Hello~ :D

Fandom ini akhir" ini (pengulangan kata, ugh) sepi yah? Saya harap sedikit lebih ramai... -dihajar karena nyerocos ga penting-

Saya datang dengan fic baru lagi (yg nyampahin fandom megaten lagi -dilempar-), dan jika fic saya yg lain, Forbidden, memiliki setting masa lalu, maka fic ini memiliki setting masa depan, yaitu tahun 2053 (haduuuh jauh banget) dan tentu saja, tidak hanya setting waktu, tapi tempat juga, fic ini sukses menjadi benar" AU (Alternate Universe) seperti halnya 'Forbidden' :)

Special Thanks to DeathCode, karena dari dialah saya dapet ide untuk menulis tentang masa depan, juga atas sumbangan-sumbangan ide dan pendapatnya ^^

Dan seperti biasa, fic ini akan panjang -ditabok-

Hope you enjoy~


Liebe und Rache

Disclaimer: Persona 4 & Persona 3 © ATLUS

Prologue

O=O=O=O=O=O=O=O=O=O=O=O=O=O=O=O=O=O=O=O

Dunia ini sudah gila.

Aku tidak pernah mengerti mengapa Tuhan merajut tubuh mungil ini dalam kandungan seorang wanita lemah lembut yang hidup di tengah kekacauan dan tumpahan berliter-liter cairan merah pekat beraroma besi yang mencemari wilayah sang bunda tanah.

Aku, ya, AKU hampir setiap hari berharap aku tidak akan pernah dilahirkan... tidak di tengah kekacauan seperti ini. Dulu, aku tidak membenci hidup. Duniaku terasa indah... tidak terlalu indah, sebenarnya. Dan aku merasakan keindahan itu, karena otak mudaku ini hanya melihat dunia dalam, yang dihiasi senyum-senyum penuh kasih yang merekah, dan tidak memandang dunia luar, yang tidak mengenal kasih dan tidak ragu untuk mencemari tanah dengan darah.

Aku ingat kesan pertamaku saat aku membuka jendela penutup indra penglihatanku ini, aku melihat senyuman ayah dan ibu, dan mereka berdua menggandengku. Tangan ayah kasar dan kuat, yang mengisyaratkan tubuhku untuk merasa aman karena perlindungannya, sementara tangan ibu halus dan lembut, memberiku kehangatan dan rasa cinta yang menyentuh jiwaku yang kesepian.

Namun, semua kenangan itu pecah, kebahagiaanku direnggut, pada saat usiaku tujuh tahun.

Waktu itu, tepat sehari setelah hari ulang tahunku, aku dan ayah bersama-sama pergi memancing. Kami tertawa penuh kemenangan ketika aku berhasil menangkap seekor ikan, ayah memberi tahu bahwa itu ikan trout coklat. Aku sedang tersenyum sementara memperhatikan ayah mengaitkan cacing di ujung kailnya, ketika kami mendengar bunyi itu.

Bunyi yang memekakkan telinga, seperti sebuah ledakan, terdengar kencang sekali dari daerah di belakang kami. Aku merasakan angin kencang dan kuat nyaris saja menerbangkan aku dari belakang, untungnya aku berpegangan dengan ayah, dan aku tidak melihat ekspresi ayah waktu itu. Telingaku sakit, gendang telingaku serasa akan pecah, aku menutup telinga dengan kedua tanganku, sementara mataku terpejam.

Setelah beberapa saat, aku kemudian membuka mata dan telingaku perlahan. Aku mendengar teriakan orang-orang dari belakangku... tangisan wanita dan anak-anak, juga teriakan lelaki... aku tidak dapat mendengar dengan jelas, dan aku hanya dapat menangkap beberapa kata: 'Tolong', 'Keluarkan aku', 'Ibu', 'Ayah', juga jeritan-jeritan histeris lain.

Tentu saja aku segera menoleh ke belakang, dan tubuhku gemetar. Jantungku berdegup sangat kencang, keringat membasahi wajahku, aku merasa tubuhku kesemutan, kepalaku pening, mataku membelalak lebar.

Aku melihat asap... asap hitam, mengepul tinggi sekali dan mewarnai langit dengan warna hitam keabu-abuan, seakan-akan badai akan tiba. Awan menggelap, bukan karena jenuh dengan uap air, tetapi karena asap itu. Dan aku tidak ingin mempercayai dari mana asap itu berasal.

Asap itu berasal dari kota kecilku... dan aku dapat melihat lidah-lidah api sedang menguasai kota kecilku dan menelan apa yang ada di dalamnya. Tidak lama setelah itu aku mendengar bunyi kencang lain, yaitu sebuah pesawat kecil yang lewat di atasku. Aku kembali memejamkan mata sesaat. Aku tidak tahu... aku tidak ingin tahu apa yang terjadi...

Aku segera mencari ayah, dan aku merasa sedikit lega menemukan ayah masih disampingku. Aku memanggil ayah... berkali-kali, namun ayah tidak juga menoleh. Matanya terus memperhatikan sumber asap mengepul itu, ekspresinya sama dengan aku. Aku segera menggenggam tangan ayah, berusaha menarik perhatiannya. Ayahku menoleh, ia kemudian menyentuh sebelah telinganya. Aku mengajaknya bicara, terus menanyakan apa yang terjadi, mengapa ada asap yang mengepul dari kota kecil kami, bunyi apa barusan, apakah itu bom...

Namun ayah tidak menjawab apa-apa. Aku selalu mengerti ayah, dan saat itu aku tahu... aku tahu persis...

Ayah telah tuli, indra pendengarannya rusak akibat bunyi ledakan itu...

Dan aku... aku sendiri telah tahu dan dapat menarik kesimpulan. Kota kecil kami dibom, oleh pesawat yang lewat di atas kami barusan...

Aku terus bertanya-tanya dalam hati.

Mengapa... mengapa... mengapa mengapa mengapamengapamengapa...?

Aku tidak tahu harus berekspresi apa. Apakah menangis, berteriak, marah, kesal... aku tidak tahu. Aku hanya terdiam.

Aku segera menggandeng ayah, dan ayah segera ikut berlari bersamaku, walaupun langkahnya gontai. Kami meninggalkan begitu saja peralatan memancing kami, juga ikan trout yang telah tidak ada lagi di jaringnya, terhempas oleh angin dalam keadaan hidup. Kami segera berlari ke kota kecil kami yang terbakar... aku tidak pernah merasa setakut ini...

Kota kami bukan lagi kota dengan pertokoan kecil, orang-orang yang berlalu lalang dengan kesibukan masing-masing atau anak kecil yang berlari-lari riang. Aku hanya melihat lidah api, nyala merah yang memakan habis gedung-gedung, tumbuh-tumbuhan, bahkan manusia tanpa ampun. Pemandanganku seluruhnya antara gelap dan merah terang.

Aku dan ayahku berlari ke arah rumah kecil kami, tanpa mempedulikan percikan-percikan api panas yang melelehkan sedikit kulit kami, juga mayat-mayat hitam gosong yang bergelimpangan, juga baunya yang menusuk hidung. Aku telah sampai di rumah, yang ternyata tidak bisa lagi disebut rumah, melainkan setumpukan abu, debu dan kayu hitam, dan kudapati sosok ibuku... yang kulitnya kehitaman diselingi warna merah terang dari lidah panas yang membara di sela-sela dagingnya, tertimbun di antara balok-balok kayu terbakar yang besar dan panjang.

Yang kulihat bukan lagi ibuku... hanya tubuhnya saja... jiwanya telah tiada.

Aku tidak dapat berkata-kata, aku hanya meneteskan air mata, aku menangis, keras sekali... seperti anak kecil (dan memang aku hanya anak kecil) sambil terus meneriakkan ibuku. Ayah yang berdiri di sampingku menepuk pundakku pelan. Aku mendengar suara lemah, 'tolong', begitu katanya, dan kudapati suara tersebut berasal dari bawahku.

Aku melihat kenalanku... teman bermainku, memegang kakiku sementara separuh tubuhnya merah dan hitam akibat terbakar. Ia tidak dapat berdiri, aku tidak melihat kakinya... sepertinya terpotong akibat berusaha keluar saat tertimpa kayu-kayu berat itu.

Aku tidak berani menyentuhnya... genggamannya terhadap kakiku terasa... panas, panas sekali... aku mulai merasa mual, dengan bau yang menusuk hidung, juga kobaran api... membuat kepalaku pusing... dan aku melihat teman bermainku itu mulai menunduk, pegangannya melemas... ia telah mati.


Setelah peristiwa itu, aku dan ayahku tinggal bersama di sebuah gubuk kecil. Kami tidak memiliki apa-apa lagi, dan hanya memiliki satu sama lain. Aku selalu membantu ayahku dalam berkomunikasi, aku dan ayahku mulai mempelajari bahasa isyarat. Ayah telah tuli, dan inilah yang dapat kulakukan. Ah ya, aku telah menginjak usia 13 tahun.

Ayah memiliki seorang kenalan, sahabat lamanya. Ia selamat dari peristiwa pengeboman waktu itu. Terkadang sahabatnya itu akan datang mengunjungi kami, kemudian bermain bersama ayah, dan mereka akan tertawa bersama. Pria itu bisa menggunakan bahasa isyarat untuk berkomunikasi dengan ayah. Ia terkadang membawa beberapa potong, bahkan satu loyang kue yang dibuat istrinya untuk kami. Ia pria yang baik... ya, dulu ia pria yang baik.

Tapi tidak lagi, aku tidak akan pernah menganggapnya pria yang baik, setelah kulihat dengan mata kepalaku sendiri, ia menembaki ayah dengan senapan... sampai mati.

Malam itu 'sahabat' ayah itu datang mengunjungi kami. Aku ingat ayah tersenyum menyambutnya, kemudian wajah ceria ayah berubah menjadi wajah ketakutan, seakan-akan melihat hantu. Aku mendengar suara tembakan, dan kulihat ayah, berkali-kali ditembak, pertama dari bagian kaki, kemudian bahu, dan terakhir, jantungnya. Setelah tubuh ayah yang tak bernyawa itu terkulai lemas di atas lantai, pria itu kembali menembaknya, pada bagian kepala, memastikan ayah telah mati.

Aku tidak dapat melakukan apa-apa saat itu, kecuali tubuhku yang gemetaran dan air mata membanjir tak tertahankan keluar dari pelupuk mataku. 'Sahabat' ayah kemudian berjalan keluar gubuk kecil kami, meninggalkan aku sendirian, berlutut dan menangisi ayah. Ia tidak membunuhku... dan aku tidak pernah mengetahui alasannya.


Usiaku 17 tahun, dan aku berdiri di depan makam ayah. Ayah telah tertimbun jauh di bawah tanah tempat aku berpijak. Aku kemudian mengeluarkan secarik kertas... kertas surat, dan kuletakkan di depan makam ayah. Aku tahu perbuatanku ini sangat konyol, tetapi tidak apa, seandainya ayah dapat membacanya.

'Untuk Ayah,

Salam, aku masih sehat-sehat saja di dunia ini. Kesehatanku baik, tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

Aku telah mencari informasi tentang kelompok yang melakukan pengeboman sepuluh tahun yang lalu, juga sekelompok orang-orang berpakaian seragam yang membunuh kenalan-kenalanku, juga dirimu, ayah... yaitu kelompok dimana sahabatmu bergabung saat itu.

Aku akan menghancurkan mereka... begitulah tekadku... dan aku telah mendapatkan orang-orang yang memihak padaku, setuju dengan misiku ini. Ayah, apakah kau setuju?

Maaf aku tidak dapat menulis banyak, dan kuharap kau dapat membaca surat ini, meskipun aku tahu kau tidak lagi ada di dunia... Mungkin, hal ini konyol, bukan begitu?

Aku akan datang lagi, ayah... tahun depan, pada tahun 2054, di hari kematianmu...

Salam,

Seta Souji (putramu yang setia)'


A/N: Wogh... maaf kalo gaje ==" a-abal ya? gaje ya? aneh ya? hyaa maaf -author dilempar kaleng-

Prolog ini menceritakan masa lalu Souji... yah... :D (semua juga udah tau -dihajar-) sa-saya ga tau apa fic ini layak lanjut... duh... -_-"

Ah ya, berhubung choice genrenya ga ada (haah) jadi untuk genre fic ini lebih spesifiknya, fic ini bergenre War/Tragedy dengan sentuhan Romance dan... Mecha..? ^^

W-well... err... re-review? Mohon kritik, saran, komentar, pendapat anda dan apapun... sampaikan lewat tombol review di bawah... if you don't mind :)

Regards,

Snow Jou