"Memangnya ada orang lumpuh yang bisa terbang?"
Aku telah menghabiskan waktuku cukup lama di rumah sakit. Ratusan kali melewati lobi berlantai putih pucat, sepucat wajah orang-orang yang ada dalam bangunan ini; dokter, suster, pasien, dan bahkan wajahku setiap aku bercermin di jendela kamarku berbaring.
Aku menebak itu karena pengaruh ketenangan rumah sakit yang keterlaluan, siapakah orang yang pernah mendengar seseorang tertawa riang disini, bernyanyi, atau tersenyum lebar—kecuali suster yang terlatih untuk tersenyum? Berceloteh seakan mereka sehat, sisa umur mereka masih banyak, atau orang yang mereka cintai tidak sedang berjuang untuk hidup?
Kurasa tidak ada. Yifan bilang tidak ada. Mungkin di rumah sakit lain di suatu tempat ada hanya aku tidak tahu.
Bersyukur sejak Yifan masuk ke dalam hidupku, walaupun tidak membuat rumah sakit putih pucat jadi terlihat bercat pelangi, Yifan memberiku beberapa warna, beberapa alasan untuk merasa aku masih hidup.
Aku bosan berada di kamar, sendirian ditemani dengung berita di televisi dan degkur pasien di sebelahku. Lagipula jarang sekali ada kabar bahagia datang dari pembawa berita, dengkur pasien itu juga membuat telingaku gatal. Aku pun pergi ke tempat favoritku.
Setelah menaiki lift, aku mendekat ke arah pintu berpelitur coklat dengan daun pintu logam kekuningan.
Aku memejamkan mata sebelum membuka pintunya.
Cahaya menyilaukan sinar matahari memyambut kedua mataku. Kuhirup udara dalam-dalam, semilir bunga-bunga yang bermekaran dan bau segar rerumputan hijau. Gemerisik dedaunan di pohon seakan berlagu bersama angin yang membelai kulitku. Kurasakan tanah lembab di kakiku yang telanjang yang sengaja kujulurkan ke tanah.
Sejauh mata memandang hanya ada padang luas dan langit biru. Aku tersenyum.
Indah sekali.
Aku menghirup lebih dalam lagi. Aku merasa kakiku bergerak dengan sendirinya—anehnya hampir tidak terasa sama sekali—menginjak rumput yang merunduk di bawah telapak kakiku, melewati karpet kelopak bunga merah, kuning, putih, ungu yang berjatuhan. Aku terus menjauh dari pintu yang kubiarkan terbuka begitu saja.
Aku memetik salah satu bunga yang berwarna putih. Aku tersenyum ketika dalam benakku muncul wajah seseorang yang mengingatkanku pada bunga putih ini. Putih bersih tanpa noda.
Kudekatkan bunga itu ke hidung, hendak menciumnya, namun terdengar suara seseorang—suara yang amat familiar bagiku, di bangun dan tidurku, di mimpi dan khayalku—memanggil namaku. "-xing… Zhang Yixing."
"Yifan?"
"Yixing. Kemarilah."
Aku hendak merentangkan tangan dengan gembira saat kulihat sosok Yifan berjalan ke arahku. Hari ini pakaiannya masih berwarna hitam dari ujung kepala hingga unjung kaki, namun entah kenapa di mataku Yifan selalu berwarna putih. Bunga itu terjatuh dari jepitan jemariku.
Yifan mencoba membalas senyumku, tapi suaranya menyiratkan kecemasan saat mengatakan, "Maukah kau mundur beberapa langkah?"
Aku tertegun. Memangnya kenapa? Bukankah di belakangku adalah hamparan padang bunga yang indah sekali? Aku malah ingin meminta Yifan menemaniku karena biasanya dia selalu menemaniku. Hanya dia, semuanya telah pergi. Hanya Yifan.
"Kenapa?"
Kemudian Yifan menunduk dan tertawa pelan sekali. Ia berjalan mendekat ke arahku dan aku tidak mengerti bagaimana Yifan bisa melewati hamparan bunga dengan mudah. Sepatu hitamnya menginjak mereka tapi mereka tidak bergeming ataupun layu. Yifan menjulurkan tangannya. Tanpa diperintah, aku langsung menyentuhnya.
"Pejamkan matamu dan buka saat aku bilang buka," kata Yifan lembut.
Dapat kurasakan Yifan sedang menggandengku, menarikku menjauh dari bawah pohon tempatku bernaung tadi. Perlahan semilir harum bunga sirna. Gemerisik daun lenyap. Namun aku masih dapat merasakan desir angin yang benar-benar nyata pada indera perabaku.
"Sekarang, buka."
Aku mengira Yifan akan memberiku semacam kejutan atau apa, sebab dulu Yifan pernah menginstruksikan hal yang sama dan ternyata ia memberikanku sebuah kalung perak—yang tidak pernah kulepas sejak hari itu—dan lebih sering lagi makanan manis dengan gula alami.
Apa yang kulihat membuat senyumku yang hampir terulas memudar dengan sendirinya secepat daun kering gugur dari pohonnya; tidak ada padang bunga atau apapun. Itu hanya khayalanku.
Pandanganku dipenuhi oleh gedung-gedung tinggi pencakar langit yang sibuk, papan reklame raksasa yang berusaha mengintimidasi, di bawahku—puluhan meter di bawahku—kendaraan maupun penduduk yang melintas dengan urusan masing-masing, asap dan karbonmonoksida transparan memenuhi udara.
Kotor dan suram dan ini kenyataan.
Sudut mataku berkedut, pandanganku mulai kabur. Yifan sudah berlutut satu kaki di hadapanku dan kami bertatap muka. Aku buru-buru mengelap air mata yang mendesak turun. Yifan mengelus kepalaku.
"Maaf, lagi-lagi… lagi-lagi aku berkhayal. Maafkan aku…"
"Tidak apa-apa," jawab Yifan seperti biasa.
Jawaban yang selalu dikatakannya setiap kali aku menaiki lift ke lantai gedung rumah sakit teratas, tiba-tiba berkhayal, dan mendorong kursi rodaku hingga ke ke pinggir gedung. Pernah Yifan datang terlambat dan aku nyaris terjun bebas ke bawah. Aku sendiri merasa begitu. Entah apa yang terjadi, beberapa detik setelahnya aku sudah berada dalam dekapan Yifan yang hangat, di atas lantai yang dingin—masih hidup dan kursi rodaku sudah hancur di bawah sana.
"Maaf, padahal aku sudah… berjanji… padamu." Tidak, aku tidak boleh menangis.
"Aku akan memaafkanmu kalau kau tidak menangis, Yixing."
Aku tidak berani menatap kedua mata Yifan yang berbinar simpatik ke arahku. Jariku dengan gugup bermain pada pita seragam putih pasien rumah sakit. Biasanya dengan begini perasaanku untuk menangis bisa kualihkan.
"Jadi, apa yang kau lihat tadi?" tanya Kris, wajahnya penasaran. Terkadang, sebelum tidur, aku bertanya-tanya apa Yifan benar-benar tertarik dengan ceritaku atau ia hanya bersikap baik.
"Aku melihat padang bunga."
"Oh, ya? Bunga apa saja?"
Aku menggeleng, aku tidak tahu nama-nama mereka. "Tapi mereka sangat cantik!" pekikku. Yifan mengangguk tersenyum. "Apa kau memetik satu untukku?"
"Ya, tentu saja! Aku memetik bunga warna putih untukmu, ah, tadi bunganya ada di—"
Aku melihat ke belakang dan tentu saja bunganya tidak ada.
Besoknya, Yifan datang menghampiriku yang sedang menatap langit, berharap dapat menggenggam awan, terbang melewati kawanan putih berarak-arak tersebut. Yifan juga membawakan sebuket mawar putih untukku dan, seperti biasa, mengenakkan pakaian berwarna hitam menutupi tubuhnya.
"Terima kasih," aku tersenyum. "Kau habis darimana?"
"Ada sedikit urusan," jawabnya singkat setelah mengecek ponselnya.
Aku selalu segan untuk bertanya apa pekerjaan Yifan, darimana ia mendapat biaya untuk membayar pengobatanku, bagaimana keluarganya, mengapa ia mau menemaniku—ya, mungkin pertanyaan yang terakhir pernah dijawabnya ketika kami menyaksikan matahari tenggelam di atas atap, dengan suara yang begitu pelan, nyaris terhempas angin: "Karena kau berarti bagiku."
Yifan menyuapiku makan siang. Ia benar-benar baik. Untuk menghiburnya, yang terlihat kelelahan dengan kantung mata tersembunyi dari bayangan gelap hoodie-nya, aku mengajaknya mengobrol.
"Apa mimpimu sewaktu kecil?" tanyaku setelah menelan nasi dari sendok. Yifan tidak langsung menjawab, ia menyendok nasi dan lauk berikutnya untuk dimasukkan ke dalam mulutku.
"Tidak ada. Aku tidak memiliki masa kanak-kanak seperti itu."
"Benar tidak ada? Seperti menjadi astronot, misalnya? Direktur? Musisi? Presiden RRC?" aku menelan lagi. Yifan terlihat puas.
"Sungguh. Memangnya kau sendiri apa?"
"Coba saja tebak," candaku.
"Mm… Superman?" Yifan langsung menjawab. Mungkin aku memang terlihat lemah sehingga Yifan membayangkan sosok lelaki yang tangguh seperti itu bagiku.
"Nyaris!" aku tertawa. "Aku tidak mau jadi Superman. Kau tahu 'kan adegan di film saat Superman terbang ke luar angkasa dan mendengarkan satu-persatu raungan minta tolong dari berbagai penjuru Bumi? Hah, tugasnya benar-benar berat. Tanpa digaji dan tidak bisa menikah."
"Ya, dan dia juga bukan Tuhan yang bisa menolong kapan saja," gumam Yifan, menyuapiku lagi.
"Makanya aku hanya ingin memiliki satu kelebihannya, yaitu…" aku mendongak melihat langit di atas kepalaku lalu menoleh ke samping, mengepakkan kedua tangan di kedua sisi tubuh. "terbang. Tapi, itu terdengar konyol, bukan? Memangnya ada orang lumpuh yang bisa terbang?"
Siang itu terasa begitu sunyi. Hanya ada derung kendaraan jauh di bawah sana.
"Apa kau sebegitu inginnya dapat terbang?"
"Ti-tidak juga... Itu hanya mimpi masa kecil saja."
Aku menunduk, berkutat dengan pikiranku sendiri. Tidak mendengar Yifan yang menghela nafas.
Sekarang dokter sering mengajak Yifan berbicara empat mata. Sedangkan kondisiku, aku merasa tubuhku semakin lemas. Kepalaku sering berdenyut sakit dan tulang-tulangku serasa terbakar. Mengangkat gelas pun aku tidak kuat lagi.
Sepertinya kedua kakiku yang hilang masih belum cukup. Ah, Zhang Yixing, tidak perlu bersedih hati. Di dunia ini masih banyak yang lebih menderita darimu, aku menghibur diriku seperti biasa.
Jangankan menikmati hembusan angin di lantai teratas, menaiki kursi roda pun dilarang keras. Aku juga jarang berkhayal dan lebih sering jatuh tertidur; terkadang karena jarum bius, terkadang suara Yifan yang menenangkan saat menceritakan sedikit tentang kemungkinan manusia bisa terbang; peluang dan matematika, gravitasi dan fisika, Wright bersaudara, sayap Icarus yang terbakar.
Samar-samar, dari jauh aku melihat tangannya yang terkepal kuat namun air mukanya tetap sama. Ia mengangkat ponselnya dengan bibir pucat, menggumamkan "ya, aku mengerti" berkali-kali.
Maaf, aku selalu menyusahkanmu, Yifan.
Sejak saat itu, Yifan jadi lebih banyak tersenyum dan menyuruhku tidur. Itu yang biasanya dilakukan manusia ketika orang di depannya segera pergi. Tapi senyum Yifan menyiratkan kelegaan dan kesedihan yang tidak terbaca.
Aku terbangun dari mimpi dimana aku melihat burung gagak hitam dan merpati putih berkejaran. Merpati itu dilukainya sementara gagak itu terbang melesat ke arahku.
Leher dan dahiku berkeringat.
Yang paling buruk, kepalaku nyeri namun Yifan tidak ada disini.
Aku tidak tahu pasti bagaimana caranya aku mencabut paksa selang infus dari tanganku, aku menaiki kursi roda, aku membuka pintu, aku berada di sini sekarang; di lift menuju lantai teratas. Tanganku gemetar tanpa sebab padahal matahari belum terbenam setengahnya.
Aku sampai di lantai teratas dan kulihat Yifan sedang bersama dengan orang lain di sana. Orang lain itu tampak muda dan mengenakan baju putih. Mereka terlihat berseteru satu sama lain.
"Pergilah, Luhan. Aku bisa mengurus ini semua sendiri."
"Ya, tapi mana buktinya? Kau terus menahan kematiannya. Sampai-sampai kau mengorbankan seperempat kekuatanmu untuknya, Yifan. Kau—ah, sudahlah, biarlah, biar aku yang mengambil nyawanya sekarang."
"Tidak." Yifan menahannya. "Aku saja."
"Kau pasti akan mengulur lagi! Yifan, dengar, aku tidak mau kau membahayakan nyawamu sendiri dengan berada lebih lama lagi di dekat manusia. Kita ini berbeda."
Orang itu menatap Yifan dengan tatapan dalam yang membuat hatiku kelu, aku bahkan lupa dengan sakit yang sedang melanda sekujur tubuhku. Saat Yifan membalas tatapan mata orang itu, aku sadar betapa bodohnya aku selama ini. Aku pikir akulah satu-satunya orang yang penting baginya. Aku salah.
Aku menggigit bibir menahan isakanku namun gagal.
"Aku tahu, Luhan. Hanya saja—tunggu! Siapa di sana?" teriak Yifan, menyadari kehadiranku.
Yifan melihatku. Orang itu juga. Aku tidak mengeri apa yang terjadi berikutnya. Karena beberapa detik setelahnya, orang itu menatap Yifan intens kemudian yang kulihat hanyalah kegelapan, hitam pekat yang, muncul dari sekeliling orang itu. Keluar sayap hitam lebar dari punggungnya dan wajahnya memang benar-benar rupawan layaknya malaikat. Kegelapannya bagai gerhana menyelimuti matahari.
Berat. Berat sekali rasanya bahkan berada pada jarak yang jauh darinya. Dadaku sesak hingga aku terjatuh dari kursi rodaku. Bernafas mmenjadi sulit.
"Yi-Yifan…" desahku tak berdaya.
Di sekeliling Yifan juga berpendar cahaya putih membutakan yang mencoba menetralisir kegelapan di tempat itu. Baju hitamnya luruh. Semuanya berubah putih. Sayap putih mengembang di belakangnya. Ia melirikku sekilas dengan wajah cemas. "Hentikan, Luhan... Kau membuatnya sesak."
Aku bertanya-tanya, beginikah rasanya saat kau menghadapi kematian? Bukankah seharusnya kematian adalah sesuatu yang menenangkan? Aku kira aku akan mati dalam pelukan Yifan tapi sepertinya inilah akhirku.
"Tidak. Ini harus diakhiri, Yifan."
Malaikat pencabut nyawa bersayap hitam itu tiba-tiba sudah ada di belakangku. Yifan berusaha melindungiku. Namun ia berhasil menyudutkan Yifan sehingga Yifan terpaksa terbang ke atas. Mereka bagaikan burung gagak dan merpati dalam mimpiku.
"Kenapa? Kenapa kau melakukan ini, Yifan?" aku melihat Yifan berusaha sekuat mungkin mengabaikan setitik air yang menetes dari mata sang malaikat hitam jatuh ke Bumi.
Mereka terus mencoba menyerang satu sama lain di angkasa dan menghindar, sementara aku menyeret diriku ke tepian atap gedung. Kalau mereka harus menyakiti satu sama lain karena diriku, lebih baik aku pergi sendiri.
"Hentikan, hentikan!" aku ingin berteriak namun tidak bisa, tidak ada kata-kata yang keluar.
Yifan kalah. Malaikat hitam itu segera melesat ke arahku, menusukku dengan matanya meski bibirnya tersenyum, kata-katanya terdengar tulus. Aku bahkan merasa akrab dengan suaranya, mungkin kematian sesekali pernah berbisik padaku, aku yang tidak mendengarnya.
"Ucapkan selamat tinggal pada penderitaanmu, Zhang Yixing… Ini tidak akan sakit."
Aku jatuh dari tepi gedung. Aku bisa mendengar teriakan Yifan, aku juga mendengar suara malaikat hitam itu mencoba menahan Yifan, mengatakan kalau ini yang terbaik bagiku dan kurasa ia benar.
A/N: Nekad ngepost padahal lagi banyak ulangan. KrisHan, ugh.
