Prolog
x
x
x
Bavaria, Germany
Berchtesgaden. Kota kecil nan asri di kaki gunung Watzmann –salah satu gunung tertinggi di Jerman, dengan populasi penduduk kurang dari sepuluh ribu orang. Sejauh mata memandang, hamparan hijau pepohonan nan lebat membentang di sekeliling kota.
Pohon-pohon pinus yang menjulang seakan membentengi kota di setiap sisi. Kabut tebal pegunungan Alpen yang menyelimuti puncak-puncak pohon kian menambah kesan magis dan mistis di kota yang pernah menjadi destinasi liburan Adolf Hitler.
Tak hanya sang pemimpin Nazi yang terpikat oleh kemisteriusan Berchtesgaden, wanita berambut merah muda itu pun kerap mengunjungi kota kecil itu bila dirinya sudah penat dengan hiruk-pikuk perkotaan yang tiada henti.
Seperti saat ini. Setelah menyelesaikan urusannya di Praha, ia langsung bertolak ke Munich, lalu melanjutkan perjalanan ke Berchtesgaden dengan kereta.
Tak banyak orang yang berlalu-lalang di jalan ketika ia mengendarai mobil sewaan menuju motelnya di pinggir hutan malam itu.
Ada banyak hotel dan resort yang menawarkan berbagai fasilitas yang dapat memanjakan para turis ketika berlibur di Berchtesgaden, tapi wanita itu selalu memilih motel dua lantai bercat putih dengan arsitektur klasik khas abad ketujuhbelas.
"Guten Abend." Seorang pria gemuk berkepala plontos menyambutnya ketika wanita itu memasuki motel. Wanita itu membalas sambutannya seraya melepas topi dan kacamata hitamnya.
"Ah! Gisela! Welcome!" Sang pemilik penginapan tampak senang ketika mengenali pengunjung barunya tersebut. Keduanya saling bertukar pelukan hangat seperti sepasang sahabat lama.
Gisela. Begitulah orang-orang di sini memanggilnya. Tak hanya di Berchtesgaden, wanita itu selalu menggunakan nama Gisela setiap kali ia melancong ke belahan dunia bagian barat. Tak ada alasan khusus di baliknya. Ia hanya menyukai nama itu seperti ia menyukai bunga Sakura.
"Long time no see, Jurgen." Wanita muda itu melepaskan pelukannya, memandang pria berusia enam puluh tahun tersebut dengan penuh perhatian.
"Bagaimana kabarmu?"
"Good. Really good. Apalagi setelah melihatmu di sini, di motelku, di Berchtesgaden!"
Jurgen membimbing wanita itu menuju bar kecil di dekat perapian, mengambil sebotol red wine, menuangkan isinya ke dalam gelas dan memberikannya pada Gisela.
"Anggur Selamat Datang! Semoga kau betah di sini!"
"Danke," ucap Gisela, lalu menyesap winenya.
"Aku selalu betah di sini," sahutnya seraya mengerling.
"Bisnis sedang sepi. Hanya ada tiga pengunjung selain dirimu yang menginap di sini," ujar Jurgen sambil menyerahkan kunci kamar pada Gisela.
"Sekarang bukan musim liburan. Orang-orang tidak akan mengunjungi pegunungan di musim dingin kan?!" katanya berbesar hati.
Gisela meraih kuncinya seraya tersenyum.
"Saat liburan, penginapanmu selalu penuh, Jurgen. That's why, aku lebih suka berkunjung di waktu-waktu seperti sekarang."
Jurgen tergelak sambil memegang perutnya yang buncit.
"Kau benar... Tapi kamar-kamarku akan selalu tersedia untukmu, Dear."
"Terima kasih, Jurgen."
xxxxx
Hawa dingin pegunungan Alpen masih terasa merunjam kulit walaupun sang mentari telah menduduki singgasana tertingginya.
Hanya mengenakan midi dress putih dan cardigan rajut warna pink, wanita itu menyusuri hutan pinus di belakang motel Jurgen dengan bertelanjang kaki layaknya seorang peri dari Alfheimr[1].
Ia memasuki hutan makin ke dalam, tanpa rasa takut sama sekali. Petunjuk jalan seolah terbentang di hadapannya, kaki-kakinya yang indah seolah memiliki penglihatannya sendiri, melangkah dengan penuh percaya diri.
Hutan belantara itu mengarah ke salah satu sisi danau Konigssee yang jarang dikunjungi orang karena letaknya yang tersembunyi di antara dua anak bukit dan jauh dari daerah pemukiman warga.
Meski demikian, daerah itu merupakan spot favoritnya di Berchtesgaden. Tidak ada apa pun di sana selain dirinya dan sebuah kemewahan tak ternilai yang takkan kau dapatkan di kota besar... Kesunyian.
Ia memejamkan mata seraya merasakan sapuan angin lembut di wajahnya, menghirup udara bersih pegunungan dengan satu tarikan napas panjang, memenuhi paru-parunya dengan asupan berharga yang tak tersedia di banyak tempat.
Warna hijau zamrud mendominasi area itu, pepohonannya, air danaunya, bukit-bukitnya. Sungguh menyejukkan hati dan menyegarkan pikiran.
Wanita itu menanggalkan dressnya, menyampirkannya di salah satu dahan pohon yang letaknya paling dekat dengan tepi danau, hanya menyisakan tanktop dan hotpans yang melapisi tubuh sintalnya.
Pertama-tama, ia merendam kakinya, memastikan suhu air tidak terlalu dingin. Kemudian ia bergerak semakin ke tengah hingga bagian bawah tubuhnya berada di dalam air.
Berenang di alam bebas merupakan salah satu pelariannya.
Melepaskan diri dari semua rasa yang membelenggu. Meleburkan asa yang mulai mengganggu.
Sinar matahari menembus permukaan danau seperti lampu sorot, menerangi hingga ke dasar danau yang menampilkan panorama bawah air yang menakjubkan.
Wanita itu pun menyelam semakin dalam, membenamkan diri dalam kehampaan yang menggenggam jiwa, menenggelamkan angan dan harapan yang kerap datang.
"Tak ada masa depan untuk bajingan sepertimu selain kematian, Sakura." Ia mendengar suaranya sendiri dari kedalaman batinnya.
xxxxx
Wanita itu kembali ke motel sebelum senja. Jurgen tengah melayani dua orang pengunjung ketika ia melewati foyer, menyapa sang pemilik motel sekilas, lalu menaiki tangga menuju kamarnya.
Ia mengamati keadaan di kamarnya sejenak. Salah satu kebiasaan baiknya yang juga merupakan sebuah prosedur dasar dalam profesinya.
Setelah memastikan semuanya tidak berubah dan masih berada di tempat semestinya, wanita itu pun mengunci pintu dan bergegas membersihkan diri.
Ponselnya bergetar ketika ia melangkah keluar dari kamar mandi. Seseorang menghubunginya melalui saluran yang terlindungi. Ia langsung menjawab teleponnya saat melihat nama yang tertera di layar ponsel.
"Onii-chan," sapanya dengan riang.
"Dari mana kau tahu aku ada di sini?"
"Jurgen yang memberitahuku," jawab sang kakak di ujung telepon.
"Setidaknya kabari aku kalau kau ingin liburan. Jangan tiba-tiba menghilang seperti ini!"
Wanita itu duduk di pinggir tempat tidur menghadap jendela, mengeringkan rambutnya dengan handuk sambil mendengarkan omelan sang kakak yang menyerbu bagai laju kereta.
Ia jadi bertanya-tanya dalam hati, "sebenarnya aku punya kakak laki-laki atau kakak perempuan sih? Mengapa senang sekali mengomel seperti ini?"
"Sakura! Kau dengar aku?"
"Iya, Kak. Aku dengar kok. Ngomong-ngomong... Ada perlu apa Kakashi nii-chan menghubungiku?"
Terdengar hembusan napas berat ketika Sakura melontarkan pertanyaan tersebut. Tak ada jawaban dari kakaknya selama beberapa menit.
"Ada sebuah misi untukmu." Kakashi mulai terdengar serius.
"Aku sudah mengirimkan datanya melalui e-mail. Kau cek saja dulu sebelum memutuskan akan mengambil pekerjaan ini atau tidak," imbuhnya.
"Semua keputusan ada di tanganmu."
"Berapa bayarannya?"
"Dua milyar dollar."
Sakura terperanjat mendengar nominal yang disebutkan kakaknya.
Dua milyar? Jarang sekali mereka mendapat pekerjaan dengan bayaran setinggi itu.
Terakhir kali mereka mendapat bayaran serupa adalah ketika pecahnya perang saudara di sebuah negara kecil di benua Afrika. Sakura harus membinasakan satu batalyon pasukan pemberontak yang berusaha menduduki ibu kota negara.
"Dengan uang sebanyak itu, berapa banyak nyawa yang harus kuhabisi kali ini?" Wanita itu tampak excited.
"Aku akan mengeceknya sekarang. Nanti kuhubungi lagi yaa, Kak. Bye!" Sakura langsung memutuskan sambungan teleponnya.
Wanita itu melintasi ruangan menuju meja di dekat jendela, lantas menyalakan laptopnya.
Hanya ada satu pesan dari Kakashi ketika ia memeriksa kotak masuk. Sakura mengarahkan kursornya dan mengunduh attachment dengan format PDF dan JPG yang terlampir di dalam pesan kakaknya.
"Dear, Perchta[2]... I would like to ask your help."
Itu adalah kata kunci yang biasa digunakan orang-orang yang membutuhkan jasa mereka.
Perchta adalah codename yang digunakan Sakura dalam pekerjaannya, selain ratusan nama samaran yang juga digunakannya sebagai penunjang kesempurnaan penyamarannya. Seperti nama Gisela.
Sakura mengklik beberapa file JPG yang menampilkan foto seorang pria. Sasuke Uchiha. Usia tiga puluh satu tahun. Berprofesi sebagai pianis. Selain berasal dari keluarga terpandang, tak ada lagi yang istimewa dari pria itu. Ia menarik ujung bibirnya, tampak kecewa karena pekerjaan dua milyar dollarnya kali ini terlihat cukup mudah.
Wanita itu tertegun ketika membaca surat permintaan dari sang pengirim.
Seseorang menginginkan kematian Sasuke Uchiha dan bersedia membayar dua milyar dollar.
Bisa kau tebak siapa? Istrinya sendiri. Koyuki Uchiha atau lebih dikenal dengan stage name, Yukie Fujikaze, yang berprofesi sebagai seorang aktris.
Sakura mendecak pelan. Ia sudah bisa menebak ada latar belakang harta warisan atau asuransi di balik semua ini, walaupun ada indikasi kekerasan dalam rumah tangga yang dituliskan Koyuki dalam suratnya.
Jika memang Sasuke melakukan kekerasan fisik, Koyuki bisa memenjarakan pria itu dengan membawa kasusnya ke pengadilan.
Tapi... Tentu saja harta gono-gini yang biasa dipersoalkan dalam urusan rumah tangga takkan sebesar harta warisan maupun asuransi yang akan dibayarkan jika Sasuke Uchiha meninggal dunia.
Apalagi Koyuki jelas-jelas meminta kematian Sasuke disamarkan seperti sebuah kecelakaan. Adakah alasan lain selain uang yang sangat banyak di balik semua itu?
Sakura mengarahkan kursornya ke menu reply untuk mengabari Kakashi kalau ia menerima pekerjaan tersebut.
Menyamarkan pembunuhan Sasuke Uchiha seperti sebuah kecelakaan bukan perkara sulit dan ia sudah memutuskan untuk cuti selama enam bulan setelah menyelesaikan pekerjaan ini.
"Memiliki uang dua milyar dollar di kantong, kau bahkan bisa pensiun dari pekerjaan ini." Suara lain dalam dirinya terdengar dari relung hati.
Sakura menggelengkan kepala, berusaha mengenyahkan suara-suara dalam kepalanya yang terus saja mencekokinya dengan berbagai konklusi. Ia pun mematikan laptopnya dan mulai berpakaian.
"Sasuke Uchiha..."
Ia menggumamkan nama pria itu seiring desiran angin musim dingin yang menyisip melalui jendela kamarnya.
Wajah tampan Sasuke yang tersenyum bahagia dalam foto pernikahannya terbersit kembali dalam benaknya sejalan dengan firasat buruk yang tiba-tiba saja menyergapnya.
"Sasuke Uchiha... Siapa sebenarnya dirimu? Kenapa istrimu ingin sekali melenyapkanmu?"
x
x
x
Naruto belongs to Masashi Kishimoto
x
x
x
[1]. Alfheimr : Dunia peri dalam mitologi Nordik
[2]. Perchta : Figur goddess legendaris/mitologis dari Berchtesgaden
Holaa... Jejak dulu sih sebenarnya, mumpung idenya masih fresh. It's SasuSaku btw! :D
Insya Allah fic ini akan dijadikan sequel dari fic Granada (pair : InoSai/GaaIno) dengan latar belakang Eropa dan berlian berharga. Fic Granada sudah memasuki tahap akhir, tapi karena alasan males dan banyak ngeles, jadinya belum sempet saya publish. Monggo dibaca fic Granada nya dulu biar makin mantep. Hehehe.
Lagi-lagi menggunakan karakter Koyuki sebagai istri Sasuke seperti di fic The Dying Game. Gak ada alasan khusus sih, tapi Koyuki emang cantik dan anggun. Pas aja kayanya XD
Ohh! Insya Allah saya teuteup melanjutkan fic The Dying Game kok. Silakan cek apdetannya yaa :)
Yup! Segitu aja cuap-cuap gak pentingnya. Terima kasih sudah berkenan mampir di fic gaje ini :')
Feel free to critic and review. Thanks anyway :)
