curiga jika harga teh di sini bisa mencapai 700 yen." Dia pun menepuk pundak Kaito, "Kau bisa mencatatnya kapan-kapan. Lebih baik kita nikmati saja makan malamnya."
Mereka duduk di kursi yang tidak jauh dari jendela. Moon terletak di sebuah dataran tinggi, jadi dari lantai satu pun, jendela restoran masih bisa memberikan pemandangan kota di malam hari. Meiko membuka menunya dan cukup kaget melihat harganya. Dia menyuruh Kaito yang masih mencatat untuk membuka menu-nya.
"Aku bilang sudahi dulu catatanmu. Lihat saja menu-nya." Meiko memaksa.
Kaito pun menaruh pena-nya dan mulai membuka menu-nya, sama seperti Meiko, dia juga kaget melihat harganya. "Sapi panggang hanya 950 yen?" Kaito mengernyit curiga, "Jangan-jangan dagingnya adalah daging manusia."
"Hei!" Meiko ikut mengernyit tidak setuju, "Mereka memiliki izin yang sah. Jadi semua ini sungguhan."
Setelah memilih makanan, kini mereka menunggu pesanan mereka datang. Kaito dan Meiko saling mengobrol tentang restoran ini dan Kaito terus mencatat setiap detail yang dia temukan di restoran tersebut. Saat mereka masih mengobrol, Kaito hendak pergi ke toilet. Ketika Kaito berjalan menuju toilet, di pintu masuk, dia melihat seorang laki-laki berambut panjang berwarna violet yang tidak asing di matanya. Kaito sering melihat laki-laki itu namun tidak ingat di mana dia sering melihatnya. Tanpa mempedulikan hal itu, Kaito pun pergi ke toilet.
Kaito pun kembali dari toilet, dia melihat laki-laki tadi di kursi yang paling terpojok, sepi, dan sendirian. Wajahnya sangat damai meskipun tidak ada senyuman yang terlihat. Kaito duduk dan masih mencoba mengingat laki-laki tadi.
Meiko tahu persis wajah Kaito saat berpikir, dan sekarang wajahnya sangat tertebak. "Apa yang kau pikirkan, Kaito?" Tanya Meiko.
Kaito mencuri pandang untuk melihat laki-laki tersebut, lalu dia kembali menatap Meiko, "Sepertinya aku mengenalnya."
"Oh iya?" Meiko kaget tidak percaya karena Kaito bisa mengenal seseorang selain orang yang berhubungan dengan pekerjaannya. "Siapa dia?"
"Aku sering melihatnya. Tapi aku tidak yakin aku sering melihatnya di mana." Kaito tidak yakin dan masih memikirkannya.
"Tenanglah." Meiko tersenyum, "Dia juga tadi sempat melihat kemari tapi dia tidak kebingungan sepertimu. Mungkin dia tidak mengenalmu."
Kaito pun menghela nafas, "Kalau begitu ya sudah."
Setelah makan malam yang cukup memuaskan, Kaito masih tidak yakin untuk meliput restoran tersebut karena berita ini bisa saja tenggelam dalam berita kedai kecil yang lebih murah. Akhirnya Kaito memutuskan untuk tidak meliputinya. Kaito yang sedang berjalan di jalan sepi menuju apartemennya, memasukan catatannya ke tas. Dia pun berjalan dengan perasaan putus asa.
Apartemen Kaito memang tidak terlalu besar, tapi cukup untuk satu keluarga yang sederhana, meskipun Kaito sebenarnya tinggal sendirian. Ketika hampir sampai di bangunan apartemennya, Kaito ingat jika di samping bangunan apartemennya ada sebuah rumah bergaya tradisional yang cukup besar. Sejak Kaito pindah ke apartemennya 3 tahun yang lalu, dia sama sekali tidak pernah tahu siapa pemilik rumah tersebut. Bahkan dia tidak pernah melihat adanya orang yang tinggal di sana, meskipun lampunya menyala di malam hari.
Karena masalah tenggat waktu yang diterima Kaito, kini dia lebih memperhatikan sekeliling apartemennya. Dia pun bertanya-tanya pada dirinya sendiri tentang penghuni lainnya di apartemen ini. Yang Kaito tahu hanyalah sesama penghuni lantai 2 di sebelah apartemennya. Di sana tinggal seorang suami istri yang sudah tua bernama Hosoda. Nyonya Hosoda dan Kaito sering saling sapa di pagi hari ketika Kaito hendak pergi bekerja. Selain itu, Kaito tidak tahu tentang mereka. Karena tidak mau berpikir lebih keras dan Kaito juga sudah kelelahan, dia pun menyimpan keingintahuan tersebut untuk esok hari.
Pagi itu Kaito bangun lebih awal, biasanya Kaito terbangun jam 7 pagi, namun sekarang dia terbangun terlalu pagi dan jam menunjukkan pukul setengah 6 pagi. Kaito membuka jendela kamarnya setelah sekian lama, dan ketika dia membuka jendela tersebut, pemandangan dari samping rumah tradisional besar yang dipikirkan Kaito terlihat cukup jelas. Dia melihat beberapa lampu sudah padam dan yakin jika penghuni rumah tersebut sudah bangun. Namun dia masih kaget karena penghuni rumah tersebut bangun sangat pagi. Ketika memperhatikan rumah tersebut, Kaito melihat lampu di pintu depan menyala. Dia pun memperhatikannya dengan seksama.
Dari pintu depan tersebut, Kaito melihat laki-laki yang dia lihat di restoran semalam. Kaito kaget karena ternyata pemiliki rumah tersebut adalah orang yang dia temui di restoran. Lalu Kaito ingat jika dia pernah melihat laki-laki itu sekali atau dua kali ketika pergi bekerja di pagi hari. Rasa penasaran akan laki-laki itu mulai tumbuh di benak Kaito.
Kaito keluar dari apartemennya pukul setengah 7, dia melihat Nyonya Hosoda sedang berjalan menuju tangga ke lantai dasar.
Nyonya Hosoda kaget melihat Kaito yang sudah keluar dari apartemennya sepagi ini. "Oh! Tumben sekali."
Kaito terkekeh malu, "Iya, saya juga kaget bisa bangun sepagi ini. Saya bangun sejak pukul setengah 6."
Nyonya Hosoda terlihat kaget dan kagum, "Anak muda memang harus selalu seperti itu. Bangun pagi dan bersiap-siap lebih awal." Nyonya Hosoda kembali berjalan, "Aku akan membawa surat yang tertinggal di kotak surat."
"Baiklah." Ucap Kaito. Namun dia ingat akan sesuatu, "Nyonya Hosoda. Boleh saya bertanya sesuatu?"
Nyonya Hosoda pun berhenti dan kembali berhadapan dengan Kaito, "Iya?"
Kaito agak ragu-ragu namun dia merasa harus bertanya, "Itu... apa anda kenal dengan orang yang tinggal di sebelah gedung apartemen kita? Rumah tradisional besar itu."
"Oh! Iya, iya. Itu rumah milik keluarga Kamui." Nyonya Hosoda terlihat senang karena ada yang membicarakan keluarga Kamui. "Dulu mereka sangat terkenal di daerah ini."
"Dulu?" Kaito masih tidak terlalu percaya, "Tunggu... mereka? Aku kira hanya ada satu orang yang tinggal di rumah itu."
"Dulu ada 3 orang yang tinggal di rumah keluarga Kamui." Nyonya Hosoda mencoba mengingat, "Kepala keluarga keluarga Kamui dan istrinya meninggal bertahun-tahun yang lalu. Sekarang hanya anaknya yang tinggal di sana."
"Benarkah?" Kaito masih ingin menggali keluarga Kamui.
"Iya. Nama anak itu adalah Gakupo. Dia anak yang baik dan ramah, namun dia sangat berubah ketika orangtuanya meninggal." Nyonya Hosoda terlihat sedih, "Dan sekarang, dia tidak pernah terlihat berbaur lagi dengan tetangganya. Kami bahkan tidak tahu apa yang terjadi di rumah itu setelah kematian orangtuanya."
Kaito hanya bisa menyimpulkan hal yang sederhana, "Trauma dan syok."
Nyonya Hosoda menghela nafas, "Mungkin saja, tapi perubahan ini terlalu mengagetkan. Dulu Gakupo adalah anak yang cukup ceria dan kuat, semua orang yakin jika dia bisa bertahan, namun dia berubah menjadi dirinya yang sekarang, tersembunyi, tidak pernah berbicara dengan orang lain, dan kami bahkan tidak tahu bagaimana kehidupan sosialnya."
"Anda hebat bisa tahu hal sebanyak ini." Kaito kagum dengan Nyonya Hosoda karena mengetahui tentang keluarga Kamui.
"Tentu saja. Keluargaku tinggal di apartemen ini sejak aku dan suamiku menikah. Bahkan kedua anakku yang sudah berkeluarga, dulu tinggal dan dibesarkan di sini." Nyonya Hosoda terdengar bangga akan dirinya, "Aku bahkan harus melewati masa-masa renovasi apartemen ini. Apartemen ini dulu sangat mengerikan." Dia pun tertawa.
Kaito tiba di kantor dengan percaya diri. Dia membuka pintu ruang kerjanya dan melihat Meiko yang sedang mengetik beritanya. Sadar Kaito terlihat bahagia, Meiko pun mulai tersenyum.
"Wah, wah. Lihat orang yang sudah mendapat berita tentang kuliner." Meiko tampak yakin jika Kaito akan menulis tentang restoran yang mereka kunjungi tadi malam.
Kaito tertawa sambil mengernyit, "Tunggu, aku tidak akan mengulas restoran itu." Dia menaruh tasnya di meja, lalu melihat Meiko lewat pembatas meja, "Aku punya berita yang lebih menarik."
Kaito pun mulai menceritakan tentang keluarga Kamui, dan dia memutuskan untuk mengulasnya dengan Gakupo yang akan menjadi juru bicara, meskipun Kaito belum bertemu dengannya langsung. Dia juga menceritakan jika Kamui Gakupo adalah laki-laki yang mereka temui di restoran kemarin malam.
"Kaito." Meiko tampak kurang senang dengan keputusan Kaito, "Kau ini selalu gegabah. Bagaimana jika dia keberatan? Dan lagi, apa yang akan kau bahas dari orang yang mengisolasikan diri? Dia hanya seorang hikikomori (orang yang menghindari kehidupan sosial dan mengurung dirinya di kamar/rumah). Berita seperti itu sudah tidak aneh lagi di masyarakat kita."
"Kau tidak mengerti!" Kaito masih percaya jika Kamui Gakupo akan menjadi bahan berita yang bagus, "Dia memiliki masa lalu yang tersembunyi. Dulu dia tidak seperti ini, bahkan dulu dia suka sekali berbaur dengan orang lain."
Meiko menyandar di kursinya dan masih kurang yakin dengan berita yang akan dibahas oleh Kaito, "Entahlah, Kaito. Panggil aku menyebalkan, tapi aku melihat jalan buntu lagi untuk beritamu."
"Hei, aku tidak protes untuk berita yang kau ambil. Jadi biarkan aku mengurus berita yang aku tangani." Kaito tidak kehilangan rasa percaya dirinya.
Kaito pun pergi ke ruang Kepala Editor untuk membicarakan berita yang akan dia liput, namun dia mendapat reaksi yang sama dari Meiko. Kepala Editor mulai ragu dengan hasil kerja Kaito, akhir-akhir ini Kaito sering merasa tertekan untuk meliput sebuah berita.
"Apa kau butuh istirahat?" Kepala Editor mencoba memberi jadwal cuti Kaito. Sejak pertama Kaito bekerja di Jell-O, dia tidak pernah mengambil hari libur dan ini membuatnya mendapat gelar pegawai terpilih setiap tahunnya.
Kaito menolak dengan keras dan masih bersikeras untuk meliput Kamui Gakupo. "Bayangkan, jika dia memiliki masa lalu yang kelam, ini akan menjadi cerita yang hebat."
"Bagaimana jika dia tidak memilikinya?" Kepala Editor mencoba untuk menurunkan semangat Kaito yang tidak perlu dikeluarkan.
Kaito terdiam, lalu dia menatap Kepala Editor dengan serius. "Anda tidak bisa menghentikan saya. Saya akan meliputnya." Kaito pun pergi meninggalkan ruangan Kepala Editor.
Kaito kembali ke ruang kerjanya. Meiko bertanya bagaimana reaksi Kepala Editor, namun Kaito tidak menjawabnya dan dia pun mengambil tasnya. Tanpa berkata apa-apa, dia hendak meninggalkan ruangan.
Kaito sempat menatap Meiko, "Aku akan mencari info tentang Kamui Gakupo." Dia pun pergi meninggalkan ruangan.
Meiko menghela nafas dan menatapi laptopnya dengan perasaan khawatir akan temannya.
Kaito pergi ke Perpustakaan Kota untuk mencari berita tentang keluarga Kamui. Dia duduk di depan komputer perpustakaan dan mulai mencari berita tentang keluarga Kamui.
Dari berkas-berkas tersebut, banyak sekali berita di bawah nama Kamui. Kaito pun ingat, dia tidak tahu nama orangtua Kamui Gakupo untuk memperjelas pencariannya. Akhirnya, dia pun mencari nama Kamui Gakupo. Dari komputer, hasil atas nama Kamui Gakupo hanya memiliki 2 artikel. Kaito membaca artikel pertama berjudul 'Kecelakaan Mobil di Jalan Kishowa Menewaskan Pasangan Suami Istri'.
Kaito mendapatkan nama orangtua Gakupo. Dia mencatatnya di catatan, "Kamui Hosho... dan... Kamui Mamiki." Kaito kembali membaca artikel tadi dan melihat nama Gakupo di sana.
Putra mereka, Kamui Gakupo (8), masih mengalami trauma.
Mata Kaito terbelalak karena kaget melihat umur Gakupo saat itu. Dia langsung memeriksa tahun artikel tersebut, dan artikel tersebut dibuat 19 tahun yang lalu. Karena kaget, Kaito rehat dan menyandarkan dirinya di kursi.
Dia masih kaget karena berita yang akan dia liput sangat tua dan rapuh. Namun, dia masih yakin jika berita ini akan sangat bagus, akhirnya dia melanjutkan pencarian infonya. Di artikel kedua, Kaito menemukan nama adik dari ibu Gakupo. 3 bulan setelah kecelakaan tersebut, Gakupo tinggal bersama bibinya di Osaka. Kaito langsung mencatatnya dan setelah itu, dia tidak mendapatkan apa-apa lagi.
"Aku butuh lebih banyak lagi informasi." Kaito menggigit bibirnya karena ragu. Akhirnya, Kaito hendak kembali ke apartemennya dan mencari informasi bibi Gakupo dari internet.
Di jalan menuju apartemennya, Kaito mencatat beberapa kalimat pembuka untuk berita ini sambil berjalan. Ketika dia berada di depan pagar rumah Gakupo, dia sempat melihat pintu depan bergaya seret yang sangat tertutup rapat. Membuat Kaito penasaran ada apa saja di balik pintu rumah tersebut.
Pintu depan tersebut terbuka, Gakupo hendak keluar dengan pakaian tradisional-nya yang berwarna biru gelap. Kaito terpaku melihat Gakupo yang berjalan menuju gerbang depan. Ketika Gakupo mengangkat wajahnya, dia baru sadar jika Kaito terpaku melihatnya dengan posisinya yang sedang memegang catatan. Gakupo mengernyit dan keheranan melihat Kaito yang seakan-akan melihat sebuah tumpukan uang. Gakupo bermaksud untuk menutup gerbang rumahnya, namun karena Kaito masih di sana, Gakupo pun kembali ke rumahnya. Sebelum Gakupo masuk, Kaito mulai sadar dan menghampiri Gakupo.
Kaito terlihat buru-buru, "Ma-maaf! Aku ingin berbi-"
Pintu pun tertutup, dan Kaito mendengar suara kunci yang diputar dari balik pintu tersebut. Bukannya merasa tidak dihormati, Kaito malah makin bersikeras untuk mengulas tentangnya. Dia tersenyum, lalu berubah menjadi tawa.
Wajah Kaito terlihat seperti orang gila, "Aku akan datang lagi, Kamui Gakupo." Dengan tawanya, Kaito pun pergi meninggalkan halaman depan rumah Gakupo.
Di balik pintu, Gakupo menyandar di pintunya dengan tatapan yang kosong.
Dari jendela kamarnya, Kaito melihat ke arah rumah Gakupo jika ada pergerakan. Untuk sesaat, Kaito merasa seperti seorang detektif, namun di sisi lain dia merasa seperti penguntit. Jam menunjukkan pukul 10, matahari yang masuk lewat jendela Kaito sangat panas dan membuatnya jadi agak murka. Akhirnya Kaito menutup tirai jendela dan kembali ke rencana pertama, mencari info tentang bibi Gakupo.
Nama bibi Gakupo adalah Asagawa Sachiko. Dengan cepat Kaito mencari nama tersebut yang tinggal di Osaka dengan aplikasi pencarinya. Seperti yang dibayangkan, ada cukup banyak orang dengan Asagawa Sachiko di seluruh Osaka. Kaito pun memperinci pencarian dengan tambahan nama orangtua Gakupo. Dan, muncullah nama Asagawa Sachiko, adik perempuan dari Kamui Mamiki. Dalam data pencarian tersebut, nama Asagawa Sachiko sudah tidak aktif dalam data tersebut, lalu Kaito mencari artikel berita dengan nama Asagawa Sachiko untuk memastikan atau mencari info kenapa nama tersebut tidak aktif lagi. Ketika Kaito meng-klik bagian artikel, dia kaget karena ada beberapa artikel untuk nama tersebut.
'Asagawa Sachiko, Korban yang Selamat Dari Kecelakaan Mematikan'
'Kembali Ke Tangan Dewa! Sebulan Setelah Keselamatannya, Asagawa Sachiko Tewas'
Melihat dari judulnya, Kaito merasa Gakupo dikelilingi nasib buruk, setelah orangtuanya, bibinya juga meninggal beberapa bulan yang lalu. Sekarang, Kaito tidak tahu harus berbuat apa karena satu-satunya sumber yang dia yakini telah tiada. Kaito menghela nafas dan merasa pusing karena dengan ini, dia harus mendapatkan informasi dari orangnya langsung.
Kaito kembali berdiri dan membuka tirainya kembali, dia melihat halaman belakang Gakupo yang rapi dan bersih-juga sangat luas. Dia penasaran bagaimana Gakupo bisa merawat rumah sebesar itu sendirian. Ketika mata Kaito mulai berpindah dari halaman belakang menuju gerbang, dia berhenti di jendela tengah, karena Gakupo melihat Kaito dari jendela tersebut. Dengan cepat, Kaito langsung menutup tirai jendelanya. Kini nafas Kaito menjadi cepat dan dia mulai panik. Dia mengintip dan melihat apa Gakupo masih melihatnya atau tidak. Tirai jendela Gakupo tertutup dan dia sudah tidak lagi menatapi Kaito.
Tiba-tiba ponsel Kaito berbunyi, dan membuat Kaito makin kaget. Dia pun mengambil ponselnya dan menerima panggilan tersebut. "Ada apa, Meiko?"
"Buka! Aku ada di depan apartemenmu. Cepat!" Ucap Meiko lalu menutup telepon dengan cepat karena tidak mau mendengar alasan Kaito untuk tidak membuka pintu.
Kaito pun pergi ke pintu depan dan membukanya, Meiko masuk begitu saja tanpa dipersilakan oleh Kaito.
Kaito pun mengernyit, "Hei-!"
"Bagaimana rasanya?" Meiko menyilangkan tangannya dan wajahnya tampak kesal. "Bagaimana perasaanmu ketika ada orang masuk begitu saja ke rumahmu? Atau merusak dan mengganggu privasimu?"
"Apa maksudmu?" Kaito juga terlihat jengkel.
"Oh, kau tahu persis apa maksudku." Meiko kini menaruh kedua tangannya di pinggangnya, "Apa yang kau lakukan sekarang, adalah merusak privasi seseorang."
Kaito menghela nafas, "Kita adalah jurnalis, merusak privasi bukanlah hal yang aneh."
"Kaito, kasus ini bagaikan fosil. Kau menggali berita utama dari puluhan tahun yang lalu!" Meiko protes dan mengeluarkan sebuah kertas koran dari tasnya, "Lihat! Artikel kolom utama ini dibuat 19 tahun yang lalu, dan Kamui Gakupo adalah bintang utamanya." Meiko kembali menyimpan kertas tersebut ke dalam tasnya. "Dan kau tahu, itu adalah artikel terakhir dari Kamui Gakupo karena ceritanya memang sudah berakhir di sana."
"Meiko... apa kau tahu jika bibinya yang dari Osaka telah meninggal beberapa bulan yang lalu?" Kaito ingin sekali membalas ucapan Meiko.
"Lalu?" Nada Meiko mulai agak naik, "Itu kejadian beberapa bulan yang lalu, dan tidak ada hubungannya dengan apa yang kau liput." Meiko pun menghela nafas, "Kau meliput masa lalu Kamui Gakupo, sama saja dengan mencetak ulang berita yang populer 19 tahun yang lalu."
"Keluar." Ucap Kaito pedas dan sama sekali tidak ingin mendengar ucapan Meiko.
"Apa?" Meiko mengernyit.
"Keluar dari rumahku!" Kaito mulai marah.
Meiko yang sudah terbiasa dengan bentakan Kaito pun menghela nafasnya dan mulai meninggalkan rumah Kaito. Sebelum dia keluar, dia menoleh ke arah Kaito, "Aku hanya ingin menolongmu sebagai teman. Kau stres karena kau tertekan dengan tenggat waktu. Maaf jika aku mencoba menolongmu." Meiko pun menutup pintu dan meninggalkan bangunan.
Di lorong, Kaito duduk dan terlihat depresi. Dia tahu jika dia menabrak jalan buntu lagi, tapi dia merasa yakin jika ada sesuatu yang aneh dengan Kamui Gakupo.
Sore itu, Kaito keluar dari apartemennya untuk membeli bahan makan malam. Ketika dia melewati gerbang rumah Gakupo, gerbang tersebut tertutup dan dia bisa melihat lilitan rantai dari sela-sela gerbang. Entah kenapa, Kaito merasa agak kesal dengan kebiasaan aneh Gakupo. Dia pun berbelok dan mengetuk gerbang tersebut dengan keras hingga suaranya menggema di jalan. Kaito mengetuk gerbang tersebut cukup lama, dan dia yakin para tetangga juga merasa terganggu. Dari sela-sela gerbang, Kaito melihat kaki yang menggunakan sandal kayu menghampiri gerbang, lalu terlihat tangan yang cukup besar dan kuat namun agak pucat menarik rantai di gerbang. Ketika gerbang terbuka, Kaito dan Gakupo saling berhadapan. Kaito mengangkat wajahnya untuk melihat Gakupo yang berbadan lebih gagah darinya.
Kaito menelan ludahnya karena takut jika Gakupo akan menghajarnya. Tapi, Gakupo bertanya apa mau Kaito dengan nada yang datar dan biasa saja.
"Aku..." Kaito tidak berpikir sejauh ini dan mulai terlihat canggung. "Apa aku bisa mengobrol denganmu untuk beberapa menit?! Tolonglah!" Lalu Kaito ingat saat dia mengintai rumah Gakupo, "Dan maafkan aku tadi siang! Aku tidak bermaksud menguntitmu!"
Gakupo tidak memberi respon langsung dan membuat mereka tenggelam dalam keheningan untuk sesaat. Gakupo menghela nafasnya, dan tanpa berkata apa-apa, dia langsung menutup kembali gerbangnya.
"Tunggu-! Hei!" Kaito kembali mengetuk gerbang dengan keras. Namun, kali ini tidak ada respon sama sekali.
Ketika Kaito kembali berjalan untuk membeli makanan, dia berpapasan dengan Tuan Hosoda yang baru saja selesai berjalan-jalan sore.
Kaito tersenyum dan menunduk, "Selamat sore, Tuan Hosoda."
Tuan Hosoda membalas senyuman Kaito, "Selamat sore. Jarang sekali aku melihatmu berada di sini."
"Saya membawa pekerjaan saya ke rumah hari ini." Balas Kaito.
"Jika kau memang bekerja, kenapa kau terus membanting pintu rumah keluarga Kamui?" Dia terkekeh.
"Ti-tidak." Kaito mulai tersenyum dengan canggung, "Itu... saya sedang..."
"Tidak baik memaksa seseorang untuk keluar dari rumahnya." Tuan Hosoda melihat ke arah rumah keluarga Kamui, "Aku yakin jika kau berbicara baik-baik, mungkin kau tidak perlu membuatnya keluar, tapi dia yang akan menyuruhmu masuk."
Kaito sempat tercengang karena ucapan Tuan Hosoda. Kaito tersenyum karena mungkin benar dia terlihat agak memaksa, "Terima kasih. Saya akan berbicara baik-baik dengannya."
"Baguslah." Setelah itu, Tuan Hosoda berjalan kembali ke apartmennya.
Kaito sempat lupa etikanya sebagai seorang jurnalis, kini dia merasa seperti wartawan yang memaksa. Cara kerja seorang jurnalis lebih halus dan formal, dia pun kembali dan sekali lagi mengetuk gerbang dengan biasa.
Gakupo kembali membuka gerbang dan mengernyit karena di hadapannya adalah Kaito, lagi.
Kaito tersenyum kaku dan terlihat bersalah, "Maaf, aku terlalu memaksa dan tidak sopan. Dan aku sangat menyesal apa yang kuperbuat sebelumnya." Kini dia tampak lebih profesional. "Namaku Shion Kaito, aku jurnalis majalah Jell-O. Aku hanya ingin bertanya, apa kau mempunyai waktu kosong agar kita bisa berbicara. Aku akan mengikuti jadwal yang tersedia."
Gakupo terdiam melihat perubahan Kaito. Biasanya Gakupo hanya berbicara dengan gumamannya, namun kini Kaito bisa mendengar suaranya dengan jelas. "Aku mempunyai waktu kosong besok pagi."
Kaito kaget mendengar suara Gakupo yang sangat jelas di telinganya. Dia juga cukup terkesan dengan suara Gakupo yang renyah dan enak di dengar, "Ba-baiklah. Aku akan datang pukul 8 pagi, jika itu tidak apa-apa."
"Tidak apa-apa." Gakupo pun menutup gerbangnya dengan cepat dan suara sandal kayunya terdengar menjauh dari gerbang hingga akhirnya dia masuk ke rumahnya.
Kaito terdiam dan tidak percaya jika dia bisa berbicara langsung dengan Kamui Gakupo. Dia ingin tersenyum, namun juga masih merasa takut setelah berhadapan langsung dengan Gakupo.
Malam itu, Kaito tidak memegang atau melihat pekerjaannya. Setelah mempersiapkan beberapa pertanyaan yang sudah dia simpan, dia bisa menikmati malam ini dengan santai.
Dia hendak memakan makan malamnya yang dia beli di mini market, namun dia terhenti ketika ada suara telepon. Kaito kaget karena biasanya telepon rumahnya jarang sekali berbunyi. Dengan perasaan was-was, Kaito mulai mengangkat gagang telepon. Dia mengucapkan 'halo', namun tidak ada suara di balik telepon.
"Dengar." Kaito agak kesal dan memegang gagang teleponnya dengan erat, "Jika ini sebuah lelucon, ini sangat tidak lucu. Siapa ini?"
Tiba-tiba suara nafas bisa didengar oleh Kaito. Dia mengernyit karena bingung siapa yang ada di balik telepon. Kaito berulang kali bertanya siapa yang menelepon, tapi Kaito hanya dibalas dengan suara nafas yang berat. Karena sudah mulai muak-dan juga agak takut, Kaito pun menutup teleponnya.
Kaito lari ke kamarnya dan mengambil ponselnya. Dia membuka kontak dan mencari nama Meiko. Ketika dia hendak menelepon Meiko, suara telepon rumah kembali berbunyi. Kaito kaget dan hampir menjatuhkan ponselnya. Dia pelan-pelan menghampiri telepon rumah dan agak ketakutan.
Kaito pun memberanikan diri untuk mengangkat telepon, "Ha-halo...?" Suara Kaito parau dan ketakutan.
Di balik telepon, ada suara langkah kaki yang berjalan agak lambat, lalu tak lama kemudian suara nafas berat kembali terdengar. Sekali lagi, Kaito merasa takut.
"Aku sudah bilang! Jika ini lelucon, ini tidak lucu!" Kaito membanting gagang teleponnya dan mencabut kabel telepon dengan paksa.
Dia bernafas dengan cepat dan menyandar di tembok lalu perlahan terseret ke bawah hingga dia duduk dengan posisi merangkul kedua kakinya.
Sebagai jurnalis, hal seperti ini adalah hal yang paling ditakuti Kaito. Di awal masa kerjanya, Kaito sering menerima ancaman lewat telepon atau surat. Bahkan ada yang melempar batu ke kaca rumahnya. Dan itulah alasan Kaito pindah ke apartemennya sekarang. Dia mengira hidup penuh ancaman sudah berakhir, namun telepon tersebut membuktikan bahwa Kaito akan selalu dikejar oleh hal tersebut. Dia mencoba mengingat beberapa artikel yang dia tulis dan mencari tahu kemungkinan berita yang menyebabkannya menerima telepon seperti tadi. Tapi, seingat Kaito, berita yang dia tulis rata-ratanya mendapat persetujuan dari orang yang bersangkutan. Akhirnya, Kaito melewatkan makan malam, dan tertidur dalam keadaan cemas.
Kaito berjalan menuju tangga kayu yang mulai rapuh, dia sangat khawatir akan terjatuh dengan keras. Tapi dia berjalan dengan tenang dan menghilangkan angan-angan yang buruk. Ketika dia sampai di lantai atas, awan hitam terlihat di langit dan hujan mulai turun, dia berjalan ke beranda dan melihat keadaan di lantai dasar. Rumput hijau terbentang luas dan tidak ada tanda-tanda orang di sekitar tempat tersebut. Ketika Kaito membalik badannya, sebuah sosok hitam besar dengan matanya yang mengerikan berada di depannya, Kaito ketakutan dan mencoba menghindar, namun sosok itu menarik tangan Kaito hingga suara tulang tangan terdengar patah. Setelah meremas tangan Kaito, sosok itu menendang Kaito hingga dia terjatuh ke lantai dasar.
Mata Kaito terbelalak dari tidurnya dan keringat dingin menutupi hampir semua badannya. Dia bangkit dari kasurnya dan mencoba menenangkan diri karena mimpi buruk yang dia alami. Nafas Kaito masih tidak beraturan, namun dia merasa ada sesuatu yang penting hari ini. Dia melihat jam melalui ponselnya dan sekarang sudah jam 8 lebih 20 menit. Ada pemberitahuan di bawah jam ponselnya dan bertuliskan 'Interview dengan Kamui Gakupo', seketika Kaito pergi ke kamar mandinya dan berbenah diri untuk mewawancarai Gakupo.
Tanpa sarapan, Kaito yang sudah berpakaian rapi-kemeja polos dan celana kerja-pun akhirnya pergi ke rumah Gakupo dengan berbekal catatan yang berisi pertanyaan.
Kaito sampai di depan gerbang rumah Gakupo, yang seperti biasa terkunci. Dia mengetuk gerbangnya dan menunggu Gakupo membukanya. Untuk sesaat, Kaito tidak mendengar suara pintu depan terbuka. Dia sudah mempersiapkan ucapan maaf karena terlambat, namun sepertinya Gakupo akan marah padanya. Dari sela-sela gerbang, Kaito melihat sandal kayu datang dari sebelah kanan. Sepertinya Gakupo berada di luar rumahnya. Kunci depan pun terdengar dibuka, Kaito bersiap mengucapkan permintaan maafnya dan dia yakin Gakupo akan terlihat sangat marah karena keterlambatannya. Ketika gerbang terbuka, Gakupo yang dibayangkan Kaito akan marah besar, Gakupo terlihat biasa-biasa saja dan wajah datarnya masih terlihat seperti biasa.
"Aku kira kau tidak akan pernah datang." Ucap Gakupo dengan penampilannya yang agak berbeda dari kemarin. Kini dia berpenampilan agak berantakan dan rambutnya dia ikat ke atas dan membentuk bun.
Kaito memang sempat memperhatikan penampilan Gakupo, namun dia mencoba fokus dengan tujuannya, "Ma-maafkan aku. Aku tidak bermaksud datang terlambat tapi-"
Gakupo mengabaikan Kaito dan dia berjalan menuju pintu depan. Kaito pun mengikutinya dengan bermacam-macam perasaan, dia takut, khawatir, dan cukup panik karena Gakupo sama sekali tidak menunjukkan ekspresi apa-apa.
Gakupo membuka pintu dan mempersilakan Kaito masuk. Ketika Gakupo menutup dan mengunci pintu depan, Kaito pun masuk ke rumah tersebut, dia merasa sejuk dan santai, rumah tersebut memberi kesan damai dan tenang. Lantai kayunya sangat kuat dan tidak mengeluarkan bunyi seperti layaknya lantai kayu di rumah biasa. Gakupo membuka pintu geser dan menyuruh Kaito menunggu di ruangan tersebut.
Saat Gakupo meninggalkan Kaito di ruangan tersebut, Kaito duduk di bantal duduk dengan meja kayu di depannya yang terlihat sangat mengkilap dan mungkin sangat mahal. Dia melihat kesana kemari dan melihat beberapa hiasan di ruangan tersebut. Di tengah tembok ada sebuah altar kayu butsudan dengan foto 2 orang suami istri di tengahnya, Kaito yakin jika foto itu adalah kedua orangtua Gakupo yang meninggal saat dia kecil. Lalu, di meja kecil samping altar kayu tersebut ada sebuah foto wanita muda yang terlihat sangat cantik. Kaito tidak mengenal wanita di foto tersebut, dia yakin itu bukan bibinya karena Kaito tahu wajah Sachiko dari data yang dia kumpulkan. Tak lama kemudian, Gakupo masuk ke ruangan tersebut lewat pintu yang berbeda dari pintu dimana Kaito masuk dengan penampilannya yang seperti biasa, pakaian tradisional dan rambutnya yang dia ikat dengan rapi bagai ekor kuda, dan dia membawa baki yang berisi cangkir teh. Dia menaruh cangkir teh tersebut di depan Kaito.
"Silakan." Ucap Gakupo, lalu menyimpan baki tersebut di sampingnya yang sudah duduk di bantal duduk di arah yang berlawanan dengan Kaito.
"Sebelumnya..." Kaito masih mencoba untuk meminta maaf pada Gakupo karena datang terlambat, "Maaf-"
Mata Gakupo menjadi dingin dan menatapi Kaito, "Jika kau datang kemari hanya untuk meminta maaf, aku akan menyuruhmu keluar dari rumahku."
Bulu kuduk Kaito merinding melihat Gakupo, dan akhirnya mulai mengeluarkan catatan dan penanya. Kaito menelan ludah karena masih agak takut untuk bertanya setelah situasi yang baru saja terjadi.
"Terima kasih... sudah mengijinkanku untuk melakukan wawancara ini." Kaito mencoba tersenyum pada Gakupo, namun tidak ada balasan dari Gakupo, akhirnya dia kembali melihat catatannya, "Umm..." Kaito kembali melihat Gakupo, "Aku akan meliput berita tentang apa yang kau alami setelah kejadian yang menimpa orangtuamu 19 tahun yang lalu. Jika-"
Gakupo mengernyit dan tampak kesal, seketika Kaito berhenti berbicara dan dadanya berdetak dengan cepat.
"Ma-maaf!" Kaito langsung menunduk dan entah kenapa dia merasa pusing.
Gakupo yang masih terlihat agak kesal, mulai jengkel karena Kaito tidak berhenti mengatakan kata maaf. "Kenapa kau meminta maaf? Apa kau melakukan hal yang menyakitiku?"
"Eh?" Kaito kembali bertatapan dengan Gakupo, namun wajah Kaito sangat pucat dan keringat dingin turun dari kepalanya.
Gakupo terus menatapi Kaito yang terlihat pucat, "Kau terlihat-"
Kaito tiba-tiba ambruk dan kepalanya jatuh di meja cukup keras.
Kaito membuka matanya dan dia menatap langit-langit ruangan. Tubuhnya cukup berat untuk bergerak, dan dia juga agak kaget karena ada handuk kompres di dahinya. Ketika Kaito mencoba bangkit, dia masih berada di ruangan tadi. Aroma pasakan tercium dari ruangan sebelah, dan Kaito kembali pusing. Ketika dia menatapi pintu geser yang Gakupo lewati tadi, pintu geser itu terbuka lebar oleh Gakupo dari balik ruangan yang ternyata ruangan dapur.
Kaito kaget dan mencoba berdiri namun badannya masih lemas. Gakupo menghampiri Kaito lalu duduk di samping Kaito. Gakupo menaruh tangannya di dahi Kaito, dan apa yang dilakukan Gakupo membuat dada Kaito berdegup.
"Kau demam." Ucap Gakupo dengan singkat, lalu dia kembali berdiri. "Apa kau sudah sarapan sebelum kemari?" Lalu Gakupo bergumam sendiri, "Tentu saja belum. Kau saja datang terlambat."
Kaito merasa malu dan menunduk sambil duduk, "Maaf aku malah-"
Gakupo meninggalkan Kaito ke ruangan sebelah. Gakupo merasa kesal jika Kaito terus-terusan meminta maaf, karena Gakupo benci dengan orang yang hanya mengucapkan maaf namun terus saja melakukan kesalahan. Kaito mencoba berdiri, lalu Gakupo membalik badannya.
"Kau duduk saja. Jika kau berdiri, aku tidak akan segan-segan menekan pundakmu." Nada Gakupo mengancam, namun Kaito merasakan kemurahan hati dari Gakupo.
Hampir semua orang berkata jika Gakupo berubah menjadi orang yang dingin dan sering menyendiri. Mungkin benar jika dia menjadi seorang penyendiri, namun Gakupo yang selalu dikenal ramah masih ada, meskipun Gakupo sendiri terlihat tidak peduli.
Kaito duduk dengan kepalanya yang agak menunduk karena berat. Lalu, Gakupo membawa baki berisi menu sarapan. Kaito kaget dan mencoba untuk menolaknya karena merasa tidak enak, namun Gakupo mengabaikannya dan menyimpan sarapan untuk Kaito di meja. Wajah Kaito memerah saking malunya, dan setelah mencium aroma sup miso, suara perut Kaito terdengar cukup keras di ruangan yang sepi tersebut. Kaito seakan-akan tenggelam dalam rasa malunya sendiri, dia mencoba untuk tidak membuat kontak mata dengan Gakupo.
Gakupo yang selesai menaruh sarapan di meja, duduk di bantal duduk dan memperlisakan Kaito untuk memakan sarapan yang dia siapkan.
"Ini..." Kaito masih menunduk dan merasa malu, "Sangat memalukan. Maaf-" Kaito sadar jika Gakupo tidak suka mendengar kata maaf, akhirnya dia terdiam.
Gakupo menghela nafas, "Aku yakin kau belum makan. Dan dilihat dari kondisimu, semalam pun pasti kau tidak makan."
Kaito kaget karena semua yang dikatakan Gakupo benar. Dia tidak mau merepotkan Gakupo, namun Gakupo sendiri sudah mempersiapkan sarapan. Dia masih bingung dan canggung karena dia harus memakan sarapan sendiri sedangkan Gakupo hanya duduk di depannya dan menontonnya.
Mata Kaito terus-terusan melihat ke arah meja dengan sarapan, lantai tatami, dan mencuri pandang Gakupo. Dia terlihat canggung dan sepertinya ingin keluar dari rumah ini. Gakupo pun tiba-tiba berdiri.
"Aku akan kembali membereskan halaman belakang. Panggil saja aku jika kai sudah selesai dan kita bisa melakukan wawancara dengan cepat." Gakupo pun pergi dari ruangan tersebut dan menutup pintu.
Kaito menunduk malu dan bergumam, "...terima kasih."
Kaito yang selesai memakan sarapannya, mengambil semua piring dan mangkuk ke wastafel di dapur samping ruangan yang dia tempati. Kaito pun mencuci sisa sarapannya dengan rapi.
Kaito pergi ke halaman belakang lewat pintu depan, di halaman belakang, Gakupo terlihat sedang mengarungi rumput yang baru saja dia potong.
"Kamui-san?" Ucap Kaito dari belakang Gakupo. "Terima kasih atas sarapannya."
Gakupo mengikat karung tersebut dan menyimpannya di tumpukan karung rumput yang lain. Dia pun membalik badannya dan melihat Kaito yang menatapinya dengan rasa bersyukur. Gakupo sempat terdiam melihat Kaito, namun dia mengabaikannya dan berjalan melewati Kaito.
Mereka kembali ke ruangan tersebut, dan Gakupo sudah membersihkan dirinya. Kaito terlihat berbeda, dia terlihat semangat dan penuh energi. Dan lagi, dia terus-terusan tersenyum meskipun Gakupo memasang wajah datar bagai besi.
"Aku tahu kau tidak ingin membahas ini, namun ijinkan aku untuk menulis beberapa hal yang tidak ingin kau ungkit dalam wawancara ini. Silakan." Ucap Kaito yang penuh percaya diri.
"Aku tidak mau membicarakan kecelakaan yang kau sebutkan tadi." Gakupo bernada pedas namun penuh perhitungan.
"Hanya itu saja?" Kaito menuliskannya dalam catatan, "Baiklah. Aku tidak akan mewawancarai tentang hal tersebut, yang ingin aku tanyakan adalah bagaimana kehidupanmu yang saat itu masih berusia 8 tahun?"
"Kau ingin meliput kehidupan masa kecilku? Memangnya aku ini apa? Selebriti?" Gakupo terlihat bingung.
Kaito menanggapi Gakupo dengan positif, "Kau memang bukan selebriti, namun orang-orang sangat peduli dengan kehidupan anak berusia 8 tahun yang hidup sendiri."
"Aku berusia 27 tahun, aku bukan anak berusia 8 tahun lagi." Gakupo masih bingung dengan apa yang diinginkan Kaito.
"Masa kecilmu cukup tragis, kami hanya ingin tahu bagaimana kau bisa bertahan." Jelas Kaito.
Gakupo menatapi Kaito dengan pandangan yang penuh perhitungan, "Apa judul yang akan kau tulis tentang ini?"
"Oh!" Kaito membuka halaman di mana dia menaruh beberapa judul yang akan dia tulis, "Ada banyak namun aku suka dengan 'Kamui Gakupo: Kehidupan Setelah Masa Lalu yang Pahit', menurutku ini cukup sederhana namun memiliki arti positif."
"Kau meliputku seakan-akan aku ini selebriti. Aku hanya warga sipil biasa, tidak lebih." Gakupo menghela nafas, "Kau kehabisan berita di tempatmu?"
Kaito terdiam karena yang diucapkan Gakupo benar. Dia mulai putus asa karena dia tidak memiliki berita yang dia senangi untuk ditulis. Kaito sering menulis artikel yang cukup berat dan berbau misteri, sepertinya dia sadar akan hal tersebut karena kini dia sedang mewawancari orang yang kehilangan masa lalunya dan sekarang hidup dalam bayangan.
"Aku tahu kau tetanggaku, dan aku selalu membantu tetanggaku. Jadi aku akan menjawab apapun yang kau tanyakan untuk pekerjaanmu." Gakupo kini duduk lebih santai.
Kaito tercengan dan merasa senang, tapi dia masih belum bisa mengutarakan kebahagiannya pada Gakupo karena dia yakin Gakupo akan jijik melihatnya.
"Cepatlah atau aku akan mengubah keputusanku." Gakupo kembali terlihat kesal.
"Ba-baiklah!" Kaito tersenyum dan langsung mengulang wawancaranya.
2 minggu kemudian, artikel yang Kaito tulis masuk ke salah satu kolom utama majalah Jell-O. Semua orang kaget karena Kaito berhasil meliput berita yang berhubungan dengan artikel di masa lalu. Bahkan Kaito menempelkan kembali sedikit artikel tentang keluarga Kamui dari majalah Jell-O 19 tahun yang lalu.
Tidak seperti orang lain yang memberi selamat pada Kaito karena artikel tersebut sangat sukses, Meiko sedikit khawatir dengan artikel tersebut.
Di masa kecilnya yang pahit, Kamui Gakupo telah bangkit kembali setelah dia membuka pintu masa depan yang lebih cerah. Meskipun tidak banyak dukungan yang dia dapat, dia bisa berdiri kembali dengan sekuat tenaga.
Meiko tahu jika Kaito sama sekali tidak menuliskan bagian Gakupo yang menurung diri dan menjauhkan diri dari kehidupan sosial serta membuat percaya para pembaca jika Gakupo hidup dengan bahagia saat ini.
"Bagaimana menurutmu?" Tanya Kaito yang menyandarkan tangannya di pembatas meja untuk melihat Meiko.
Meiko menyimpan majalahnya dan kini menatap Kaito dengan serius, "Kenapa kau tidak menuliskan kehidupannya saat ini yang sebenarnya? Kau membuat dia memiliki kehidupan biasa saja. Kau tahu dia tidak-"
Kaito terlihat jengkel, "Hei. Ini artikelku, aku menulis apa yang aku inginkan." Kaito pun duduk kembali di kursinya dan melihat beberapa kalimat yang tidak dia masukan di dokumen yang tidak dia serahkan pada percetakan.
Namun kini Kamui Gakupo hidup menyendiri dan mengisolasikan diri dari kehidupan sosial. Trauma yang dia lalui membuatnya tidak mempercayai orang lain dan kini dia benar-benar hidup sendiri tanpa siapapun setelah kematian bibinya. Apakah kehidupan Kamui Gakupo benar-benar terkutuk?
Kaito menghela nafas dan menghapus dokumen tersebut. Dia pun mengambil tasnya dan meninggalkan kantor.
Kaito berjalan menuju toko buku untuk membeli beberapa buku tulis. Meskipun Kaito hidup di jaman modern, dia masih terbiasa menuliskan artikel mentahnya di buku. Di toko buku, Kaito melihat seorang gadis dengan rambutnya yang berkuncir dua sedang membaca Jell-O, gadis itu terlihat serius membaca artikel tersebut. Kaito senang karena gadis itupun membaca majalah Jell-O. Namun, tiba-tiba gadis tersebut meneteskan air mata, Kaito lebih kaget lagi karena dia tidak tahu jika artikelnya cukup sedih. Kaito pun menghampiri gadis itu.
"Maaf, kau tidak apa-apa?" Tanya Kaito khawatir.
Gadis itu mengangkat wajahnya untuk melihat Kaito dan mengusap air matanya, "Ah... maaf, maaf. Aku hanya..." Dia pun tersenyum, "Maaf, aku kaget karena ada yang mengulas berita tentang Kamui Gakupo."
"Oh..." Rasa penasaran muncul dalam benak Kaito, "Sebenarnya aku juga membaca artikel ini. Tapi aku lihat kau sangat terbawa emosi dengan artikel ini."
"Iya." Gadis itu terlihat sedih namun masih mencoba tersenyum, "Dia dulu kekasih sepupuku."
"Apa?" Kaito tidak percaya apa yang baru saja dia dengar. "Sepupumu mantan kekasih Kamui Gakupo?"
"Benar." Gadis itu menyimpan majalahnya dan kini terlihat agak baikan, "Maaf, aku membuat anda khawatir. Aku memang terlalu sensitif." Dia tersenyum dan meninggalkan Kaito yang masih kaget.
Gadis itu pun keluar dari toko buku. Kaito mencoba mengejarnya dan akhirnya menemukannya.
"Hei!" Kaito menghampiri gadis itu.
"I-iya?" Gadis itu tampak bingung melihat Kaito. "Ada yang bisa aku bantu?"
"Sebenarnya, aku yang menulis artikel tersebut. Namaku Shion Kaito."
Mata gadis itu sedikit terbelalak, "Be-berarti kau bertemu dengan Kamui Gakupo...?"
"Iya." Jawab Kaito singkat. "Dengar, aku ingin bertanya beberapa hal. Siapa namamu?"
"Ha-Hatsune Miku." Jawab gadis bernama Miku tersebut.
Kaito dan Miku berada di sebuah kedai kopi, mereka terlihat canggung, namun di benak mereka, mereka memiliki beberapa pertanyaan. Kaito memperkenalkan dirinya sebagai seorang jurnalis, dan Miku bersedia memberi beberapa berita yang dia ketahui.
Miku menyimpan gelas es kopinya, "Shion-san, bagaimana keadaan Kamui-san?"
"Dia baik-baik saja. Meskipun dia tidak terlalu sering keluar." Jawab Kaito. "Apa kau dekat dengan sepupumu? Dan kenapa kau menangis melihat artikel tersebut?"
"Aku sangat dekat dengan sepupuku." Miku terlihat sangat sedih, "Tapi dia meninggal saat dia berusia 20 tahun. Itulah kenapa aku menangis, karena mendengar lagi nama Kamui Gakupo membuatku teringat pada sepupuku."
"Aku turut berduka. Saat dia berumur 20 tahun itu berapa tahun yang lalu?" Tanya Kaito.
"Sekitar 6 sampai 7 tahun yang lalu. Saat itu, Luka bekerja sebagai guru piano dan dia bertemu dengan Kamui-san di sebuah restoran. Itulah yang diceritakan oleh Luka. Saat itu aku masih belum terlalu menangkap hubungan mereka, tapi yang pasti, Luka agak terlihat terpukul beberapa hari sebelum dia mengatakan padaku jika dia putus dengan Kamui-san."
Kaito tidak percaya karena Gakupo pernah memiliki kekasih dan dia tidak menceritakannya di wawancara. "Maaf mungkin aku agak kasar, tapi boleh aku tanya kenapa sepupumu meninggal?"
"Dia..." Miku terlihat sangat terpukul, "Dia bunuh diri di apartemennya."
Kaito terkejut dan menuliskannya di catatan dengan perasaan kasihan, "Maaf. Apa ada alasan tertentu kenapa dia bunuh diri?"
"Aku tidak tahu. Padahal dia adalah orang yang selalu periang." Miku kembali meneteskan air matanya.
Kaito memberikan sapu tangan pada Miku. "Apa dia bunuh diri saat setelah putus dengan Kamui Gakupo?"
Miku mengelap air matanya dengan sapu tangan yang diberikan Kaito, "Tidak. Dia bunuh diri beberapa bukan setelah itu. Mungkin sekitar 8 bulan setelah putus dengan Kamui-san."
Kaito merasa bersalah karena bertanya tentang sepupu Miku, kini dia mencoba menghibur Miku, "Nama sepupumu sangat unik. Luka, 'kan?"
Miku tersenyum, "Iya. Namanya Megurine Luka. Suami bibiku adalah warga negara asing, jadi namanya agak terdengar seperti orang luar negeri."
"Be-begitu." Kaito tersenyum dan akhirnya menutup catatannya. "Terima kasih atas waktumu, Hatsune-san."
"Tidak apa-apa." Miku pun tersenyum, "Dan... tolong panggil aku Miku. Aku tidak terbiasa dipanggil dengan nama keluargaku."
"Baiklah, terima kasih, Miku." Ucap Kaito, "Oh iya. Bisakah aku menghubungimu lagi? Mungkin aku akan butuh bantuanmu."
Miku mengeluarkan kartu email-nya pada Kaito, "Silakan. Aku akan senang membantumu."
Setelah Kaito selesai dengan pekerjaannya, dia pun hendak langsung kembali ke apartemennya. Langkah kaki Kaito terhenti di depan gerbang rumah Gakupo. Dia melihat rumah Gakupo yang besar namun terlihat suram dari luar, dan mungkin Gakupo menyembunyikan banyak hal tentang kehidupannya. Memang, privasi sangatlah penting, namun Kaito adalah seorang jurnalis yang memiliki rasa ingin tahu lebih dari siapapun. Dia berharap suatu hari nanti, dia bisa mengetahui kehidupan di balik seorang Kamui Gakupo.
Kaito yang merasa lelah pun langsung mandi. Sudah lama Kaito tidak berendam dengan kepala yang tenang, selama sebulan ini, dia dikejar-kejar oleh tenggat waktu yang bisa membuatnya kehilangan pekerjaan. Kaito ingin mengucapkan terima kasih pada Gakupo setelah apa yang dilakukannya pada Kaito, memberi sarapan, dan memberi info tentang kehidupannya, meskipun Kaito yakin dia menyembunyikan banyak hal. Tapi Gakupo kini sama sekali tidak menjawab ketukan gerbang bahkan Kaito pernah berdiri selama setengah jam di depan gerbang hanya untuk mengucapkan terima kasih. Kaito berpikir, mungkin benar apa kata Gakupo jika dia hanya membantu Kaito untuk pekerjaannya dan sekarang Kaito bisa memulai berita baru dari awal.
Suara telepon rumah berbunyi saat Kaito sedang berendam, dia menghela nafas dan akhirnya keluar dari bath tube dengan melingkarkan handuk dari pinggangnya lalu berjalan menghampiri telepon.
"Halo?" Ucap Kaito.
"Shion Kaito?" Di balik telepon ada suara laki-laki yang tidak asing di telinga Kaito.
"Kiyoteru?" Tanya Kaito yang cukup antusias.
Suara tawa terdengar dari balik telepon, "Kaito! Hei! Sudah lama aku tidak mendengar suaramu! Bagaimana Tokyo?"
"Baik-baik saja. Tapi jangan datang di saat musim panas seperti sekarang." Kaito terkekeh, "Bagaimana denganmu di Osaka?"
"Begitulah. Tidak berubah juga." Ucap Kiyoteru di balik telepon.
Hiyama Kiyoteru adalah teman Kaito saat kuliah, mereka sama-sama di fakultas literatur saat itu, dan kini Kiyoteru bekerja sebagai penulis di Osaka.
"Ngomong-ngomong, aku sudah membeli bukumu." Kaito menyandar di tembok dengan hanya memakai handuk saja. "Cukup menarik. Mungkin aku akan memasukannya ke rekomendasi bacaan di Jell-O."
"Tentu saja kau harus melakukannya." Kiyoteru tertawa, "Aku tidak bisa menghubungi ponselmu. Dan aku dapat nomor telepon rumahmu dari Jell-O, sangat sulit mendapat nomor teleponmu, padahal aku sudah mengatakan kalau aku dari penerbit Aozora."
Kaito menghela nafas, "Banyak hal yang terjadi, jadi aku menyuruh semua orang merahasiakan nomor teleponku. Dan aku hanya mengijinkan jika sudah dapat persetujuan dariku. Dan untuk ponselku, aku menggantinya 3 tahun yang lalu."
"Wow... apa ini karena pekerjaanmu?" Tanya Kiyoteru dengan nada khawatir.
"Begitulah." Kaito pun kembali tersenyum, "Ngomong-ngomong, aku kehilangan nomor ponselmu."
"Baiklah, berikan nomor ponselmu, aku akan menghubungimu." Ucap Kiyoteru.
Ketika Kaito hendak menyebutkan nomor ponselnya, suara ketukan pintu apartemen Kaito terdengar. "Tunggu, sepertinya ada yang mengetuk pintu."
"Benarkah? Ya sudah, nanti aku telepon lagi. Dah!"
Kaito pun menutup telepon dan menghampiri pintu, dia melihat lubang pintu dan Nyonya Hosoda terlihat panik. Kaito pun membuka pintunya. Nyonya Hosoda kaget karena Kaito hanya memakai handuk.
"Ya Tuhan! Maaf aku mengganggumu." Nyonya Hosoda masih terlihat panik, "Suamiku belum pulang dari jalan-jalan sorenya. Aku khawatir terjadi apa-apa padanya. Dia biasanya pulang jam 5 sore, tapi sekarang sudah jam 8 dan dia belum kembali."
"Baiklah. Aku akan mengganti pakaian dulu." Kaito pun bergegas berganti pakaian dan keluar membantu Nyonya Hosoda mencari suaminya.
Hampir semua penghuni apartemen membantunya, bahkan beberapa tetangga pun ikut membantu, tentu saja Gakupo seperti biasa masih menutup gerbangnya.
Ketika Kaito dan Nyonya Hosoda datang ke pos polisi yang sedang beres-beres karena pos polisi akan segera tutup, mereka melihat Tuan Hosoda sedang duduk bersama polisi senior.
"Suamiku!" Nyonya Hosoda berlari menghampiri suaminya yang kakinya dibalut oleh perban. "Apa yang terjadi?"
Tuan Hosoda tersenyum, "Aku terkilir oleh sesuatu ketika hendak pulang, saat itu keadaan sangat sepi dan aku berusaha meminta tolong. Tapi untungnya ada Pak Polisi yang sedang patroli. Dan tadinya setelah ini mereka akan mengantarku pulang, aku tidak bisa berjalan."
"Ya Tuhan, untunglah kau tidak apa-apa." Nyonya Hosoda pun berterima kasih pada para polisi yang menolongnya.
Mereka pun kembali ke apartemen dan Tuan Hosoda dibantu oleh Kaito. Tuan Hosoda sudah didudukan di kasur kamarnya. Mereka pun berterima kasih pada semuanya yang sudah membantu.
Kaito kembali ke apartemennya dan membersihkan diri. Kerika dia mencucui mukanya, suara telepon berbunyi. Kaito yakin jika itu adalah Kiyoteru. Saat dia mengangkat teleponnya, Kaito hanya mendengar keheningan.
"Halo? Kiyoteru?" Tanya Kaito gugup.
Kaito lagi-lagi menerima telepon hening seperti 2 minggu yang lalu, dan suara nafas berat kembali terdengar. Seketika, Kaito pun langsung menutup teleponnya sambil merasa panik. Namun, suara telepon kembali berbunyi, dan Kaito langsujg menarik kabelnya dan membanting teleponnya.
Untuk menyegarkan pikirannya, Kaito bangun jam 5 pagi dan hendak pergi untuk jogging. Dia sudah lama tidak melakukannya, dan dia ingin kembali melakukan rutinitas tersebut.
Saat dia melewati rumah Gakupo, gerbangnya yang biasanya terbit rapat, kini terbuka dengan lebar dan pintu depannya sedikit tergeser terbuka. Kaito sangat kaget karena Gakupo mungkin hanya membuka pintu dan gerbangnya pada pukul 5 pagi. Seperti biasa, rasa ingin tahu Kaito mulai keluar, dia pun masuk ke halaman depan dan mencari Gakupo. Tidak ada tanda-tanda Gakupo di halaman depan, dia berjalan ke halaman belakang, namun di sana juga dia tidak ada. Ketika Kaito hendak meninggalkan halaman belakang, dia melihat pintu gudang terbuka dengan lampunya yang menyala. Kaito pun menghampiri gudang tersebut, ketika dia melihat ke dalam, di sana tidak ada siapa-siapa, bahkan tidak ada suara yang menandakan adanya seseorang. Kaito pun akhirnya membalik badannya dan hendak keluar. Ketika berjalan menuju pintu, Kaito terkejut karena Gakupo sedang berdiri di pintu gudang.
Bersambung
