Jadi, ini ff yang terinspirasi dari game paska appoclypse judulnya The Last Of Us. Aku udah ngubah plot ceritanya. intinya tentang Cordyceps Brain Infection (CBI) yang nyerang otak manusia.

MAIN CAST: Jeon Jungkook/Kim Taehyung

OTHER: BTS

SHIP: Taekook/Jikook/Yoonkook/Taegi

RATE: M

Warning: contain mature content(violence)

Happy Reading!

THE LAST OF US

PROLOGUE

[October 13th]

Jam menunjukkan lewat tengah malam. Jungkook melesakkan diri ke dalam rumah kecilnya yang berpenerangan gelap, penghematan listrik akibat biaya yang semakin menunggak dan belum dibayar. Pria berperawakan jangkung itu menghela napas ketika aroma pengap menyambut hidungnya, rumah belum dibersihkan. Jungkook pun melepaskan jaket yang basah kuyup akibat guyuran hujan diluar. Ia mengacak rambut kelamnya ketika lelah menghampiri. Jungkook sudah bekerja sepanjang hari dengan penghasilan yang tidak memuaskan, nyaris tidak bisa melunasi kebutuhan hidupnya yang cukup banyak dan bermacam macam.

"Hah? Kau belum tidur?", Jungkook terkejut ketika menemukan Park Jimin yang masih duduk manis di sofa, menonton televisi dengan acara yang tidak jelas dan membosankan. Jungkook sedikit kasihan bahwa Jimin sering mengeluh sakit mata akibat lampu yang tidak boleh dinyalakan. Mau bagaimana lagi? Mereka harus hidup berhemat karena Jimin tidak bekerja.

"Aku menunggumu pulang, Kook", Jimin tersenyum ceria, melahap letupan popcorn sembari menarik Jungkook untuk duduk bersamanya. Jimin menyadari raut Jungkook yang kuyu dan kelelahan, sepertinya penghasilan bulan ini pun tidak bersisa selain untuk membeli kebutuhan sehari hari mereka.

"Bagaimana kerja hari ini, eum?", Jimin memberikan pijitan kecil pada pundak Jungkook yang mendengus malas. Jungkook sendiri mengurut pelipisnya yang menegang akibat fokus sepanjang hari. Jungkook dan Jimin adalah sepasang yatim piatu, Jungkook menemukan bocah itu kesepian di panti asuhan dan tidak bisa lepas dari Jungkook sejak hari pertama.

Semenjak itu, Jungkook bekerja keras untuk menghidupi mereka berdua, meskipun pengeluaran mereka sangat dibatasi dan Jungkook hanya bisa memberikan Jimin kehidupan yang sederhana dan amat membosankan.

"Menyebalkan", Jungkook menjawab setengah hati.

"Ah, sudahlah, jangan kau pikirkan", Jimin memeluk Jungkook untuk mendukungnya, memotivasi pria yang nyaris menyerah akibat gaji yang tidak pernah bertambah, sedangkan biaya pengeluaran mereka meningkat setiap bulan.

"Tebak hari ini hari apa, Jim?", Jungkook tersenyum lelah ketika mengingat tagihan rumah yang belum dibayar sampai bulan ketiga. Namun, ia dapat mengesampingkan seluruh tekanan hidupnya kalau sudah mengingat Park Jimin. Lagipula, malam ini adalah malam yang sangat spesial bagi Jungkook.

"Um…Hari Jumat?", jawab Jimin polos.

"Hari ulang tahunmu, Silly!", Jungkook tertawa ringan, mengacak puncak kepala Jimin yang melongo lebar. Jimin benar benar lupa akan tanggal kelahirannya, yang ia pikirkan hanya bagaimana agar Jungkook tidak merasa stres dengan gaji yang sangat minim dan nyaris membuat mereka berdua melarat.

"B-Benarkah?!".

"Selamat ulang tahun!", Jungkook mengecup kening Jimin yang membeku dengan bola mata melebar. Jungkook menyerahkan kotak kecil yang diberi perekat keemasan. Jimin langsung menerimanya terkesima, terkejut bukan main melihat jam tangan perak yang tampak cantik sebagai hadiah ulang tahunnya.

"B-Bagaimana kau bisa membeli ini, Jungkook?! Ya ampun, bagus sekali!", Jimin tidak mau Jungkook bekerja setengah mati hanya untuk membahagiakan Jimin. Kebutuhan pokok mereka saja sangat sulit terpenuhi. Walaupun, Jimin merasa senang Jungkook rela menghabiskan tabungannya hanya untuk merayakan ulang tahun Jimin.

"Bagaimana, Jim? Kau suka tidak?".

"S-Suka! Sangat suka!", Jimin memeluk Jungkook erat, merasakan wajahnya memerah ketika tangan Jungkook merangkulnya erat. Jimin mampu tertidur pulas dengan kaki tertekuk, hanya menyandar pada dada bidang Jungkook sembari mendengarkan detak jantungnya yang teratur.

"Jam berapa ini, Jim?".

"Sudah lewat tengah malam. Ada apa?", Jimin melirik arlojinya yang berdetik lembut, tidak akan melepaskan hadiah pemberian Jungkook yang sangat berharga bagi Jimin.

"Kalau begitu, waktunya tidur, ne?", Jimin tertawa ketika Jungkook membopongnya seperti bocah kecil, tubuh mungil Jimin terangkat dengan mudah pada kedua tangan kokoh Jungkook. Jungkook pun membawanya ke lantai atas, membaringkan Jimin di ranjang secara berhati hati.

"Selamat tidur, Jimin. Mimpi indah", Jungkook mengecup kening Jimin yang memejamkan mata penuh kenyamanan.

"Selamat malam, Kook".

Jungkook pun meninggalkan malaikat kecilnya dalam kamar yang dibiarkan gelap tanpa penerangan.

[03.00]

"J-Jungkook?", Jimin terbangun mendengar kericuhan yang terjadi diluar rumah, ia baru setengah jalan bermimpi akan kehidupan yang berkecukupan bersama Jungkook, Jimin yang tidak harus melihat pria tersayangnya pulang larut malam dan bekerja pada dini hari.

"Kook?", Jimin mengusap matanya yang masih mengantuk, terkesiap ketika guncangan hebat menggetarkan sebagian rumah seperti gempa. "J-Jungkook?! Kau dimana?!", Jimin berjalan sempoyongan ke lantai dasar, mendengar gemerisik televisi yang dibiarkan menyala di ruang tengah. Ah, bagaimana Jimin bisa lupa untuk mematikannya?!

[—Cordyceps Brain Infection sudah menyebar ke sepenjuru kota. CBI adalah infeksi jamur parasit yang sudah menewaskan banyak korban dalam waktu kurang dari satu jam. Bahkan‒]

Jimin membeku ketika kobaran api mengudara di belakang sang reporter, terkejut bukan main ketika pada waktu yang sama, sebuah ledakan membubung tak jauh dari rumah Jimin. "J-Jungkook?!", Jimin berjalan cepat menuju dapurnya yang gelap tanpa penerangan, menemukan ponsel Jungkook bergetar nyaring di konter dapur. Jimin dengan sigap meraih ponsel Jungkook, jemarinya bergetar ketika membaca dua pesan yang masuk secara berturut turut.

[Yoongi-hyung: Kook, Aku tidak tahu apa yang terjadi! Ini gila!]

[Yoongi-hyung: Pergi secepatnya, oke? Bawa Jimin bersamamu!]

Jimin terkesiap ketika melihat tetangganya yang berlari kesetanan sepanjang jalan. Jimin menggigil takut ketika ledakkan pistol memekakan telinganya, ia terhuyung mundur ketika Jungkook menyentak pintu rumah mereka dengan kasar, keringat mengucuri dahi. Wajah Jungkook menyatakan kepanikan jelas.

"Jimin?! Kemari, jangan dekat dekat dengan pintu!".

"A-Apa?!"

"Ada yang salah dengan tetangga kita! Kemarilah!", Jimin gemetaran ketika Jungkook menariknya protektif. Pria jangkung itu mengobrak abrik lacinya dan meraih sepucuk pistol. Jimin takut setengah mati melihat senjata api yang selalu disembunyikan Jungkook, bersembunyi di balik pria itu ketika ia mendengar teriakan nyaring.

"J-Jungkook?! Apa yang terjadi?!", Jungkook berulang kali melirik halaman rumah mereka, rautnya menegang seperti sudah berlari dari binatang buas yang ingin mencabut nyawa pria itu. Jungkook mengusap pundak Jimin untuk menenangkan, namun Jimin justru gemetaran hebat ketika melihat tetangganya yang berlari mendekat sembari memuncratkan air liur.

BRAK!

Jimin menjerit ketika tetangganya menggedor gedor pintu rumah mereka sembari melolong tidak waras. Pakaian pria itu compang camping, luka sobek tertera disekujur lengannya seperti bekas cakaran binatang.

"J-Jungkook?! Apa yang terjadi diluar sana?!".

"Menjauhlah Jimin! Tetap di belakangku!".

Jimin memekik nyaring ketika tetangganya memecah jendela rumah dengan lolongan liar. Pria itu menggeram seperti binatang, menggeliat masuk melewati pecahan kaca seperti itu tidak menyakitkan sama sekali. Jungkook melontarkan sumpah serapah dengan pistol teracung tinggi, meremas lengan Jimin yang bersembunyi di belakangnya sembari terisak kecil.

"Aku memperingatimu! Jangan mendekat!".

"Kukatakan sekali lagi! Jangan mendekat atau‒"

Jimin membeku ketika tetangganya menerkam Jungkook ke meja makan, Jungkook berteriak terkejut, mengarahkan laras pistolnya sebelum menarik pelatuk. Ledakkan peluru melubangi kepala tetangga mereka yang memuncratkan darah busuk. Telinga Jimin serasa tuli, ia hanya mampu terdiam ketika Jungkook membopongnya keluar rumah tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

"J-Jungkook, k-k-kau…membunuhnya".

"Jangan melihat, Jimin! Tutup matamu!".

Jimin memejamkan matanya ketika suara berisik menguar dari rumah yang berjajaran sepanjang jalan, kemudian teriakan dan kobaran api yang melalap bagai maut. Semuanya kacau balau, tiang listrik tumbang akibat tubrukan massa yang kehilangan akal. Jimin menangis ketika seorang pria menubruk anaknya sendiri dan memakannya hidup hidup.

"D-Dimana, Yoongi, Jungkook?!", Jimin terisak ketakutan, menangis ketika Jungkook menggeleng dengan wajah pucat pasi. Prioritasnya adalah keselamatan Jimin, meskipun citra Min Yoongi terus menerus berputar dalam benak pria yang tunggang langgang membawa Jimin.

"Kita hampir sampai, Jim! Sebentar lagi‒", Jungkook berteriak ketika seorang wanita menubruknya dari samping. Mata kirinya sudah hilang, seperti dicabut paksa dari rongganya sendiri. Bau napas perempuan itu sangat busuk dan menyengat, kulitnya mengelupas dengan daging yang membusuk kehitaman.

"J-Jungkook!", Jimin terlempar jatuh ketika Jungkook bergulingan dengan wanita gila yang melolong sakit di trotoar jalan, hendak menggigit leher Jungkook yang menangkis dengan sikunya.

"Kook!", Jimin merangkak ketakutan, berusaha meraih tangan Jungkook yang memukul kepala wanita itu dengan ujung pistol. "Jungkook, awas!", Jimin menjerit ketika perempuan itu mengunci leher Jungkook di trotoar dan hendak menggigit.

"Jungkook!".

Jungkook terengah ketika sebuah peluru melesat dan melubangi dada wanita yang nyaris mengoyaknya habis. Jungkook melihat tentara berseragam yang mendekati mereka dengan senjata api terangkat. Pria itu tengah berkomunikasi melewati comms yang disambungkan ke telinga.

"Sir, ada dua warga sipil disini, menunggu perintah!".

"H-Hei! Kita membutuhkan bantuan!", Jungkook bangkit dengan napas yang tidak stabil, membopong Jimin ketika tentara itu mendekat dengan waswas.

"T-Tapi, Sir‒!", tentara itu mengamati Jungkook dan Jimin yang menangis kencang. Rasa bersalah melintasi rautnya ketika ia meliat Jimin yang terisak isak tanpa daya.

"S-Saya mengerti, Sir".

"Hei, apa yang kau lakukan?! H-Hei! Kita tidak sakit!", Jungkook mengangkat tangan ketika tentara itu justru menodongkan senjata api kepada mereka. Bola mata Jungkook melesat kearah Jimin yang meringkuk ketakutan di sisi jalan.

"T-Tunggu! Jangan‒!", Jungkook memeluk Jimin ketika lesatan peluru menghujam seperti pisau. Ia membiarkan dirinya terguling jatuh, meremas tangan Jimin ketika langkah kaki berlari mendekat.

"Sialan!", tentara itu berlutut di samping Jungkook yang merasakan seluruh oksigen di paru parunya terampas habis. Jungkook berdiri pada kedua kakinya, matanya melebar penuh teror melihat pria mungil yang meringkuk kesakitan di tanah.

"J-Jimin?!".

"JIMIN!", suara Jungkook bergetar ketika melihat Jimin yang merintih sakit sembari meremas perutnya yang bersimbah darah. Jungkook merasakan kedua lututnya melemas, semua tenaganya habis dan ia ambruk di samping tubuh pria yang tercekik kesakitan.

"J-Jim?!", Jungkook meremas tangan Jimin yang tak mampu bernapas, berusaha mengabaikan kubangan darah yang mengaliri tubuh rapuhnya.

"Fuck!", tentara itu melepas maskernya dengan wajah tegang, mengangkat tangan ketika Jungkook menjerit dan menyumpahinya kasar. "Aku hanya menjalankan perintah! Mereka memaksaku membunuhnya‒!".

Jungkook tidak mampu mendengar lagi, ia berusaha mengangkat tubuh Jimin yang terkulai lemas pada dadanya. "A-Aku tahu rasanya sakit, Jim! Tapi, kita harus pergi!", Jungkook memeluk lengan Jimin yang bersuara seperti anjing tersiksa.

"B-Berjanjilah kepadaku‒".

"T-Tidak! Kumohon, ayo!".

Jimin bernapas pendek pendek, telingnya berdenging ketika rasa sakit mengalahkan segalanya. "B-Berjanjilah kepadaku kau akan bertahan…", Jimin mengusap wajah Jungkook yang bersimbah air mata, tidak ingin pria itu sedih untuk terakhir kalinya saja.

"J-Jangan menangis, Kook…".

"J-Jimin, kumohon!".

Jimin terisak dengan senyum lemah, melihat cahaya yang sangat terang mulai membutakan pengelihatannya. "B-Berjanjilah kepadaku kau akan menyelamatkan umat manusia…Jungkook".[]