ENRAPTURED
Copyright© Alannah Carbonneau
.
warning: gs!
rate: m
.
.
.
[Baekhyun POV]
.
.
Tiga hari telah berlalu sejak pemakaman dan sekarang aku sudah bisa melakukan percakapan tanpa tangisan yang meledak. Hal itu bukan berarti aku kurang merindukan mereka (orangtuaku) atau bahkan aku melupakan kematian mereka, tetapi itu karena aku sudah bisa mengatasinya.
Aku harus bertahan hidup. Sudah seminggu aku meninggalkan beberapa kelasku. Aku tahu aku ketinggalan mata kuliahku, tapi sepertinya aku tidak bisa membawa diriku untuk kembali dulu. Aku telah berbicara dengan koordinator dan konselorku dan mereka berdua memberiku satu minggu untuk mengembalikan diriku.
Pada hari Minggu seharusnya aku sudah siap dan aku diharapkan akan kembali ke kelasku pada hari Senin. Sekarang hari Sabtu pagi, memikirkan hal itu membuatku mual. Aku tidak tahu apa yang akan aku lakukan pada hari Senin mendatang. Aku sangat takut.
"Selamat pagi, sayang." Sapa Boah (teman dekat dan rekan kerja ibuku), saat aku mengitari sudut menuju dapur. Aku tinggal bersamanya sejak pemakaman dan aku berterima kasih padanya. Dia telah membantuku mengambil dimana aku terpaksa melakukan sesuatu yang berkaitan dengan properti (rumah) orangtuaku. Dan masih belum terjual sehingga masih ada pinjaman atau hutang yang belum lunas.
"Selamat pagi." Aku langsung menuju teko kopi yang terdengar masih mendesis di atas meja. Boah pasti baru saja membuatnya. "Bagaimana dengan tidurmu?"
"Oh kau tahu, seperti biasanya."
"Berbaring dengan gelisah?" Aku menyeringai.
"Ya." Dia mendesah saat ia membawa cangkir kopinya ke bibirnya lalu menyesap agak lama. "Kau mulai kuliah pada hari Senin besok?"
Aku mengangkat bahu. "Kenapa?"
"Bukankah hari itu seharusnya kau mulai kuliah?" Nada suaranya mengingatkan aku pada sesuatu yang biasa dikatakan oleh ibuku. Terasa menyakitkan dan aku harus mengambil waktu untuk membersihkan tenggorokanku dari isakan dan berkedip agar air mataku masuk ke mata lagi.
"Ya." Jawabku singkat.
"Baekhyun."
Aku memotong kata-katanya. "Aku punya sesuatu untuk ditangani di sini. Rumah belum terjual dan pengacara itu terus menelepon mengenai masalah hutang. Aku tidak mampu membayar kuliah tahun berikutnya dan tidak ada cara bagaimana aku bisa membayar sewa apartemenku sekaligus mempertahankan nilaiku."
"Jika kau mengatakan padaku bahwa kau punya pikiran akan Drop Out dari kuliahmu, young lady, aku akan memukul bokongmu sampai coklat seperti terbakar matahari." Boah mengancam dengan jari menunjuk langsung kepadaku.
Aku bersandar pada meja dan merasakan mataku berkabut lagi. "Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan."
"Well, aku akan memberitahumu apa yang tidak diinginkan orangtuamu kepadamu." Dia membentak. "Mereka tidak ingin kau menyerah pada impianmu menjadi literary agent dan mereka yakin sekali tidak menginginkan kau Drop Out karena takut untuk mengambil tantangan."
Kata-katanya menyakitkan. Aku merasa seolah-olah secara lisan aku ditampar. "Jika kau tahu bagaimana mereka menginginkan aku bangkit untuk menghadapi tantangan itu, tolong beritahu aku, Boah." Bentakku. "Karena aku benar-benar tidak tahu."
"Kembali ke kampus. Dapatkan pekerjaan dan cari teman sekamar untuk membantu mengatasi keuanganmu. Hal ini akan menghabiskan waktumu sampai larut malam dan kau akan kelelahan, tetapi kau akan mendapatkan tempat di kehidupan ini… suatu tempat dimana kau tidak akan maju jika kau tinggal di sini di kota ini. Di sini tidak ada apa-apanya untukmu, Baekhyun."
"Apa yang harus aku lakukan?" Bisikku.
"Aku akan menangani rumah itu, Baek. Butuh waktu untuk menjualnya, itu akan menutupi hutang dan kau bisa bebas."
"Bebas dari tempat orangtuaku dimakamkan." Aku menduga caraku mengucapkannya terdengar getir.
"Kau akan bebas menjalani kehidupanmu."
.
.
.
"Apa kau akan bekerja lagi nanti malam?" Kata Luhan sambil meniup permen karet peppermintnya menjadi gelembung putih kecil sebelum menghisap kembali ke dalam mulutnya. Rambutnya pirang dan panjang, diikat menjadi ekor kuda tapi ikatannya agak rendah jatuh di atas bahunya. Hampir sepenuhnya bisa menyembunyikan bukunya.
"Yup." Aku menghela nafas. "Aku bekerja setiap malam, minggu ini."
"Serius?" Dia terdengar stress. "Kau akan kelelahan."
"Aku harus bekerja." Aku mengingatkannya dengan lembut. "Kalau aku tidak bekerja, aku tidak punya tempat tinggal."
"Kau bisa tinggal denganku." Luhan tersenyum dan menggoyang-goyangkan alisnya. "Kau tahu kau menginginkan hal itu."
"Tidak mungkin kita bertiga bisa tinggal di kamar asramamu" Aku memutar mataku. "Tapi kau selalu bisa tinggal bersamaku."
Dia menggelengkan kepalanya. "Kau tahu aku tidak bisa. Aku sudah dijatuhi hukuman seumur hidup untuk tinggal di asrama—itu satu-satunya cara ayahku membayar kuliahku. Dia pikir aku akan mendapatkan masalah lebih sedikit bila tinggal di asrama."
"Dia tidak tahu apa-apa." Gumamku.
Luhan begitu bermasalah kemanapun dia pergi. Dengan perilaku kecanduannya pada pusat kebugaran dan mudah tersenyum, dia seperti magnet bagi laki-laki dan dia menyukai hal itu setiap menitnya. Kasihan para pengagumnya, dia benar-benar mencintai Sehun, pacarnya. Mereka pasang kekasih SMA di perguruan tinggi.
Luhan menjadi sahabatku pertama kali orientasi tiga tahun yang lalu. Tak satupun dari kami bisa menelusuri bangunan yang besar ini dan kami mempelajarinya dari peta sekolah yang sudah diberikan pada kami semua. Kami bertemu waktu makan siang pada hari itu dan saling bertukar nomor ponsel dan kami menjadi tidak terpisahkan sejak saat itu.
"Aku harus menuju ke kelas."
Dia cemberut. "Beritahu aku kapan kau bebas dan kita akan pergi melakukan sesuatu seperti berpesta sampai dini hari."
"Okay." Aku menjawab saat kami berpisah. Luhan tidak cukup pandai, tapi dia percaya diri. Dia ingin menjadi dokter anak jadi kami sama sekali tidak memiliki kelas yang sama. Aku akan menjadi sarjana bahasa Inggris.
Aku sudah tiga minggu kembali kuliah dan sekarang aku sangat bersimpati pada siswa yang harus membayar dengan cara mereka. Untungnya, pembayaranku sudah lunas untuk setahun dan begitu juga mobilku. Tapi tagihan sewa apartemenku seribu seratus dolar dan fakta bahwa aku harus menabung untuk membayar kuliahku pada tahun berikutnya dan tahun terakhir dari universitas telah membunuhku.
Memikirkan hal itu aku menjadi stress dan nilaiku turun. Masih di atas rata-rata—tetapi masih dibawah rata-rata yang biasa aku peroleh. Hal itulah yang membuatku frustasi karena semua hal sialan itu.
Saat aku duduk di kelasku, aku mencoba untuk menyusun sebuah anggaran. Aku mendapat pekerjaan di sebuah tanning salon dekat apartemenku meskipun faktanya kulitku tidak pernah kecokelatan dalam satu hari selama hidupku. Tapi di situ keadaan begitu tenang dan aku diizinkan untuk belajar selama shift-ku jadi aku betah.
Satu-satunya masalah adalah upahku. Hal inilah nyaris membuatku terombang-ambing. Sewa apaertemen membunuhku, tapi pada tahun ajaran baru, tidak banyak apartemen yang tersisa untuk disewakan. Aku berada dalam posisi yang sulit dengan apartemenku karena aku tidak bisa menemukan teman sekamar, karena yang aku tempati adalah studio apartemen dan hanya satu ruangan besar. Aku orang yang sangat perhitungan dan masih tidak memiliki cukup uang untuk membeli makananku—apalagi memanjakan diri untuk sesuatu yang sepele seperti kehidupan sosial.
.
.
.
"Byun Baekhyun." Profesor Carl berteriak ketika kelas sudah berakhir. Ini kelas terakhirku pada hari ini dan aku sendiri sudah mengalokasikan waktu yang cukup antara kelas terakhir dan shift-ku di tanning salon. Aku tidak punya waktu untuk berbasa-basi—ataupun yang dia inginkan. "Tolong temua saya sebelum anda meninggalkan kelas."
Sebelumnya dia tidak pernah berbicara denganku dan aku tidak tahu apa yang ingin dia bahas sekarang. Aku tidak gagal di kelasnya dan aku selalu hadir, jadi aku benar-benar tidak mengerti.
Dengan cepat, aku menumpuk kertas-kertasku lalu menyelipkannya ke dalam buku cetakku sebelum menutupnya dengan kasar. Aku meraup buku-buku itu ke dalam pelukanku dan melirik jam tanganku.
"Sial." Aku menarik napas. Sekarang sudah jam 14.45. Jika dia tidak melakukan hal ini dengan cepat aku akan terlambat masuk kerja—lagi.
"Apa yang bisa saya lakukan untuk anda, Profesor Carl?" Aku mencoba menutupi ketidaksabaran dalam suaraku, tapi gagal.
"Apakah anda kesulitan dengan materi kuliah saya, Miss Byun?"
Aku mengerutkan kening. Jantungku mulai berontak di dadaku dan hampir bisa dipastikan aku berkeringat. Syarafku begitu sensitif. "Saya tidak berpikir begitu."
"Nilai anda telah mengalami penurunan yang signifikan sejak anda kembali dari liburan." Dia memiringkan kepalanya ke samping. "Jelas anda mengalami kesulitan dengan sesuatu?"
Apakah dia tidak tahu orangtuaku tewas dalam kecelakaan mobil? Apakah dia tidak menyadari sebab dia begitu yakin waktu aku tidak masuk kuliah karena ingin liburan? Aku merasa pipiku tersengat karena tersinggung tapi aku menahan kata-kata cacianku. Aku tidak punya waktu untuk ini.
"Maafkan saya. Saya akan menyediakan lebih banyak waktu dan tenaga untuk mempelajari materi ini."
"Kau harus melakukan itu, Miss Byun. Saya tidak punya waktu bagi orang pemalas di kelas saya dan saya telah melihat potensi anda. Saya tahu anda mampu dan saya tidak akan menerima kekurangan apapun."
Aku mengangguk dengan drastis dan memasukkan lagi air mataku. Oh, sialan aku begitu marah, tapi tidak ada yang bisa kulakukan.
Dia adalah profesor-ku dan aku tidak dalam posisi untuk mengatakan padanya bagaimana alasanku. Dia jelas mengharapkan lebih dari aku dan karena aku orang yang menetapkan standarku sendiri, maka hal itu merupakan pekerjaanku untuk mempertahankan nilai-nilaiku.
"Semoga sore anda menyenangkan, Profesor Carl." Aku berbicara dengan nada gemetar dan dia mengangguk. Jelas, dia tidak menyadari cara dia menegurku telah melukai aku. Tapi sekali lagi itu bukan tugasnya menanggapi perasaanku.
Aku membalikkan tubuhku darinya dan bergegas menuju pintu keluar. Aku bisa merasakan matanya yang kecil bercahaya di punggungku saat aku berjalan dan ketika akhirnya aku sampai ke lorong dan keluar dari pandangannya, aku membebaskan napasku yang terpendam dari paru-paruku.
Sekilas aku melihat jam tanganku dan itu menunjukkan bahwa aku memiliki kurang dari setengah jam untuk berjalan sepanjang kampus universitas menuju mobilku kemudian ke tempat kerja. Aku memotong jalan dan tidak ada pilihan selain mulai berlari.
Kalau bukan karena tiap pagi aku menemani Luhan mengunjungi pusat kebugaran, aku akan terengah-engah dan kacau saat aku sampai ke tempat parkir.
Aku menikung ke kiri dengan drastis antara dua mobil dan melihat Mazda CX- 5 putihku dan jantungku melompat. Untungnya itu salah satu hal yang benar-benar sudah dibayar lunas oleh orangtuaku—karena tidak ada lagi cara bagiku untuk bisa membayar tagihan lain dan aku tidak ingin menyingkirkan Mazzy. Tidak ada keinginanku untuk menjual Mazzy. Aku mencintai Mazzy.
Mataku berkabut saat aku memikirkan orangtuaku dan aku menghilangkan bayangan itu dari pikiranku. Aku tidak punya banyak waktu untuk menangis.
Aku hampir sampai ke mobilku. Itu berarti aku hampir sampai juga di tempat kerja dan aku tidak akan dipotong gajiku lagi untuk setengah jam keterlambatanku. Aku benar-benar memerlukan gaji itu, sesaat aku berpikir begitu, aku melesat menuju mobilku. Aku benar-benar tidak menyadari sekelilingku ketika aku berlari menerjang sesuatu yang besar, keras dan tinggi.
"Oomph." Semburan udara lolos dari bibirku ketika bukuku merosot ke perutku sebelum aku menjatuhkannya ke trotoar dan tidak lama kemudian, kakiku terjengkang dari bawah dan aku tahu beberapa saat lagi aku akan mencium aspal.
"Sudah aku pegang, Angel." Terdengar suara berat saat tangan bertato diselipkan di sekitar perutku tepat pada waktunya untuk menangkapku sebelum hidungku—terjun ke tanah. Dengan mudahnya tangan itu menarikku melawan keras tubuhnya dan aku menegang saat inderaku melonjak dalam siaga penuh.
"Maafkan aku," gumamku saat aku mengangkat tanganku dan menoleh ke dadanya. Jantungku berpacu ketika aku mendorong dirinya dan ia tidak bergerak sedikitpun. Dia terus menahanku di dadanya.
"Kau bisa lepaskan aku sekarang." Aku mulai mendorong melawan dia lagi dan suara tawa terdengar di atasku. Seketika, mataku melesat ke atas dan melotot ke arahnya.
Aku membeku.
Dunia bergeser saat mata cokelat itu sedang menatap ke arahku.
"Kau yakin dapat menangani dirimu sendiri?" Seringai ringan menyentuh bibirnya dan jantungku bergetar. Telapak tanganku terasa basah dan perutku yang paling bawah dipenuhi kupu-kupu.
Dia adalah pria berpenampilan paling menakjubkan yang pernah aku lihat. Dengan rambut hitamnya yang sangat gelap, acak-acakan dan juga agak panjang, mata cokelat dan kulitnya yang bersih—aku berubah menjadi bisu. Aku dalam pelukannya. Pikiran itu berteriak di dalam benakku dan aku terguncang sendiri dalam kondisiku yang tiba-tiba terhipnotis.
Sialan, Baekhyun. Kendalikan dirimu!
"Aku yakin bisa." Aku mendorng dadanya lagi dan kali ini aku merasa tubuhnya yang keras bergeser di bawah telapak tanganku saat ia melenturkan badannya—tapi ia melepaskan aku. Perutku terasa luruh. Apakah aku tidak akan memiliki tangan bertatonya untuk memeluk diriku lagi.
"Kau mau kemana?" dia memiringkan kepalanya saat ia menunggu jawabanku. Tidak satupun bagian dari dirinya yang mengindikasikan ketidakamanan.
Orang ini adalah pria yang paling percaya diri yang pernah aku temui. Dia dialiri keyakinan pada dirinya sendiri dan pesona yang berbahaya. Jika aku pintar, aku akan melupakan bukuku yang jatuh di tanah dan mulai berjalan lagi.
"Ke tempat kerja." Aku berlutut untuk mengambil bukuku dan dia berjongkok di depanku. Lututku gemetar, tapi apakah itu karena aktivitasku sebelumnya atau kedekatannya, aku tidak yakin.
Dari sudut mataku aku melihat dia mengulurkan tangannya yang berotot untuk mengambil buku cetakku.
"Inggris, ya," Suaranya yang berat menggema ke seluruh tubuhku, aku gemetar sampai ke pusat intiku. Dia… sangat mempengaruhiku.
Pemikiran itu membuatku terpana. Tidak ada seorang pun yang pernah mempengaruhiku. Aku pernah punya pacar, waktu kencan adalah hal tepat yang biasa dilakukan, tetapi mereka tidak pernah bertahan melewati kencan ke dua. Aku hanya tidak tertarik. Aku tahu apa yang kuinginkan dari hidupku dan itu bukan termasuk laki-laki. Aku punya suatu rencana dan asmara bukan bagian dari itu.
Namun, di sini aku berubah menjadi takhluk di tangannya. Apalagi lututku gemetaran dan perutku menjadi ringan. Tingkahku sangat kacau.
"Ya." Aku mengambil buku dari bawah jarinya. "Aku harus pergi."
Dia berdiri bersamaan denganku dan mendorong tangannya ke sakunya. "Siapa namamu?"
Aku mulai berlari. "Aku terlambat." Aku berteriak dari balik bahuku saat aku langsung menuju Mazzy.
Tidak ada waktu untuk berdiri di sana dan berbicara dengan orang asing. Meskipun dia seksi, tapi orang asing itu tidak memiliki kekurangan. Aku memiliki tagihan yang harus dibayar dan kulkasku kosong benar-benar butuh diisi.
Dia membuat getaran di dalam perutku—aku tidak menyangkalnya.
Tapi dia tidak baik untukku. Aku sudah hancur dan seperti menampung malapetaka dengan menambahkan anak laki-laki, aku memiliki bir yang akan menjadi ramuan dan ramuan itu pasti membunuhku.
.
.
.
TBC?
.
.
.
note: [1] literary agent; orang yang mengelola semua urusan yang berkaitan dengan seorang penulis. [2] tanning salon; salon yang menawarkan sinar ultra violet buatan untuk merubah kulit menjadi kecokelatan.
.
.
.
