Genre: drama, family, romance
Pairing: Yunjae (genderswitch)
Rating: M
Disclaimer:
Cerita ini fiktif belaka, tidak ada hubungannya dengan dunia nyata. Saya hanya meminjam nama pemeran.
My Mother's Personal Assistant
Waktu sudah menunjukkan hampir pukul sebelas malam. Namun, ibuku belum pulang juga. Aku dan kakak-kakakku sangat menghawatirkannya. Kami menunggunya di teras depan rumah.
"Ibu ke mana? Mengapa ponselnya tidak bisa dihubungi?" Kakak keduaku, Junsu Oppa, berkali-kali mencoba untuk menghubungi ponsel ibu, tetapi ponsel ibu tidak aktif.
"Mungkin ibu sedang berada di perjalanan dan baterai ponselnya habis." Kakak ketigaku, Changmin Oppa, duduk dengan santainya sambil memakan keripik kentang.
"Ini sudah hampir pukul sebelas malam, tetapi ibu belum pulang juga. Ia mengemudikan mobil sendiri. Kita tidak tahu apa saja yang bisa menimpanya di jalanan pada malam hari." Junsu Oppa terlihat paling khawatir di antara kami berempat. Ia terus saja mondar-mandir sejak tadi. "Sudah sering kukatakan untuk memperkerjakan sopir pribadi, tetapi ibu tetap bersikeras untuk mengemudikan mobil sendiri."
"Kita semua sangat mengkhawatirkan ibu, tetapi kita harus tetap tenang. Tidak ada gunanya kau mondar-mandir seperti itu," ujar Changmin Oppa. Sifatnya memang bertolak belakang dengan Junsu Oppa.
Junsu Oppa menatap adik lelakinya itu dengan tajam. Mereka berdua memang sering berdebat.
"Sudah, jangan berdebat!" Akhirnya kakak sulungku, Yoochun Oppa, membuka suara. Sejak tadi ia hanya diam sambil memasang wajah serius. "Kita tunggu sebentar lagi. Jika pukul sebelas ibu belum pulang juga, kita cari dia."
Junsu Oppa dan Changmin Oppa pun diam seketika. Mereka berhenti berdebat.
"Yoojungie, sebaiknya kau tidur." Yoochun Oppa berkata kepadaku. Sebagai anak sulung ia bertanggung jawab atas adik-adiknya.
Aku menggeleng. Aku tak akan bisa tidur karena mengkhawatirkan ibu. "Aku ingin menunggu ibu pulang."
Tiba-tiba terdengar suara mobil. Itu mobil ibu. Kami bergegas menghampirinya.
"Ibu ke mana saja? Mengapa ibu baru pulang? Ponsel ibu juga tidak bisa dihubungi." Junsu Oppa langsung memberondongi ibu dengan pertanyaan.
Rupanya ibu tidak pulang sendirian. Ia bersama seorang pria. Pria itu masih sangat muda, mungkin seusia Changmin Oppa. "Anak-anak, tolong bantu ibu! Tolong bawa ia masuk. Ia terluka. Ibu menemukannya di pinggir jalan."
Ketiga kakakku langsung sigap mengeluarkan pemuda itu dari dalam mobil ibu. Tubuhnya berlumuran darah.
Aku merasa ngeri melihat darah yang membanjiri tubuh pemuda itu. Apa ia masih hidup?
Ketiga kakakku membawa pemuda itu ke dalam rumah. Mereka membaringkannya di atas sofa di ruang tamu.
"Siapa dia, Bu? Apa yang terjadi kepadanya?" tanya Junsu Oppa.
"Saat ibu dalam perjalanan pulang, ibu melihatnya sedang dipukuli oleh sekelompok berandalan. Setelah berandalan itu pergi, ibu menolongnya." Ibuku terlihat ketakutan.
Yoochun Oppa merobek pakaian yang dikenakan oleh pemuda itu. Kami semua terkejut melihat luka memar di dada dan perutnya. Selain itu, ada luka sayatan di pinggangnya. Darah mengalir deras dari sana. "Kita harus membawanya ke rumah sakit."
"Sebaiknya kita rawat saja ia di sini. Luka di pinggangnya harus segera ditangani. Kita membutuhkan waktu setidaknya setengah jam untuk membawanya ke rumah sakit terdekat. Aku khawatir ia tidak akan tertolong," usul Changmin Oppa. Kami pun setuju dengan pendapatnya.
"Ibu dan Yoojungie tidur saja. Biar kami bertiga yang menanganinya," ujar Yoochun Oppa.
Ibu menggeleng. Wajahnya masih diliputi ketakutan. "Aku tidak bisa tidur. Aku sangat mengkhawatirkannya. Mereka memperlakukannya dengan sangat biadab."
Aku menaati kakak sulungku. Aku pergi ke kamarku. Aku merinding membayangkan tubuh pemuda itu yang bersimbah darah. Aku tidak ingin membayangkan apa saja yang telah dilakukan oleh para berandalan itu kepadanya.
Aku bersyukur ibuku pulang dengan selamat. Untung saja bukan ibu yang diperlakukan seperti itu oleh mereka.
.
.
.
Pemuda itu sudah sadarkan diri pada pagi hari. Luka di pinggangnya sudah dibalut perban. Ia masih terbaring lemah di atas sofa ruang tamu.
"Kita harus melapor kepada polisi," usul Yoochun Oppa. "Ini adalah tindak kriminal."
"Tidak usah, Tuan. Aku tidak ingin merepotkan kalian," ujar pemuda itu lemah.
"Kau juga harus dibawa ke rumah sakit. Lukamu itu cukup parah, perlu ditangani lebih lanjut," tambah Yoochun Oppa.
"Tidak perlu, Tuan. Aku tidak apa-apa. Nanti siang juga aku sudah pulih. Terima kasih atas pertolongan kalian semua." Pemuda itu tersenyum lemah kepada kami.
"Baiklah, jika kau tidak ingin kami melapor polisi atau membawamu ke rumah sakit." Ibu bersuara. "Akan tetapi, kami tetap harus menghubungi keluargamu agar mereka bisa menjemputmu di sini."
"Aku tidak punya keluarga di Seoul, Nyonya." Pemuda itu menatap ibuku. "Aku baru datang ke Seoul untuk mengadu nasib. Aku tidak ingin keluargaku di Gwangju khawatir."
Ibuku terkejut mendengar penuturan pemuda itu. "Lalu di mana kau tinggal di Seoul dan dengan siapa?"
Pemuda itu menggeleng. "Aku tidak punya tempat tinggal. Kadang-kadang aku tidur di taman kota atau di tempat ibadah."
Ketiga kakakku saling pandang. "Apa kau mempunyai pekerjaan?" tanya Junsu Oppa.
Pemuda itu menunduk malu. "Aku tiba di Seoul tiga hari yang lalu. Sampai saat ini aku belum mendapatkan pekerjaan apa pun."
Junsu Oppa tersenyum. "Apa kau mau bekerja kepada kami? Ibuku sedang membutuhkan sopir pribadi. Itu juga jika kau bisa mengemudi dan mempunyai SIM."
Pemuda itu mengangkat wajahnya. Matanya berbinar-binar memandang Junsu Oppa. "Aku bisa mengemudi, tetapi aku tidak mempunyai SIM."
"Itu bisa diatur. Kami akan mengurusnya," tambah Junsu Oppa.
.
.
.
"Kalian apa-apaan? Mengapa kalian memberinya pekerjaan sebagai sopir pribadiku?" Ibu terlihat marah kepada kakak-kakakku. "Aku tidak membutuhkan sopir pribadi. Kalian gegabah sekali memberinya pekerjaan. Kita tidak tahu siapa dia. Bisa saja ia adalah orang jahat dan ingin memanfaatkan kebaikan kita."
"Ibu tenang saja." Changmin Oppa menepuk pundak ibu. "Kami akan mencari tahu siapa dia. Kami juga tidak bisa percaya begitu saja kepada orang asing."
Ibu menghela nafas. Ibuku itu memang lebih suka melakukan semuanya sendirian. Ia tidak membutuhkan sopir pribadi.
.
.
.
Pemuda itu bernama Yunho. Sudah seminggu ia bekerja dan tinggal di rumah kami. Junsu Oppa menguruskan SIM untuknya agar ia bisa menjadi sopir pribadi ibu kami.
Ibuku adalah wanita yang sangat mandiri. Ia bahkan membesarkan kami berempat sendirian setelah ayah meninggal dunia.
Ayah meninggal dunia saat aku masih berada dalam kandungan. Ia bahkan tidak pernah tahu bahwa ibu mengandungku. Ibu mengetahui kehamilan keempatnya setelah ayah tiada.
Usiaku kini sudah delapan belas tahun. Itu artinya ibu sudah menjanda selama lebih dari delapan belas tahun. Selama ini ibu enggan untuk menikah lagi. Ia ingin fokus kepada anak-anaknya dan mengurus perusahaan yang ditinggalkan oleh ayahku.
Saat ayah meninggal dunia ibuku masih berusia 26 tahun. Ibuku memang menikah muda. Usia kedua orang tuaku terpaut cukup jauh.
Yoochun Oppa dan Junsu Oppa cukup beruntung karena mereka masih mengingat kenangan bersama ayah saat mereka masih kecil. Changmin Oppa masih berusia dua tahun saat ayah tiada, sehingga ia tidak ingat apa pun tentang ayah.
Ketiga kakakku pernah menyarankan ibu untuk menikah lagi. Ibu masih belum terlalu tua. Ia juga berhak untuk mencintai dan dicintai oleh seorang pria. Namun, ibu menolak. Ia sudah merasa sangat bahagia memiliki anak-anaknya.
Tidak seperti kakak-kakakku, aku tidak rela jika ibu menikah lagi. Aku memang egois. Aku tidak ingin ibu membagi kasih sayangnya untuk kami dengan pria lain.
.
.
.
Yunho adalah pemuda yang sangat baik. Ia juga sangat rajin dan sopan. Kami sekeluarga menyukai sikapnya.
"Aku sudah mencari tahu siapa dia. Memang benar semua yang dikatakannya. Ia adalah seorang pemuda dari Gwangju. Ia datang ke Seoul untuk mencoba peruntungannya, tanpa keluarga, kerabat, atau kenalan di Seoul." Junsu Oppa melaporkan hasil penyelidikannya kepada ibu dan Yoochun Oppa.
Selain baik hati, Yunho juga pintar dan tampan. Dalam waktu singkat ia sudah sangat akrab dengan Changmin Oppa. Mereka memiliki kecocokan karena usia yang sama.
.
.
.
"Aku akan bertemu dengan teman-temanku. Kau mau ikut tidak?" Changmin Oppa mengajak Yunho.
Yunho hanya tersenyum. "Ah, tidak. Aku malu bertemu dengan teman-temanmu. Aku hanyalah seorang sopir."
"Kau juga temanku," ujar Changmin Oppa.
Yunho menggeleng. Ia tetap menolak ajakan Changmin Oppa. "Aku merasa tidak enak masuk ke dalam lingkungan pergaulanmu, lagipula masih banyak pekerjaan yang harus kuselesaikan."
"Yunho, antar aku ke salon!" Ibu muncul dari tangga. Ia sudah siap untuk pergi ke salon. Usianya sudah 45 tahun, tetapi ia masih cantik dan awet muda. Ibuku itu memang rajin merawat dirinya.
"Nyonya memanggilku. Maaf aku tak bisa ikut." Yunho sepertinya menemukan alasan untuk menolak ajakan Changmin Oppa.
Sebelumnya ibuku paling tidak suka diantar. Ia lebih suka pergi ke mana-mana sendirian, lebih bebas dan tidak merepotkan orang lain. Namun, kini ke mana-mana ia diantar oleh Yunho. Ia sudah tidak pernah mengemudikan mobilnya sendiri lagi dan tampaknya ia lebih menyukai hal itu sekarang, padahal awalnya ia menolak untuk mempunyai sopir pribadi.
.
.
.
Ke mana-mana ibu selalu membawa Yunho, termasuk dinas ke luar kota, bahkan ke luar negeri. Menurutku ini sedikit berlebihan. Ibuku kan sudah punya sekretaris. Untuk apa ia membawa Yunho ikut serta?
"Oppa, mengapa ibu harus mengajak Yunho segala? Aku saja tidak pernah diajak ibu pergi ke luar negeri untuk perjalanan dinas." Aku mengadu kepada kakak sulungku. Biasanya aku berkeluh-kesah kepada ibu. Karena ibu sedang tidak ada, aku mengeluh kepada kakak sulungku.
Kakakku itu terlihat serius memeriksa laporan keuangan perusahaan. Ia mendengarkanku, tetapi matanya tertuju pada dokumen-dokumen di meja kerjanya. "Kau hanya akan mengganggu ibu jika kau ikut, sedangkan Yunho pergi untuk membantu pekerjaan ibu."
Aku merengut. "Bukankah ibu juga pergi bersama sekretarisnya? Jadi, Yunho tidak perlu ikut."
Yoochun Oppa akhirnya melihat ke arahku. "Memangnya kenapa jika ia ikut? Apa kau merindukannya?"
Seketika wajahku terasa memanas. Aaargh! Mengapa Yoochun Oppa harus mengatakan itu?
Yoochun Oppa tersenyum menggodaku. Menyebalkan! Ia mengejekku. "Wajahmu merah sekali. Apa kau merasa kepanasan? Ah, aku akan menyalakan AC di ruang kerjaku ini."
Aku tidak bisa berkata-kata. Aku pun berlari keluar dari ruang kerja Yoochun Oppa ke kamarku. Aku bisa mendengar ia tertawa terbahak-bahak.
Aku menenggelamkan wajahku ke di atas bantal. Jantungku berdegup kencang. Aku merasa malu di hadapan Yoochun Oppa. Rupanya ia tahu bahwa aku menyukai Yunho. Aduh, bagaimana ini? Apa yang harus kukakatakan kepada Yoochun Oppa jika aku berhadapan dengannya lagi? Ia pasti akan menggodaku. Jangan sampai ia memberi tahu Junsu Oppa dan Changmin Oppa. Tamat sudah riwayatku jika mereka berdua juga sampai tahu. Mereka bertiga akan bahu-membahu membuliku.
Eh, jangan-jangan kedua kakakku yang lainnya juga sudah tahu. Gawat! Aduh, bagaimana ini?
Aku adalah anak bungsu dari empat bersaudara. Kakak-kakakku semuanya laki-laki, Yoochun Oppa 25 tahun, Junsu Oppa 23 tahun, dan Changmin Oppa 20 tahun. Ibu dan kakak-kakakku sangat memanjakanku, sehingga sifatku kata orang sangat kekanak-kanakan.
Aku belum pernah jatuh cinta sebelumnya. Di saat gadis-gadis lain seusiaku sudah memiliki kekasih, aku masih asyik bermanja-manja kepada ibu dan kakak-kakakku. Yunho adalah cinta pertamaku. Ini adalah pertama kalinya aku merasakan hal seperti ini kepada seorang pemuda.
.
.
.
Akhirnya ibu pulang. Aku langsung menyambutnya dengan pelukan manja. "Ibu, aku sangat merindukanmu. Mereka bertiga menganiayaku selama ibu tidak ada."
Ketiga kakakku tertawa terbahak-bahak. "Siapa yang menganiayamu? Dasar manja! Hahaha!"
Aku tak mau melepaskan pelukanku kepada ibu. Aku mengadu kepadanya. "Bu, marahi mereka! Mereka sangat menyebalkan. Lihat, Bu! Mereka menertawakanku."
Ibu tersenyum. Terlihat raut lelah di wajahnya, tetapi ia tetap tersenyum. "Mereka hanya bercanda. Mereka sangat menyayangimu, sehingga mereka sangat senang menggodamu."
"Bu, aku sangat merindukan ibu. Malam ini aku ingin tidur dengan ibu."
.
.
.
Aku sangat senang ibu sudah pulang. Selain karena memang merindukan ibuku, aku juga senang karena bisa melihat Yunho lagi.
Malam ini aku tidur dengan ibuku. Aku ingin bicara banyak dengan ibu. Ibukulah yang paling mengerti diriku, lagipula saudara-saudaraku laki-laki, aku merasa lebih nyaman membicarakan hal yang sangat pribadi dengan sesama perempuan. Aku tahu bahwa ibuku sangat lelah setelah menempuh perjalanan jauh, tetapi ibu tidak keberatan aku mengganggunya malam ini.
"Ada apa dengan anak kesayangan ibu, hmm? Jika kau tiba-tiba ingin tidur dengan ibu, pasti ada yang ingin kau bicarakan." Ibuku memang ibu yang terbaik. Ia memang sangat memahami diriku.
Aku tidak tahu harus mengatakan apa kepada ibuku. Aku malu. "Uhm, tidak apa-apa. Aku hanya sedang merindukan ibu karena sudah seminggu tidak bertemu."
Ibu tersenyum dan membelai rambutku. "Tidak usah malu-malu untuk mengatakannya kepada ibu. Ibu juga pernah seusiamu. Jadi, ibu akan mengerti."
Aku merasa sangat gugup. Apa yang harus kukatakan? "Bu, aku menyukai seseorang."
Ibu tampak terkejut, tetapi kemudian ia tersenyum. "Kau sudah besar ya ternyata."
"Apa ibu marah?" tanyaku takut-takut.
Ibu tetap tersenyum. "Mengapa ibu harus marah? Hal itu sangat wajar terjadi kepada gadis remaja seusiamu. Ibu senang kau mau menceritakannya kepada ibu. Siapa dia?"
Aku bingung mengatakannya. Aku takut ibu marah. Yang kusukai adalah sopir ibuku. Aku takut ibu marah dan memecatnya. Jika ia sampai ia dipecat, bukan hanya aku tak bisa lagi sering bertemu dengannya, nasibnya juga dipertaruhkan.
"Apa teman sekolahmu?" Ibu tampak tak sabar untuk mendengar jawabanku.
Aku menggeleng. Aku masih tak bisa mengatakannya.
"Tidak apa-apa jika kau tak ingin memberi tahu ibu sekarang. Siapa pun pemuda itu, kuharap ia adalah seorang pemuda yang baik." Sepertinya ibu mengerti bahwa aku tak ingin mengatakannya. Ia tidak memaksaku.
"Suatu saat aku akan memberi tahu ibu jika aku sudah merasa siap untuk mengatakannya," kataku lirih.
Ibu membelai punggungku. "Kau bisa berbicara kepada ibu kapan saja. Ibu akan siap untuk mendengarkanmu."
.
.
.
Sejak menemani ibuku ke luar negeri, Yunho bukan lagi sekedar seorang sopir. Ia menjadi asisten pribadi ibuku. Ia juga mengurusi segala hal selain mengantar ibuku ke mana-mana. Ia memang sangat cerdas dan pekerja keras, sehingga ibuku tidak ragu-ragu untuk memperkerjakannya sebagai asisten pribadi. Ibuku sangat percaya kepadanya.
Aku menyukai hari Minggu. Ibuku ada di rumah, sehingga Yunho juga ada di rumah. Aku senang memperhatikan dirinya. Saat ini ia sedang mencuci mobil ibu.
Yunho tahu bahwa aku sedang memperhatikannya. Ia tersenyum kepadaku. "Apa nona ingin membantuku?" Ia terkekeh. Ia terlihat sangat tampan dan juga seksi. Saat ini ia hanya mengenakan kaus singlet dan celana jinsnya digulung ke atas sampai di bawah lutut.
Aku menjadi salah tingkah. Aku tak berani mengangkat kepalaku untuk memandangnya.
"Wajahmu merah, Nona. Hehehe," komentarnya.
Aku semakin merasa malu. Ingin rasanya aku melarikan diri dari sini ke kamarku.
"Yunho, apa mobilku sudah selesai dicuci?" Ibu muncul dari dalam rumah. "Tiga puluh menit lagi aku akan pergi berbelanja kebutuhan sehari-hari." Walaupun kami mempunyai asisten rumah tangga di rumah, tetap ibulah yang mengatur segalanya, termasuk membeli barang apa saja yang harus dibeli. Ibuku itu memang hebat. Ia adalah wanita karir, ibu rumah tangga, juga sukses sebagai orang tua tunggal dari empat orang anak.
"Sebentar lagi, Nyonya." Yunho tampak bersemangat mengerjakan tugasnya. Ia tidak pernah mengeluh setiap kali ibu memberinya tugas. Pantas saja ibu sangat percaya kepadanya.
.
.
.
"Mengapa kau tidak ikut saja pergi berbelanja dengan ibu?" Tiba-tiba kakak sulungku duduk di sampingku. Ia tahu bahwa sejak tadi aku memperhatikan Yunho. Aku sebal jika ia sudah mulai menggodaku. "Kau kan jadi bisa dekat-dekat dengan Yunho."
Aku menatapnya dengan tajam. "Jika kakak terus menggodaku, aku akan mengadukanmu kepada ibu," ancamku.
Ia menyentil dahiku. "Berhentilah bersikap manja! Mana mau Yunho dengan gadis manja sepertimu. Kau tahu hidupnya sangat keras. Ia akan lebih tertarik kepada perempuan yang pekerja keras. Mulai sekarang jangan sedikit-sedikit mengadu kepada ibu. Kau sudah besar. Kau bahkan sudah mulai menyukai lawan jenis."
Aku tertegun. Kata-kata kakakku sangat menohok. Ia benar. Pemuda seperti Yunho tidak akan tertarik kepada gadis manja sepertiku.
.
.
.
Ucapan kakak sulungku terus terngiang di kepalaku. Apa yang harus kulakukan?
Changmin Oppa mengajak Yunho lagi. Kali ini ia ingin mengenalkan Yunho kepada teman perempuannya. Oh, tidak! Jangan sampai Yunho berkencan dengan perempuan itu. "Ia teman kuliahku. Ia sangat cantik dan imut."
"Aku lebih menyukai wanita yang dewasa," ujar Yunho. "Sepertinya aku tidak akan cocok dengan perempuan muda. Kau tahu aku orang yang seperti apa. Perempuan yang masih muda biasanya tidak akan siap untuk hidup susah bersamaku."
Changmin Oppa menatap Yunho dengan serius. "Aku hanya ingin mengenalkanmu kepadanya, bukan menyuruhmu untuk menikahinya."
Yunho tersenyum. "Aku tidak suka menganggap main-main suatu hubungan. Jika aku berhubungan dengan seorang wanita, itu artinya aku sudah tahu arah hubungan kami akan ke mana."
Hatiku mencelos. Ia menginginkan wanita dewasa untuk dinikahi. Aku sama sekali tidak masuk ke dalam kriterianya. Aku tidak mungkin menikah dalam waktu dekat. Aku masih duduk di bangku SMA. Keluargaku pasti tidak akan mengizinkannya, apalagi dengan sifatku yang masih kekanak-kanakan.
.
.
.
Junsu Oppa berjanji akan menjemputku di sekolah. Ia mengatakan bahwa ia ingin membeli kado untuk ulang tahun ibu minggu depan. Ia membutuhkan saranku sebagai sesama perempuan. Namun, aku sudah menunggunya selama dua jam di depan sekolah, ia tidak datang juga. Nomornya pun tidak bisa dihubungi.
"Nona, maaf membuatmu lama menunggu!" Yunho mengejutkanku dengan kedatangannya yang tiba-tiba.
Jantungku berdebar kencang. Hatiku tak siap untuk bertemu dengannya. Aku tergagap di hadapannya. "Me... mengapa kau yang datang? Di mana Junsu Oppa? Mengapa nomornya tak bisa dihubungi?" Aku harus menyembunyikan wajahku darinya. Wajahku kini pasti sudah memerah.
"Ada masalah besar di kantor. Nyonya Jaejoong mengadakan rapat mendadak di kantor. Tn. Junsu dan Tn. Yoochun harus ikut rapat. Baterai ponsel Tn. Junsu habis, sehingga ia tidak bisa mengabarimu. Ia menyuruhku untuk menjemputmu." Yunho menjelaskan panjang lebar tentang situasi yang terjadi.
Baru kali ini aku berduaan dengannya. Suasana sangat tidak nyaman bagiku. Aku tak tahu bagaimana harus bersikap.
"Apa kau mau langsung pulang ke rumah, Nona? Jika kau ingin pergi ke tempat lain, aku bisa mengantarmu." Ia berbicara sangat ramah kepadaku.
"Langsung pulang saja," jawabku dingin. Sepertinya menyenangkan sekali jika aku bisa pergi berkencan dengannya. Ah, tetapi aku tidak siap. Aku tak bisa mengendalikan detak jantungku saat ini.
Ia adalah orang yang sangat ramah. Sepanjang perjalanan pulang ia terus mengajakku berbicara. Ia juga menceritakan lelucon-lelucon. Aku tidak merasa tegang lagi.
"Ternyata kau bisa tersenyum juga, Nona," komentarnya. "Aku sempat mengira bahwa kau tidak bisa tersenyum."
Aku terdiam. Benarkah selama ini aku tak pernah tersenyum di hadapannya? Sepertinya aku terlalu gugup, sehingga aku tak sanggup untuk tersenyum sedikit pun.
"Kau terlihat lebih manis jika tersenyum. Kau cantik seperti ibumu." Aku tidak mengira bahwa ia akan tiba-tiba memujiku.
Detak jantungku kembali tak beraturan. Aku kembali menjadi salah tingkah. Ya, banyak orang yang mengatakan bahwa aku mirip dengan ibuku.
.
.
.
Aku mulai bisa merasa nyaman berbicara dengan Yunho. Sebelumnya aku sangat jarang membalas sapaannya. Karena sekarang aku meresponnya, ia pun tidak ragu untuk mengajakku berbicara dan menceritakan lelucon-leluconnya. Aku bisa tertawa lepas saat ia menceritakan lelucon yang sangat lucu.
"Tadi kulihat kau asyik mengobrol dengannya di taman belakang. Apa saja yang kalian bicarakan?" Yoochun Oppa sepertinya mengawasiku.
"Ia menceritakan lelucon yang sangat lucu." Aku tak bisa menyingkirkan senyum di wajahku.
Yoochun Oppa menghela nafas. "Sepertinya ada kemajuan. Apa kau kini mulai serius mengejarnya?"
Aku tidak tahu. Aku tak berani untuk mendekatinya terlebih dahulu.
"Kalau kau benar-benar menginginkannya, kau harus berusaha. Ia sangat tampan. Di kalangan teman-teman Changmin saja ia sangat populer. Banyak teman perempuan Changmin yang ingin dekat dengannya. Namun, sampai saat ini belum ada yang bisa menarik perhatiannya." Yoochun Oppa berkata kepadaku. "Sainganmu banyak. Kau harus siap-siap untuk kecewa jika suatu saat ia memilih gadis lain."
.
.
.
Ucapan Yoochun Oppa membuatku tak bisa tidur. Aku harus bagaimana? Sainganku sangat banyak. Bagaimana aku bisa mengalahkan mereka semua? Apa kelebihanku dibandingkan mereka?
Aku ingat bahwa Yunho pernah mengatakan bahwa ia menyukai wanita yang dewasa. Bagaimana caranya agar aku terlihat lebih dewasa? Mungkin aku harus bertanya kepada ibu. Ibu bisa mengajariku berdandan agar terlihat lebih dewasa.
.
.
.
Aku mengatakan kepada ibuku bahwa aku ingin belajar berdandan sepertinya karena aku sudah beranjak dewasa. Tentu saja ibu dengan senang hati membantuku. Ia senang putrinya berkonsultasi kepadanya.
Ibu mengajakku untuk berbelanja pakaian dan kosmetika. Aku lupa bahwa Yunho adalah asisten merangkap sopir pribadi ibu. Jadi, tentu saja ia ikut kami berbelanja.
Ibu memilihkanku pakaian di toko. "Yunho, bagaimana menurutmu? Apakah putriku terlihat cantik memakai gaun merah muda ini?" Aduh, mengapa ibu harus bertanya kepadanya? Akan kan jadi malu karena ia memandangiku dari ujung rambut hingga ujung kaki.
"Hmm, cantik." Yunho menganggukkan kepalanya.
Hatiku berbunga-bunga saat ia menyebutku cantik, tetapi aku tidak boleh terlalu senang dulu. Siapa tahu ia mengatakan hal itu karena ia menghormati ibuku, bosnya.
"Baiklah, kita beli baju yang ini. Ayo kita cari baju yang lain!" Ibuku tampak bersemangat, jauh lebih bersemangat daripada diriku.
Aku adalah anak perempuan ibu satu-satunya. Wajar jika ibu sangat senang mendandaniku.
.
.
.
Selesai berbelanja, kami pergi ke salon. Ibu sangat cerewet. Ia meminta penata rambut untuk menata rambutku sesuai dengan yang dibayangkannya. Ibuku lucu sekali. "Kita harus sering-sering menghabiskan waktu bersama, ibu dan anak perempuannya." Walaupun ia sangat sibuk, ia selalu ada untukku.
Setelah lelah berkeliling mall, keluar dari satu toko ke toko lainnya, kami makan di sebuah restoran keluarga. "Hari ini aku senang sekali, bisa menghabiskan waktu dengan orang yang kusayangi. Kalian pesan saja apa pun yang inginkan, tidak usah ragu-ragu." Ibu memang terlihat sangat senang hari ini.
Ibu memulai topik pembicaraan saat kami makan. Ia memang sangat pandai menghidupkan suasana.
Yunho juga tidak ragu-ragu menimpali pembicaraan ibu. Mereka berdua mengobrol dengan nyaman. Obrolan mengalir begitu saja. Ia juga sama seperti ibu, sangat supel dan baik dalam berkomunikasi. Mereka tidak terlihat seperti atasan dan bawahan. Mereka justru terlihat seperti teman dekat yang seumuran, padahal jarak usia mereka jauh, 25 tahun. Ibuku memang awet muda, terlihat seperti wanita muda di bawah usia tiga puluh, ditambah kecakapan Yunho dalam berkomunikasi, membuat jarak usia mereka tidak terlihat. Yunho memang pandai bergaul dengan siapa saja. Ia bisa bergaul dengan kalangan mana pun, baik tua, maupun muda.
Setelah makan, ibu ingin mengunjungi toko pakaian pria. Ia ingin membelikan baju untuk kakak-kakakku. Katanya tidak adil jika hanya aku yang dibelikan baju.
"Sudah lama aku tidak membelikan baju untuk jagoan-jagoanku. Mereka lebih suka membeli pakaian sendiri. Aku tidak tahu ukuran pakaian mereka sekarang." Ibu tampak berpikir, mengira-ngira ukuran pakaian untuk kakak-kakakku. "Yunho, tinggimu hampir sama dengan Changmin. Kau cobalah baju ini!"
"Akan tetapi, tubuhku lebih berisi daripada Changmin, Nyonya." Yunho mengambil kemeja yang disodorkan oleh ibuku.
"Tidak apa-apa, coba saja," balas ibuku.
Yunho lebih tinggi daripada Yoochun Oppa dan Junsu Oppa, tetapi ia juga lebih berisi daripada Changmin Oppa. Sangat sulit untuk mengira-ngira ukuran pakaian untuk kakak-kakakku jika berpatokan pada ukuran pakaian Yunho.
"Aku tidak jadi membelikan mereka pakaian. Lain kali saja jika kami pergi bersama. Baju-baju itu untukmu saja, Yunho." Ibu membelikan Yunho beberapa potong pakaian. Ia adalah bos yang sangat baik.
.
.
.
Ulang tahun ibu tinggal beberapa hari, tetapi ia harus pergi dinas ke luar negeri. "Aku akan usahakan untuk pulang sebelum hari ulang tahunku lewat. Aku juga ingin merayakannya bersama orang-orang yang kukasihi."
"Bu, apa tidak bisa aku saja yang mewakili ibu untuk pergi? Adik-adikku pasti sangat sedih jika mereka tidak bisa merayakan hari ulang tahun ibu." Yoochun Oppa menawarkan diri untuk menggantikan ibu.
"Pekerjaan kali ini sangat penting. Sebaiknya ibu yang pergi," ujar ibu.
"Kalau begitu, aku akan ikut untuk membantu ibu agar pekerjaan ibu cepat selesai dan ibu bisa merayakan ulang tahun ibu di rumah," usul Yoochun Oppa. Ia memang sangat bertanggung jawab kepada adik-adiknya. Ia sangat mengayomi kami bertiga.
"Tidak perlu," balas ibu cepat. "Akan lebih baik jika kau menangani segala sesuatu yang ada di sini. Hanya kau yang bisa ibu percayai. Ibu janji, ibu akan pulang untuk merayakan ulang tahun ibu bersama kalian, lagipula ada Yunho yang akan membantu ibu. Ibu akan menyelesaikan pekerjaan itu tepat waktu."
.
.
.
Selama ibu pergi kami sibuk mempersiapkan pesta ulang tahunnya. Kami hanya akan merayakannya sekeluarga. Kami sangat menyayangi ibu. Ibu adalah segalanya bagi kami. Ia membesarkan kami seorang diri setelah kepergian ayah.
Ibu benar-benar memenuhi janjinya untuk merayakan ulang tahunnya bersama kami. Ia pulang sehari sebelum hari ulang tahunnya.
Ibu terlihat sangat bahagia di hari ulang tahunnya yang ke-46. Orang lain pasti akan terkejut melihat lilin ulang tahunnya. Untung saja kami merayakannya di rumah.
"Yunho, kau kemarilah! Ayo bergabung bersama kami untuk merayakan ulang tahun ibu!" Changmin Oppa menarik Yunho. "Kau adalah teman dekatku. Kau sudah seperti bagian dari keluarga kami."
Aku senang Yunho bergabung bersama kami. Suasana menjadi semakin ramai dengan kehadirannya. Aku jadi berkhayal suatu hari ia benar-benar menjadi bagian dari keluarga kami.
.
.
.
Aku mulai memberanikan diri untuk mengakrabkan diri dengan Yunho. Kami tinggal serumah. Ia juga adalah teman dekat kakakku.
Ia bersikap sangat baik kepadaku. Aku jadi semakin mencintainya. Jantungku berdegup tak karuan setiap kali ia berada di dekatku.
Entah apa yang kupikirkan. Aku tidak bisa berpikir dengan jernih. "Yunho, aku menyukaimu."
Ia tersenyum. "Terima kasih. Aku merasa tersanjung." Sepertinya ia tidak menangkap maksud perkataanku.
"Yunho, aku benar-benar menyukaimu." Aku sudah kepalang tanggung untuk mengatakannya. "Aku menyukaimu sebagai seorang gadis yang menyukai seorang pemuda."
Yunho menatapku dengan serius. Ia membuatku tak bisa bernafas. "Nona, kau tidak boleh mempunyai perasaan seperti itu kepadaku. Kumohon jangan! Kau akan membuatku bingung."
"Mengapa?" tanyaku bingung. "Bukankah wajar jika seorang gadis menyukai seorang pemuda?"
"Ya, itu memang wajar. Akan tetapi, kau menyukai pria yang salah. Kau tidak boleh mempunyai perasaan seperti itu kepadaku." Terlihat raut kesedihan di wajahnya. "Aku jadi merasa bersalah."
Hatiku terasa sakit. Tidak seharusnya aku mengungkapkan perasaanku kepadanya. Namun, sudah terlambat, aku sudah mengatakannya. "Kau tidak perlu merasa bersalah. Tidak apa-apa jika kau tidak memiliki perasaan yang sama kepadaku." Dadaku terasa sesak saat mengatakannya. Rasanya aku ingin menangis di pelukan ibuku.
Ia menggeleng. "Tidak sesederhana itu. Kau harus menghapuskan perasaanmu itu. Kau tidak boleh mencintaiku seperti itu."
Aku menatapnya dengan penuh tanda tanya. "Mengapa aku harus menghapusnya? Bagaimana aku bisa mengendalikan perasaanku? Perasaan ini muncul begitu saja. Apa karena kita tinggal serumah dan kau tak ingin aku terluka karena aku bisa melihatmu setiap saat? Aku akan baik-baik saja. Kau tidak perlu mengkhawatirkan perasaanku." Aku berpura-pura tegar, padahal aku sangat tidak baik-baik saja. "Kau tidak perlu menghindar jika bertemu denganku. Anggap saja aku tidak pernah menyatakan perasaanku kepadamu."
"Itu salah satunya. Yang pasti kau tidak boleh menyukaiku karena kau adalah putri Ny. Jaejoong." Suaranya terdengar sangat lembut.
Aku tak bisa lagi menahan air mataku. Aku tak kuat. Air mata mengalir membasahi pipiku. "Apa karena aku adalah anak dari bosmu? Ibuku bukanlah orang yang mempermasalahkan status sosial. Ia akan menerima pemuda yang kucintai, tidak peduli dari kalangan mana pun, asalkan pemuda itu adalah orang yang baik."
Ia menatapku dengan penuh rasa bersalah. "Ya, aku tahu itu. Ibumu memang sangat menakjubkan. Ia adalah orang yang sangat baik. Ia adalah penyelamatku. Aku sangat memujanya. Aku tak bisa melihatmu sebagai seorang wanita dewasa. Di mataku kau adalah putri kesayangannya. Aku tidak ingin menyakitimu, meskipun aku pasti akan membuatmu tersakiti."
Aku tak bisa menghentikan air mataku. "Kau bahkan tidak bisa melihatku sebagai temanmu. Kau hanya melihat diriku sebagai anak bosmu. Kupikir kau bukan orang yang peduli dengan status sosial dan kedudukan."
Ia menggeleng lagi. "Tidak, bukan begitu. Kita bisa berteman jika kau tidak memiliki perasaan itu kepadaku. Kini aku tak bisa tinggal lagi di rumah ini."
Aku merasa sangat sedih. Tidak pernah aku merasa sesedih ini. Aku bodoh. Mengapa aku mengatakannya? Aku tak bisa lagi melihatnya setiap hari jika ia pergi dari rumah ini.
.
.
.
Yunho benar-benar pergi dari rumah kami. Aku merasa bersalah. Semuanya baik-baik saja sebelum aku menyatakan perasaanku kepadanya. Semuanya merasa kehilangan dia.
Ia juga berhenti menjadi sopir ibu. Ia kini bekerja di kantor ibu sebagai asisten pribadi ibu. Pada awalnya ia menolak posisi itu, tetapi ibu tidak mengizinkannya untuk benar-benar pergi. Aku akan merasa semakin bersalah jika ia sampai kehilangan pekerjaan juga. Sekarang ia harus membayar sewa untuk tempat tinggal.
Aku benar-benar merasa bersalah. Aku mengacaukan segalanya. Hidupku tidak tenang. Apa yang harus kulakukan untuk memperbaikinya? Apa aku harus berterus-terang kepada ibu? Siapa tahu ibu mempunyai solusi untuk masalah ini. Aku sangat percaya kepada ibuku.
Sekarang sudah pukul sepuluh malam. Apa ibu sudah tidur? Aku pun mengetuk kamar ibu, tetapi tidak ada jawaban. Mungkin ibu sudah tidur. Eh, ternyata pintu kamar ibu tidak dikunci. Kalau begitu, malam ini aku tidur dengan ibu saja. Berada dalam pelukan ibu membuatku nyaman.
Rupanya ibu sedang berada di kamar mandi. Aku memutuskan untuk menunggu ibu saja. Sudah lama aku tidak tidur dengan ibu.
Saat aku sedang menunggu ibu keluar dari kamar mandi, aku mendengar seseorang membuka pintu kamar ibu. Siapa yang datang kemari? Hanya aku yang berani masuk ke kamar ibu pada malam hari.
Secara refleks aku bersembunyi di dalam lemari pakaian ibu. Aku masih bisa mengintip dari celah pintu lemari. Aku melihat sosok seorang pria masuk ke kamar ibu. Yunho? Apa aku berimajinasi karena aku rindu ingin melihatnya?
Pria itu dengan tidak sopannya membuka pintu kamar mandi. Aku bisa melihat ibu sedang berendam di dalam bak mandi.
Ibu tampak terkejut. "Mengapa kau datang kemari?" Tampaknya ia bisa mengendalikan dirinya karena ia tidak berteriak saat pria itu masuk ke dalam kamar mandi.
Pria itu duduk di tepi bak mandi. "Aku merindukanmu. Aku tak bisa lama-lama berpisah denganmu."
Jantungku berdetak kencang. Ada hubungan apa pria itu dengan ibuku? Apakah pria itu adalah kekasih ibu? Sejak kapan ibu berhubungan dengan seorang pria?
"Aku akan membantu untuk menggosok punggungmu." Pria itu mengambil spons mandi dan menggosok punggung ibuku. Sudah sejauh apa hubungan mereka?
Sementara pria itu menggosok punggungnya, ibu menggosok bagian tubuhnya yang lain. Ia tampak menikmati sentuhan pria itu. Aku tak pernah melihat ibu tersenyum seperti itu. Ibu seperti seorang gadis remaja yang sedang jatuh cinta.
Setelah membilas sabun di tubuhnya, ibu berdiri dan keluar dari bak mandi. Ia tidak merasa malu sama sekali telanjang di hadapan seorang pria.
Pria itu mengambil handuk dan mengeringkan tubuh ibu dengan handuk itu. Aku yang melihatnya merasa malu.
Ibu mengambil kaus yang tergantung di dinding kamar mandi. Ia hendak mengenakannya.
"Kau tidak usah repot-repot memakainya. Aku akan melepaskannya lagi dari tubuhmu." Suara pria itu juga benar-benar mirip dengan suara Yunho.
Ibu tetap mengenakan kaus itu, tanpa pakaian dalam. Ia naik ke atas tempat tidur.
Detak jantungku semakin kencang. Aku bisa melihat mereka lebih dekat sekarang.
Pria itu menindih tubuh ibu. Aku merasa tidak rela pria itu menyentuh ibuku. Ia mencium ibuku. Mereka berdua berciuman, panas sekali. Bibir mereka saling mengisap. Aku bisa mendengar suara isapannya dengan jelas.
Ibu mengaitkan kakinya ke pinggang pria itu, menarik pria itu lebih dekat. Ia juga mengalungkan lengannya ke leher pria itu.
Pria itu terkekeh. "Jae sayangku, kau sangat menggairahkan." Ia melepas paksa kaus yang dikenakan oleh ibuku. "Sudah kukatakan, kau jangan mengenakan baju ini."
Ibuku ikut terkekeh. Ia terlihat senang saat pria itu melepaskan kausnya. "Kau sangat tidak sabaran, Yunho."
Hatiku berdenyut sakit. Pria itu benar-benar Yunho. Jadi, inilah alasannya ia memintaku untuk tidak mencintainya? Itu karena ia adalah kekasih rahasia ibuku, lelaki simpanan ibuku. Aku tidak menyangka bahwa mereka berani melakukan hal ini. Selama ini aku memercayai mereka berdua. Aku percaya bahwa Yunho adalah pria yang baik dan aku memuja ibuku, mengidolakan ibuku. Aku mengira bahwa mereka adalah orang yang suci, tidak mungkin mereka melakukan hal menjijikan ini.
Ibuku mendesah saat Yunho mengisap payudaranya. Ia membiarkan pria itu menjamah seluruh tubuhnya. Rasa kagumku kepada ibuku menguap seketika. Namun, aku tidak bisa marah kepada ibu. Bagaimana pun ia adalah ibuku. Tanpanya aku tak akan ada di dunia ini. Yang sangat disayangkan adalah pilihannya untuk menjalani hubungan gelap dengan kekasihnya. Aku dan kakak-kakakku akan bahagia jika ibu bahagia. Ibu tidak perlu menyembunyikan hubungannya dengan Yunho dari kami, bahkan kakak-kakakku sudah beberapa kali mendorongnya untuk menikah lagi. Apa karena pria itu adalah Yunho, sopir pribadinya, pria yang 25 tahun lebih muda darinya? Apakah itu alasan ibu menyembunyikannya dari kami? Apakah ibu serius menjalani hubungan dengannya? Ataukah ibu hanya main-main, hanya menginginkan kesenangan semata?
Yunho membuka pakaiannya. Kini mereka berdua sama-sama telanjang.
"Ah, Yunho!" Ibu tidak bisa menahan desahannya saat Yunho memasukkan batangnya.
Hatiku terasa bagaikan diiris pisau. Aku menyaksikan pria yang kucintai menyetubuhi ibuku. Mereka berdua tampak sangat menikmatinya.
Aku akan menerima dengan lapang dada jika Yunho memilih gadis lain, tetapi ini adalah ibuku. Mengapa harus memilih ibuku? Mengapa ibuku yang harus ia pilih? Mengapa?
.
.
.
Aku merasakan sakit di sekujur tubuhku. Rupanya aku tertidur di dalam lemari. Aku mengintip ke luar. Mereka sudah tidak ada di dalam kamar. Jam berapa sekarang? Ini adalah kesempatanku untuk keluar dari sini.
Aku melewati dapur saat akan pergi ke kamarku. Aku melihat ibu di dapur. Ia sedang memasak. Ini terlalu pagi untuk sarapan. Asisten rumah tangga kami saja belum bangun.
Aku bersembunyi saat Yunho masuk ke dapur. Ia memeluk ibuku dari belakang, seperti yang kulihat di film-film.
"Duduklah! Sarapan untukmu akan segera siap." Ibuku tersenyum berseri-seri. Kami terbiasa makan masakan buatan juru masak di rumah kami. Demi kekasihnya ibuku menyempatkan diri untuk memasak.
"Aku ingin sarapan dengan melahapmu." Yunho menelusupkan tangannya ke balik kaus yang dikenakan ibu. Ia meremas-remas payudara ibu.
Ibu memejamkan matanya. Ia tampak menikmatinya. "Yunho, hentikan! Bagaimana jika ada yang melihat kita?"
"Orang-orang di rumah ini masih tidur." Yunho membalikkan tubuh ibuku untuk menghadapnya. Ia mencium ibuku.
"Singkirkan tanganmu!" Ibu protes saat Yunho menyingkap roknya.
Yunho terkekeh. "Aku harus pergi sebelum yang lain bangun. Sebelum itu, aku ingin melepas rinduku sepuasnya denganmu."
"Di kantor juga kita akan bertemu," ujar ibu.
"Di kantor kita bekerja, tidak bisa bermesraan. Malam ini menginaplah di tempatku! Sejak aku pindah, kita tidak bisa sering-sering menghabiskan malam bersama." Yunho duduk di atas kursi dan menarik ibuku ke atas pangkuannya. Itu artinya mereka sudah sering melakukan hal itu di kamar ibu, di dalam rumah ini.
"Aku harus mencari-cari alasan untuk menginap di luar. Kau tahu sendiri bahwa anak-anakku sangat protektif kepadaku," kata ibu. Ia bersikap manja kepada kekasihnya itu. Aku tak pernah melihat ibu bersikap seperti itu sebelumnya.
"Aku tak mau tahu. Pokoknya sore ini sepulang kerja kau harus ikut ke tempatku." Yunho menunjukkan dominansinya atas ibuku. Di hadapan orang lain ibulah yang tampak berkuasa, tetapi tidak saat mereka sedang berduaan.
Ibu terkekeh. "Bukankah setiap pulang kerja aku selalu pergi ke tempatmu?"
"Tapi kau tak pernah menginap." Yunho menatap ibuku dengan serius. "Malam ini kau harus menginap."
Ibuku mengalah. "Baiklah, aku akan mencari alasan untuk tidak pulang ke rumah malam ini." Mereka pun kembali berciuman.
Aku tidak tahan menyaksikan kemesraan mereka. Aku tidak peduli lagi apa yang mereka lakukan di sana..
.
.
.
Aku tak bisa melupakan apa yang kusaksikan tadi malam di kamar ibu. Aku merasa dikhianati oleh mereka berdua. Yunho tahu bahwa aku menyukainya, tetapi mengapa ia menjalin hubungan dengan ibuku? Apa ia memberi tahu ibu bahwa aku menyukainya? Ibu sangat keterlaluan jika ia sudah tahu bahwa putrinya menyukai kekasihnya, tetapi masih juga melanjutkan hubungan mereka.
Sekarang aku mengerti mengapa Yunho tidak ingin aku menyukainya. Itu karena aku adalah anak dari kekasih gelapnya. Aku salah mengira bahwa ia memandangku sebagai anak bosnya. Ya, aku memang anak Ny. Jaejoong seperti yang ia katakan, tetapi Ny. Jaejoong baginya bukanlah bosnya, melainkan kekasihnya.
Selama ini aku tak pernah curiga bahwa mereka mempunyai hubungan. Aku tidak mencurigai interaksi di antara mereka selama ini. Sekarang semuanya terasa sangat jelas, cara mereka memandang satu sama lain, cara mereka berkomunikasi, terlalu akrab untuk bos dan sopir, juga terlalu akrab untuk ukuran dua orang yang terpaut usia sangat jauh. Jika tidak ada hubungan istimewa, mereka tidak akan bisa seakrab itu.
Ibu juga sudah beberapa kali membawa Yunho dalam perjalanan dinasnya. Mereka pasti memanfaatkan kesempatan untuk bisa menghabiskan waktu bersama. Mereka pasti merayakan ulang tahun ibu lebih awal berdua di luar negeri. Saat itu ibu menolak untuk diwakili atau ditemani oleh Yoochun Oppa. Ibu tetap pergi bersama Yunho.
Kini pertanyaan yang muncul di benakku adalah kapan mereka mulai menjalin hubungan. Aku tidak bisa mengira-ngira.
.
.
.
Memikirkan hubungan ibu dan Yunho membuatku stres. Aku terserang demam.
Sekarang sudah sore. Yoochun Oppa dan Junsu Oppa sudah pulang dari kantor, sedangkan ibu belum, padahal mereka satu kantor. Ibu pasti pergi ke tempat Yunho seperti yang mereka rencanakan.
"Ibu mana? Apa ibu tidak ikut pulang bersama kalian?" Aku memaksakan diri untuk keluar dari kamarku dengan tubuh yang lemah. Aku sakit.
"Ibu ada janji dengan temannya. Mungkin ia akan pulang larut," jawab Yoochun Oppa. "Kau kenapa? Apa kau sakit?" Ia menaruh telapak tangannya di keningku. "Kau demam. Apa kau sudah minum obat?"
Aku menggeleng. "Aku tidak ingin minum obat. Aku ingin ibu."
"Yoojungie, kau sudah besar. Jangan bersikap manja," ujar Yoochun Oppa. "Oppa yang akan merawatmu."
"Aku ingin ibu." Aku merengek seperti anak kecil. "Telepon ibu sekarang juga! Katakan bahwa aku sakit!"
Yoochun Oppa tampak kebingungan untuk mengahadapiku. "Baiklah, aku akan menelepon ibu. Kau jangan menangis." Ia langsung menelepon ibu.
"Yoojungie, kau kenapa? Yoochunnie mengatakan bahwa kau sakit. Kau kenapa, Sayang?" Suara ibu terdengar sangat lembut. Aku bisa merasakan kasih sayangnya dari suaranya.
"Aku demam, Bu," jawabku dengan nada manja.
"Apa kau sudah minum obat, hmm?" tanyanya.
"Aku tidak ingin minum obat. Aku hanya ingin ibu." Aku ingin tahu apakah ibu lebih memilihku atau lelaki simpanannya.
"Baiklah, ibu akan pulang sekarang juga." Tidak terdengar keraguan dari ucapan ibuku.
.
.
.
Ibu langsung berlari ke kamarku setibanya di rumah. Ia terlihat sangat khawatir. "Apa kau baik-baik saja, Sayang?" Ia memelukku dengan penuh sayang. Pelukannya benar-benar hangat.
Aku balas memeluk ibuku dan tak ingin melepasnya. Aku tak ingin Yunho merebut ibu dariku. Aku tidak rela.
Semalaman ibu menjagaku. Sikapnya tidak pernah berubah. Ia tetaplah ibu yang baik. Jika aku tidak menyaksikannya langsung, aku tidak akan pernah percaya bahwa ibu mempunyai kekasih gelap.
.
.
.
Aku tidak pernah melihat Yunho lagi atau pun mendengar kabar tentangnya. Namun, aku yakin bahwa ibu masih berhubungan dengannya. Semakin lama ibu terlihat semakin muda dan modis. Ia pun terlihat lebih ceria. Ia sedang jatuh cinta.
Kadang-kadang ibu tidak pulang ke rumah, alasannya lembur di kantor. Akan tetapi, aku yakin bahwa ia bermalam bersama kekasihnya. Kakak-kakakku tidak menampakkan reaksi apa pun. Sejak dulu ibu memang terkenal sebagai wanita pekerja keras. Lembur di kantor adalah hal yang biasa. Menurut kakak-kakakku lebih aman ibu menginap di kantor daripada pulang larut malam.
"Ibu kenapa?" Tidak biasanya aku melihat ibu terlihat lemas. "Apa ibu sakit?"
"Sepertinya ibu masuk angin," jawab ibu.
"Ibu bekerja terlalu keras. Ibu harus lebih memperhatikan kesehatan ibu." Aku memijat pundak ibuku.
Tiba-tiba ibu berlari ke kamar mandi. Ia memuntahkan isi perutnya. Sepertinya ia memang masuk angin.
"Ayo kita ke dokter, Bu! Aku akan menemani ibu," kataku.
"Tidak usah." Ibu menolak. "Ini hanya masuk angin biasa. Ibu hanya perlu istirahat."
Aku sangat mengkhawatirkan ibu. Tidak biasanya ibu sakit, meskipun bekerja sangat keras.
Ibuku adalah wanita yang sangat tangguh. Masuk angin bukanlah masalah serius baginya.
.
.
.
Kondisi ibuku tidak kunjung membaik. Seharian ia hanya berbaring di tempat tidur. Untung sekarang adalah hari Minggu, sehingga ia tidak perlu bekerja.
Kakak-kakakku mulai khawatir. Mereka memaksa ibu untuk memeriksakan diri ke dokter.
"Baiklah, ibu akan pergi ke dokter. Kalian tidak perlu khawatir. Ibu bisa pergi sendiri." Sepertinya ibu sudah bosan diceramahi oleh anak-anaknya.
.
.
.
Ibu tidak ingin diantar oleh kami. Kami pun hanya bisa menunggunya di rumah.
"Ibu sakit apa? Apa kata dokter?" Junsu Oppa yang terlihat paling khawatir.
Ibu tersenyum. Ia tidak ingin membuat kami khawatir. "Seperti yang sudah kukatakan, aku hanya masuk angin. Sekarang kalian bisa tenang. Ibu kalian baik-baik saja. Dokter sudah memberi berbagai macam obat dan vitamin." Syukurlah ibuku baik-baik saja.
Ibu langsung pergi ke kamarnya untuk beristirahat. Pasti dokter yang menyarankannya untuk beristirahat.
Sebagai anak yang baik aku ingin merawat dan melayani ibuku yang sedang sakit. Aku berinisiatif untuk membawakan segelas air hangat ke kamarnya. Ibuku pasti harus meminum obat yang diberikan oleh dokter.
Saat aku hendak masuk ke kamar ibu, aku mendengar ibu sedang berbicara di telepon. Aku pun mengurungkan niatku untuk masuk.
"Yunho, datanglah malam ini! Ada hal serius yang harus kubicarakan denganmu." Rupanya ibu sedang menelepon Yunho.
Tubuhku tiba-tiba bergetar. Aku sampai harus memegang gelas dengan kedua tanganku karena satu tangan saja tidak sanggup. Aku merasa sangat gugup.
Setelah ibu mengakhiri pembicaraannya di telepon, aku pun masuk ke kamar ibu. "Bu, aku membawakan segelas air hangat untuk ibu minum obat."
"Oh, terima kasih, Sayang!" Ibu mengambil gelas dari tanganku.
Aku duduk di tepi tempat tidur, di sebelah ibu. "Malam ini aku akan merawat ibu. Jika aku sakit, ibu selalu merawatku. Sekarang giliranku yang merawat ibu."
"Tidak perlu, Sayang." Ibu membelai rambutku sambil tersenyum. "Besok pagi kau harus pergi ke sekolah. Ibu tidak ingin kau terlambat bangun dan mengantuk di kelas. Penyakit ibu tidak parah. Ibu hanya perlu istirahat."
.
.
.
Yunho akan datang malam ini. Aku penasaran hal penting apa yang akan mereka bicarakan.
Di dalam kegelapan aku melihat ibu membukakan pintu untuk Yunho. Ibu langsung membawa kekasihnya itu ke kamarnya. Mereka berjalan tergesa-gesa. Itu membuatku semakin penasaran. Seserius apa hal yang harus mereka bicarakan?
Dengan perasaan takut aku berjalan menuju kamar ibu. Aku harus mempersiapkan mentalku untuk mendengar sesuatu yang mungkin tak pernah kuduga. Aku berhenti tepat di depan pintu kamar ibu. Aku menajamkan pendengaranku. Aku merasa sangat gugup. Jantungku berdetak kencang.
"Jae sayangku, aku merindukanmu. Sehari saja tak bertemu denganmu rasanya berat." Yunho memulai pembicaraan.
"Yunho, aku memintamu datang kemari karena ada hal yang sangat penting yang harus kusampaikan kepadamu." Ibu terdengar serius dari nada bicaranya.
"Apa itu, Sayang?" Suara Yunho terdengar lembut.
Aku mendengar ibu sedikit mendesah. Entah apa yang sedang Yunho lakukan kepadanya.
"Yunho, hentikan! Aku sedang serius."
"Baiklah, Sayang. Aku siap untuk mendengarkanmu."
"Yunho." Suara ibu terdengar tegas. Ia benar-benar sedang serius. "Seharian ini aku merasa tidak enak badan."
"Mengapa kau tidak memberi tahuku, Sayang?" Terdengar nada khawatir dari nada suara Yunho.
"Jika aku memberitahumu, kau akan khawatir dan nekat untuk datang kemari. Anak-anakku ada di rumah, termasuk Yoojung." Ibu menyebut namaku. Apa ibu sudah tahu bahwa aku menyukai Yunho, kekasihnya? Aku merasa sedih. Jika ibu tahu, lalu mengapa ibu tetap saja berhubungan dengan pria itu? Ibu pasti tahu bahwa hal itu pasti melukai perasaanku.
"Apa kau sudah pergi ke dokter dan minum obat, hmm?" Yunho terdengar sangat peduli kepada ibuku. Dari cara ia berbicara kepada ibuku, ia seperti sangat mencintai ibuku.
"Sudah." Ibu menghela nafas sebelum melanjutkan kata-katanya. "Ini hasil pemeriksaanku." Ibu sakit apa? Tadi ia tidak menunjukkan hasil pemeriksaan apa pun kepadaku atau kakak-kakakku. Mengapa kini ia menunjukkannya kepada Yunho? Apa ia lebih memercayai kekasihnya daripada anak-anaknya?
"Apa artinya ini? Kau sakit apa?" Sepertinya Yunho tidak mengerti hasil pemeriksaan itu.
"Aku tidak sakit, Yunho. Aku hamil." Ibu terdengar cemas. "Aku memang sudah curiga dengan gejalanya. Aku sudah sangat hapal dengan gejala-gejala kehamilan." Tentu saja ibu sudah sangat hapal gejala kehamilan. Ia sudah melahirkan empat orang anak.
Tubuhku tiba-tiba merasa lemas. Ibuku mengandung anak hasil hubungan gelapnya dengan Yunho. Kukira ibuku sudah tidak bisa hamil lagi.
"Bukankah itu bagus? Mengapa kau cemas? Apa kau tidak senang mengandung anakku, buah cinta kita?"
"Tentu saja aku bahagia. Tidak ada seorang ibu yang tidak bahagia mengetahui kehadiran buah hati dalam rahimnya. Akan tetapi, kau tahu sendiri bagaimana keadaannya. Usiaku sudah 46 tahun. Bagaimana bisa aku hamil lagi? Aku sendiri bahkan ragu apakah aku akan bisa melahirkannya dengan selamat."
"Kau tidak perlu terlalu cemas. Aku akan selalu mendampingimu, selalu menjagamu."
"Bagaimana caranya? Untuk bertemu berdua saja kita harus melakukannya secara diam-diam."
"Itu artinya kita harus segera mengungkapkan hubungan kita. Perutmu akan semakin membesar. Orang-orang akan bertanya-tanya siapa ayah dari bayi yang kau kandung."
"Yunho, aku sangat takut. Bagaimana jika anak-anakku tidak bisa menerima hubungan kita? Bagaimana jika mereka membenciku? Aku tak akan bisa hidup dengan kebencian mereka. Aku sangat menyayangi mereka, Yunho."
"Ya, aku tahu, Sayang. Aku tahu bahwa kau sangat menyayangi mereka. Akan tetapi, kau juga harus memikirkan anak yang ada dalam kandunganmu. Ia butuh status. Walau bagaimana pun, anak yang kau kandung adalah adik mereka. Tidakkah mereka menyayangi adik mereka? Mereka adalah orang-orang yang baik. Aku mengagumi anak-anakmu. Aku yakin mereka pasti bisa menerima hubungan kita dan juga anak kita."
"Bagaimana dengan Yoojungie? Ia pasti merasa sakit hati karena lelaki yang ia cintai direbut oleh ibunya."
Aku mendengar ibu menangis. Aku pun tak sadar bahwa ternyata pipiku sudah basah oleh air mata. Ibu memang tahu, tetapi mengapa ibu tetap menjalani hubungan dengannya? Jika ibu tahu aku pasti terluka, mengapa ibu tidak mengakhirinya?
"Kau tidak merebutku dari siapa pun. Aku tidak pernah mencintai putrimu. Ia adalah anakmu, sudah sepantasnya aku menganggapnya sebagai putriku juga. Aku sudah menjadi milikmu sebelum Yoojungie menyatakan perasaannya kepadaku."
Air mataku mengalir semakin deras. Hatiku terasa sakit. Mereka berdua sangat tega melakukan ini kepadaku.
"Seharusnya kita mengakhiri hubungan kita setelah mengetahui bahwa Yoojungie mencintaimu. Seharusnya aku tak menyakiti putriku sendiri." Ibuku tersedu-sedu.
"Apa kau menyesal telah menyelamatkanku malam itu? Jika kau tidak menolongku dan membiarkan aku mati di jalanan, aku tidak akan pernah mengagumi dan mencintaimu. Kita tidak akan pernah saling mengenal."
"Tidak, Yunho. Aku tidak menyesal telah mengenalmu dan mencintaimu. Kau telah menghangatkan hatiku yang telah membeku selama belasan tahun. Aku hanya menyesali mengapa kita tidak mengakhiri hubungan kita setelah Yoojungie menyatakan perasaannya kepadamu."
"Sekarang sudah terlambat untuk menyesali semuanya. Kita tidak bisa mengakhiri hubungan kita begitu saja. Kita harus memikirkan masa depan anak kita. Anak kita butuh kejelasan status. Semua orang harus tahu kebenarannya bahwa ia bukanlah anak hasil dari hubungan di luar nikah."
Apa? Hal yang baru saja kudengar benar-benar membuatku syok. Sejak kapan?
