The Sweetest Disaster
.
.
.
Mingyu x Wonwoo (Meanie)
ect
.
Genderswitch (GS) | Romance | Comedy | Drama | Mature
.
©Oh Purin
.
Based on plot of Wonderful Life (Korean Drama/TV Series)
*just inspired, not adapted*
.
.
.
Ch. 1
––The Beginning of Disaster––
.
Mingyu membulatkan mata saat sebelah tangannya tanpa sengaja menyenggol dan menghancurkan maket yang telah susah payah dibangunnya selama dua minggu. Ia menghentakkan pundaknya, membalikkan tubuh pada seorang pria paruh baya yang telah membuatnya terkejut dengan dobrakan pintu.
"Appa! Lihat, kau merusak maketku!" Mingyu memandang ayahnya dengan kesal. Ia kini menyalahkan ayahnya yang secara tak langsung telah merusak maketnya. Karena gara-gara ayahnya lah tangannya tak sengeja reflek tergeser menabrak salah satu massa bangunan saat ia sedang mengerjakan maket itu.
"Kim Mingyu!"
Mingyu membungkam bibirnya dengan mengerucut, sedikit merasa takut ketika sang ayah menyentaknya dengan suara keras.
"Berapa kali pembantu harus naik turun ke kamarmu hanya untuk menyuruhmu datang ke bawah?! Semua orang menunda makan malam untuk menunggumu tapi kau malah membuang waktu di sini."
Mingyu mendengus. Benar memang apa yang dikatakan ayahnya. Beberapa saat yang lalu pembantu di rumahnya terus-menerus datang ke kamarnya dan menyuruhnya turun ke bawah untuk ikut makan malam. Tapi ia hanya mengiyakan ucapan pembantunya tanpa ada niat sedikitpun meninggalkan maket yang mungkin akan selesai dalam beberapa jam lagi.
Dan sayangnya maket itu telah roboh sekarang.
Menyakitkan.
"Appa! Aku tidak membuang waktu. Aku sibuk—"
"Aku bahkan sampai repot-repot kemari memanggilmu langsung tapi kau sekarang membantahku?! Tinggalkan pekerjaanmu." Dan ayahnya pun pergi sesudah itu.
Helaan napas Mingyu keluar panjang bersamaan dengan wajah lelahnya. Lirikan penuh kesedihan kemudian tertuju pada maket kesayangannya yang sekarat. Dan dengan berat hati langkahnya terkulai gontai meninggalkan maketnya, keluar kamar untuk mengikuti makan malam keluarga di ruang makan.
"Selamat malam, Gyu," kakak iparnya, Jeonghan, menyapanya dengan halus seperti biasa. Dan Mingyu hanya membalas dengan cengiran paksa saja. Bukan berarti ia membenci kakak iparnya. Ia hanya malas karena suasana hatinya sedang hancur seperti maketnya.
Mingyu duduk di hadapan kakak laki-lakinya, meraih sendok untuk bersiap memakan hidangan yang sudah disiapkan untuknya. Tapi saat ia baru saja akan memasukkan makanan itu ke mulutnya, tiba-tiba sang ayah memukul tangannya sampai makanan yang tertampung dalam sendok itu terlempar berhamburan.
"Appa!"
"Karenamu, kami semua belum ada yang makan tapi kau langsung seenaknya makan terlebih dahulu tanpa merasa bersalah seperti itu! Dimana rasa sopanmu?!"
Mingyu meletakkan kembali sendoknya dan berdecak malas, menyandarkan punggung di kursi dengan tatapan lurus tanpa mau melihat ke ayahnya.
Sementara sang ibu menggeleng pelan. "Kau ini kenapa? Biarkanlah anakmu makan." Ujarnya pada suaminya. Kemudian ia menoleh pada anak bungsunya. "Jangan hiraukan ayahmu. Makan saja. Makan yang banyak," hiburnya.
Mingyu memasang wajah cemberut, semakin bersikap manja saat sang ibu menghibur dirinya. Ia menurut, kembali menyendokkan makanan masih dengan raut tertekuk.
"Mana salammu, Kim Mingyu!" Ayahnya membentak lagi.
"Selamat makan!" seru Mingyu dengan nada tak ikhlas, lalu menyuapkan makanan ke mulutnya dengan mengunyah kasar.
Jeonghan menahan tawanya. Ini bukan pertama kalinya Mingyu membuat kekacauan di meja makan. Entah ketika sarapan, makan siang, atau makan malam, pasti selalu saja ada kerusuhan yang terjadi di antara Mingyu dan ayahnya. Pertikaian kedua pria itu tak pernah usai. Masalah sepele selalu menjadi besar saat keduanya sedang bertengkar. Terkadang Mingyu yang membuat masalah karena terlalu keras kepala dan sulit diatur, tetapi tak jarang juga ayahnya yang membuat perkara lebih dulu karena terlalu sensi pada anak bungsunya yang nakal itu.
"Bagaimana maketmu, Mingyu?" tanya Seungcheol untuk membuka obrolan ringan. Ia adalah kakak Mingyu sekaligus anak sulung di rumah itu. Seungcheol telah memiliki gelar dokter dan sejak 3 tahun lalu ia menikahi seorang designer terkenal, yaitu Jeonghan.
"Dia merusaknya," Mingyu menjawab dengan sebal.
Seungcheol melirik ayahnya yang kini memandangi Mingyu sambil melotot, kemudian tertawa pelan. "Itu bukan masalah, kan? Kau tak perlu mengerjakan maket lagi."
"Itu masalah besar, hyung!" protes Mingyu, yang kepalanya langsung dihadiahi pukulan oleh ayahnya.
"Kau lah masalah besar di sini! Tinggalkan saja maketmu karena itu sudah tidak ada gunanya lagi!" bentak ayahnya.
"Tapi appa, aku tidak mau berhenti kuliah!" Mingyu menaruh sendoknya kasar seraya memandang ayahnya sambil merajuk seperti anak kecil.
"Aku tidak menyuruhmu berhenti!"
"Tapi kau menyuruhku sekolah pilot!"
"Yang jelas aku tak menyuruhmu berhenti kuliah, kan!"
"Tapi aku tidak mau jadi pilot!"
"Aku tidak mau kau jadi arsitek!"
"Tapi aku maunya jadi arsitek!"
"Seluruh keluargamu menginginkanmu menjadi pilot!"
"Itu tidak benar! Mereka semua mendukung pilihanku! Hanya kau saja yang memaksaku menjadi pilot. Kau menjadikanku tumbal untuk balas dendam karena mimpimu menjadi pilot saat muda tidak tercapai, aku benar kan?!"
Ayahnya terdiam.
Mingyu mencari masalah lagi rupanya.
"Yak— kau!" Ayahnya berdiri, pergi mencari koran atau apapun yang bisa digulung untuk menghajar anak bungsunya itu.
Mingyu membulatkan mulutnya saat ayahnya datang menghampirinya untuk menyatakan perang. Anak itu berdiri meninggalkan kursinya, menghindari ayahnya yang akan memukulinya dengan gulungan kertas tebal.
"Sini kau! Anak kurang ajar!"
"Aak! Appa— Tidak, appa! Maafkan aku! Ampun! –Aduh! Appa!"
Dan kedua pria itu kemudian terlibat aksi kejar-kejaran di ruang makan.
Sementara ayah-anak itu membuat kegaduhan, ketiga orang yang masih duduk di tenang di meja makan pun mendesah maklum. Mereka sudah terlalu terbiasa dengan kelakuan Mingyu dan ayahnya yang tak jarang merusak satu atau dua perabotan rumah setiap harinya, sehingga kini mereka hanya bisa menghiraukan saja. Bahkan sekarang Jeonghan menganggap kericuhan itu sebagai hiburan dan candaan agar acara makan tidak membosankan.
"Bagaimana pemeriksaanmu tadi?" dan tiba-tiba, sang ibu membuka pembicaraan di tengah-tengah perkelahian antara anak bungsu dan suaminya.
Senyuman kecil Jeonghan tiba-tiba memudar saat mendengar pertanyaan ibu mertuanya. Walau saat ini ibunya itu sedang fokus menatap makanan di piring, ia tahu benar bahwa pertanyaan itu sedang dilayangkan kepadanya.
Jujur saja, pertanyaan itu membuat Jeonghan takut. "Eomma, k-kami—"
Seungcheol memotong ucapannya. "Belum ada perubahan, eomma. Tapi, dokter mengatakan bahwa masih ada kemungkinan,"
Jeonghan menoleh ke arahnya dengan sedikit terkejut. Dan Seungcheol membalas tatapannya sembari menggenggam jemari istrinya itu, tersenyum untuk mencoba menenangkannya.
Pertanyaan ibunya memang sepele, tapi mampu membuat pasangan suami istri itu dilanda kegelisahan besar. Terlalu khawatir mengungkapkan kabar menyakitkan bahwa dokter kandungan lagi-lagi memberikan hasil negatif pada pemeriksaan rahim Jeonghan. Tak hanya itu, mereka juga takut membuat orang tua mereka lagi-lagi harus menelan kekecewaan.
"Kau harus ikut terapi yang lain agar bisa hamil, Jeonghan," kata sang ibu yang tentu saja kecewa untuk yang kesekian kalinya.
"A-aku akan berusaha." Jeonghan tersenyum getir.
Kemudian ketiga orang itu terjebak dalam keheningan –walau gaduh karena Mingyu dan ayahnya masih sedang berperang.
Hingga Seungcheol mencoba kembali membuka suara, hendak menanyakan opininya yang mungkin terdengar lancang. "Eomma, jika kami tidak akan punya an—"
"ADUH DUH DUH! APPAA! HENTIKAN!" Mingyu yang sebelumnya berlarian keluar ruang makan, kini kembali lagi ke ruangan itu dengan membawa jeritan menggelegar. Ia berlari mengelilingi meja makan dengan masih dikejar-kejar oleh sang ayah yang kini tak lagi membawa gulungan kertas –melainkan pentungan asli.
"AKAN KUPASTIKAN KAU MASUK DALAM CATATAN HITAM SEMUA UNIVERSITAS DI DUNIA INI AGAR KAU TIDAK MELANJUTKAN MIMPI BODOHMU!" tukas ayahnya dengan kemurkaan yang makin menyala-nyala.
"COBA SAJA KALAU BISA! MEMANGNYA AKU PEDULI— AKK, SAKIT APPA! ADUHH!"
Ayahnya berhenti berlari, tapi masih berjalan mendekati Mingyu dengan nafas terengah-engah kelelahan. Bagaimanapun, Mingyu punya kaki yang panjang sehingga anak itu sulit untuk ditangkap. Walaupun sudah biasa bertengkar dengan anaknya itu, emosinya bukan candaan. Pria paruh baya itu tidak pernah main-main dengan kemarahannya.
"Kau kira kau akan bahagia dengan jalan hidupmu? Kau bisa lihat sendiri dampaknya di depan matamu! Seungcheol dulu juga melawan perintahku dan akibatnya dia tidak bisa memiliki anak sekarang! Kau masih mau membantah orang tuamu?! Kau juga ingin seperti kakakmu?!"
Langkah mundur Mingyu terhenti mendadak. Ia bukan terkejut karena bentakan ayahnya. Bahkan ia juga tidak peduli jika ayahnya memukulinya lagi. Ia lebih khawatir dengan kakaknya yang disinggung secara terang-terangan di ruangan itu.
Mingyu tertegun, memandang kakaknya dengan raut prihatin, terlebih lagi ketika melihat ekspresi kakak iparnya yang tampak sangat kaget dan seakan terpojokkan.
"A-appa. D-duduklah. Jangan sampai tekanan darahmu naik. Duduklah," nada Mingyu kepada sang ayah tiba-tiba melembut. Ia bahkan menghampiri ayahnya dan mengajaknya untuk bergabung kembali ke meja makan.
Dan ayahnya juga tak lagi memukul Mingyu karena sadar akan perkataannya yang kelepasan. Ia tidak bermaksud menyinggung anak sulungnya sendiri karena sejujurnya ia hanya sedang terbawa emosi.
"Se-selamat makan, appa~" Mingyu memberi tatapan riang pada ayahnya untuk mencairkan suasana yang mendadak menegang sunyi di sana. Ia kemudian melirik ke arah Seungcheol dan Jeonghan dengan wajah kaku, merasa bersalah dengan kedua kakaknya itu. "Ke-kenapa semuanya berhenti makan? Masakan Jeonghan-noona kan sangat enak. Jangan sampai kalian melewatkannya."
"Kali ini aku yang memasak, Mingyu. Jeonghan baru pulang dari rumah sakit," kata sang ibu, yang entah kenapa membuat atmosfer di ruang makan semakin mencekam.
"A-ah begitu. Anu, ngomong-ngomong, setelah sebulan aku mengikuti pelatihan di sekolah pilot, aku sepertinya sudah mulai beradaptasi. Teorinya begitu sulit, tapi praktiknya ternyata menyenangkan ya. Hahahah." Mingyu tertawa renyah, masih berusaha meramaikan suasana sekaligus untuk menghibur ayahnya –walaupun terpaksa.
Tetapi sayangnya, tak ada seorang pun yang menanggapi usaha Mingyu. Aura di ruangan itu masih terasa mengerikan sampai acara makan malam telah usai.
.
.
.
Seungcheol menatap kasihan pada maket-maket yang berserakan di kamar adiknya. Bukan hanya maket yang baru Mingyu buat yang rusak, tetapi juga maket-maket kecil yang telah dibangun dari jauh-jauh hari yang berhamburan di ruangan itu.
Adiknya sepertinya terlalu cinta dengan pekerjaan itu meskipun tahu bahwa pada ujungnya dia tak akan meraih gelar yang sejak kecil ia impikan.
"Ini yang baru saja rusak?" Seungcheol mengamati maket villa di atas meja depan sofa.
"Heum," Bibir Mingyu yang melengkung ke bawah, hanya bisa menjawab dengan gumaman saja.
"Appa membanting maketmu? Atau hanya mencabutnya?"
"Maketnya tersenggol tanganku,"
"Lalu kenapa appa yang kau salahkan?"
"Dia yang salah, hyung. Dia membuatku kaget." Mingyu menggerutu, masih sakit hati dengan maket itu.
Seungcheol hanya tertawa saja, tapi juga turut kasihan dan menyayangkan hasil jerih payah Mingyu yang sebentar lagi akan berakhir di tempat sampah.
"Ngomong-ngomong, hyung, maafkan aku. Maafkan appa juga."
"Untuk?"
"Yang tadi."
Seungcheol tak perlu berpikir lama untuk memahami maksud ucapan Mingyu. Ia mengerti bahwa adiknya itu merasa bersalah padanya walaupun tak melakukan kesalahan sama sekali. "Tak apa. Appa mungkin benar. Dulu, aku tak pernah menanggapi ucapannya. Dan sepertinya secara tak langsung Tuhan sedang menghukumku karena aku tak pernah mendengarkan nasihat appa."
Mingyu mengerjap. "Apa hubungannya cita-cita dengan punya anak? Appa itu tidak nyambung sama sekali, hyung. Jangan dengarkan dia."
"Jangan begitu, Mingyu. Kau mungkin akan terkena imbas juga jika tidak menuruti kemauan appa. Suatu saat kau bisa saja mengalami bencana yang berbeda denganku jika kau tak mau mengikuti perintahnya. Yang jelas, jangan sampai kau bernasib sepertiku, tidak bisa memiliki anak karena kutukan appa."
"Mana mungkin," Mingyu tertawa meremehkan, "Dia itu omong kosong. Untuk kali ini aku akan menurut saja padanya untuk mengikuti sekolah pilot. Setelah lulus aku akan kabur untuk mencapai gelar arsitektur impianku. Beres."
"Kau ini bicara seolah hidup itu gampang. Mana mau appa melepasmu begitu saja."
"Aku tidak butuh izin darinya jika aku mau pergi kemanapun. Bahkan ia tak tahu kalau besok aku akan pergi ke China."
"Tunggu— apa?! China?! Untuk apa?! Pindah kuliah?!" Seungcheol sontak mengalihkan perhatiannya dari maket Mingyu untuk menatap si pemilik maket dengan mata melebar kaget.
"Aish, bukan hyung!"
Dan Mingyu tahu-tahu sudah berada di hadapan Seungcheol dengan sebuah kalender kecil di tangan. Ia menghadapkan kalender itu tepat ke depan wajah kakaknya, menunjukkan sebuah simbol hati yang melingkar merah pada salah satu angka di sana.
"Besok. Ulang tahun pacarku."
.
.
.
Tidak ada yang bisa Wonwoo lakukan selain memasang telinga baik-baik untuk mendengarkan Jihoon yang telah mengoceh selama satu jam lamanya. Wonwoo masih sibuk mengepak pakaiannya ke dalam koper, memeriksa barang apa yang sekiranya tertinggal.
Jihoon mendelikkan mata ke arah Wonwoo yang tanpa henti mondar-mandir di kamar untuk mencari sesuatu yang mungkin akan diperlukan di luar negeri nantinya. Ia merasa terabaikan karena Wonwoo terus mengatupkan mulut tanpa mau menanggapi apa yang ia omelkan.
"Yak, Jeon Wonwoo!"
Wonwoo berhenti berjalan, menoleh ke arahnya tanpa ekspresi. "Hm?"
"Kau dengar aku, tidak?!"
"Iya, dengar," Setelahnya Wonwoo membuang pandangannya lagi, melangkah menuju lemari untuk mencari pakaian hangat sebagai antisipasi saat berada di China nanti.
"Kau jelas-jelas tidak mendengarku."
"Kalau aku tidak dengar, aku tidak akan menjawabmu seperti sekarang," kata Wonwoo malas.
"Wonwoo, kuingatkan padamu lagi. Jangan pergi ke China."
Wonwoo menutup pintu lemari, menoleh pada Jihoon yang sedang duduk di tepi ranjang dengan tatapan serius.
"Tidak mau."
"Yak! Aish—"
"Aku tidak apa-apa, Jihoonnie. Aku akan baik-baik saja." Wonwoo mencoba menghibur meski wajahnya masih sedatar aspal.
"Tidak bisa. Kali ini kau harus ikuti perintahku. Study tour yang kau ikuti itu berbahaya, berbeda dengan study tour anak-anak SMA. Cobalah kau pikir pakai otakmu. Kampusmu meminta uang padamu dua kali lipat dari harga sebenarnya. Apalagi kampusmu itu akreditasinya standar dan punya citra yang buruk— Tidak, jangan salah paham. Mahasiswa di sana tidak buruk, tapi kampusnya yang bobrok. Aku tidak yakin kau akan mendapat pelayanan yang baik setelah mentransfer uang banyak ke mereka! Bisa saja mereka malah menelantarkanmu! Belum lagi kau membuatku hampir jantungan saat tahu bahwa teman-teman study tour-mu semuanya pria! Masa kau tidak takut sama sekali?! Apalagi pria-pria di kampusmu itu terlihat mengerikan! Kalau kau diapa-apakan di penginapan, bagaimana?! Tidak! Pokoknya jangan ikut study tour! Minta uangnya kembali!"
Wonwoo mengunci kopernya, lalu kembali memandang Jihoon yang masih belum berhenti berkicau itu. "Kopernya terlanjur ku tutup."
"Wonwoo..." gumam Jihoon geram.
Wonwoo tersenyum manis –tapi terlihat mengerikan, bagi Jihoon. Ia kemudian menghampiri sahabat sekaligus teman satu rumahnya itu dan memeluknya erat. "Kau terlalu berlebihan, Jihoonnie. Aku tahu kau hanya khawatir padaku. Tapi percayalah aku akan baik-baik saja. Soal uang, itu tidak penting bagiku. Asalkan uang itu kugunakan menginvestasi masa depanku, aku tidak masalah sama sekali."
Sedangkan Jihoon masih menampakkan raut wajah yang sama. Ia berdecak lalu mendengus, melepas pelukan Wonwoo sambil merengut. "Jika sesuatu terjadi padamu, kau tidak boleh tinggal di rumahku lagi."
"Tidak akan ada yang terjadi padaku."
"Serius?"
"Hn. Saat pulang dari sana, aku akan membawakanmu oleh-oleh, kalau sempat."
"Tidak usah. Kau pulang membawa diri saja aku sudah lega. Jaga dirimu baik-baik."
Wonwoo memukul lengan Jihoon seraya tertawa kecil. "Kau bicara seakan aku akan pergi selamanya saja. Jangan serius begitu."
"Toh jika kau benar-benar pergi selamanya, aku tidak peduli."
Bukannya membuat Wonwoo marah, ucapan ketus Jihoon justru membuat Wonwoo semakin melepaskan tawa keras dan kembali merengkuh gadis bertubuh pendek itu.
"Bilang saja kau tidak mau kutinggalkan,"
Jihoon mendecih menanggapi perkataan Wonwoo.
Tapi Wonwoo sangat menyukai Jihoon yang berada dalam mode cerewet. Jika Jihoon sudah merengut dan berkoar-koar segala macam padanya, itu menandakan bahwa Jihoon sangat memperhatikannya, sehingga Wonwoo merasa gemas meskipun terkadang bisa jengkel juga karena omelan Jihoon yang suka mengarah kemana-mana.
Jihoon lebih muda darinya, tapi Wonwoo merasa bahwa gadis kecil itu sudah seperti kakak perempuannya sendiri.
Wonwoo yatim piatu. Ia kehilangan ayahnya sejak kecil, dan ibunya meninggal saat ia kelas tiga SMA. Ia tak memiliki saudara, tak juga memiliki keluarga dekat. Ia tinggal sendirian dan hidupnya terpontang-panting tanpa uang dan tujuan.
Hanya Jihoon satu-satunya sahabat yang dimilikinya.
Dan ketika masuk perguruan tinggi, Jihoon mengajaknya tinggal bersama agar beban ekonomi Wonwoo berkurang.
Jihoon bukan anak keluarga kaya. Tetapi ia memiliki uang yang berkecukupan dan memiliki rumah sendiri di kota, sementara keluarganya tinggal di kampung halaman. Ia cukup mandiri dalam mengatur hidupnya. Bahkan gadis itu tidak kuliah tetapi sudah memiliki pekerjaan tetap serta penghasilan yang lumayan –dan Wonwoo iri dengan itu, jujur saja.
Saat ini, Wonwoo sedang berkonsentrasi menempuh pendidikannya sebagai mahasiswa sastra asing, berjuang meraih status Diplomat untuk meninggikan derajat hidupnya.
.
.
.
Mingyu menarik napas panjang, mengeluarkannya perlahan dengan menarik senyum gembira.
Ia baru saja tiba di bandar udara Beijing sendirian dan terbebas dari larangan orang-orang di rumah –termasuk ayahnya. Ia berhasil keluar rumah mengendap-ngendap dengan segala jurus menyogok-supir-dan-pembantu agar rencananya pergi ke Beijing tidak terdengar sampai ke telinga orang tuanya. Apalagi sang ayah yang sudah pasti akan melarang karena sekarang dia seharusnya sedang duduk rapi di kelas teori untuk mempersiapkan diri sebagai calon pilot.
Masa bodo lah.
Kekasihnya jauh lebih penting dari itu, bahkan lebih penting dari maketnya.
"Tunggu akuu, Minghao-yaaa~" mata Mingyu membentuk eyesmile bahagia. Ia segera berlari mencari lokasi pengambilan bagasi untuk menunggu kopernya dengan tak sabaran.
Mingyu mengambil kotak cincin kecil dari dalam sakunya. Kotak itu selalu ia bawa selama berada di perjalanan, untuk memastikan bahwa kotak cincin itu selalu baik-baik saja, tidak boleh ada lecet sedikit pun.
Ia sangat menanti-nanti hari ini.
Hari dimana ia bertemu dengan Minghao sekaligus memberi kejutan ulang tahun pada gadisnya itu.
.
.
.
Wonwoo mempercepat langkah usai melewati petugas di pintu keluar. Ia tak menyangka teman-teman study tour dan para pemandu meninggalkannya begitu saja dan menghilang entah kemana. Wonwoo memang terlalu lama berada dalam ruang pengambilan bagasi sehingga tanpa sadar rekan kampusnya pergi untuk melakukan jadwal tur selanjutnya.
Gadis itu marah sekaligus panik sekarang. Bagaimanapun, ini bukan murni kesalahannya jika kopernya tak kunjung keluar dari mesin pengembalian bagasi di bandara. Bukan dia yang menginginkan kesialan itu.
Ini memang sudah jadi nasibnya, tapi bukan berarti rekan tur studinya melupakannya dengan kejam seperti itu.
Wonwoo menengok kesana-kemari, memutari seluruh sudut ruangan bandara dengan linglung dan napas tak beraturan karena terlalu kelelahan akibat berlari mengitari bandara Beijing yang amat luas.
Wonwoo ingin menangis saja.
"Ah, mungkin di tempat parkir," gumamnya, mencoba pantang menyerah. Ia mengangguk cepat, membalikkan badannya untuk berlari lagi, sampai...
sampai ia menabrak sosok menjulang yang sedang berjalan ke arah berlawanan, menyebabkan pria yang ditabraknya itu tersukur jatuh ke belakang.
Ditambah lagi, gelas kopi pria itu tumpah mengenai pakaiannya, juga lantai bandara.
Astaga.
Wonwoo hanya bisa berdiri menganga sementara pria itu memelotitinya marah. "S-sorry,"
"YAK!"
Wonwoo tersentak.
Pria itu... orang Korea?
"Aiishh, apa ini," Mingyu, pria itu, meringis memandangi pakaian kasual mahalnya yang telah dikotori noda kopi. Kembali ia mendelik ke arah Wonwoo lalu bangkit dari posisi jatuhnya, berencana menghujani gadis ceroboh itu dengan seribu umpatan yang sedang bersarang di otaknya. "Yak. Kau lihat apa yang sudah kau lakukan?! Kau kira kata maafmu bisa membersihkan pakaianku? Hei, dengarkan aku!"
Wonwoo tidak bisa. Ia tak sedang ingin meladeni amarah Mingyu karena gadis itu sekarang masih dilanda kepanikan dan rasa takut bahwa pemandu tur akan meninggalkannya di bandara.
Jika ia sibuk mengurusi Mingyu yang marah-marah, maka ia akan tertinggal bus study tour. Ia sangat tak ingin hal itu terjadi. Ia tak mau liburan-belajarnya kandas begitu saja.
Mingyu membuang napas kasar karena Wonwoo tak kunjung meresponnya karena gadis itu hanya menengok-nengokkan kepala ke arah lain seperti sedang mencari sesuatu. "Hello~ Nona~ Kau dengar aku? YAK!"
Wonwoo tak mau ambil pusing. Ia memungut paspornya yang sempat terjatuh, lalu segera berlari kabur melewati Mingyu sampai kakinya tak sengaja menginjak sesuatu di dekat pria itu.
Tapi apa pedulinya?
Bahkan jika kakinya menginjak rudal pun ia akan tetap berlari menerjang untuk mencari rekan turnya.
Dan Mingyu adalah satu-satunya yang dirugikan di sini.
Pria itu membulatkan mulutnya lagi, sangat lebar, disertai wajah hampir menangis, saat matanya mengarah pada sebuah kotak rusak di dekat kakinya.
Wonwoo telah menginjak kotak cincinnya.
.
.
.
"I-i'm sorry mister. Have you seen peoples with rose quartz jacket?" Wonwoo yang tak berhasil menemukan rekannya, kini mencoba bertanya pada supir taksi yang parkir sebentar di dekat pintu masuk bandara.
Percuma.
Supir itu tak mengerti bahasa yang ia ucapkan. Pak tua itu taunya hanya bahasa China saja.
Wonwoo berdecak, mencari akal lain, mencoba merencanakan Plan B jika ia memang benar-benar tertinggal bus.
Ah, ia ingat.
Jadwal malam ini, kelompok tur studinya akan menjadi tamu sebuah forum di sebuah graha Universitas Beijing.
Mengingat hal itu, Wonwoo menyerah untuk mencari rekannya, dan memutuskan untuk mencari penginapan di dekat Universitas Beijing agar bisa bertemu kelompok turnya itu di forum yang telah dijadwalkan.
Wonwoo bersyukur karena ia membawa cukup uang untuk naik taksi dan menginap –padahal rencananya uang itu akan ia gunakan untuk makan dan membelikan barang kepada Jihoon.
Wonwoo membuka pintu taksi, memasukkan kopernya ke dalam sana. Ketika ia baru saja hendak masuk ke dalam, matanya membelalak saat melihat Mingyu sedang berlari di koridor bandara dengan wajah marah memerah.
Gadis itu menelan ludah.
Entah mengapa ia merasa memiliki dosa besar pada pria tak dikenal itu.
Entah mengapa ia merasa takut jika Mingyu melihatnya.
Entah mengapa ia merasa tak mau lagi berurusan dengannya.
Entah mengapa, Wonwoo tiba-tiba menghindar dan menyembunyikan tubuhnya di balik pilar besar di dekat taksi, sambil sedikit-sedikit mengintip ke arah Mingyu yang kini sedang celingukan di dekat taksi itu.
"Kemana wanita sialan itu?"
Wonwoo bisa mendengar Mingyu sedang mengutuknya.
Mingyu mendesah geram, melirik taksi di sebelahnya lalu masuk ke dalam taksi itu tanpa pikir panjang karena mengira Wonwoo sudah menghilang dari bandara, sehingga merasa bahwa sepertinya tak ada gunanya lagi mengejar gadis pembawa sial itu. Lebih baik jika ia pergi meninggalkan bandara sekarang untuk mencari hotel agar bisa mengganti pakaian.
Sementara Wonwoo...
Gadis itu tak bisa menyembunyikan wajah horornya ketika taksi yang Mingyu tumpangi mulai melaju pergi.
Masalahnya...
"Ko- KOPERKU!"
Satu lagi bencana menimpa Wonwoo.
Kopernya tertinggal di taksi yang dinaiki Mingyu.
Dan Mingyu, pria itu menyandarkan kepalanya pada kursi bagasi, melepas rasa penat yang disebabkan oleh seorang gadis tak dikenal yang baru bertemu saja sudah membuatnya sakit kepala.
Bagaimana tidak?
Kotak berisikan cincin yang dipesannya mahal-mahal, diinjak oleh gadis muka rata itu.
"YAKK! BERHENTI!"
Mingyu mengernyit. Merasa ada suara teriakan seseorang, ia lantas menoleh ke belakang, dan seketika memasang raut tanda tanya saat gadis yang tadi dicarinya kini berlari-lari di belakang untuk mengejar taksinya.
"Aish, si sialan itu—" Mingyu hampir menyuruh supir untuk berhenti agar ia dapat menemui gadis itu lagi untuk meminta pertanggungjawaban. Tetapi ia urungkan saat matanya tanpa sengaja mengarah pada sebuah koper abu-abu di sebelahnya.
Mingyu melirik koper dan gadis itu bergantian.
Di belakang sana, Wonwoo masih berteriak. "KEMBALIKAN KOPERKU! YAK!"
Mingyu menepuk pundak sang supir, lalu berbicara dengan bahasa mandarinnya yang fasih.
"Pak, tolong. Percepat laju mobilnya."
Dan setelahnya ia menyeringai lebar, membiarkan taksi yang ditumpanginya semakin melaju meninggalkan Wonwoo.
.
.
.
TBCCCC
.
Going going~~
Hmm sebenarnya aku kurang puas di chapter lalu karena sidernya tuh masih banyakk banget /elap ingus/
Baydewai, chapter kemarin itu cuma prolog yaa (sekaligus spoiler juga). Jadi Mingyu sama Wonu baru saling kenal di chapter ini.
Kurang panjang kah? Kurang seru kah? Apa gimana? Mohon reviewnya yaa /sungkem/
Kalau ngeliat jumlah review yang gak sebanding ama views ituhhhh...
SAKEEETT MANG JAJAANGGG, SAKEEETTTT :((
Oke aku kuad.
Tapi Gomaptahh buat yang revieww mumumuachhh.
Untuk saat ini review kalian belum bisa aku balas karena ffn lagi eror. (jumlah review ada tapi pas di klik malah gak ada '-') Nanti kalau udah di fix-in sama pihak ffn bakal aku balas kok~~
Ai lobeu yu gais... /tebar indomie/
