Aku tidak pernah mengetahui arti cinta...
Aku bahkan belum pernah merasakannya.
Cinta hanyalah omong kosong.
Orang di dunia ini hanya mementingkan hasrat...
Kepuasan...
Tanpa harus dilandasi oleh cinta.
Aku...
Tidak percaya dengan apa yang kalian sebut,
Cinta...
Tiga orang siswa dengan seragamnya yang sedikit berantakan terlihat sedang berjalan keluar dari dalam gudang penyimpanan alat olah raga. Dapat dilihat dengan jelas seringaian yang terukir diwajah mereka. Untuk terakhir kalinya, mereka menoleh ke dalam gudang dan tertawa kecil. Mereka berlalu dengan suara tawa yang masih keluar dari mulutnya, meninggalkan seseorang yang masih berada di dalam gudang.
Ia terbaring di atas matras dalam keadaan yang berantakan. Tiga kancing bajunya terlepas, menampakan leher dan dada yang penuh dengan bercak merah kebiruan di atas kulitnya yang putih. Celana yang seharusnya menutupi bagian bawahnya tergeletak dilantai, menampakan anus yang mengeluarkan cairan putih bercampur warna merah. Jangan lupakan beberapa lembar uang yang tersebar di sekitar badannya. Ia menatap langit-langit gudang dengan tatapan kosong. Air mata mengalir dari kedua bola matanya.
'Kau bodoh, Yoo Youngjae.' Rutuknya. Air matanya semakin membasahi pipinya.
Ia masih dapat mengingat dengan jelas bagaimana ketiga siswa tadi menikmati tubuhnya. Yang dapat ia lakukan hanyalah pasrah. Bukan karena ia suka atau menikmatinya, tetapi terpaksa. Ia terpaksa melakukannya. Ya, ia terpaksa melakukannya untuk ayahnya yang brengsek. Ayah macam apa yang dengan senang hati menjual anaknya? Menjual anaknya untuk melakukan hal kotor ini dan mengambil semua bayaran yang diberikan. Youngjae mungkin bisa memberontak dan tidak melakukannya. Namun ia tidak bisa melihat noona-nya disiksa si brengsek jika ia tidak membawa uang sepeser pun. Ia harus menjaga noona-nya, karena selama ini noona-nyalah yang menggantikan sosok ibu dalam kehidupannya. Ibu mereka meninggal disaat Youngjae masih berumur tiga tahun.
Youngjae mencoba mendudukan tubuhnya. Dengan berusah payah ia mengambil celananya dan kemudian memasangnya. Ia menghapus jejak air mata pada pipinya seraya mengmbil lembaran uang yang bertebaran di lantai. Youngjae menatap uang itu untuk sesaat. Uang kali ini cukup banyak. Mungkin, uang ini bisa mereka gunakan untuk pergi dari rumah. Ya, ia akan mengajak noona-nya untuk pergi dari rumah dan terbebas dari cengkraman si brengsek.
Youngjae membersihkan gudang tersebut sebelum ia keluar dan pulang menuju rumah terkutuknya. Ia harus bergegas. Karena ia tahu si brengsek tidak berada di rumah pada siang hari, si brengsek selalu pulang larut malam dengan bau alkohol yang menguar dari mulutnya.
Dengan sedikit terpincang, Youngjae berjalan menuju kelasnya dan mengambil tas beserta jaketnya. Setelah itu ia bergegas menuju gerbang sekolah tanpa menyadari sepasang mata yang kini menatapnya dari kejauhan.
"Yoo Youngjae..." Sang pemilik mata menyeringai dengan tatapan yang masih tertuju pada Youngjae yang kini telah menyeberangi jalan raya.
"Noona, bangun." Ucap Youngjae seraya menggoyangkan tangan kakaknya yang tertidur di atas sofa. "Noona... Hyosung noona."
Mata Hyosung perlahan terbuka, "Eoh? Jae... Kenapa sudah pulang? Kau bolos lagi, eoh?" Ia mendudukan badannya dan menatap Youngjae dengan mata yang masih setengah terbuka.
"Ayo kita keluar dari rumah ini." Youngjae langsung mengatakan maksudnya.
Mata Hyosung seketika membulat, tidak percaya dengan apa yang ia dengar.
"Bwo? Kabur? Kau gila? Kita akan dibunuh ayah."
"Noona, ini untuk kebaikan kita. Kita harus keluar dari rumah ini. Aku tidak ingin bekerja untuk si brengsek itu dan aku juga tidak ingin noona menderita karena dia." Youngjae menggenggam tangan noona-nya. "Percayalah padaku, aku akan melindungi noona."
"Jae..." Hyosung tampak berpikir. Semua yang dikatakan adiknya memang benar. Tetapi ia terlalu takut untuk melakukannya. Sekali lagi ia menatap mata adiknya, mata yang kini menyiratkan kesungguhan dan keseriusannya. "Iya."
Youngjae tersenyum, "Oke, noona tunggu disini sebentar." Youngjae berjalan menuju kamar dan mengambil beberapa pakaian dan barang yang mereka perlukan nanti. Ia memasukan semua barangnya kedalam sebuah tas berukuran sedang. "Ayo noona, kita pergi."
"Hyung... Ya! Daehyun hyung!"
"Hm? Ada apa?" Ia menoleh pada seseorang yang duduk disampingnya.
"Seharusnya aku yang menanyakan 'ada apa'. Dari tadi hyung tersenyum sendiri sambil menatap luar jendela. Memangnya apa yang hyung lihat?"
"Kau tidak perlu tahu Junhong-ah." Ucapnya seraya membenarkan posisi duduknya.
"Aaaah, tanpa Daehyun beri tahu pun aku tahu siapa yang sedari tadi dia perhatikan." Sela seseorang yang duduk di belakang mereka.
"Heee? Benarkah Yongguk hyung?" Junhong menoleh kepada Yongguk.
"Himchan hyung pun tahu siapa dia. Iya kan, hyung?" Daehyun melirik seseorang yang kini masih berkutat dengan bukunya.
Himchan menutup bukunya, "Ya, seperti itulah."
Junhong mengerucutkan bibirnya, "Aah! Kalian memang hyung yang jahat. Sukanya main rahasia-rahasiaan!"
"Kamu masih belum mengerti tentang cinta, Junhong-ah." Ujar Jongup.
Junhong menatap Jongup dan kemudian bertanya, "Memangnya hyung mengerti?"
"Eh? Umm... yaaaah..." Jongup tidak dapat menjawabnya. Karena sebenarnya ia pun belum mengerti tentang cinta.
-TBC-
Hai, long time no see. I'll continue this story after my final test! Hope you like it! Happy reading. Mind to give me your review?
