BTS – Big Hit Entertainment

Penulis tidak mengklaim apapun selain plot cerita

.


.

.

"Eh, Yoongi-hyung."

"Ng?"

"Udaranya dingin ya?"

Menoleh enggan dari kisi-kisi jendela yang hampir separuhnya berbalut embun tipis—selain dua bekas telapak tangan yang sengaja ditinggalkan Jimin di sana (dan digunakan dengan iseng oleh pemuda itu sebagai celah untuk melihat) Yoongi mendapati sepasang boneka salju berdiri di pinggir halaman yang sedang dalam opsi gersang dan tertutup hamparan putih. Satu berukuran lebih besar dari yang lain, ember hitam menutup kepala, dua buah pemukul bola tertancap mengacung pengganti lengan, dan berkalung seuntai kain panjang yang langsung membuat Yoongi mengerenyit.

"Dasi?"

"Itu Yoongi-hyung," tunjuk Jimin tanpa bermaksud menjawab pertanyaan. Telunjuk kanannya menuding manusia salju kedua yang berukuran agak kecil. Ada sejumput jerami diletakkan di bagian kepala, bersemat ranting kering sebagai lengan, serta tampak dilapisi kain lebar warna biru tua yang menutup bagian dada, "Dan itu aku."

"Ha," lengos Yoongi, kembali menatap cangkir besar berisi cokelat panas yang baru diseduh, menambahkan dua potong marshmallow dan meletakkannya di meja selagi Jimin sibuk menempel di jendela, "Kalau memang bermaksud membuat sepasang, paling tidak beri mereka perlakuan yang sama."

Kalimatnya disambut tawa renyah tanpa gerakan berarti, "Aku selalu beranggapan jika hyung tampak seperti anjing polisi yang sanggup bersikap wajar di tengah musim dingin. Tidak terlalu besar, tapi kuat, berbahaya, dan tetap bergeming walau ada badai atau air bah. Beda denganku yang bisa terbang hanya karena tiupan pipa pembersih debu," sergah pemuda berambut merah itu, melankolis. Sepotong kecil marshmallow terlempar ke arahnya dan membuat Jimin berpaling diiringi cengir puas.

"Aku benar, kan?"

"Meskipun benar, aku tetap menolak disamakan dengan anjing," Yoongi mendaratkan tubuh di satu sofa tunggal sembari meniup uap samar yang menguar dari kopinya, "Daripada itu, aku belum dengar alasanmu mendadak datang dan menghabiskan waktu mengacaukan halaman. Tahu sendiri badanmu tak tahan dingin, malah menolak masuk."

Alih-alih merespon, Jimin hanya mengangkat bahu acuh dan meraih cangkir cokelatnya untuk dihirup perlahan. Mengerang nikmat, pemuda itu mengangkat kedua kakinya ke atas dan memangku minuman dengan imut, "Ingin saja."

"Berkelahi lagi?"

"Kenapa menuduh begitu?"

"Sejak kecil kau selalu datang padaku tiap selesai memarahi seseorang," ujar Yoongi kalem, menyesap kopinya agak lama, "Aku tak berminat ikut campur soal apa, dimana, dan kenapa. Hanya mengatakan fakta lama. Tak perlu tersinggung."

"Tidak kok," geleng Jimin ketus diiringi dengus, "Mungkin karena hyung jarang berkomentar dan tak pernah terlalu peduli dengan apa yang kukerjakan. Lagipula ruangan ini benar-benar nyaman dan selalu membuatku ingin pulang."

"Pulang?" pria berwajah tak ramah itu terkekeh kencang, menaruh cangkirnya lalu menopang pelipis di pegangan sofa, "Ini bukan rumahmu."

Mengerjap imut dari permukaan cokelat, Jimin menyunggingkan cengir tipis dengan sudut kiri terangkat tinggi, sumringah, "Ironisnya, tempat dimana aku disambut dengan ucapan selamat datang dan segelas cokelat panas seperti ini adalah tempat yang katanya bukan rumahku."

"Jangan berlagak puitis, aku hanya tak mau dituduh keterlaluan karena membiarkan seorang bocah meringkuk kedinginan setelah berjam-jam berdiam di kereta dengan perut lapar," delik Yoongi tanpa ekspresi, "Lain kali segera masuk dan makan sesuatu, tak perlu menunggu sampai aku pulang seperti tadi. Kalau kau mati kelaparan, aku yang akan susah."

"Hyung kuatir?"

"Hanya sedang malas membuang mayat."

"Cih."

"Kuncinya masih ada padamu?" pria itu melirik ransel yang teronggok berjarak selangkah dari perapian, "Aku tidak keberatan kau berkeliaran di dalam, asal jangan sembarangan masuk ke kamar orang."

"Mana seru kalau mainnya tanpa pemilik rumah," dengus Jimin, menelan seteguk cokelat lagi, "Hyung tahu aturannya kan? Kalau sudah diberi kunci, artinya aku diperbolehkan masuk kemana saja dan melakukan apa saja. Oh, tunggu, tunggu," Jimin bergegas menurunkan kakinya setelah menaruh cangkir setengah tergesa. Disambarnya ransel tadi lalu merogoh beberapa saat. Masih sambil berdiri, lengannya mengacungkan sepasang kunci elektrik yang tersemat pada seuntai temali bermaskot pion catur. Tak paham, Yoongi balas mengangkat alis heran.

"Duplikat pembuka gerbang belakang rumah utama," dada Jimin membusung angkuh, "Jika berminat menculikku dari sana, hyung bisa langsung naik ke lantai dua. Kamarku tak pernah dikunci."

"Pertanyaan pertama," potong Yoongi, enggan mengulurkan tangan pada jemari Jimin yang masih teracung, "Kenapa kau bisa punya kunci cadangan yang—seingatku, harusnya tidak ada. Dan kedua, kenapa aku harus susah payah menculikmu dari rumah itu dengan resiko terburuk mati muda karena dikeroyok anggota keamanan?"

"Alala, hyung, jangan menuduh dulu," Jimin menimang-nimang benda tersebut diiringi gelak imut, "Aku berkorban satu juta delapan ratus tiga puluh ribu won untuk mencari anggur terbaik karena cucu pembuat kunci langganan keluarga kami menolak berkhianat sedikit. Beruntung kakeknya bisa dibujuk walau makan waktu sampai empat hari," terang pemuda itu, tampak sangat bangga, "Kedua, sekeras apapun berusaha mengubah diri menjadi penulis sok misterius yang doyan memungut anjing liar, sepertinya para penjaga masih mengingat siapa Yoongi-hyung."

Bersandar tak peduli, pria di depannya fokus meniup uap kopi selagi Jimin merengut sembari menumpangkan satu kakinya di tepian, "Aku masih tak terima kau pergi begitu saja, hyung."

"Bisakah kita berhenti membicarakan hal ini?"

"Kalau begitu jelaskan mengapa Yoongi-hyung tak mau lagi jadi pengawal pribadiku. Haish! Jangan kabur!" Jimin sontak melompat, beringsut cekatan, dan dengan sigap menggunakan tumitnya untuk menginjak sebelah paha Yoongi yang hampir beranjak. Dagunya terangkat, berkacak pinggang, "Meski lama tidak berlatih, tapi aku masih sanggup membuat beberapa gigimu lepas dari tempatnya."

Menengadah, Yoongi hanya balas menatap datar tanpa berusaha menghindar, pun bertanya-tanya tentang alasan untuk tak segera membuang Jimin dari beranda atau sekedar menceburkannya ke bak mandi karena tahu pemuda itu tak membawa pakaian ganti. Mengabdi pada kepala keluarga Park bahkan sejak kakinya mampu menjejak tanah, Yoongi paham sampai dimana garis teritori yang tak boleh dimasuki, sampai dimana dia boleh melayani, juga sampai dimana dia diijinkan berinteraksi. Wejangan yang ditekankan oleh mendiang pengasuhnya adalah pedoman hidup yang diamini Yoongi, termasuk ketika berlutut di hadapan seorang anak laki-laki yang mendadak hadir hari itu, berbalut jas mini dan sepatu biru muda yang tak lebih besar dari kepalan jemari, lengkap bersama sepasang mata besar yang memelototi Yoongi dengan begitu berani. Penerus kedua. Balita berjarak dua belas tahun di bawahnya, yang hanya mampu berdiri menjajari lutut Yoongi dan menuntut genggaman tangan tiap kali diminta berjalan sendiri. Mungkin Yoongi tak pernah memiliki cukup alasan untuk tersenyum, tapi mendapati Jimin, dengan pipi yang kerap membulat bila tak diijinkan mengunyah camilan, bergelayut di punggungnya seperti adik yang manis, tumbuh tanpa cela dan beranjak remaja, membuat Yoongi berpikir jika dirinya boleh merasa bangga.

Sampai sebuah sore saat Jimin mengatakan sebaris kalimat sakral padanya, usai menghadiri upacara kelulusan SMA dan dengan binar terlampau gembira—menyadarkan pria itu bila langkahnya telah jauh melewati segalanya. Tidak, Yoongi tak ingin menyalahkan siapapun. Tidak Jimin, tidak pula aturan yang membelit kaki dan lengannya. Tak ada yang melarangnya jatuh hati. Rekan, majikannya, bahkan semesta. Namun pria itu menggeleng dingin seraya bersikeras meminta maaf, bahwa dia tak lagi layak berada di sana untuk menjaga sang tuan muda.

"Ini rumahku, Jimin-sshi. Aku berhak melakukan semuanya tanpa harus bertanya, termasuk membuangmu ke tong sampah di seberang sana," kepala Yoongi berkedik ke arah pintu, menangkis lamunan sambil masih mengamati raut pemuda bermata hitam tersebut, "Dan sekedar mengingatkan kalau-kalau kau terbentur penyangga pagar dan melupakan hal penting, biar kutegaskan kalau yang mengajarimu beladiri adalah aku."

Jimin kembali melengos.

"Turun."

"Tidak mau!"

"Turun kataku."

"Kubilang tidak mau!"

Dalam hitungan ketiga, sepasang lengan menarik keras tungkai bawahnya dan Jimin spontan terduduk di pangkuan pria yang kini menatapnya tak kalah tajam. Cukup seram untuk membuat bulu kuduk berdiri terbalik. Dan belum sempat berontak, buku-buku jari Yoongi beralih mengetuk dahinya tanpa ampun, keras.

"SAKIT!"

"Tak ada toleransi untuk anak nakal," satu ketukan lagi dan Jimin buru-buru berkelit dengan mengatupkan telapak tangan melindungi wajah. Menyeringai, Yoongi menepuk-nepuk kepalanya dan berhenti untuk menyingkirkan anak rambut di pelipis Jimin, ditariknya pemuda itu mendekat sembari mendengus.

"Untuk saat ini, tak perlu memaksa untuk mencari tahu tentang apa yang bukan urusanmu," telunjuknya ditaruh di depan hidung melihat Jimin hendak membantah, "Tidak sekarang."

"Yoongi-hyung tidak seru."

"Aku memang membosankan."

"Argh! Aku bisa hipertensi kalau terus beginiiiii!" raung Jimin sambil menyentakkan lehernya ke belakang, rambut diacak-acak tak berbentuk dan terus meracau tak jelas. Tentang nilainya, tentang kakaknya yang memakan habis persediaan kue stroberi simpanan Jimin, tentang pengawal-pengawal baru yang tak membiarkannya pergi tanpa penjagaan, tentang usaha kerasnya memanjat pagar dan berakhir dengan celana yang robek parah di bagian selangka, juga tentang bagaimana dia berguling-guling di tengah salju karena pemilik rumah singgahnya tak kunjung kembali. Baru setelah sekitar lima belas menit, Jimin kehabisan energi dan memilih mengangguk-angguk sok paham pada perkataan Yoongi, "Baik. Baiklah. Untuk kali ini aku tak akan banyak bertanya. Ah, bukan! Akan kutunda sampai tahun depan. Seharusnya aku tahu kalau kau ini orangnya benar-benar keras kepala, hyung."

"Tolong katakan itu pada dirimu sendiri," balas Yoongi sembari mendelik ke arah cangkirnya tergolek, "Bisa minggir sedikit? Aku ingin minum."

Mengintip dari balik bahu ke arah yang sama, bola mata Jimin berputar perlahan. Mencerna sesuatu. Ekor matanya berkilat penuh maksud.

"Jadi?" Yoongi mengulang, "Bisa minggir?"

"Mau dipeluk."

Pria itu mengerenyit, "Sejak kapan kau jadi genit begini?"

"Ini bukan genit, hyung. Hanya reaksi berdasar naluri. Lagipula, aku kedinginan," ketus Jimin, merapatkan pinggulnya dengan pinggang Yoongi yang balas menggeram, "Menjegalku supaya duduk di pangkuanmu seperti ini juga lebih terlihat seperti perbuatan yang terencana lho?"

"Apa? Aku?" kening pucat Yoongi terlipat tujuh, "Kau sendiri yang berdiri menghalangi tempat dudukku dan menutup pandangan sampai sofanya melesak. Sekarang enyah atau kutendang jatuh."

"Kalau aku menolak?"

"Jimin-sshi."

"Ya, hyung?"

Sepasang mata yang lebih pekat dibanding cokelat hasil seduhannya itu memandang lurus dengan kedip yang tak bisa ditebak. Lengan melingkar di leher Yoongi, jemari mengetuk menanti.

Manis.

Sialan.

Yoongi menghembuskan napas panjang ke udara sambil meremas anak rambutnya. Kesal. Bukan, bukan tidak ingin, tentu saja. Dan bukan sekali-dua kali dia dibuat frustasi. Benar-benar bocah yang menyusahkan.

Menyerah, sebelah lengan Yoongi meraih tengkuk Jimin dan menciumnya tanpa pikir panjang. Ibu jarinya mengusap pipi, memagut perlahan bibir bawah pemuda itu, kemudian mengecup dagunya sebelum menjauh sambil berdecak. Enggan mengamati bagaimana Jimin menyentuh bibirnya sendiri dengan cengir riang yang kembali muncul. Lebih lebar kali ini.

"Padahal aku cuma minta dipeluk," sergah Jimin, mata terpejam akibat terlalu gembira, "Lain kali tak perlu menahan diri lho, hyung."

Berkedik, Yoongi mengusirnya dari paha dan segera mengambil kopinya yang hampir dingin. Menyesap seteguk, lalu mendelik acuh ke arah Jimin yang memandangnya sambil menekuk kaki dan menopang dagu, "Ada apa lagi?"

"Tahun depan usiaku sembilan belas," gumam pemuda itu, menggesekkan pipi di permukaan lutut, "Hyung tak ingin kutemani tinggal di siniiiii?"

"Tidak."

Lidah Jimin terjulur sebal.

Balas melirik, Yoongi mengulurkan tangan untuk mengait pegangan cangkir yang terabaikan, menariknya hati-hati, dan menyodorkannya pada Jimin sembari tersenyum miring.

"Bocah keras kepala," tukasnya menanggapi, "Kau ingin aku berbuat apa? Mengadopsimu?"

"Ide bagus."

"Tuan besar akan membunuhku."

"Tidak mungkin."

"Dengar, Jimin-sshi—"

"Ayah bukan majikanmu lagi, hyung," didengarnya Jimin berujar usai menerima cangkir yang mulai dingin, "Aku tak menyuruhmu kembali atau memintamu memotong jari. Kau pernah mengumbar janji untuk berada di sampingku sampai mati, dan aku akan terus menagih tanggung jawab itu walau harus datang kemari setiap hari."

"Kau tak bisa melakukannya."

"Jangan meremehkanku."

Dan dia tahu Jimin tak berniat melucu. Sejak pemuda itu tiba-tiba menampakkan diri di depan rumahnya, tersangkut pagar saat mencoba memanjat dan digonggongi anjing tetangga, Yoongi sadar bila Jimin tak akan berhenti sampai di sana. Benaknya sering berkelakar tentang tekad seorang Jimin yang jauh lebih besar dibanding ukuran tubuhnya, menjejali Yoongi dengan bermacam tuduhan yang membuat telinganya berdenging, menyerobot masuk sebelum bekas pengawalnya sempat menjawab, mengumpat sekeras-kerasnya dan menguasai ruang tamu dengan barikade kursi yang ditata berjajar. Terlalu menggemaskan untuk dibilang kurang ajar.

Menghela napas, Yoongi beranjak dari duduknya, menyambar mantel dari sandaran sembari menekan sejumlah tombol pada layar ponsel. Jimin mendongak, berkedip beberapa kali dengan tak mengerti meski Yoongi berlalu dari hadapannya selesai mengantongi ponsel di saku celana. Dasi pria itu terkulai seiring langkahnya menuju pintu, jari-jari menahan gagang agar tetap terbuka selagi yang bersangkutan memalingkan kepala. Alis berkerut heran.

"Kenapa masih di situ?"

Jimin mengerjap bodoh.

"Kuantar pulang."

"Tidak mau!"

Melambaikan telapak tangannya malas, Yoongi menyuruh Jimin mendekat. Tak ambil pusing untuk membuka mulut atau mengeluarkan tanda seru. Tenaganya nyaris habis hanya untuk meladeni pemuda itu.

"Kalau kau ingin tetap berdiam di sini, silakan. Tapi aku harus berbicara dengan tuan besar," Yoongi berujar lirih, senyumnya mengembang samar, "Jimin-ah."

Cuping telinga Jimin sontak menegang. Kakinya ditegakkan dalam sedetik. Mulut menganga selebar-lebarnya. Belum cukup yakin, tangannya diayunkan menampar pipi sendiri. Kencang. Tak menghiraukan cangkir yang lolos dari genggaman dan jatuh menghantam lantai. Sisa cokelat di dalamnya semburat mengotori karpet.

"Dramatis," seloroh Yoongi, mengangkat bahu pasrah, "Dan kau masih ingin bertanya kenapa aku menyajikan minuman dalam wadah plastik?"

Tapi Jimin tak peduli, tidak dengan panggilan yang digumamkan pria itu sejenak tadi. Tungkai pendeknya bergegas menghampiri Yoongi dan melompat sekuat tenaga dengan bertumpu pada bahu. Kedua lengan Jimin mendekap begitu posesif hingga pria itu limbung ke belakang akibat beban yang tak bisa dibilang ringan.

"AYO PERGI!"

"Kau menyuruhku berjalan dari Daegu ke Seoul?"

"Tidak sekarang, hyung," ringis Jimin tak berdosa, merogoh kantong kiri di mantel Yoongi dan mengeluarkan sebuah benda bersemat rajutan beruang berwarna hitam, "Pakai mobil, kan? Gendong sampai garasi."

Yoongi mendengus, merengkuh betis Jimin merapat. Sepasang lengan diselipkan di masing-masing lipatan lutut seraya membetulkan posisi Jimin yang beringsut nyaman di punggungnya. Petak tubuh yang dituding pemuda itu sebagai milik pribadi dan hanya dirinya yang boleh menempati. Dulu maupun hari ini.

"Aku sungguh butuh jawaban atas sikap konyolmu yang makin merepotkan. Tapi sudahlah," desah Yoongi, menoleh sekilas dan mendapati tawa Jimin menggelitik tengkuknya, "Pegangan yang erat."

"Ou!"

"Jangan berteriak!"

"Aku sayang Yoongi-hyung!"

"Terserah."

.


.

.