Akhir Sebuah Penantian © kumolonimbus
disc. casts belongs to the rightful owner and no profits are taken
.
Gelisah dalam penantian, resah yang mengganggu jiwa, dan rasa khawatir yang menggerogoti hati, kini telah diusir pergi oleh sebuah pelukan hangat seorang lelaki bersurai cokelat madu. Larut dalam kebahagian membuatku melupakan bahwa hari kini telah beranjak malam, semburat jingga di langit dan suara kepakan sayap-sayap burung menjadi latar indah kebersamaan kami saat ini.
Sebelah tanganku mengusap surai cokelat madunya yang entah kenapa terasa halus, masih sama seperti dulu, tersenyum padanya yang kini tengah menatapku. Untuk saat ini, bolehkah aku meminta waktu untuk berhenti?
"Oh, benarkah ini semua? Atau hanya ilusiku saja?" aku menyuarakan pikiranku yang masih tidak percaya dengan apa yang aku lihat, apa yang aku rasakan saat ini. Aku takut jika ini hanyalah sebuah ilusi optikal belaka. Sungguh, jikapun ini hanya sebuah mimpi, aku rela untuk tidak terbangun selamanya.
Dengan perlahan, dia melepaskan pelukannya kemudian menatapku dalam-dalam. Kilau obsidian berwarna hazel itu mampu membuatku jatuh cinta untuk yang kedua kalinya; begitu menghipnotis, polos dan terasa hangat secara bersamaan.
"Tidak, ini bukan hanya sekedar ilusimu saja. Aku milikmu Chanyeol, seutuhnya."
Aku bergetar, menahan air mata yang ingin merengsek keluar. Inikah yang dinamakan kebahagiaan? Aku lagi-lagi jatuh kedalam pesona seorang Byun Baekhyun, adik kandungku sendiri. Menolak untuk mengaku kalau apa yang kulakukan selama ini salah—aku mencintainya.
Lagi, semburat jingga di langit sore dan suara kepakan sayap burung menjadi latar indah menyatunya kedua belah bibir kami, hanya sebuah ciuman polos yang menyenangkan, saling menekan lembut menyalurkan sebuah perasaan abstrak yang tidak dapat aku ungkapkan.
Angin berhembus, Baekhyun memutus ciuman kami lalu kembali menatapku dengan obsidian manisnya, menarikku masuk kedalam sebuah lubang hitam tak kasat mata. Kilau matanya, entah kenapa berubah sendu. Apa yang terjadi?
Rasa sakit pada bagian kepala secara tiba-tiba membuatku meringis, kakiku mati rasa, aku terjatuh. Baekhyun dengan sigap menangkap tubuhku, merelakan diri untuk menjadi sandaranku disaat-saat terakhir seperti ini, menahan bobot tubuhku dengan bersusah payah. Melirik pada Baekhyun yang tengah berusaha sekuat tenaga menahan tangisnya, sungguh, aku merasa gagal menjadi seorang kakak yang baik untuknya.
Tanganku terulur untuk mengusap pipinya, yang mungkin akan menjadi kali terakhirku, berharap bisa menyalurkannya kekuatan—dan berharap dapat melihat senyum manis itu lagi.
Bisa jadi ini adalah akhir dari penantianku selama ini, apa yang kuharapkan telah menjadi kenyataan. Baekhyun membalas perasaanku, itu sudah lebih dari cukup. Tapi, bolehkah untuk sekali ini saja aku bersikap egois? Ingin rasanya aku berteriak, menyalahkan Tuhan yang telah membuatku begini menderita.
Baekhyun baru saja mengatakan bahwa dia juga mencintaiku, tidak bisakah aku mendapat sedikit kelonggaran untuk dapat menghabiskan sedikit lagi waktu bersamanya?
Tapi aku tahu, cepat atau lambat, pada akhirnya aku akan menyerah pada takdir; membiarkan mereka membuatku mengaku bahwa aku telah kalah. Membiarkan kanker otak yang telah lama kuderita sedikit demi sedikit menggerogoti kesadaranku.
Angin berhembus, semburat jingga yang menghiasi langit serta suara kepakan sayap burung menjadi pengiring indah akhir kebersamaanku bersama orang yang sangat kucintai, Baekhyunku.
.
end.
