Triangle

Chapter 1

"Oke, lagu terakhir buat para pendengar untuk menemani kesunyian malam yang panjang, satu lagu dari Rumor, Butiran Debu.", Hinata menutup siaran terakhirnya malam ini. Tugasnya sebagai pelajar memaksa Hinata untuk vakum siaran dalam waktu yang lama dan fokus sama ujian akhirnya.

Di sini, di ibu kota yang penuh sesak dengan hiruk pikuk kehidupan dan sepak terjang persaingan Hinata meniti hidupnya. Terpisah jauh dari keluarga yang tak lagi utuh dan mencari jati diri dalam keliaran dan kebengisan tata pergaulan Konoha. Hinata memilih penyiar radio sebagai profesi untuk mencari makan dan bertahan hidup di Konoha. Ia tinggal di sebuah apartemen kecil di ujung gang sempit dekat perempatan. Tak terasa sudah hampir 3 tahun Hinata menjalani hidupnya yang serba apa adanya di Konoha.

Hinata mengayuh sepedanya secepat mungkin untuk menghindari kejaran anjing herder -yang entah sejak kapan punya dendam kesumat padanya- milik salah satu penghuni gang sempit yang selalu menyalak saat Hinata melintas. Syukurlah malam ini anjing itu sudah tidur pulas. Mungkin mimpinya terlalu indah sampai tak menyadari kehadiran Hinata.

Hinata membukan pintu kamarnya dan segera menyalakan lampu. Di depannya terhampar buku-buku dan pakaian yang berseliweran kemana-mana.

"Home sweet home!", gumam Hinata dengan suara hampir tak terdengar saking capeknya. Hinata mencopot kacamata yang setia menempel di matanya entah sejak kapan, lalu menguatkan kakinya melangkah meraih tempat tidur yang terasa jauh sekali saat itu dan segera merebahkan tubuhnya.

KREEKK! Bunyi tulang punggung Hinata yang entah sudah berapa lama tak menyentuh kasur. Hinata langsung terlelap tak berapa lama setelah menjejalkan tubuhnya ke atas kasur kecil yang tak terlalu empuk.

Tidur indah Hinata diganggu lagi oleh jeritan hape yang tak mau berhenti. Terpaksa Hinata membuka matanya yang melekat rapat seperti dilem. Samar-samar Hinata menemukan nama Ino tertera di layar hapenya.

"Ha..."

"Ooy baka, lo kemana aja sih? Hari ini mau bolos lagi? Udah mau masuk nih!", cerocos Ino di seberang sana langsung menusuk-nusuk kuping Hinata yang nyawanya masih separuh di atas tempat tidur.

"Lo nggak capek ya ngurusin kebun melulu?", timpal Tenten.

"Gue kesiangan bawel! Masuk kok hari ini, ntar deh gue dateng.", kata Hinata dengan nada malas.

"Ntar, ntar, ini udah jam 7 Hina! Lo mau masuk habis istirahat kedua?", Ino melajutkan omelannya yang nggak pernah habis.

"Iya! Udah ah, bawel lo!" tut tut tut... Hinata mematikan telpon dan segera berkemas. Inilah salah satu pertimbangan Hinata untuk vakum siaran. Dia selalu pulang kemalaman dan bangun kesiangan. Alhasil Hinata selalu jadi pesuruh tetap bagian perkebunan bersama tukang kebun sekolah karena telat. Ino adalah orang yang paling heboh kalau Hinata telat, omelannya bisa nggak berhenti tujuh hari tujuh malam. Sedangkan Tenten adalah orang yang paling bosan lihat Hinata telat terus.

Ino dan Tenten adalah sahabat yang lebih dari baik dan teman berantem yang lebih dari cukup buat Hinata. Mereka bertiga adalah biang onar di sekolah. Mulai dari Hinata yang hobi telat, Tenten yang hobi berantem, sampai Ino yang hobi nyablak kalau lagi ngomong. Guru BK juga udah bosan ngasi surat peringatan buat mereka yang udah numpuk kayak surat cinta dari fans. Dan seperti biasa, Hinata hari ini masih betah di kebun menemani Pak Asuma ngurusin tanaman. Setelah jam istirahat pertama selesai Hinata baru boleh masuk kelas.

"Nggak bosen ya ngeliatin muka Pak Asuma terus tiap pagi?", sindir Ino saat Hinata baru saja menghempaskan pantatnya ke kursi.

"Nggak sebosen gue lihat muka lo.", jawab Hinata dengan wajah tak berdosa yang langsung membuat Ino manyun mengalahkan panjangnya koridor sekolah.

"Jangan-jangan lo naksir Pak Asuma lagi?", tebak Ino asal.

"Bukannya yang kayak Pak Asuma itu selera lo?", timpal Hinata.

"Iya juga sih. Tapi gue naksir Pak Asuma waktu jaman dia masih mirip Justin Bieber.", kata Ino dengan wajah serius yang mengundang gelak tawa mereka berdua.

Seminggu sudah Hinata tidak siaran. Rasanya jadi sepi, nggak ada hiburan. Akhirnya Hinata berinisiatif menculik Ino dan Tenten untuk menemaninya di apartemen. Sayangnya dia cuma berhasil mendapatkan Tenten soalnya Ino susah keluar malam. Jadilah mereka berdua menyusuri Konoha malam yang gemerlap akan lampu jalanan dan kendaraan yang tak pernah sepi.

Hari ini Hinata kembali berakhir di kebun sekolah, tapi hari ini Hinata tidak sendirian, ada Tenten yang jadi ikut-ikutan telat karena jadi korban penyakit insomnia Hinata yang menular tadi malam. Mereka keliling Konoha dengan sepeda tadi malam, menikmati udara malam yang basah dan sesak oleh asap yang menjelma jadi kabut dan mencemari embun. Omelan Ino makin menjadi, kali ini bukan karena Hinata telat dan Tenten ikutan telat juga, tapi karena dia nggak bisa ikut tadi malam menjelajahi ruang-ruang Konoha.

Pulang sekolah Hinata iseng mampir ke toko kaset yang baru buka, mumpung masih ada harga promosi, diskon pula. Murah memang kata yang sangat disukai Hinata, tapi gratis adalah kata favorit Hinata.

"Hay Hinata!, sapa sebuah suara di sampingnya. Hinata yang sedang membenarkan letak kacamatanya kaget dan memalingkan pandangannya ke sumber suara. Hinata mengarinyitkan dahinya sambil memperhatikan dengan seksama sosok yang ada di depannya.

"Siapa ya?", tanya Hinata keheranan pada sesosok cowok berkulit tan dan cukup manis itu.

"Gue Hoshino yang sering request lagu Rumor waktu lo siaran.", jelasnya yang langsung disambut hangat oleh Hinata.

"Ooo... iya, iya. Hoshino. Kok lo bisa tahu gue sih?", tanya Hinata.

"Gue pernah ke tempat lo dan lihat lo lagi siaran, makanya gue kenal.", jelasnya lagi. Hinata cuma manggut-manggut mendengar penjelasan cowok itu.

"Sering ke sini juga?", tanya Hinata lagi.

"Lumayan. Oh iya, kenalin, gue Naruto.", katanya memperkenalkan diri seraya menyodorkan tangannya. Hinata tiba-tiba bingung. Hinata menyambut tangan cowok itu.

"Jadi sebenernya nama lo Naruto apa Hoshino?", tanya Hinata bingung.

"Nama gue Naruto. Hoshino itu cuma nama samaran aja.", jelas Naruto untuk kesekian kalinya.

"Hahahaha...", Hinata tertawa kecil.

"Kenapa?", tanya Naruto yang keheranan dan agak sedikit ngeri melihat Hinata tiba-tiba tertawa, takutnya Hinata punya riwayat epilepsi.

"Nggak apa-apa sih, lucu aja sekarang masih ada ya yang pakai nama samaran segala, cowok lagi.", cerocos Hinata yang masih merasa lucu.

"Yah...", Naruto mengangkat kedua bahunya sambil tersenyum pasrah. "Kok lo lama nggak siaran?', tanya Naruto kemudian.

"Lagi vakum, mau ujian soalnya.", terang Hinata. Hari ini Hinata menambahkan sebuah nama lagi dalam daftar orang yang dikenalnya dan dalam daftar kontak hapenya.

Setelah pertemuan merangkap perkenalan dan aksi barter nomor hape itu hubungan Hinata dan Naruto jadi semakin dekat. Siapapun dapat membaca dengan jelas kelanjutan hubungan mereka jika melihat perubahan sikap Hinata yang mendadak jadi hiperaktif dengan semangat abnormal. Ino dan Tentenpun takjub menyaksikan perubahan drastis Hinata yang kini semangatnya lebih cerah dari sinar matahari sepanjang hari, bahkan saat matahari sedang tertidur sekalipun.

Hinata segera menyambar hapenya yang bergetar-getar di kolong meja, dapat menebak siapa pengirim sms yang ditunggunya terhitung dari saat sms terakhirnya terkirim 2 menit lalu.

"Ntar malem sibuk nggak? Jalan yuk!", ajak Naruto lewat smsnya. Hinata tersenyum tipis membaca sms itu. Setelah sekian lama PDKT inilah saat yang paling dinantikannya. Meskipun sering bertemu dan jalan-jalan, tapi Hinata belum pernah menikmati suasana malam di Konoha berdua.

Hinata tak mau menyia-nyiakan kesempatan yang lebih langka dari populasi orang utan Kalimantan segera membalas smsnya dan menerima ajakan Naruto. Hinata menekan tombol hapenya dengan kecepatan super mengalahkan kecepatan cahaya lalu mengirimnya dalam hitungan detik. Hinata menggenggam hapenya tak sabar menunggu balasan.

"Jam 7 aku jemput. Dah, belajar dulu sana!", Hinata lagi-lagi mengulum senyum, membuat Ino yang duduk di sampingnya agak bergidik ngeri melihat tingkah aneh sahabatnya yang notabene memang punya potensi penyakit epilepsi dadakan, takutnya sekarang mendadak kumat.

"Kenapa sih lo senyum-senyum nggak jelas?", tanya Ino penuh selidik.

"Mau tahu aja! Week!", jawab Hinata jutek sambil melet melihat tampang sewot Ino.

"Pelit banget sih! Awas ya kalo kelaperan minjam duit sama gue lagi.", ancam Ino yang seketika membuat nyali Hinata ciut.

"Naruto ngajakin gue jalan.", jawab Hinata cepat.

"Hah?! Yang bener? Kapan?", tanya Ino antusias.

"Ehem", Kakashi sensei yang sedang menjelaskan tentang Induksi Faraday dan Hukum Lenz mendehem sambil menatap tajam ke arah Ino dan Hinata. Sayangnya tak disadari oleh kedua belia yang sedang sibuk sendiri itu.

"Ntar malem.", jawab Hinata singkat sambil melanjutkan catatannya.

"Terus yang ngapelin gue siapa dong?", tanya Ino dengan muka memelas.

"Sama kambing mau?", tanya Hinata datar.

"Ehem!", Kakashi sensei mendehem untuk yang kedua kalinya, tapi tetap gagal mendapatkan perhatian Ino dan Hinata.

"Lo pikir gue kambing betina kesepian. Tapi nggak apa-apalah. Akhirnya ada juga ya yang mau sama lo.", ucap Ino lega sambil mengusap kepala Hinata seperti seorang ibu yang lega karena anak perawannya akan dilamar orang. Hinata melirik tajam ke arah Ino yang masih nyengir kuda.

BLEETAK! Bunyi hantaman penghapus papan tulis terdengar jelas tepat di samping Hinata. Akhirnya percakapan siang itu ditutup dengan bunyi hantaman penghapus yang mendarat tepat di wajah Ino diiringi suara tawa di seantero kelas. Ino mengunci mulut serapat-rapatnya setelah corak hitam dari penghapus terbang menghiasi wajahnya.