Disclaimer: Harry Potter milik J.K. Rowling.
Pairing: Hermione Granger & Terence Higgs.
Rating: T
Dari luar, menjadi salah satu keturunan penyihir berdarah murni terlihat sangat menyenangkan.
Bermodal status elit dan terhormat, kami, kalangan darah biru selalu mendapatkan seluruh fasilitas nomor wahid yang diinginkan hanya dengan bermodalkan jentikan jari semata. Belum lagi dengan kekayaan turun temurun serta brankas besi di Bank Sihir Gringotts. Brankas berpenjagaan super-ketat yang menjadi identitas pribadi kaum darah murni.
Nah, contoh kehidupan sempurna yang benar-benar menggiurkan, bukan?
Tapi, asal tahu saja Teman, semua kemashyuran itu hanya ilusi semu belaka. Cuma fatamorgana yang menyesatkan mata.
Tak percaya? Yah, simak saja penuturan kisah hidupku.
Sebagai salah satu penyihir berdarah tulen, aku, Terence Higgs tahu pasti beratnya hidup dalam lingkungan eksklusif tersebut.
Sedari kecil, aku dituntut untuk meraih hasil terbaik dalam semua kegiatan. Padahal, demi jidat Merlin yang paling nong-nong, penyihir juga manusia! Punya keterbatasan dan tak selamanya superior.
Sayangnya, seperti bapak-bapak penyihir ras murni lain, ayahku, Bertie Higgs si Wakil Menteri Kementerian Sihir Inggris tak pernah mau tahu kesulitan generasi penerusnya. Jika aku bersikeras membangkang, hukuman kejam menantiku.
Bukan, bukan pukulan atau kutukan mengerikan, Teman. Tapi, sanksi bengis yang mampu mencabik-cabik sisi ruang batin. Penyiksaan tak terperi terhadap peri rumah kesayanganku, si kecil mungil Tiny.
Seperti arti namaku, Terence yang diambil dari bahasa Latin, Terentius, aku memang dikaruniai hati selembut bulu angsa. Dan sepertinya, ayahku memanfaatkan kondisi lahiriah tersebut.
Setiap kali aku berontak, Tiny, si peri rumah pengabdi yang setia menemani sejak bayi, selalu menerima ganjaran berlipat. Tak ingin melihat makhluk tak berdosa terus-menerus menderita dan tersiksa, aku akhirnya mengalah dan menekan ego rapat-rapat.
Jika ayahku sedemikian keji, bagaimana dengan ibuku? Wanita yang melahirkanku?
Oh, ayolah Teman. Apa kau benar-benar serius menanyakan hal tersebut?
Ibuku, Almeta Higgs senantiasa bertindak ambisius seperti arti namanya. Hari-harinya habis hanya untuk memperluas jaringan kekuasaan. Mendekati Madam Malfoy, berteman dengan Lady Zabini bahkan beramah-tamah dengan Tante Tak Punya Otak, Mrs Parkinson.
Tak pernah satu kalipun ibuku mau menyisihkan waktu untuk meninabobokan dan mengecup keningku sebelum tidur. Aku rasa, satu-satunya momen di mana ibuku memandang wajahku hanyalah saat ketika diriku mengeluarkan tangisan pertama usai dilahirkan ke dunia.
Jadi begitulah, seperti bocah darah biru lain, aku dibesarkan dalam kondisi miskin kasih sayang. Kami juga harus berkompetisi satu sama lain. Rivalitas sengit yang makin parah seiring dengan kedatangan surat undangan masuk ke sekolah sihir paling prestisius sejagat, Sekolah Sihir Hogwarts.
Oh ya, Hogwarts.
Sekolah berasrama dengan panorama mengagumkan itu membawa banyak nostalgia tak terlupakan. Tak selamanya buruk memang. Ada juga memori berkesan yang terjadi di kastil daratan Skotlandia tersebut.
Salah satunya bahkan menjadi kenangan paling berharga dalam hidup.
Harta paling indah dalam ingatanku...
Bayangkan saja, Teman. Aku sampai mengawetkan ingatan itu agar bisa diselami kembali di Pensieve, baskom batu berhiaskan simbol Rune kuno. Bejana berisi cairan biru di mana ingatan bisa dituang berulang-ulang untuk dijajaki kembali.
Oh, bukan Teman. Kesan paling mendalam di Hogwarts itu bukanlah momen di mana aku ditunjuk menjadi Seeker tim Quidditch Slytherin.
Yah, meskipun nostalgia itu cukup elok mengingat penobatan tersebut sedikit banyak mengubah perangai dingin ayahku.
Sewaktu mendengar kabar aku terpilih sebagai Seeker, ayahku langsung memeluk erat-erat. Garis wajah tegasnya yang dihiasi kumis sikat gigi sedikit melunak saat mulut tajamnya menghaturkan pujian sedalam samudra.
Ibuku yang sedari dulu terkenal kaku tak banyak berubah dalam mengekspresikan suka cita. Tak ada kecupan hangat atau pelukan selamat. Satu-satunya yang dilakukan si mutiara ambisius itu hanyalah membusungkan dada dan membangga-banggakan prestasi hebatku di acara minum teh sore hari.
Kuakui, menjadi Seeker Slytherin cukup mengasyikkan. Gadis-gadis Hogwarts, terutama penghuni asrama Slytherin tak henti-hentinya mengelilingi sambil bertingkah genit. Persis seperti kucing berahi di musim kawin mereka. Beberapa di antara mereka bahkan tanpa malu mengobral diri, menawarkan raga untuk memuaskan hasrat dunia.
Jika dipikir-pikir, sebagai remaja dengan hormon normal, sudah selayaknya aku aji mumpung, bukan? Memanfaatkan semua berkah gratisan yang tersedia tanpa sungkan ataupun berpikir panjang.
Tapi, sampai mati pun aku tak akan pernah sudi melakukan perbuatan jahanam itu. Bukan karena aku takut terjangkit penyakit kelamin mengerikan atau azab laknat yang sudah dijanjikan Tuhan untuk kaum pezina, melainkan karena hatiku sudah direbut gadis lain. Dan sampai kapanpun juga, pemilik jiwaku itu tak akan pernah bisa tergantikan.
Gadis itu, sejak awal kedatangannya di Hogwarts memang sudah menjadi buah bibir masyarakat. Bukan karena persahabatan dekatnya dengan Harry James Potter si-Anak-yang-Bertahan-Hidup semata, tapi lebih karena berkah ketegasan dan kecerdasan fantastis yang mengagumkan.
Dari semua keunggulan akademis yang membuat guru dan staf pengajar berdecak kagum, aku lebih tertarik pada hati emas gadisku yang bersinar sehangat mentari musim panas. Meski tergolong sok ngebos dan gemar mengatur-atur, gadisku terkenal ringan tangan. Sudah tak terhitung berapa kali ia membantu teman-temannya tanpa mengharapkan imbalan.
Aku sendiri juga sempat mencicipi uluran tangan hangat yang penuh cinta kasih itu. Sampai sekarang pun aku masih ingat betul kejadian yang terjadi di hari pertandingan Quidditch. Laga sial yang mempertemukan dua seteru abadi, Slytherin dan Gryffindor.
Di duel berselimutkan hujan badai tersebut, Harry Potter berhasil merebut Golden Snitch, bola emas bersayap penentu akhir pertandingan.
Jika Seeker ceking bermata hijau zamrud itu menelan kejayaan, aku malah ketiban prahara. Dicium petir yang berkelebat (ironisnya, tanpa bonus luka berbentuk sambaran kilat pula, luka yang setidaknya membuatku sebelas dua belas dengan Harry Potter). Gara-gara insiden tak terduga itu, aku terjerembab jatuh dan harus dirawat intensif di Ruang Kesehatan.
Selama di Ruang Kesehatan, tak satupun anggota Slytherin bersimpati padaku. Kapten kami, Marcus Flint bahkan tak bosan-bosannya mendamprat, mengumpat-umpat kotor dalam berbagai bahasa yang dikuasai, termasuk bahasa Goblin, Gobbledegook.
Di sela-sela caci-maki tegangan tinggi yang mengalir tanpa henti, Flint membongkar rahasiaku yang selalu gagal berkompetisi dengannya sedari bayi. Memang, semenjak kami belajar merangkak, aku dan Flint sudah terlibat rivalitas tak sehat. Persaingan membara yang entah kenapa selalu dimenangkan penyihir bengis keturunan Troll tersebut.
Mendengar bocoran informasi nomor satu tersebut, anggota lain ikut-ikutan mencibir. Selain menyindir gaya terbangku yang katanya selamban siput, mereka juga mempermasalahkan metode bermain bersih yang aku junjung selama ini. Prinsip yang jelas-jelas berbeda dengan teknik brutal yang diusung skuat Slytherin.
Di saat kuping mulai berdenging dibombardir ejekan beruntun, matron Ruang Kesehatan, Madam Poppy Pomfrey mendadak muncul dari balik pintu kantor. Beralasan diriku butuh suasana tenang untuk mempercepat proses penyembuhan, wanita tua bersahaja itu menggebah Flint dan antek-anteknya untuk segera angkat kaki.
Dalam kesenyapan sepeninggal gerombolan Flint itulah dia datang, Teman. Gadis yang sudah kuimpikan sejak pertama kali melihatnya berbaris mengantre di prosesi Topi Seleksi.
Datang diam-diam tanpa sepengetahuan Madam Pomfrey yang sudah meringkuk nyaman di dipan kantor, gadisku melangkah ragu-ragu saat mendekati kaki ranjang.
Mengilaskan senyum malu-malu yang membuatku tersipu, ia memperkenalkan dirinya. Kedua lengan kecilnya yang memeluk puluhan buku berjilid tebal sedikit bergetar saat ia menyatakan kekhawatiran mengenai kondisi fisikku. Ia juga mengaku sudah membaca banyak literatur ramuan yang diperlukan untuk mengatasi dampak negatif serangan halilintar.
Semua perhatian tulus tersebut membuat rasa cintaku padanya semakin mendalam. Dia adalah satu-satunya hal paling berharga dalam hidupku. Sesuai dengan panggilan sayangku padanya, My Precious.
Sejak pertemuan terselubung kami di Ruang Kesehatan, ikatan di antara kami semakin menguat. Tanpa sepengetahuan rekan seasramaku, aku sering menemuinya di perpustakaan. Di tempat sucinya itu, kami tak banyak bertukar kata. Hanya saling melempar senyum dan lirikan ujung mata.
Aku tahu, hubungan rahasia ini bisa berujung pada bahaya. Apalagi jika diketahui teman-teman darah murniku yang mayoritas ular oportunis bermuka dua. Namun, keinginan bersatu dengannya membuatku tak peduli lagi pada kemurkaan ayahku jika mengetahui putra semata wayangnya terlibat cinta berbeda kasta.
Ngomong-ngomong tentang amarah ayahku, angkara murka itu akhirnya terjadi di tahun kelimaku di Hogwarts. Ketika itu, Draco Malfoy, si pewaris utama keluarga Malfoy berhasil merebut posisi Seeker dari tanganku.
Padahal umur Malfoy belum mencukupi untuk menempati posisi Seeker. Dia masih duduk di tahun kedua. Masih bocah ingusan bau kencur yang tak memenuhi persyaratan tinggi badan.
Tapi, faktor minus tersebut tak ada artinya berkat sogokan yang diluncurkan ayah Malfoy, Lucius Malfoy. Pejabat Dewan Sekolah Hogwarts itu berbaik hati melengkapi personel Quidditch Slytherin dengan sapu balap terbaru, Nimbus Dua Ribu Satu. Pelicin yang ujung-ujungnya membuat gelar Seeker berpindah ke pangkuan Malfoy.
Saat itu, kekecewaan orangtuaku karena aku gagal mempertahankan jabatan empuk tak ada apa-apanya dibandingkan sakit hati yang bergolak di batin. Selain mencuri posisi, Draco Malfoy juga berani menghina gadis pujaanku dengan hinaan terkejam di dunia sihir. Julukan rasis yang membuat manik cokelat gadisku digenangi telaga air mata.
Tak ingin gadisku bersedih terlalu lama, aku segera menemuinya selepas insiden umpatan tak berperikemanusiaan tersebut. Di sana, di bangku pojok perpustakaan, kami saling menguatkan satu sama lain. Di kursi keramat itu jugalah kami sering membaca sambil bergenggaman tangan. Menyalurkan perasaan terdalam kami melalui sentuhan yang menghangatkan jiwa.
Apakah itu kenangan yang aku awetkan dan sering kulihat berkali-kali di dalam Pensieve?
Sayangnya bukan, Teman. Masa pacaran rahasia kami memang menyenangkan tapi masih ada memori indah lain yang lebih layak untuk diawetkan. Nostalgia yang terjadi seusai pertempuran akbar melawan penyihir hitam paling ditakuti sedunia, Lord Voldemort.
Lord Voldemort...
Nama nista itu tak ubahnya mimpi mengerikan bagi semua penyihir, tak terkecuali etnis darah murni. Siapapun yang enggan mendukung rezim lalim tukang sihir zalim yang menyebut dirinya Pemimpin Pelahap Maut itu dipastikan teronggok merana dalam kesengsaraan tak terhingga.
Keluargaku salah satunya.
Meskipun sangat menyanjung supremasi darah dan superioritas kasta, ayahku tak mendukung praktik genosida terhadap manusia. Praktik keji yang identik dengan strategi perang sang Pangeran Kegelapan.
Selain tak menyukai program bumi hangus terhadap sesama manusia, ayahku juga membenci tindak tanduk durjana kawanan Pelahap Maut yang gemar memperkosa wanita dan anak-anak tanpa pandang bulu.
Di lain pihak, ibuku hanya tertarik pada kemewahan dan keglamoran duniawi. Baginya, pengorbanan harta untuk membiayai keperluan perang Pangeran Kegelapan cuma perbuatan sia-sia. Cuma aksi mubazir yang tak layak masuk dalam agenda utama.
Tak heran, di saat sang Pangeran Jahanam memerintahkan komunitas darah murni untuk bergabung bersama restorasi kegelapan, orangtuaku menolak mentah-mentah panggilan tersebut.
Hasilnya tentu bisa ditebak, Teman. Ayahku, pria yang tetap kuhormati meski tak pernah menyayangi sepenuh hati mati seketika terkena Kutukan Maut, Mantra Avada Kedavra.
Ibuku, berakhir lebih mengerikan. Ningrat cantik yang sebagian darah dan dagingnya mengalir di jiwaku harus meregang nyawa dalam derita. Disiksa habis-habisan oleh bekas teman sekamarnya di Hogwarts, Pelahap Maut wanita terkejam di dunia, Bellatrix Lestrange.
Aku yang menyaksikan peristiwa tragis tersebut sempat mati rasa. Hanya bayangan wajah gadisku sajalah yang mengembalikan kesadaranku sepenuhnya. Wajah penuh tawa yang tak pernah kulihat lagi semenjak Lord Voldemort menjajah Kementerian Sihir Inggris.
Terbenam dalam genangan darah orangtuaku, terbelit dalam siksaan Cruciatus yang disemburkan Bellatrix Lestrange, aku merapalkan permohonan kepada Sang Maha Pencipta. Meminta belas kasih-Nya agar aku diberi kesempatan hidup lebih lama.
Saat itu, tak ada yang aku inginkan selain diberi kesempatan sekali lagi untuk bertemu dengan kekasihku. Untuk menghirup aroma manis dan keharuman tubuhnya. Untuk menikmati alunan merdu suaranya. Untuk menyelami kedalaman bola matanya yang sebening telaga.
Untunglah, semua doaku didengar Tuhan, Teman. Tiny, peri rumah kesayanganku yang selama penyerbuan brutal kuperintahkan untuk melarikan diri mendadak muncul di hadapanku.
Dengan kekuatan tersembunyi yang hanya bisa dimiliki peri rumah, Tiny membawaku menghilang secepat kilat. Meninggalkan Bellatrix Lestrange yang berapi-api kehilangan mainan terbarunya.
Bersusah-payah memanggulku yang berdarah-darah, Tiny memboyongku ke Shell Cottage. Tiny bisa mengetahui letak rumah persembunyian sekaligus markas kedua Orde Phoenix itu berkat jalinan persahabatannya dengan Dobby, peri rumah bebas merdeka yang pernah menjadi hamba sahaya keluarga Malfoy.
Di pondok tepi pantai itulah aku kembali berjumpa dengan gadisku. Dengan telaten, bermodal pengetahuan luas tentang obat-obatan, gadisku merawat dan menyembuhkan luka di tubuhku. Termasuk luka batin yang timbul akibat kematian tragis orangtuaku.
Awalnya, keberadaanku di Shell Cottage tak disambut hangat semua orang. Ronald Bilius Weasley, putra keenam keluarga Weasley termasuk pihak yang paling keberatan dengan kehadiranku.
Kejengkelannya semakin berlipat setelah ia mengetahui hubungan rahasia kami. Rupanya, sama sepertiku, Ron Weasley juga menyimpan perasaan istimewa pada gadisku. Pada penyihir bergigi bajing yang sudah mencuri hatiku bertahun-tahun lalu.
Untungnya, di balik surai merah jerami, Ron Weasley masih memendam sejumput akal sehat. Sadar cintanya bertepuk sebelah tangan, sadar kasih sayangnya hanya dianggap sebatas saudara semata, laki-laki berwajah penuh bercak itu akhirnya rela memadamkan genderang perang.
Sayangnya, restu orang terdekat gadisku tak serta-merta mempermulus perjalanan cinta kami. Ekspedisi perburuan Horcrux, jimat penguat sekaligus titik kelemahan Lord Voldemort membuat kami kembali terpisah.
Ditemani Ron Weasley dan Harry Potter, gadisku bertualang ke seluruh penjuru negeri. Meninggalkanku yang diamanatkan mengawasi dinding kastil Hogwarts bersama awak Orde Phoenix lainnya.
Setelah berbulan-bulan menunggu, tanpa bisa dihindari lagi peperangan besar akhirnya meletus. Dibekingi ratusan Pelahap Maut, Lord Voldemort menyerang kompleks Hogwarts dengan membabi-buta.
Meski kehilangan banyak nyawa, cahaya akhirnya berkuasa. Dengan kekuatan cinta yang mengelilinginya, Harry Potter si Anak yang Terpilih berhasil mengirim Pangeran Kegelapan ke dasar neraka.
Dan, dua tahun setelah runtuhnya tiran kegelapan, di sinilah aku berdiri, Kawan. Di tengah sinar hangat mentari dan segarnya udara musim semi. Memandang pasti ke arah gadisku yang melenggang anggun dalam balutan gaun putih dan tiara perak gemerlap.
Mengepit lengan ayahnya yang menyeringai bahagia, gadisku menatap lurus ke arahku. Berseri-seri memandangiku yang berdiri menunggunya di altar penuh bunga.
Akhirnya, setelah bertahun-tahun merangkai mimpi, di sinilah aku berdiri, Teman. Di pekarangan Hogwarts yang berbalut bunga aneka warna. Pelataran tempat di mana cinta suci kami dipersatukan dalam ikatan suami-istri.
Ya, itulah ingatan terindah yang aku simpan untuk dilihat setiap saat di Pensieve, Teman. Kenangan tentang bersatunya cinta abadi kami.
Cinta sejati yang akan terus berbunga sampai akhir menutup mata...
Tapi, sepertinya menyimpan satu memori saja tidaklah cukup, Teman.
Lihat saja gadisku sekarang yang bersandar santai di sampingku. Membaca buku Panduan Merawat Bayi sambil mengusap-usap lembut perut buncitnya. Rahim yang setiap hari selalu kubanjiri dengan gelombang cinta kasih abadi.
Memang, hidup bersama My Precious Hermione, memori indah dipastikan tak akan pernah berhenti...
TAMAT
