Hari itu hujan. Aku benar-benar mengingatnya. Dan dia yang berdiri di depanku—basah kuyup serta tanpa ekspresi di wajahnya—membuatku kembali tak ingin menyentuh hujan sama sekali. Terlalu menyakitkan. Bahkan aku sempat tak perduli dengannya. Tapi sekarang, dialah satu-satunya wanita yang memegang erat hatiku, dan hujanlah yang membuat kami bertemu.


Bleach © Tite Kubo

A/N1: Osh! Saya balik setelah enam bulan menghilang. Bukannya ngerjain ff yang udah ngantri, malah nambah cerita baru. ==" Aaah… maafkan kemalasan saya. Yang namanya nafsu(?) ngetik itu tak bisa ditahan. :p

HIRUUU~ buat ente nih… ane kangen ama ente… XD #plak


Kepalanya bersandar pada bahu kiriku. Entah sudah berapa lama karena aku mulai merasa nyeri di sekitar pundakku. Tapi tentu saja aku tak kuasa untuk bergerak sedikitpun. Alasannya? Aku tak ingin mengganggu tidurnya yang terlihat lelap.

Hari ini hujan, dan sudah beberapa hari seperti ini. Hujan rintik-rintik yang seakan tak kunjung berhenti membuatku malas untuk pergi ke luar. Sia-sia aku mengambil cuti dari pekerjaanku. Tapi jika itu artinya aku bisa terus berdua saja dengannya, aku tak keberatan. Bermalas-malasan dari pagi hingga malam dan menuju pagi yang lain, tampak tak terlalu membosankan. Yah… mungkin tidak bagiku yang tak sering berada di rumah karena pekerjaan. Tapi apa mau dikata?

Dia bergerak sedikit untuk kembali menyesuaikan posisi tidurnya agar lebih nyaman. Entah apa yang ada di pikirannya sehingga ia selalu tidur pulas hanya dengan meletakkan kepalanya di tubuhku. Aku berkata yang sebenarnya. Pernah ia berkata jika ia hanya ingin menyandarkan kepalanya untuk melihat langit malam, tapi tak sampai dua menit dia langsung tertidur pulas. Dan ia bisa melakukan itu dengan meletakkan kepalanya di manapun ia mau di tubuhku, ataupun ketika aku mengusapnya dengan lembut. Err… kau tahu maksudku. Jangan sampai pikiran kotormu itu merasuk dan berpikir yang tidak-tidak. Ah, sudahlah.

Karena tak tahan lagi dengan nyeri di pundak kiriku, aku bergerak dan perlahan-lahan memindahkan kepalanya agar bersandar di pangkuanku. Tentu saja, menjadi gadis—err… wanita—yang mudah tertidur hanya dengan sedikit sentuhan membuat ia tak terbangun walau aku sempat tersentak karena siku kiriku terantuk dinding di belakang sofa. Hey, jangan bertanya bagaimana aku bisa bercinta dengannya ketika malam pertama. Itu dua hal yang berbeda. Itu saat-saat sensual yang tak mungkin ia jatuh tertidur karenanya. Ugh… aku tak ingin membahasnya. Privasi! Kau mengerti? PRI-VA-SI!

Aku melihat dengan seksama wanita yang tengah tertidur di pangkuanku. Mengusap pelan rambutnya dan merasakan kulit halus dari ujung-ujung jariku. Cantik. Aku tak pernah bermimpi jika wanita secantik ini bisa menjadi milikku. Kembali ke masa SMA, aku sering diejek ayah dengan sebutan 'gay' hanya karena aku belum berpacaran ketika usiaku menginjak enam belas. Konyol. Apa salahnya belum mempunyai pasangan di usia enam belas? Lagipula, pada akhirnya aku bisa menemukan wanitaku di saat yang tak kuduga sama sekali.


Flashback

Langit yang terlalu gelap seakan mempercepat rotasi bumi. Terasa seperti malam walau sekarang jam masih menunjukkan pukul setengah dua siang. Seorang laki-laki berjalan tergesa-gesa dari arah sekolah. Bukan jam biasa untuk pergi dari sekolah, tapi sepertinya ia mempunyai alasan khusus.

"Cih, apa yang dia mau? Tak bisakah ia menunggu saat pulang nanti? Toh hanya tinggal beberapa jam. Kuharap ini bukan hal konyol," ia menggumam pelan. Menahan sumpah serapah untuk ayahnya agar tetap berada di dalam kerongkongannya. Tapi tetap saja, hanya dengan melihat raut wajahnya yang berkerut berkali-kali lipat dari biasanya, membuat siapapun yang melihat bergidik ngeri.

Tak seperti biasanya. Ayahnya tak pernah sekalipun memanggilnya dari sekolah untuk pulang cepat. Sepenting apapun hal yang ingin ia bicarakan, ia pasti akan menunggunya pulang terlebih dahulu. Dan kemungkinan berbicara dengannya ketika dua saudari kembarnya telah tertidur lelap.

Karena tak ingin mengambil resiko hujan lebat yang akan segera turun, ia mengambil jalan pintas. Melewati jalan yang sudah lama ia hindari, di pinggir sungai Nagara. Meskipun ada kalanya ia merasa rindu dengan tempat bermainnya semasa kecil, ia tak ingin mengulang rekaman yang masih tersimpan jelas di hari itu setelah beberapa tahun berlalu. Mungkin bisa dibilang, sejak hari itu ia tak lagi menampakkan senyumannya dan mulai membenci hujan. Karena hujan membawa terlalu banyak emosi pada dirinya.

Baru berjalan beberapa langkah dari belokan yang membawanya tepat di pinggir sungai Nagara, hujan mulai turun dengan deras, dan ia tak membawa payung. Alhasil, dengan menggunakan tangan kanannya sebagai tameng dadakan, ia berlari kecil untuk menghindari basah lebih lanjut. Tentu saja sia-sia. Siapa yang bisa melawan air jika ia tumpah dengan intensitas yang besar? Tapi tetap saja, ia terus berlari kecil dan mengerjapkan matanya ketika ada butiran air yang masuk dan membuat pandangannya kabur.

Ia sama sekali tak peduli dengan buku-bukunya yang sudah terlanjur basah di dalam tasnya. Ia akan membuat ayahnya bertanggung jawab untuk itu nanti. Dan ia memastikan hal itu akan terjadi serta tanpa ampun untuk ayahnya. Semakin ia melangkah, hujan yang turun semakin deras. Air di sungai perlahan mulai meluap dengan arus yang cukup deras. Tapi ia berhenti tiba-tiba. Tubuhnya gemetar karena hawa dingin yang menusuk.

Ia tak percaya apa yang ada di hadapannya. Sekitar dua puluh meter dari tempat ia terhenti, berdiri seorang gadis berambut pendek dan mengenakan gaun hitam. Nafas Ichigo tercekat. 'Tidak. Ini tidak mungkin,' pikirnya. Tangannya tergenggam kuat. Tubuhnya bergetar, entah karena dingin atau emosi yang bercampur. 'Kami-sama, apa yang ingin kau perbuat? Bukankah hari itu sudah cukup? Atau kau hanya ingin bermain dengan hidupku?'

Ichigo tetap berdiri di sana selama beberapa saat. Tak menyadari ketika gadis di hadapannya mengambil satu langkah lebih dekat dengan bibir sungai. 'Tidak. Ini pasti hanya khayalan. Mataku tak bisa melihat dengan jelas. Mungkin ini hanya bayangan di waktu itu yang tak bisa kulupakan.' Dan dengan itu di pikirannya, Ichigo kembali mengambil langkah pelan dan lama-kelamaan berlari kecil. Ia sama sekali tak melihat ke arah gadis itu. Tak ingin mengulang rasa sakit yang membuatnya seperti mayat hidup.

Sesaat setelah melewati gadis-yang menurutnya hanya khayalan-Ichigo mencium aroma tipis lavender dan mawar di tengah aroma hujan.

Splash!

Ia kembali tersentak dan berhenti di posisinya dengan berbagai macam pikiran. Fatamorgana suara? Ia belum pernah mendengar apalagi membaca hal seperti itu di manapun. Dengan panik ia berbalik ke arah dimana gadis tadi tengah berdiri. Tak ada siapapun. Yang ada hanya pita hitam yang tersangkut di ranting pinggir sungai. Ia mengingat gadis tadi memegang erat pita hitam tersebut. Dengan langkah gontai, Ichigo mendekat dan memungut pita tadi. Nyata. Ia nyata. Dan betapa bodohnya ia membiarkan begitu saja seseorang terjun di depan matanya. Ia tak bisa memaafkan dirinya sendiri jika gadis tadi sampai meninggal.

Dengan cepat dan mungkin agak ceroboh, ia melepas sepatu dan melempar tasnya ke sembarang arah. Pita hitam tadi tetap ia pegang erat ketika ia terjun ke sungai yang kini meluap tinggi dan berarus deras. Tak peduli dengan resiko yang ia tantang di depan mata hanya untuk seorang asing.

Ichigo terus menyelam dan berusaha menenangkan pikirannya. Jika ia terlalu panik, ia tak bisa menahan nafas terlalu lama di dalam air. Setelah satu menit lebih, ia naik ke permukaan untuk mengambil nafas. Matanya memandang ke segala arah, berusaha mencari setitik hitam dari gaun yang gadis tadi kenakan. Ia kembali berenang bersama arus, membiarkan arus membawanya. Ia tak akan berhenti sampai gadis itu ia temukan dan selamat di depan matanya.

Setelah sepuluh menit tak berhenti, ia mulai merasa putus asa. Ia berteriak sekencang mungkin, berusaha menghilangkan frustasi yang membludak di kepalanya. Satu lagi alasan baginya untuk membenci hujan. Tapi rupanya Kami-sama mempunyai maksud lain. Dari ujung matanya yang mulai membengkak karena tangis dan terkena air, Ichigo melihat gadis tadi tersangkut di balok kayu yang juga terseret arus. Dan besar harapan di dadanya jika gadis itu hanya pingsan.

Ia berenang secepat mungkin ke arah gadis tersebut. Ketika berhasil memegang tubuh mungilnya, ia langsung meletakkan tangan di dada kiri sang gadis untuk merasakan detak jantungnya dan mendekatkan wajahnya ke wajah gadis tersebut untuk bisa merasakan deru nafas lemah dari sang gadis. Ichigo mulai melepas nafas yang tak sadar ia tahan sedari tadi, merasa lega karena gadis di pelukannya masih bisa diselamatkan.

Tak ingin menunggu lebih lama, ia cepat-cepat mengangkat tubuh sang gadis agar bisa keluar dari sungai. Ketika ia telah berhasil dan akan naik, Ichigo tak menyadari balok kayu besar yang terbawa arus kencang ke arahnya. Dan ketika ia berbalik, balok kayu tersebut menghantam keras kepalanya. Dari situ, semua gelap di mata Ichigo. Ia hanya bisa melihat orang lain berlarian sambil berteriak dan beberapa orang yang terjun ke sungai. Dan dari balik awan mendung yang pekat, Ichigo bisa mengintip sedikit pelangi.

oOooOooOo

Ketika ia membuka matanya, semua terlalu silau di matanya. Kepalanya terasa amat sakit, sekujur tubuhnya nyeri. Ia tak bisa bergerak seperti apa yang ia kehendaki. Tapi, dari samping kirinya, ia merasa aneh. Ia merasa ada orang lain selain dirinya di ruangan yang serba putih dan berbau khas itu. Dengan susah payah ia menggerakkan kepalanya ke arah kiri. Ternyata ada seseorang yang menyandarkan kepalanya di lengan kirinya. Dan ia merasa jika tangan kirinya digenggam erat oleh orang yang sama.

Sekilas, ia mengira orang tersebut sebagai Karin, karena warna rambut yang sedikit mirip dan sama-sama pendek. Tapi ketika gadis itu terbangun dan menatapnya tepat di mata, bukan abu-abu yang ia tatap, melainkan sepasang biru-violet yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Karena masih dalam kondisi tak stabil, ia kembali tertidur ketika gadis tersebut mengusap rambutnya dan mengecup keningnya. Dan ia merasa hangat.

oOooOooOo

Kali ini, ia terbangun karena merasa terganggu dengan suara ayahnya yang terus-menerus terkikik seperti perempuan. Sedikit kesal, ia membuka mata tepat di mana ayahnya berdiri sambil menutup mulutnya dengan kedua tangannya dan terkikik geli akan sesuatu.

"Ah! Onii-chan!" ia mengalihkan pandangannya cepat-cepat. Tak ingin merekam wajah ayahnya yang terlihat seperti itu. Suara yang memanggilnya, Yuzu, dengan cepat berlari ke samping kanannya dan memeluknya erat. Ia sedikit tersentak dan mengeluarkan suara 'oof' dengan perlakuan tiba-tiba dari adiknya yang manis itu.

"Yuzu, lepaskan dia atau dia akan pingsan lagi," Karin berjalan santai dari tempat ia berdiri tadi menuju Yuzu yang melepaskan Ichigo dengan sedikit cemberut. "Yo! Ichi-nii. Senang kau belum tiada."

"Karin-chan!" Karin hanya menutup telinganya ketika suara lengkingan Yuzu keluar.

"Hey, Yuzu, Karin." Ichigo membalas dengan suara lemah. Ia sama sekali tak menyadari ada orang lain yang tengah menatapnya dari arah kiri.

"AAAH~ ICHIGOOOOOO~ AYAH SENANG KAU BAIK-BAIK SAJA~!" dengan horror, Ichigo menatap ayahnya yang tengah berlari ke arahnya dengan kedua tangan terbuka lebar. Ia yang sudah terlalu paham mengenai sifat konyol ayahnya, langsung bergidik ngeri.

"Berisik, jenggot! Ini rumah sakit!" dengan satu tendangan keras dari Karin, setidaknya salah satu ketakutan Ichigo lenyap untuk sesaat.

Yuzu dan Karin—apalagi Ichigo—sama sekali tak ambil pusing dengan tingkah ayahnya yang sekarang tengah mengeluh kesakitan di pojok kamar.

"Ah! Ichi-nii, apa kau merasa baikan? Sebaiknya aku memanggil dokter untuk memeriksamu. Tak bisa mempercayai si jenggot untuk melakukan hal itu saat ini. Ayo Yuzu." dan dengan ucapan itu, Karin menyeret Yuzu yang setengah berteriak jika ia ingin berada di samping Onii-channya. "Kau juga, jenggot." Dan tampaklah dari belakang, seorang gadis kecil yang tengah menyeret tangan kanan saudari kembarnya dan seorang laki-laki yang tengah kesakitan karena diseret menggunakan jenggotnya.

Ketika pintu tertutup, Ichigo baru menyadari kehadiran orang lain di sampingnya. Ketika ia menatapnya, ia kembali bertatap dengan biru-violet yang menawan. Sepasang mata itu terus menatapnya dan membuat Ichigo sedikit tak nyaman. Tapi ketika gadis itu tersenyum ke arahnya, Ichigo tahu ia tak perlu khawatir.

Ah, dia ingat sekarang siapa yang tengah berada di hadapannya saat ini. Dia adalah gadis yang ia selamatkan di saat hujan hari itu. Ia tak mengingat tanggal berapa sekarang. Hanya saja, ia merasa jika ia tak sadarkan diri untuk beberapa hari.

Sama seperti terakhir kali ia sadarkan diri, gadis itu masih tetap menggenggam erat tangan kirinya. Kedua tangan mungilnya membungkus sempurna tangannya yang besar jika dibandingkan dengan tangan miliknya. Bahkan sesekali gadis itu menggambar pola aneh di telapak tangannya dengan jari telunjuknya. Mungkin gadis itu hanya ingin merasakan kontur tangan dari seseorang yang kini ia anggap berharga itu.

"Hey…" dengan suara rendah dan nada yang sedikit gugup, Ichigo ingin membuka percakapan dengan si gadis.

"Hey…" dan dengan intensitas yang sama, gadis itu membalas sapaan dari Ichigo dengan suara yang mengalir. Mungkin terdengar lembut di kepala Ichigo yang tengah terasa seperti akan meledak karena rasa sakit. Tapi dengan sifatnya yang keras kepala dan harga diri serta egonya yang terlalu tinggi untuk kebaikannya sendiri, ia tak ingin mengeluh sakit di hadapan sang gadis. Walau di saat mepet sekalipun, kau harus tetap mempertahankan harga diri.

"Aku Rukia. Dan…" gadis itu mendekatkan wajahnya ke wajah Ichigo. Bahkan Ichigo bisa merasakan deru nafas hangat sang gadis menyapu bibirnya yang dingin dan mencium wangi lavender dan mawar. Ichigo hampir melayang ketika ia merasakan lembut bibir Rukia mendarat di bibirnya. Ia menyaksikan dengan mata terbelalak lebar aksi yang tengah dilakukan sang gadis. "…terima kasih…" Rukia menggumam di bibir Ichigo, "…sudah menyelamatkanku." Sesaat Rukia menekan bibirnya di bibir Ichigo, membuat mata Ichigo hampir terbalik karena sensasi yang baru pertama kali ia rasakan. "Aku berhutang padamu." Rukia sama sekali tak membuka mata ketika ia melepas bibir Ichigo dan mendaratkan ciuman di ujung hidung dan kening Ichigo.

Ketika ia membuka mata dan kembali duduk di kursi samping Ichigo, Rukia terbelalak kaget ketika mengetahui Ichigo telah kembali ke kondisi awalnya, tak sadarkan diri. Ia hanya terkikik geli sambil menggenggam erat tangan kiri Ichigo. Yang terlintas di pikirannya hanya ada Ichigo. Ia menoleh ketika Karin, Yuzu dan Isshin telah kembali dengan seorang dokter dan perawat yang menatap heran.

"Kurosaki-san masih belum sadar…"

End of flashback


Aah… memalukan. Jika aku mengingat hal itu lagi, mungkin aku sudah mati karena rasa malu. Bayangkan saja, seorang laki-laki pingsan hanya karena dicium oleh seorang gadis. Tentu hal ini hanya aku dan dia yang tahu. Ia tak punya hati untuk menceritakan hal tersebut kepada Karin atau Yuzu, apalagi ayah. Tapi dia terlalu cerdik untuk membuat hal itu sebagai blackmail kepadaku. Sial. Pada akhirnya, dompetku yang selalu terkuras. Bahkan sampai sekarang, delapan tahun setelah hal itu terjadi, hal itu yang menjadi senjata andalannya terhadapku.

Lagipula, aku tak akan pernah mengeluh walau dompetku kering. Tentu saja aku bekerja untuk memenuhi kebutuhanku dengannya. Err… yah, mungkin ada beberapa—banyak—hal yang tak terlalu penting untukku, sebut saja dengan Chappy. Dia benda mengerikan. Tapi tetap saja, aku tak bisa menolak dirinya. Itu satu-satunya kelemahan terbesarku. Mungkin bagi orang lain aku ini sulit ditangani. Dan di pikiran mereka pasti terlintas tak ada wanita yang mau dekat-dekat denganku. Aku sendiri heran dengan wanitaku. Jika ia berdiri di hadapanku, ia seperti harimau. Tentunya dengan ukuran mini. Hey, jangan bilang padanya jika aku menyebutnya mini. Kau tak tahu apa yang kuhadapi nanti karena kemarahannya.

Pandanganku kembali terfokus pada wanita yang kini tengah mengusap matanya. Aku kembali mengelus rambutnya agar ia merasa sedikit tenang. "Ichigo…"

"Hn?" aku menunduk sedikit agar bisa mengecup keningnya. Ketika aku melepas keningnya, aku merasa dua tangan mungil melingkar di leherku dan membawa wajahku turun agar ia dapat menciumku tepat di bibir. Dengan sedikit tenaga, aku mengangkat tubuhku dan membuatnya duduk di pangkuanku. Aku meletakkan tangan kananku di pinggangnya dan tangan kiriku sibuk mengelus kulit pahanya yang terekspos karena gaun kesayangan yang tengah ia gunakan tersingkap terlalu tinggi.

Karena tak tahan lagi, aku membuka mulutku dan berusaha membuka mulutnya dengan menjilat bibirnya. Tak perlu menunggu lama karena sesaat setelah ia merasakan ujung lidahku menyentuh bibirnya, ia langsung membuka mulut dan membiarkan aku merasakannya untuk yang kesekian kalinya. Entah mengapa tiap aku menciumnya, selalu terasa seperti ciuman pertama. Menguras nafas. Bahkan aku sempat merasa ingin pingsan. Oke. Aku mengakuinya!

Tangan kananku yang tak ingin diam saja mulai beranjak naik ke punggungnya, mengelus pelan dan membuat pola lingkaran dengan jempolku ketika tanganku mencapai belakang lehernya. Di saat itulah aku mendengar desahan manis yang dikeluarkan bibir mungilnya.

Aah… sudah kubilang kan? Dia tak akan tertidur jika berada di tengah-tengah aktifitas sensual. Sekarang pergilah. Ini bukan tontonan untukmu. Atau bacaan? Terserahlah…


End?


A/N2: WOOOOOOOOOOOOT~! I'M A BAD GIRL! Jangan timpuk aku pake sandal yang lama tak dicuci! Timpuk aja pake review~! XD #plakk!

Sepertinya bakal ada lanjutan. Mungkin dua ato tiga chapter. Gak tentu sih. Sesuai mood aja yang ngerjain. :P As for the other stories, gomenasaaaaai~ kayaknya lagi kena WB. Lagi mood ngerjain yang kaya gini. Hehehe…