Fate/Stay Night Disclaimer Type-Moon
Tapi cerita ini sepenuhnya milik author.
Author tidak mengambil keuntungan materi apapun dari fanfiksi yang di-publish.
.
My Office Girl
Romance, Humor, Drama, Family, and etc.
Rate : M
.
Warning : OC, OOC, AU, AT, AR. Typo (s), Miss-Type dan banyak kekurangan lainnya.
.
.
Sejenak aku melepaskan rasa penat dari aktivitas yang menyita waktu. Sedari pagi hingga malam, pekerjaanku monoton begitu saja sepanjang hari. Tak ada yang berbeda, tak ada yang menarik dalam keseharianku. Semua yang kulakukan hanya demi ayahku seorang. Yang sekarang sudah menikmati masa-masa senjanya.
Dua tahun sudah aku menggantikan ayah memimpin perusahaan yang bergerak di bidang fashion ini. Banyak perubahan dan juga kemajuan seiring bertambahnya waktu. Kami memiliki banyak model yang cantik dan juga seksi—menggoda bagi siapa saja yang melihatnya.
Tapi entah mengapa, untuk melirik salah satu dari mereka saja—tidak ada hasrat untuk itu. Mungkin karena terlalu sering melihatnya atau mungkin ada alasan lain di balik itu. Entahlah, aku pun tidak terlalu memikirkannya.
Namun ada sesuatu yang aneh terjadi pada diriku saat ini. Tanpa sengaja aku melihat sesuatu pemandangan yang tak biasa. Seorang gadis yang membuat hasratku memuncak. Padahal dia terlihat biasa-biasa saja.
Aneh bukan?
Mungkin aku memang sudah gila. Tapi dari sinilah awal mula ceritaku. Cerita tentang keegoanku untuk mendapatkannya dengan segala harta yang kupunya. Walaupun nyatanya aku harus menyingkirkan saudaraku sendiri.
.
.
.
"Gilgamesh-san, semua berjalan dengan lancar. Progress ke depan juga sudah berkembang lebih cepat dari apa yang kita bayangkan. Mengusung tema Japanese, aku yakin kita mampu menembus Paris bulan depan."
Perkenalkan sepupuku yang satu ini. Namanya Shirou, dia begitu tampan dan juga berperawakan lembut kepada siapa saja. Ia bertugas menjadi wakil atas kepemimpinanku di perusahan ayahku sendiri.
Shirou merupakan sosok anak yang pintar dan cepat tanggap. Namun, terkadang dia juga sangat menyebalkan. Maklum saja, usia kami berbeda dua tahun. Sedang egoku merasa selalu berada di atasnya. Jadi setiap dia memberikan sarannya, aku merasa jika itu tidak penting. Dan kami sering beradu pendapat karenanya.
Walaupun seperti itu, Shirou banyak membantu. Dia mengerjakan pekerjaannya dengan amat baik kala tugas melanda. Dan aku ... cukup bersantai ria sambil menunggu beberapa dokumen untuk ditanda-tangani.
"Baiklah, terima kasih. Sepertinya aku harus mendinginkan kepalaku sejenak. Aku ingin keluar sebentar," ucapku kepada Shirou lalu segera beranjak berdiri dari kursi kerjaku yang sangat empuk.
Shirou mengangguk, dia mengiyakan kepergianku. Akupun tak ingin berlama-lama berada di kantor. Bayangkan saja, perdebatan itu berlangsung sejak pukul sembilan pagi hingga tiga sore. Membuatku benar-benar merasa lelah dan menyita banyak waktu santaiku.
Dan tiba saatnya untukku bersantai di teras atap kantor sambil menikmati pemandangan langit yang tenang. Namun, sesuatu terjadi padaku kala ingin menuju lantai atap.
BRUGGH
Tanpa sengaja aku bertabrakkan dengan seorang manusia di depan pintu menuju ke lantai atap. Wajahnya tertutupi banyak majalah fashion sehingga aku sulit untuk melihatnya.
"Ma-af."
Dia hanya mengucapkan kata maaf. Dan akupun memakluminya. Seragam kerjanya dapat kulihat jika dia adalah seorang karyawan dikantorku.
Office Girl.
Tak lama, dia segera berlalu dari pandanganku. Dan sekilas aku dapat melihatnya hanya dari bagian sisinya saja. Ternyata seorang wanita berambut kuning yang terkuncir melingkar di bagian belakang kepalanya.
Namun, kala itu aku tidak dapat melihat wajahnya karena terhalangi banyak majalah fashion yang dia bawa. Dan semuanya berlalu begitu saja. Tidak ada yang spesial menurutku.
.
.
.
Beberapa jam kemudian...
Jam kantor telah habis, namun masih banyak karyawanku yang mengambil jatah lembur hingga pukul sepuluh malam. Mereka benar-benar pekerja keras dan aku mengapresiasi kinerja semua karyawanku.
"Sepertinya kita kedatangan karyawan baru, Shirou?"
Aku mencoba mencari tahu apakah benar yang kulihat tadi sore di depan pintu menuju ke lantai atap itu benar-benar karyawan di kantorku ini.
"Oh, itu."
Shirou begitu cepat memahami apa yang kumaksudkan. Seperti biasanya, ia begitu cepat tanggap dengan segala sesuatu yang terjadi di kantor kami.
"Ada seorang gadis yang menggantikan posisi office girl lama kita yang izin cuti melahirkan selama tiga bulan ke depan. Kebetulan dia membutuhkan pekerjaan ini untuk menyelesaikan administrasi kuliahnya," tutur Shirou.
Apa?!
Jujur saja aku sempat terkejut dengan perkataan Shirou. Ternyata benar yang kulihat tadi sore adalah berwujud seorang manusia. Kupikir dia hantu atau sejenisnya.
Hah, lagi-lagi aku berpikiran irasional.
Ah, iya. Ruang kerjaku dan juga ruang kerja Shirou bersampingan. Sehingga kami tidak perlu memakan waktu lama jika ingin berdiskusi tentang pekerjaan. Cukup menghemat waktu jika ingin berjalan ke ruang kerjanya.
Setelah aku menyelesaikan semua pekerjaanku, akupun berniat kembali ke rumah. Tepat pukul delapan malam waktu setempat, aku melajukan mobilku keluar dari kantor. Namun, sesuatu kembali terjadi padaku.
.
.
.
"Hei, keluar kau!"
Teringat jelas kejadian ini, saat aku melajukan mobilku namun tiba-tiba terhenti secara mendadak di persimpangan jalan.
Tanpa sengaja aku hampir saja menabrak seseorang karena ketidakfokusanku kala melajukan mobil yang kukendarai. Spontan aku menginjak pedal rem mobilku karena tiba-tiba melihat seorang gadis mengayuh sepedanya di depanku.
Jujur saja, aku ingin marah. Namun ternyata memang aku yang salah karena aku hampir menyalahi peraturan lalu lintas. Lampu merah ingin kuterobos begitu saja.
Suara teriakan dari luar kaca mobil itu membuatku sedikit gelisah. Suaranya tampak kesal menungguku keluar dari dalam mobil. Dan benar saja, gadis yang hampir kutabrak itu terlihat seperti banteng yang siap mengamuk kapan saja.
"Hei, Kau! Apa kau tidak diajari rambu-rambu lalu lintas sebelum mengemudikan kendaraan?!"
Aku baru saja membuka kaca mobil, gadis itu sudah menyemprot diriku dengan ucapannya yang pedas. Akupun segera saja memarkirkan mobilku—keluar lalu segera menemui gadis yang memarahiku tadi.
"Maaf, aku tidak sengaja," ucapku padanya, namun masih tetap menjaga kewibawaanku di hadapannya.
"Hah? Apa?! Kau hanya bilang minta maaf setelah hampir mencelakaiku?" tanyanya sambil menatap diriku dengan tajam.
Aku pun tak ingin lama berbasa-basi. Segera saja mengambil beberapa lembar uang di dalam dompet lalu menyerahkannya.
"Ini sebagai permintaan maafku."
Aku menyerahkan beberapa lembar uang pecahan besar kepadanya, berharap dia akan segera berhenti memarahiku. Andai saja dia seorang lelaki, pastinya aku akan segera menghajarnya. Namun karena dia seorang perempuan, apalah dayaku untuk melawannya. Karena walaupun aku lawan, tak akan pernah menang dan malah akan berbuntut panjang.
"Apa maksudmu?! Aku tidak meminta uangmu!"
Gadis ini benar-benar menjengkelkan di mataku, seakan ingin mengulur waktuku lebih lama.
"Aku kan sudah minta maaf. Aku juga telah memberikan uang sebagai ganti rugi atas apa yang kau alami. Lalu apa lagi?" tanyaku dengan nada yang congkak.
"Kau!"
Dia terlihat kesal, terbukti ia melemparkan uang yang aku berikan kepadanya. Lalu segera berjalan ke sepedanya—mengayuhnya, dan pergi meninggalkan aku begitu saja.
"Terserah, aku tidak peduli."
Aku berucap sendiri setelah melihat gadis yang memarahiku itu berlalu pergi. Namun jujur saja aku merasa kesal karena dia menolak uang pemberianku. Baru kali ini aku tertolak dan membuat hatiku sedikit tidak enak.
Sialnya, semenjak kejadian itu. Aku selalu memikirkan gadis yang menolak pemberianku. Karena tanpa sadar aku telah melecehkan dirinya dengan uang.
Maaf.
.
.
.
Beberapa hari kemudian...
Satu minggu berlalu semenjak kejadian itu, aku dapat melupakannya dengan tenang. Kala ini aku sedang menghadiri sebuah acara fashion di luar kota bersama seorang pengawal pribadiku.
Banyak model cantik nan bertubuh elok kulihat bergaya di hadapanku, seakan menggoda—memaksa diriku untuk menjamah tubuh mereka satu-persatu. Namun, hal itu tidak pernah terlintas di benakku. Mungkin mudah saja mendapatkan salah satu dari mereka. Tapi aku berpikir ulang, jika hanya untuk mendapatkan kesenangan sesaat mengapa aku tidak melakukannya sendiri saja?
Haha, aku bukan seorang pria naif yang tidak mengetahui akan hal itu. Mungkin sudah menjadi rahasia publik bagaimana cara melakukan senam lima jari untuk menyalurkan—melampiaskan hasrat yang terpendam.
Sebentar lagi usiaku genap berumur 27 tahun. Namun statusku yang single ini, terkadang menyusahkan diriku sendiri kala mendapat undangan non-formal dari pihak keluarga ayah atau ibu. Selalu saja mereka mengeluarkan pertanyaan sakti—mandra guna jika aku datang sendiri ke pesta.
Kapan kawin?
Ah, sialan! Pertanyaan itu selalu terlontar seenaknya kepadaku. Walaupun sebenarnya aku bisa saja menjawabnya, namun aku tahu jika hal itu tidak akan berujung baik terhadap diriku sendiri.
"Gilgamesh-sama."
Terhanyut dalam pikiranku sendiri, tanpa kusadari seorang wanita cantik berdada padat mendekati lalu menyapa diriku yang tengah duduk di barisan depan acara fashion ini.
Sepertinya ia dengan sengaja menggodaku dengan pakaiannya yang begitu mini, belahan dadanya pun terlihat seakan ingin mendapatkan sentuhan jari-jemari ku ini. Wanita ini mempunyai ciri khas tersendiri, yaitu memakai kacamata.
"Oh, Medusa-san. Senang kita dapat bertemu lagi."
Dia adalah Medusa, seorang designer ternama di kota ini. Acara ini sebagai promosi design pakaian yang dia rancang sendiri. Dan aku mendapat undangan dari perusahaan yang men-sponsorinya. Walaupun dia sudah cukup terkenal, namun sangat manusiawi jika ada hal di balik itu yang harus segera dipenuhi.
"Acara ini akan selesai pada pukul dua belas malam nanti, Gilgamesh-sama. Maukah kau menginap di apartemenku?" tanyanya sambil memegang paha kananku.
Sebuah kode keras melayang—terdengar di kedua telingaku yang masih normal ini. Pikiranku semakin menjadi kala dirinya dengan perlahan mengusap-ngusap paha kananku.
Ada sesuatu yang bereaksi di dalam sana dan hal ini disadari oleh Medusa sendiri. Aku pria normal. Dan manusiawi bukan ... jika ada yang bereaksi atas tindakan Medusa ini.
Aku ingin menghindarinya, namun Medusa terus mendesakku. Dan akhirnya akupun menuruti keinginannya untuk bermalam di apartemen miliknya. Dan tentunya apa yang kami lakukan pasti sudah dapat tertebak.
.
.
.
Pagi hari aku sudah meninggalkan Medusa sendirian di dalam kamar apartemennya. Dia masih tampak tertidur pulas setelah bergelud denganku semalaman penuh.
Sungguh aku menyesal, namun aku terus didesak. Dan akhirnya harus kubuang sia-sia benih-benih kehidupan kepada orang yang salah.
Mengapa?
Karena aku melakukannya hanya sebatas menyalurkan hasrat dan nafsuku semata. Tak ada cinta di dalamnya. Hal inilah yang membuatku bertekad untuk segera menemukan tambatan hati. Tempat di mana aku dapat menyalurkan semua yang ada di dalam diriku ini.
Tetapi sayangnya, hingga saat ini aku belum dapat menemuinya. Dan tak ada waktu jika harus bergalau ria hanya untuk memikirkan hal itu. Karena masih banyak pekerjaan yang harus segera aku selesaikan.
Aku Gilgamesh, seorang pria yang mempunyai kewibawaan tinggi, ego yang tinggi dan pengaruh yang besar terhadap dunia fashion di Jepang. Namun sial, aku masih melajang hingga saat ini.
Ah, sudahalah. Lupakan saja nasibku ini.
.
.
.
"Permisi, aku mengantarkan teh untukmu, Tuan."
Seorang karyawan perempuan menghidangkan secangkir teh di atas meja kerjaku. Dia seperti pernah aku temui sebelumnya. Namun karena kesibukkanku kala itu, aku tidak dapat memperhatikannya lebih lanjut.
Dia kemudian berlalu begitu saja dari hadapanku, tanpa sengaja aku teringat akan seorang gadis yang pernah memarahiku waktu itu.
Mungkinkah dia?
Dia terus berlalu sementara aku masih berpikir—mengingat kembali kejadian yang pernah kualami.
Astaga! Dia itu kan ...
Beberapa saat kemudian aku teringat, dan ingatanku begitu jelas. Sosok yang mengantarkan teh itu adalah dirinya. Yang kutemui tanpa sengaja di depan pintu masuk menuju lantai atap, di persimpangan jalan yang hampir kutabrak dan juga yang mengantarkan teh kepadaku merupakan sosok yang sama.
"Tunggu!" ucapku sedikit berteriak. Namun gadis itu sudah pergi dari ruang kerjaku.
"Gilgamesh-san."
Tiba-tiba pintu ruanganku kembali terbuka. Kupikir yang datang kembali adalah dirinya, ternyata Shirou yang datang ke ruang kerjaku sambil membawa beberapa laporan.
"Sepertinya kita kekurangan model, apakah kita harus mencari model baru untuk menghadiri acara di Paris nanti?"
Shirou duduk di depanku, mengajukan pertanyaannya. Seperti biasa, keputusan final ada di tanganku. Dan untuk memikirkan hal itu, aku harus melupakan sesuatu yang baru saja terjadi.
"Jika kita harus mengadakan seleksi, lebih baik mengambil orang dalam terlebih dahulu. Seandainya tidak ada yang sesuai dengan kriteria, mau tak mau kita harus menyewa orang luar," ucapku kepada Shirou tanpa banyak berbasa-basi.
Shirou pun menyetujui usulku. Ia kemudian segera bergerak cepat untuk mencari tambahan model. Namun dari sinilah awal mula kisah cintaku dimulai. Sebuah kisah yang tidak pernah aku sangka-sangka sebelumnya.
Aku penasaran dengannya, bertindak bodoh untuk mencari tahu tentangnya. Padahal aku dapat melakukan apapun yang aku mau. Namun di hadapannya aku tak mampu. Dia bagai magnet yang menarik dan mengunci tubuhku agar tidak dapat bergerak.
Merepotkan ya?
.
.
.
Hari demi hari terus terlewati. Shirou memimpin jalannya seleksi model yang akan mewakili perusahaan untuk berunjuk gigi di sebuah acara fashion terbesar di Paris.
Entah mengapa, kali ini akupun ikut sibuk menilai para model yang mengikuti seleksi. Namun penglihatanku hanya tertuju pada seorang gadis yang pernah memarahiku kala itu.
Karena ingin lebih dekat dengannya, akupun memanggilnya agar segera masuk ke dalam ruang kerjaku. Dan ternyata ... dia lebih hot dari apa yang kubayangkan.
My Office Girl!
.
.
.
TBC
.
.
.
Yo, halo.
Perkenalkan aku author baru di dunia perfanfiksian. Mohon kritik dan saran yang membangun demi kelangsungan fanfiksiku.
Terima kasih banyak.
Salam,
Dark Ryuuki
