"Naruto, lepaskan!" Sasuke menyerukan perintahnya yang kesekian, namun Naruto tetap bergeming dan melangkah tegas menuju salah satu ruangan khusus artis.
Hari ini Sasuke ada pemotretan di suatu majalah terkenal dan harus berpasangan dengan seorang vokalis band yang baru saja naik daun akhir-akhir ini, tapi kegiatannya harus sedikit terganggu oleh ulah fans fanatiknya yang bisa dibilang cukup nekat. Siapa yang akan menyangka jika gadis penggemar itu akan menerobos ruang pemotretan lalu memeluk Sasuke yang pada saat itu tengah berpose bersama partnernya.
Sebagai kekasih dan juga bodyguard Uchiha Sasuke, tentu saja Naruto langsung sigap bergerak mengamankan kekasihnya dari tindakan anarkis fans wanita yang begitu menggila-gilainya setengah mati. Naruto memerintahkan dua orang anak buahnya menyeret si wanita untuk menjauhi Sasuke, sementara dirinya menggotong tubuh Sasuke di atas bahunya sembari berjalan dengan lugas memasuki ruangan artis.
"Dobe! Kau keterlaluan!" maki Sasuke setengah frustasi. Rambutnya yang tertata rapi dengan model jabrik sedikit berantakan ia acak sedemikian rupa, menyalurkan rasa kekesalannya terhadap sifat overprotective Naruto.
"Ini demi kebaikanmu, Suke," jelas Naruto, menghela napas pelan seraya duduk setelah menurunkan Sasuke di atas sofa. Ia duduk tepat di sebelah sang raven tanpa mempedulikan tatapan mengerikan namun terlihat begitu sexy di matanya.
"Kebaikan katamu?" cibirnya, "demi tuhan, dia hanyalah seorang wanita. Dia bahkan bukan ancaman yang besar untukku. Berhentilah bersikap berlebihan dan membuatku malu di depan banyak orang, Dobe!"
"Kau tidak mengerti, Sasuke, seorang wanitapun bisa menjadi ancaman yang cukup berbahaya jika sudah terobsesi akan sesuatu. Wanita adalah makhluk yang lebih mudah emosional dibandingkan laki-laki."
Sasuke mendelik dengan hidung yang kembang-kempis, terlihat sekali jika ia masih merasa kesal dengan apa yang dilakukan Naruto di ruang pemotretan. "Tolong jangan lakukan ini lagi. Kejadian yang lalu tidak akan terulang lagi padaku, aku janji…," bisiknya melemah. Ia kira Naruto tidak akan mendengar kalimatnya yang terakhir, namun Sasuke salah karena ternyata telinga kekasihnya itu cukup tajam mendengarkan semua ucapannya.
"Aku tidak bisa," Naruto menghela napas pasrah setelah beberapa saat terdiam. Perhatiannya memaku raut menawan Sasuke yang sedang tertunduk di sebelahnya. Mau berapa kalipun dilihat, Sasuke memang menakjubkan. Dia tampan cenderung cantik. Jika tersenyum terlihat begitu manis, walau Sasuke lebih sering memasang ekspresi angkuh nan jutek. Postur tubuhnya proporsional, tinggi semampai, dengan pinggul yang sedikit berisi, dan pinggang yang langsing. Warna kulitnya seputih salju, dan halus seperti sutera. Bibirnya merekah seperti warna pekat darah, tapi membuat candu melebihi ekstasi. "Kejadian yang dulu adalah kesalahan fatal bagiku. Sampai sekarang hal itu masih terus terbayang, dan membuatku takut melepaskanmu walau hanya sedetik saja."
"Naruto," Sasuke menatapnya dengan pandangan memohon.
"Tidak, Sasuke, jangan meminta hal yang tidak bisa kulakukan," Ia berdiri tiba-tiba, melempar pandangan ke arah manapun asal tidak bertubrukan dengan obsidian Sasuke. "Aku tidak mau siapapun menculikmu lagi dari sisiku."
Otak Sasuke mengulang jelas kejadian itu, memperlihatkan suatu pengalaman yang menakutkan ke dalam kepalanya. Ia memang pernah mengalami penculikan, tepatnya satu tahun yang lalu. Penculikan itu dilakukan oleh salah seorang fans fanatiknya yang bernama Sai.
Saat itu Sasuke sedang menunggu acara konsernya di mulai, ia menunggu di ruang khusus artis bersama kakaknya, Itachi, yang juga merangkap sebagai Managernya. Tapi acara itu ditunda karena terjadinya kericuhan di luar aula. Sasuke tipikal pemuda yang mudah bosan dengan situasi yang menjemukkan, jadi ia berniat menyegarkan wajahnya yang mulai kusut dengan basuhan air keran di toilet. Dan disanalah ia bertemu pemuda pucat bernama Sai.
Awalnya Sasuke memang bingung, bagaimana bisa seorang fans memasuki backstage yang hanya boleh dimasuki para crew dan juga artis, tapi karena ia tak curiga pada apapun mengenai diri Sai, Sasuke mengiyakan saja saat pemuda pucat itu meminta tanda tangannya. Setelah itu Sasuke tak menyadari kalau fans yang ia kira orang baik, ternyata menyembunyikan kain berisi obat bius di saku celananya.
Sasuke tidak ingat bagaimana cara Sai membawanya dari backstage. Mungkin dia berbaur di tengah kerumunan para pericuh yang sempat membuat orang-orang dalam dan para bodyguard kewalahan. Yang Sasuke tahu saat ia sadar dirinya sudah berada di tempat asing dengan kondisi tubuh lemah dan terikat kuat.
"Sekarang kau malah melamun," Suara Naruto terdengar sangat lembut di telinga Sasuke. Ketika ia menoleh, bibirnya lekas bertubrukan dengan bibir Naruto. "Apa yang kau pikirkan? Apa kau marah?"
Sasuke menggeleng pelan, membiarkan Naruto mengecup bibirnya lagi serta telapak tangannya yang digenggam kuat oleh pria pirang itu. "Aku ingin pulang saja."
Helaian raven lembut Sasuke terasa menggelitiki leher Naruto ketika bersandar di bahunya. Tapi Naruto hanya terkekeh kecil sambil menyentuh sisi kepala Sasuke dan mengecupnya. "Ya. Ayo, kita pulang. Kau butuh istirahat, Teme."
Sasuke mendengus kemudian ikut berdiri. Menyambut uluran tangan Naruto, dan membiarkan pria pirang itu membawakan seluruh barang-barangnya di dalam tas besar. "Dobe."
Namun pria berkulit tan itu hanya memoles senyum tipis. Ia sangat suka melihat Sasuke yang kesal dengan bersikap manis seperti ini. Baginya rajukan Sasuke terkesan seperti undangan untuk dirinya melahap bibir tipis sewarna buah cherry itu sampai habis.
"Sasuke-kun? Kau mau kemana?" Rei Gaara, sebagai juru fotographer mereka bertanya. Seingatnya jam pemotretan Sasuke masih berlangsung sampai sore nanti.
"Oh, maaf, Gaara-san. Tapi Sasuke mendadak tidak enak badan, jadi bolehkah dia menunda pekerjaan ini sampai besok?" ucapan Naruto menuai delikan tajam dari Sasuke. Tapi pria blonde itu tak peduli dan malah semakin mengeratkan genggamannya pada tangan Sasuke.
"Begitu?" Gaara nampak kecewa. Pasalnya mendapatkan kesempatan memotret bintang besar seperti Sasuke itu sangat langka. Dan Gaara merasa sangat beruntung ketika Direktur majalah tempat ia bekerja memintanya untuk memotret Uchiha Sasuke sebagai foto sampul edisi majalah mereka minggu depan. "Yah, apa boleh buat. Jadwalku masih kosong sampai besok, jadi tak apa. Aku akan menunggu untuk bisa memotret Sasuke-kun lagi."
"Terima kasih," Sasuke membalas pengertian Gaara dengan seulas senyum tipis. Lalu perhatiannya tertuju pada vokalis band bernama Juugo, yang tak lain adalah partner pemotretannya untuk majalah ini. "Aku juga minta maaf padamu, Juugo-san."
"Tak masalah. Aku mengerti kau mungkin sangat lelah dengan semua jadwalmu, Sasuke-san. Yah, sebagai seorang bintang besar sepertimu pasti sangat sulit mengatur waktu antara bekerja dan juga beristirahat. Jadi aku takkan keberatan menunggu sampai besok untuk bisa ber-partner denganmu lagi."
Perkataan Juugo menarik lirikan sadis dari Naruto. Ucapan sang vokalis muda yang sedang naik daun itu terdengar sangat ambigu, seolah-olah lelaki itu sangat menyukai perannya dalam prosesi pemotretan tadi.
"Kalau begitu hati-hati di jalan Sasuke-kun," senyum menawan Juugo adalah hal terakhir yang Sasuke lihat sebelum Naruto menyeretnya keluar studio.
…
Naruto © Masashi Kishimoto
'Sequel' Fanatic Fans © Nagisa Yuuki
(Sesuai permintaan para pembaca dan janji saya sebelumnya, akhirnya saya memiliki kesempatan untuk membuat sequel fic 'Fanatic Fans'. Tapi mohon maaf, saya masih gagal membuat Naruto yang posesif *bow* semoga kalian masih berkenan membaca fic ini.)
…
Audi hitam yang dikendarai oleh Naruto terparkir sempurna di depan pekarangan sebuah rumah minimalis milik keluarga Uchiha. Rumah itu sebenarnya warisan dari mendiang kedua orangtua Itachi dan Sasuke, yang diberikan melalui seorang pengacara pribadi ayahnya seusai pemakaman dua pasutri Uchiha tersebut, yang wafat akibat kecelakaan lalu lintas 7 tahun silam.
Sasuke termasuk beruntung karena ia masih memiliki seorang kakak laki-laki yang begitu menjaga dan menyayanginya sepenuh hati. Tidak seperti Naruto yang menjadi yatim-piatu di saat usia 4 tahun, dan harus diserahkan kepada yayasan panti asuhan karena tak memiliki satupun sanak saudara ataupun kerabat dekat.
"Masuklah dulu, aku akan mengambilkan barang-barangmu di dalam bagasi."
Naruto selalu memanjakan Sasuke dalam segala hal, termasuk hal-hal sepele seperti mengangkat barang.
"Hn."
Dan Sasuke tak pernah memprotes apapun yang ingin dilakukan Naruto untuk dirinya, karena jikapun ia memprotes, Sasuke akan selalu kalah debat dengan Naruto.
"Dimana kau taruh kunci rumahku, Naruto?" tanya Sasuke dari depan pintu rumah.
Naruto berhenti sejenak dari kegiatannya memindahkan barang dalam bagasi, lalu ia menoleh, menyembulkan kepalanya yang sejak tadi tertunduk menatap ruang bagasi mobil kearah Sasuke. "Cari di dalam tasmu. Aku meletakkannya di dalam sana tadi."
Sasuke tak lagi bertanya dan mulai mencari keberadaan benda perak bergerigi itu di dalam tasnya. Setelah dapat, lekas ia memasukan ujung anak kunci itu ke dalam lubang pintu, memutarnya sebanyak dua kali, kemudian mendorongnya pelan.
Bunyi deritan khas bidang kayu solid itu mengiringi suasana rumah yang sepi. Sasuke melangkah masuk ke dalam, menyalakan sakelar lampu hingga cahaya lampu neon berwatt tinggi itu menerangi seluruh ruangan yang ada di rumah minimalis itu. Seketika pemandangan yang mengerikan merasuk ke dalam lensa hitam Sasuke.
"NARUTO!"
Teriakan keras Sasuke terdengar begitu jelas dan melengking. Naruto yang sedang membawa dua tas besar di tangannya lekas menjatuhkan kedua benda itu, lalu berlari menghampiri Sasuke yang berdiri tegang di depan ruang tengah.
"Sasuke? Ada apa?" Naruto membanjirinya dengan pertanyaan, namun pria raven kesayangannya itu langsung berbalik dan memeluknya. Ia tak sempat mengeluarkan suaranya kembali ketika menyaksikan sesuatu yang mengerikan telah mewarnai hampir seluruh lantai ruang tengah.
"Shiro…," Sasuke terisak gemetar. Tangannya meremas kuat seragam dinas Naruto yang terbalut jaket kulit berwarna hitam.
"Astaga…," Ini mengerikan, batin Naruto. "Siapa yang melakukan semua ini?!" katanya mulai tersulut amarah.
Di dalam ruangan yang seharusnya berisi berabotan antik, dan sebuah piano yang biasa dimainkan oleh Sasuke, kini telah terberai seluruh organ dalam binatang beserta darahnya yang telah mengering. Hewan yang mati dimutilasi itu adalah peliharaan kesayangan Sasuke, Shiro, binatang berwujud anjing berbulu putih.
Sebelum Sasuke berangkat untuk sesi pemotretan dan syuting video clip terbaru, ia sempat memberi makan Shiro dan membiarkannya bermain di dalam rumah. Sasuke tahu, Shiro bukan peliharaan yang nakal. Ia sudah terbiasa meninggalkannya di dalam rumah dan tak pernah melihat satupun barang yang rusak karena ulah anjing putih itu. Tetapi, hari ini, bukan barang rusak yang ia temui, melainkan jasad anjing malang itu sendiri yang tercerai berai di lantai ruangan. Menyebarkan aroma busuk yang sangat menyengat di hidung mereka.
'Krak!'
Dari arah dapur, Naruto menangkap suara samar yang mencurigakan. "Ada penyusup di rumah ini," bisiknya, membuat bahu Sasuke menegang dan isak tangisnya berhenti. "Berlindunglah di belakangku," Ia menggeser posisi tubuh Sasuke menjadi ke belakang punggungnya, lalu ia berjalan dengan dua cengkraman kuat Sasuke terhadap jaket di bagian pinggangnya.
Pandangan mata Naruto begitu tajam. Pupil birunya tak mengerjap barang sedetikpun selama berjalan ke arah dapur. Ia tampak begitu fokus dan waspada. Sesekali ia meneliti letak barang-barang yang masih berada di posisinya sebelum ditinggalkan beberapa jam yang lalu. Naruto jadi ragu, apa motif penyusup itu memasuki kediaman kekasihnya jika bukan untuk merampok. Kenapa pula orang itu mengoyak organ dalam Shiro. Seandainya anjing putih itu menyalakpun, rasanya mustahil jika si pelaku tak cukup dengan cara membunuhnya saja.
"Aku sangat yakin dia sudah pergi. Tapi, lebih baik kalau kita berjaga-jaga. Aku akan memeriksa seluruh ruangan di rumah ini," ujarnya sambil menarik pergelangan tangan Sasuke menuju kamarnya.
"Kau yakin dia sudah pergi? Bagaimana kalau orang itu sedang bersembunyi," terka Sasuke cemas.
"Karena itulah aku akan memeriksanya."
"Jangan tinggalkan aku, Naruto," Cepat-cepat Sasuke mencekal pergelangan tangan Naruto sebelum pria pirang itu beranjak meninggalkan kamarnya.
"Tetaplah disini. Aku akan segera kembali setelah memeriksa seluruh ruangan. Kamarmu aman, jadi kau akan baik-baik saja berada disini."
"Tapi, Naruto… kenapa orang itu menyusup ke dalam rumahku? Aku yakin tidak ada satupun barang yang hilang, lalu untuk apa dia melakukannya? Sampai-sampai… dia tega membunuh, Shiro," Suara Sasuke melirih, mata hitamnya nampak berkaca-kaca seperti hendak menangis lagi.
"Aku akan mencari tahunya, Suke. Karena itu tunggulah aku disini, oke?" Naruto mengusap kedua pipi Sasuke dengan ibu jarinya, sebagai isyarat agar kekasihnya tak lagi menangis ataupun ketakutan.
Tapi hal itu tetap tak membuat perasaan Sasuke melega, ia masih nampak keberatan, terlihat jelas dari genggaman jari-jari tangannya yang semakin kuat menahan pergelangan tangan Naruto. Namun, pria pirang itu dengan mudah melepasnya, kemudian melenggang keluar ruangan.
"Naruto…."
Pintu di kunci dari luar. Sasuke menggigit bibir bawahnya sambil menoleh ke belakang punggung. Kamarnya masih nampak rapi seperti sebelum ia tinggalkan. Naruto juga sudah mengecek ke dalam kamar mandi, memeriksa kunci jendela, bawah kasur, dan juga lemari pakaian. Seperti yang Naruto katakan, kamarnya aman. Tapi, perasaan Sasuke mengatakan ada sesuatu yang tengah memperhatikannya dari suatu tempat. Akhirnya Sasuke beranjak menaiki kasur, menutupi sebagian tubuhnya dengan posisi duduk bersandar pada tepian ranjang. Perhatiannya mengarah pada tirai jendela yang sedikit tersingkap, memperlihatkan langit kemerahan memasuki suasana senja.
Leguhan napas berat mengalun dari bibir tipis Sasuke. Sejujurnya ia tidak tega melihat Shiro mati dengan begitu mengenaskan, dan Sasuke juga takut saat memori ingatan beberapa menit lalu kembali terbayang. Ia takut pada darah, ia juga takut pada kematian.
Setahun yang lalu ia bahkan hampir mati karena ledakan bom. Beruntung Naruto menyelamatkannya ketika dirinya terjun bebas dari gedung tinggi bersama Sai —penculiknya dulu. Naruto meraih tubuhnya yang tertarik gravitasi, memeluknya, lalu mereka bergelantungan saat bom itu meledak membentur tanah.
Ingatan itu masihlah membekas dalam otaknya. Sasuke mengingat semua hal itu secara terperinci. Dari mulai dirinya diculik, disekap, dibawa kabur saat Naruto berhasil melacak keberadaannya, dipasangi bom pada area perutnya, ditarik memasuki sebuah gedung tua yang cukup lapuk, dan berujung terjun dari ketinggian saat Sai menariknya jatuh saat tertembak.
Sasuke termangu dalam lamunannya. Ia bahkan tak sadar ketika pintu kamarnya terbuka dengan Naruto yang berjalan masuk menghampirinya. "Suke," Hingga suara Naruto berhasil memecah keterdiamannya.
Sasuke mendongak, mendapati Naruto tengah menatapnya dengan sorot kekhawatiran.
Pria itu berlutut di depan kasurnya, membelai pipinya yang entah sejak kapan telah basah oleh airmata. "Kenapa kau menangis?"
"Shiro…."
"Jangan sedih, Sayang. Nanti kita akan memakamkannya di kebun belakang. Aku sudah membungkus mayatnya dengan kain putih dari dapur."
"Siapa yang melakukan ini pada, Shiro?"
"Entahlah," Naruto bangkit dari posisinya, duduk di sebelah Sasuke, kemudian mendekapnya. "Tapi, aku akan menyelidikinya. Siapapun yang masuk ke rumah ini, pastinya memiliki niatan yang tidak baik."
Sasuke mendongakkan kepala. Membiarkan Naruto mengecup sayang kening serta tulang hidungnya. "Apa maksudmu?"
"Aku masih belum bisa menyimpulkan. Apakah ini hanya kasus perampokan semata atau bukan. Tapi jika kita teliti dengan seksama, tidak ada satupun barang yang hilang dari rumah ini, bergeserpun kurasa tidak."
"Kau tidak berpikir ini ulah Anti Fans, kan?"
Naruto diam sejenak. Memikirkan tebakan spontan Sasuke kemungkinan adalah benar adanya.
"Naruto…," Sasuke merengek, mulai merasa khawatir. Jarinya meremas serat kain yang melekat di tubuh kekasihnya kuat-kuat.
"Percayakan saja padaku," sahutnya tenang. Seulas senyum hangat ia berikan untuk kekasih ravennya tercinta. Naruto membingkai wajah indah itu dengan kedua telapak tangannya yang besar, menyalurkan kehangatan dan rasa aman pada semua ketakutan yang mendiami diri Sasuke. "Tidak akan ada yang menyakitimu lagi selama aku masih hidup dan berdiri disini."
Meskipun begitu, Sasuke tetap tak merasa lega. Ia melirik setiap sudut kamarnya seperti mencari-cari sesuatu yang tak seharusnya ada. Dia sangat yakin kalau seseorang seperti sedang memata-matainya entah dari mana.
Ataukah semua itu hanya perasaan Sasuke semata?
…
Keesokan harinya, aktifitas Sasuke berjalan seperti biasa. Bangun tidur, mandi, bersiap-siap, sarapan, kemudian berangkat menuju lokasi pemotretan atau syuting drama terbarunya. Tapi yang berbeda hanyalah, tidak ada sosok anjing putih yang menjilati wajahnya ketika bangun tidur, atau berlari riang mengikuti Sasuke kemanapun ia melangkah.
Hari-harinya terasa begitu sepi. Shiro sudah seperti teman untuk Sasuke di saat Itachi dan Naruto tidak ada di sampingnya ketika di rumah. Kemarin ia memang sudah memakamkan jasad anjing itu di kebun belakang rumah, dan Sasuke tak kuasa untuk tidak menitikkan airmatanya saat prosesi penguburan itu berlangsung.
Ketika pengambilan scene yang entah keberapa kalinya, Sasuke lagi-lagi melakukan kesalahan dalam pengucapan dialog. Ini adalah lokasi syutingnya yang ketiga, dimana ia akan berperan sebagai Sakato, lalu beradu acting dengan Sasori —salah satu aktor terkenal seperti dirinya juga.
"Cut! Kemana dialogmu, Sasuke? Seharusnya kau berkata, kau juga mencintainya, saat Sasori menyentuh wajahmu seperti tadi. Ayo ulangi lagi!" seru sutradara, Maito Guy, sedikit kesal. Karena tidak biasanya Sasuke melakukan banyak kesalahan seperti hari ini.
"Hn," Mendengarnya, Sasuke hanya mengangguk tak fokus. Ia berkali-lali mengusap wajahnya yang terpoles make up natural, berusaha untuk mendalami perannya seperti biasa, tapi sayangnya ia tidak bisa.
"Camera rolling… and, action!"
Aba-aba sang sutradara kembali menarik Sasuke kepada realita. Di hadapannya sekarang, Sasori telah mengulangi perannya beserta dialog yang sudah dihafalnya luar kepala.
"Aku mencintaimu," Dua lengan kekar si pria berambut merah kembali menangkup wajah Sasuke.
Sang raven terus berusaha mengumpulkan feel. Ia membalas tatapan mata Sasori kemudian melingkarkan kedua tangannya di pinggang sang lawan main. Ia tersenyum tipis, sebelum mulutnya bergerak melafalkan kalimat.
"Cut! Tolong berhenti sebentar!" Dari pojok ruangan, Naruto berteriak sangat kencang. Menghancurkan feel yang sudah susah payah dikumpulkan oleh Sasuke, dan kekasih ravennya itu hanya mendengus seraya mendeliknya galak. Akan tetapi melihat sorotan tajam yang dilayangkan oleh Naruto, seketika membuat bibirnya kelu dan bungkam. "Maaf sebelumnya, tapi ada sesuatu yang ingin kubicarakan dengan Sasuke."
Para awak kru terlihat ingin memprotes, tapi mereka membiarkan saja ketika Naruto menarik lengan Sasuke menuju suatu ruangan lain. Sejujurnya hal ini sering sekali terjadi, dimana Sasuke akan berhadapan dengan pemain lain di depan kamera, lalu melakukan adegan ciuman intim, maka Naruto akan langsung menghentikan prosesi syuting selama beberapa menit, menarik Sasuke dan mengatakan ingin berbicara entah apa, sebelum memulangkan kembali Sasuke ke posisinya semula.
Mereka hanya tidak sadar satu hal, setiap kali Naruto mendapati adegan yang membuat hati serta perasaannya terbakar, ia ingin sekali menghancurkan seluruh properti di lokasi ini. Tapi Naruto selalu menahannya dengan alasan profesionalisme pekerjaan.
Sejak memutuskan menjadikan Sasuke sebagai miliknya, Naruto tentunya sadar jika Sasuke tak hanya akan menjadi miliknya saja, tetapi seluruh masyarakat yang mencintainya, termasuk para lawan mainnya ketika syuting nanti. Sungguh Naruto membenci hal ini, tapi ia tak bisa melarang apa yang sudah menjadi profesi kekasihnya sejak dulu, bahkan sebelum ia bertemu dengan Naruto, Sasuke sudah menjadi public figure yang populer.
Saat berada di dalam ruang break artis, Naruto langsung mengunci pintu dan mendorong Sasuke duduk di sofa. Mata birunya masih terpercik perasaan cemburu, dan napasnya pun masih tersenggal seperti menahan kesal. Naruto bergerak mendekat seperti seorang predator yang hendak menerkam mangsanya. Sementara di tempat Sasuke terduduk, lelaki raven itu hanya diam, menatapnya dengan ekspresi biasa seolah-olah hal ini memang sudah sering terjadi. Dan memang begitulah kenyataannya. Naruto selalu menghentikan prosesi syuting ketika ia hampir melakukan adegan kissing dengan lawan mainnya, dan Naruto akan langsung menariknya ke suatu ruangan sepi untuk melakukan kebiasaannya sebelum merelakan Sasuke kembali melanjutkan adegan itu.
Selang lima belas menit kemudian, Sasuke keluar dari ruangan lebih dulu, dengan rambut yang sedikit berantakan, dan bibir yang memerah bengkak. Sebelum memutuskan untuk kembali, sebenarnya Sasuke sudah berusaha merapikan penampilannya seperti semula, hanya saja karena perbuatan tangan nakal Naruto, pakaiannya yang mudah kusut jadi terlihat sangat kentara. Padahal Sasuke sudah bersusah payah memanfaatkan waktu lima menit untuk merias ulang dirinya kembali.
Sembari menggerutu tak jelas, Sasuke menghampiri Sasori yang sudah bersiap di depan kamera saat melihatnya keluar dari ruangan. Dan seperti dugaannya, Sasori juga ikut menatap penampilan kusut Sasuke sama seperti kru yang lain. Mereka pasti kebingungan. Mereka tak tahu kalau Naruto sangat pencemburu sekali. Setiap hampir melakukan adegan ciuman dengan pria lain, pasti pria blonde itu akan menciumnya dengan buas dan lama, setelah itu dia akan berbisik, bahwa Sasuke harus mengingat kejadian ini saat syuting di depan kamera bersama lawan mainnya nanti.
Para kru segera menempati posisinya masing-masing, begitu juga dengan sutradara yang sudah memposisikan pandangannya menatap layar monitor. Semua mata mencuri pandang ke arah bungsu Uchiha yang semakin terlihat seksi ketika penampilannya berantakan, tak terkecuali Sasori yang seakan sudah tak siap melumat daging sintal kemerahan milik Sasuke.
Ketika seruan sutradara menggelegar tegas, kilat mata Sasori terlihat sedikit berbeda saat mengucapkan dialognya, bahasa tubuhnya, serta ciuman yang menjadi salah satu adegan di drama, semuanya tak luput dari perhatian Sasuke. Naruto yang ikut menyaksikan adegan itu juga tak bisa menahan rasa cemburunya yang meluap-luap. Ia selalu meyakini, ini hanyalah prosesi pekerjaan semata. Diluar semua itu, Sasuke adalah miliknya, klaim mutlak yang telah ia voniskan sejak empat tahun yang lalu.
Tapi sebagai kekasih sekaligus tunangan dari Uchiha Sasuke, bolehkah Naruto bersikap egois saat ini?
Suara kecupan-kecupan basah dan erangan Sasuke bagaikan sembilu tajam yang mengoyak serat hatinya. Naruto memalingkan pandangan. Berusaha untuk menulikan seluruh indera di tubuhnya. Ia tak memperhatikan bagaimana kesulitannya Sasuke mengimbangi serangan Sasori. Seharusnya ini hanya menjadi ciuman singkat semata, bukan ciuman dalam dan menuntut seperti ini. Para kru dan sutradara juga sepertinya tidak sadar karena terlalu hanyut dalam adegan intim tersebut. Namun, diam-diam Sasuke menggerakan jari-jari tangannya yang bebas menelusup ke dalam pakaian Sasori untuk mencubit kuat kulit perutnya.
"Enghh," Akhirnya tautan itu terlepas, diiringi ringisan kesakitan dari bibir Sasori.
"Cut! Bagus! Bagus sekali, Sasori, Sasuke!"
Semua mata yang memandangnya takjub lekas bertepuk tangan meriah. Ini benar-benar adegan ciuman paling panas yang pernah mereka lihat selama prosesi syuting drama yang di bintangi oleh Uchiha Sasuke.
Mereka mengabaikan kesakitan yang terpancar pada iris biru Naruto, dan tatapan kesal yang dilayangkan Sasuke terhadap Sasori yang hanya memasang senyuman penuh misteri.
…
"Berhentilah, Dobe… Kita sudah sampai di rumah dan kau masih saja merajuk seperti itu?" dengus Sasuke. Bokongnya lekas mendarat di atas kasur empuk, membuahkan suara berderit yang dihasilkan oleh gesekan kaki ranjang besi dengan lantai. "Itu hanya acting. Kau seharusnya mengerti kalau itu hanya sebuah syuting drama semata. Tidak mungkin aku memakai perasaanku untuk—"
"Ini tidak ada hubungannya dengan acting atau perasaanmu, Sasuke. Tapi yang kupermasalahkan itu sikap Sasori kepadamu!"
Helaan napas lelah mengembus dari bibir tipis Sasuke. "Jadi masalah ini lagi? Kita bahkan sudah pernah membahasnya, Dobe. Tidak ada yang salah dengannya, dia juga melakukan itu hanya sebatas pekerjaan semata."
"Tidak ada yang salah dengannya, katamu? Hanya sebatas pekerjaan semata, hm? Aku punya mata, Teme, dan aku bisa melihat tatapannya terhadapmu. Itu bukan jenis tatapan yang baik, dia menginginkanmu! Dan aku tahu bagaimana orang yang memiliki tatapan seperti itu akan berakhir."
"Maksudmu, dia akan menghancurkan hubungan kita, begitu? Kau salah, Dobe… Hubungan kita akan hancur jika kau terus mempermasalahkan hal sepele seperti ini, dan bersikap tidak profesional."
"Aku? Tidak profesional katamu?!" Nada suara Naruto mulai meninggi. Ekspresinya keras seperti ingin menumpahkan amarah. "Jika aku tidak menahan diri, mungkin setiap lokasi yang kau pakai untuk beracting dengan lawan mainmu itu sudah kuhancurkan seperti abu! Dan itu yang namanya tidak profesional, hah?!"
Sasuke tersentak dan langsung berdiri. Ia tidak suka dibentak, dan ia takkan pernah menerima perlakuan seperti ini. "Kenapa kau marah? Kenapa kau malah membentakku?"
"Kau yang membuatku begini."
"Oh, jadi ini salahku? Semua selalu salahku, begitu, kan?"
"Teme!" Naruto menyalak geram. Segera ia dorong bahu Sasuke sampai tubuhnya terjerembab di atas kasur.
Mendapat perlakuan kasar seperti ini membuat Sasuke semakin tak menerimanya. Tapi, ia tak sempat membalas ataupun memaki karena Naruto tiba-tiba sudah duduk di atas perutnya lalu melumat ganas bibirnya.
"Ugh! Hmmpass! Hmphass… Nar…ugh, tohfhh…."
Tapi Naruto tak mau mendengarnya dan semakin kalap mencumbui bibir Sasuke. Tangannya bahkan menahan pergerakan Sasuke beserta gerak protesnya.
"Mmtt… ugh…," Sasuke menarik kepalanya ke samping, menjauhi cumbuan memabukkan Naruto yang sekarang tengah melahap kulit lehernya yang halus. "Lepaskan, Naruto…," Napasnya masih terengah. Sekuat tenaga Sasuke mendorong dada Naruto untuk menjauh. "Aku tidak ingin dicium orang yang sedang marah!"
"Kau yang membuatku marah, Brengsek!"
"Kenapa kau jadi kasar padaku?"
"Oh, kau tidak suka? Padahal ketika Sasori menciummu kau tidak protes."
"Kau… itu hanya acting, Bodoh! Harus berapa kali aku mengatakannya pada—Mmpp!"
Naruto terus menyerang bibir Sasuke sampai kekasihnya terbaring lemas kehabisan napas serta tenaga.
"Lepas…kan!"
"Oke! Aku akan pergi kalau begitu!" balas Naruto, setengah berteriak di depan wajah Sasuke. Dia bangkit tapi Sasuke menahan tangannya.
"Aku memintamu melepaskanku bukannya pergi, Idiot!"
Cengraman Sasuke dihempaskan begitu saja hingga membuatnya shock, tak percaya Naruto begitu marah padanya. Padahal sebelum pergi ke lokasi syuting yang ketiga mereka berdua masih nampak baik-baik saja. Naruto mulai mendiamkannya setelah melihat Sasori menciumnya saat syuting drama, berlanjut hingga sekarang.
"Naruto!" Ia mencoba memanggilnya tapi Naruto semakin memacu langkahnya pergi.
Sasuke mengejar, namun Naruto begitu cepat sampai di depan pintu. Ketika Sasuke berniat memanggilnya sekali lagi, bunyi deru mesin yang menggelegar memasuki indera pendengarannya.
"Si bodoh itu…," umpatnya tersenggal-senggal. Sebagai pelampiasan Sasuke meninju dahan pintu berkali-kali. Kalau sudah begini, Naruto tidak akan menemuinya sampai emosinya mereda.
…
"Nomor yang Anda tuju sedang berada diluar jangkauan. Cobalah beberapa saat lagi—"
'Piip!'
Sasuke memutus panggilan itu, lalu melempar benda persegi canggih tersebut sampai menabrak kasur. Ia lantas menjatuhkan dirinya tepat disebelah ponsel pintar itu berada.
"Dasar, Dobe, brengsek! Idiot! Usuratonkachi!"
Ia berteriak kesal. Mengutarakan segala sumpah serapah yang ia tujukan untuk Naruto. Walau sebenarnya Sasuke sadar hal itu percuma, karena tak mungkin lelaki kuning itu akan mendengarnya. Tapi lebih baik Sasuke menghujatnya seperti ini daripada ia harus menangisi pertengkarannya dengan Naruto sore tadi.
Sekarang ini sudah lewat malam. Pukul dua pagi lebih tepatnya. Sasuke tidak akan bisa tidur jika belum mendengar suara tunangannya yang menyebalkan itu. Entah sejak kapan kebiasaan itu melekat dalam dirinya. Rasa-rasanya memang sudah lama sekali.
"Haaaa, Naruto, Bodoh! Bodoh! Aku benci kau, Bodoh! Idiot!"
Bantal dan guling yang tidak berdosa menjadi sasaran kekesalan Sasuke. Setelah puas menghajar guling yang telah terlempar ke bawah lantai, Sasuke lekas mematikan lampu dan tidur dengan mulut menggerutu. Ia pasti akan terlambat untuk besok. Tak ada Naruto, itu artinya takkan ada hari berisik. Dan Sasuke membenci kensunyian sejak menyandang status sebagai tunangan Namikaze Naruto. Sepi tanpa Naruto lebih mengerikan daripada mendengar ocehan bawel lelaki itu setiap harinya.
Berkutat dengan pemikiran-pemikiran negatif dan rasa kesalnya yang membuncah membuat Sasuke tidak bisa tidur dengan nyenyak. Ia hanya berguling kesana kemari. Memikirkan Naruto. Sekaligus mengutuknya setengah mati.
'Klek!'
Mata Sasuke terbuka cepat. Ada bunyi yang mencurigakan di kamarnya. Kembali ia bangkit dari kasur dan meneliti gorden jendela kamar yang bergerak-gerak, diiringi penampakan siluet asing di tengah kegelapan. Spontan Sasuke menjerit, lalu melihat si pemilik siluet berlari ke arahnya dengan pose menerkam.
Sepasang bahunya terdorong kasar. Punggungnya menabrak permukaan kasur. Sasuke masih menjerit. Bobot asing yang menimpa tubuhnya begitu kokoh dan sulit untuk dilawan. Hanya kakinya yang mengentak di udara, mendorong-dorong selimut tebal yang teronggok di bawah kakinya.
Sasuke semakin panik. Ia diserang orang asing yang tidak mampu ia lihat sosoknya. Dua lengannya dikunci. Teriakannya berganti dengan leguhan ketika benda kenyal nan basah menubruk tepat bibirnya yang membuka.
"Mmm!" matanya melebar sempurna. Orang itu menciumnya. Orang itu menjamah kulitnya. Dan orang itu memerangkap dirinya semakin kuat.
'Naruto!' batin Sasuke berteriak histeris.
Kenapa disaat seperti ini Naruto tidak ada. Seharusnya lelaki itu ada disini untuk melindunginya.
'Drrrttt!'
Getaran samar yang menciptakan sebuah bunyi menggelitik menarik perhatian keduanya. Lampu layar ponsel yang berkelap-kelip sedikit menerangi kegelapan yang ada di kamar Sasuke. Namum meski begitu, tetap saja Sasuke tak mampu mengenali si pemilik wajah yang bersembunyi di bawah tudung jaketnya.
'Duak!'
Melalui kesempatan kecil itu, Sasuke mengayunkan lutut kakinya, menyerang selangkangan si penyusup yang saat itu terbuka. Ia lekas menendang perut lelaki itu sampai jatuh tersungkur di bawah lantai.
"Siapa kau?! Tunjukkan dirimu brengsek!" bentak Sasuke emosi. Bibirnya yang basah ia usap dengan punggung tangan. Rasanya jijik ketika menyadari bahwa dirinya baru saja mengalami pelecehan lagi.
"Kutanya sekali lagi, siapa kau?!" Sasuke bergerak waspada. Orang itu bangkit kembali dan bersiap untuk menerkamnya lagi, tetapi dengan cekatan Sasuke meraih lampu di atas meja nakas, kemudian melemparnya ke arah orang itu.
'Brak!'
Benda itu berhasil ditepis, namun melukai sedikit pergelangan tangannya. Orang itu menjerit lirih seperti berusaha menahan suara teriakannya sendiri. Dan Sasuke tidak menyia-nyiakan kesempatan ini untuk lari. Ia melesat ke arah pintu dan membukanya lebar-lebar. Tetapi, belum sempat kakinya menjejak lantai luar kamarnya, lelaki penyerang itu kembali meraup sepasang bahu Sasuke dan menyeretnya ke dalam.
"Lepaskan!" Sasuke berontak dari cengkraman itu. Ia berteriak lagi. Kakinya yang melayang oleh sergapan lengan kuat di pinggangnya, menendang ganas udara. "Hmmpp!" Tangannya yang bebas memukul-mukul panik. Ia meraba lengan si penyerang, menyentuh darah kental yang masih segar dari mulut luka si pria. Itu luka yang dihasilkan oleh lampu meja yang tadi sempat Sasuke lempar ke arahnya, dan Sasuke menancapkan kuku jarinya yang tajam untuk mengoyak luka baru itu.
"Uarghh!" Jeritan kesakitan si pria terdengar familiar di telinganya, namun Sasuke tak mampu mengingat jelas siapa tepatnya si pemilik suara tersebut. Yang Sasuke pikirkan hanya cara agar dirinya bisa terbebas dari sergapan lelaki gila ini.
'Duak!'
Sebuah tendangan lagi-lagi menjatuhkan si penyerang. Sasuke terbebas, dan ia kembali berencana lari dari area kamarnya menuju ruangan lain. Di belakang sana lelaki itu menggeram. Bibirnya yang meringis kesakitan nampak menggertakkan gigi-giginya yang putih bersih. Dia melihatnya, melihat Sasuke yang tergesa memasuki ruang tamu, lalu mengunci pintunya dari dalam. Rupanya menaklukan Sasuke jauh lebih rumit dari yang ia kira. Ia pikir jika tidak ada tunangan si raven yang brengsek itu ia bisa mendapatkan Sasuke dengan mudah, tapi ternyata tetap saja sulit.
"Naruto kumohon angkat teleponnya," racau Sasuke panik. Tangannya gemetar saat memegang gagang telepon. "Kumohon angkat, Dobe—"
'Brak!'
Suara benturan keras menyentak Sasuke. Ketakutannya semakin menjadi-jadi. Penyusup itu berencana membobol pintu pembatas antara ruang tamu dengan lorong rumahnya. Demi Tuhan, situasi sekarang ini benar-benar menegangkan.
"Cepat angkat, Naruto—"
"Hallo!" Akhirnya suara yang ia harapkan menjawab sambungan panggilannya.
"Naruto, Dobe, akhirnya kau mengangkat teleponku."
'Brak!'
Disebrang sana Naruto mengernyit dengan wajah kusut. Ia tak bisa tidur, dan matanya terlihat jelek karena adanya kantung mata berwarna kehitaman. "Ada apa?" tanyanya ketus, meski begitu telinganya begitu jeli mendengar keributan dari line telepon. Mau tak mau Naruto jadi khawatir juga.
"Ada penyusup di rumahku. Dia, dia menyerangku dan —ah!" Sasuke terpekik saat suara benturan keras lagi-lagi membentur pintu ruang tamu.
"Sasuke?" Naruto memanggilnya khawatir.
"Tolong… tolong cepatlah kesini. Aku takut!" Suara Sasuke begitu serak, dan Naruto cukup menyadari adanya nada bergetar dalam ucapannya tadi.
"Tunggu disana. Bertahanlah sebisamu sampai aku datang," Buru-buru ia meraih jaket dan kunci mobil. Ponsel yang menyala masih terapit oleh bahu dan telinganya. "De-Dengarkan aku, kalau penyusup itu sampai mendekatimu, kau harus memukulnya. Kau lihat di rak penyimpanan dekat pajangan piala-pialamu? Aku menaruh tongkat pemukul disana. Gunakan benda itu untuk melindungi dirimu."
Sasuke mengangguk cepat, dan buru-buru mendekati rak penyimpanan barang yang dikatakan oleh Naruto. Benar saja dia menemukan tongkat pemukul yang terbuat dari kayu. "Lalu… bagaimana kalau penyusup itu bisa mengelak dari pukulanku? Aku takut, Naruto!"
"Tenang, Teme! Aku jauh lebih panik sekarang!"
Suara-suara berisik di belakang Sasuke semakin menjadi-jadi. Beberapa detik hening, lalu mulai lagi, begitu seterusnya. Sasuke tak mampu memikirkan apa yang sedang pria itu lakukan di rumahnya. Ia berharap Naruto segera datang dan menangkap penyusup itu. Tapi, Naruto membutuhkan waktu sedikitnya lima belas menit untuk sampai kesini jadi tidak mungkin pria pirang itu akan sampai dalam waktu beberapa menit saja.
Sasuke mengerjapkan mata, dan tiba-tiba pandangannya berubah gelap. Ia yakin dirinya masih sadar dan berdiri tegak di tempatnya, tetapi kenapa ia tak bisa melihat apapun selain mendengar suara napasnya sendiri?
"Na-Naruto…."
'Tut… tut… tut…'
Sambungan terputus. Jarinya mencoba menekan tombol, namun tak terdengar apapun. Kesimpulan yang ia dapatkan, tak hanya listrik di rumahnya yang padam tetapi jaringan teleponnya juga. Entah apa yang dilakukan penyusup itu, yang pasti Sasuke merasa jantungnya mengentak kian brutal.
'Bruak!'
Pintu ruang tamu lagi-lagi didobrak paksa. Kali ini lebih kuat dari yang sebelumnya. Sasuke yang panik berlari cepat ke arah jejeran kursi dan sofa, lalu menyeret benda-benda itu untuk memalangi pintu yang hampir terbuka.
"Pergi! Tolong jangan ganggu aku. Siapapun kau, aku yakin aku tidak mengenalmu!"
Tetapi orang di sebrang pintu itu tak mengatakan apapun selain berusaha membobol bidang kayu tersebut. Sasuke makin panik. Punggungnya menempel pada bagian belakang sofa untuk menahan benda itu agar tidak bergeser seinchipun. Sesuai perkataan Naruto, ia harus bertahan sampai lelaki itu datang menolongnya.
Samar-samar Sasuke dapat mendengar suara deru mesin mobil milik kakaknya di halaman depan. Dan dibalik jendela yang tertutup gorden serta teralis besi, menampakkan sedikit cahaya dari lampu sorot mobil itu. Lalu getaran serta desakan di pintu yang ia palangi berhenti. Bunyi derap kaki yang bergerak menjauh tertangkap dalam indera pendengarannya.
Orang itu sudah pergi.
Sasuke tak pernah merasa selega ini sebelumnya. Ia dengan cepat menggeser semua atribut penahan pintu, dan berlari keluar ruangan setelah pintunya berhasil ia buka. Tepat di lorong menuju ruang dapur dan kamarnya, Sasuke menemukan Itachi yang sedang berdiri dekat sakelar lampu.
"Sasuke, kenapa semua lampunya mati?"
Sasuke tak menjawabnya dan hanya menubruk tubuh sang kakak dengan sebuah pelukan erat.
"Tadi ada penyusup di kamarku."
"Apa?!"
"Dia menyerangku, Niisan. Aku berusaha keras untuk kabur tapi dia malah mengejarku sampai ke ruang tamu. Pintunya bahkan dirusak. Dia seperti ingin melakukan hal buruk padaku."
Itachi melepas pelukan itu, lalu meneliti keadaan adiknya dengan raut cemas sekaligus khawatir. "Apa kau terluka?" meski suasana di tempat ini gelap Itachi masih dapat menangkap gerak gerik Sasuke yang menggelengkan kepala.
"Tapi bibirku sakit, dia tadi memaksa menciumku."
"Apa?! Lalu dimana orang itu sekarang?"
"Sepertinya sudah pergi sewaktu dia mendengar kepulanganmu."
Tak lama setelahnya, suara deru mesin mobil yang berbeda merasuk ke telinga mereka. Seakan mampu membaca pikiran adiknya, Itachi mengikuti langkah si bungsu menuju pintu utama. Disana terlihat sosok lelaki familiar dengan balutan piyama berwarna hitam sedang tergesa-gesa menuruni mobil untuk menghampiri adiknya.
"Kau tidak apa-apa? Dimana penyusup brengsek yang kau katakan tadi di telepon?"
"Sudah pergi," sahut Sasuke. Suaranya teredam di dada Naruto. "Untung saja Niisan cepat pulang. Kalau tidak mungkin dia sudah berhasil menerobos ruang tamu setelah merusak pintunya."
"Jadi dia kabur?"
Sasuke mengangguk dengan kepala yang masih terbenam di dada Naruto. "Aku takut nanti dia akan datang lagi."
"Ya, dia memang harus datang lagi agar aku bisa segera menangkapnya," mata Naruto melirik Itachi yang bergerak memasuki rumah. Lelaki itu pasti kecewa padanya karena sudah membiarkan Sasuke sendirian saat penyusup itu datang. "Maafkan aku. Sore tadi aku sudah bersikap sangat kekanakan, seharusnya aku tidak meninggalkanmu sendirian di rumah."
Sasuke mengangguk lagi. Tubuhnya menggigil ketika merasakan hembusan angin di kulitnya. Ia kian merapatkan diri dan membiarkan Naruto menggiring tubuhnya sambil terus mendekapnya dengan hangat. Mana mungkin Sasuke bisa marah jika Naruto sudah memperlakukannya selembut ini.
…
"Ah, selamat siang, Sasuke-san?"
Baru saja Sasuke menginjakkan kakinya di lantai studio, seorang lelaki familiar segera menyambutnya dengan ramah.
"Selamat siang juga, Juugo-san. Tidak kusangka kita akan kembali ber-partner untuk majalah ini."
"Ya, aku lebih tidak menyangkanya. Sungguh, aku sangat senang sekali, Sasuke-san."
Rona wajah lelaki itu nampak sumringah, sepertinya ia memang sangat menantikan hari ini. Siapapun tahu, Juugo adalah salah satu fans Uchiha Sasuke, jadi tidak heran kalau lelaki itu sering menatapnya dengan pandangan berbinar atau memuja seperti yang ia lakukan sekarang.
"Oh, Sasuke-san kau sudah datang? Gaara baru saja bertanya padaku tentang dirimu. Sesi pemotretan akan dilakukan setengah jam lagi, sebaiknya kau segeralah bersiap-siap. Lihat? Juugo-san bahkan sudah memakai kostum untuk pemotretan kalian nanti."
Sasuke mengangguk-angguk mengerti saat lelaki bersurai hitam bernama Utakatta menyapanya di depan pintu studio seperti Juugo. Utakatta merupakan asisstant Gaara sebagai juru Fotographer, dan lelaki itu jugalah yang mengusulkan pada Owner majalah ini untuk menjadikan Sasuke dan Juugo sebagai model majalah mereka dua kali berturut-turut dalam dua pekan terakhir.
"Segala keperluanmu sudah disiapkan oleh team make up di ruangan tata rias," imbuhnya.
Sasuke kembali mengangguk sembari melempar senyum ramah pada Utakatta yang langsung terdiam di tempatnya. Siapa yang mampu menolak pesona Uchiha bungsu itu? Jawabannya tentu saja tidak akan ada. "Aku akan segera bersiap-siap, tapi… setelah Naruto selesai membawakan barang-barangku," Ia melirik ke belakang, ke arah sosok seorang pemuda bersurai pirang yang tak lain adalah Naruto.
"Apa lagi yang kau inginkan, Princess?"
"Hn. Antarkan aku ke ruang tata rias sekarang."
"Segera dilaksanakan!"
Sasuke mengulum senyum tipis di bibirnya. Suara riang Naruto adalah penyemangat untuk segala aktivitas hariannya yang cukup melelahkan. Ia akhirnya berjalan menuju ruangan yang disebutkan oleh Utakatta bersama Naruto. Melihat pria yang telah menjadi kekasih sekaligus tunangannya itu ikut tersenyum, tak ayal membuat pipi Sasuke yang putih menjadi bersemu merah. Dan sama seperti halnya dengan Sasuke, dua orang pria yang juga melihat senyuman itu lekas tertegun di tempatnya berdiri. Jika Sasuke memiliki jenis senyuman yang menawan, lelaki pirang itu justru memiliki jenis senyuman yang hangat dan… menggairahkan.
Proses make up Uchiha Sasuke tidak selama yang orang-orang pikirkan karena tanpa memoles terlalu banyakpun wajah tampan Sasuke sudah terlihat alami. Ia hanya perlu sedikit penataan di bagian rambut dan mengganti pakaian dengan kostum yang sudah disediakan, setelah itu ia lekas digiring menuju ruang pemotretan dimana Juugo selaku partnernya dalam satu frame sudah bersiap-siap di tempatnya bersama dengan sang fotographer.
"Oh, Sasuke-kun, kau tampak luar biasa dengan kostum tema 'musim dingin' itu," puji Gaara berbinar-binar. Mata jade-nya menilik satu set pakaian ala musim dingin yang melekat di tubuh ramping Sasuke. Mantel berwarna cokelat muda yang melapisi kaos rajutan berwarna hitam, dipadukan dengan boots berwarna putih susu yang juga sewarna dengan penutup telinga berbulu yang ada di sekitar lehernya atau sepasang sarung tangan tebal yang melapisi dua telapak tangan kecil itu. Gaara berdecak tanpa sadar, betapa ia mengagumi sosok Sasuke yang memang benar sempurna adanya seperti perkataan banyak orang.
"Terima kasih," sahutan Sasuke disertai senyum tipisnya lagi-lagi menghipnotis dua pria dewasa di hadapannya.
Juugo-lah yang pertama kali berhasil menyadarkan diri dari keindahan semu itu. Ia lantas berdeham kecil. "Gaara-san, mungkin sudah saatnya sesi pemotretan dimulai."
"Oh," seakan tersadar oleh ucapan Juugo, Gaara segera menyambar kamera yang tergantung apik di sekitar lehernya sembari melempar senyum kikuk pada Sasuke. "Ayo kita mulai pemotretannya. Bukankah setelah ini Sasuke-kun masih ada jadwal di lokasi syuting?"
Sasuke mengangguki pertanyaan itu, lalu melempar pandang pada Juugo yang sudah bersiap di depan layar properti dengan balutan kostum serupa seperti dirinya. Tapi sebelum ia melangkah menuju pria berambut oranye itu, Sasuke sempat melirik Naruto melalui ekor mata dan mendapati lelaki tercintanya ternyata sudah berdiri tegak di salah satu sudut ruangan dekat dengan beberapa pegawai studio yang juga ingin menyaksikan prosesi pemotretan ini. Dalam hati Sasuke menduga-duga hukuman seperti apa yang akan Naruto berikan padanya nanti untuk melampiaskan hasrat cemburu kekasih kuningnya itu setiap kali melihat Sasuke berdampingan dengan pria lain dalam prosesi syuting maupun pemotretan seperti ini.
Mungkin ia akan berakhir dicium sampai pingsan, dan itu artinya lebih parah dari apa yang sempat dilakukannya pada saat Sasuke beradu akting bersama Sasori tempo hari. Ingatkan Sasuke untuk menggeplak kepala idiot kekasihnya jika hal itu benar-benar dilakukan Naruto terhadap dirinya.
…
Sesuai prediksi Sasuke sebelumnya, Naruto rupanya memang cemburu melihat kedekatannya dengan Juugo saat pemotretan berlangsung. Jika Sasuke bisa menyerukan sumpahnya dengan suara lantang, ia berani mengatakan bahwa itu hanya sebatas profesionalisme pekerjaannya semata, tidak ada unsur berlebihan seperti yang dituduhkan Naruto kepadanya. Lelaki kuning itu terlalu pencemburu, hal itu terlihat jelas pada kedua sinar matanya yang seolah membara.
"Ukh!" Sasuke meringis serak ketika bibirnya yang dilumat kasar oleh Naruto mendapatkan gigitan yang lumayan menyakitkan. "Chukuph!" sekuat tenaga ia mendorong dada yang menghimpitnya ke tembok, tapi nampaknya ia tak mampu menggesernya seinchipun.
Sasuke pasrah pada keadaan. Ketika mendapatkan cela untuk meloloskan bibirnya, ia lekas memalingkan wajahnya ke samping. Menghirup napas banyak-banyak selagi Naruto menyantap bagian rahang serta lehernya yang berkilat penuh keringat.
"Berhenti Naruto…," ia merengek sambil bergerak tak nyaman. Tubuhnya tidak bisa bergerak leluasa karena Naruto masih menghimpitnya kuat-kuat. Kedua tangan Sasuke bahkan rasanya sudah kesemutan dicekal oleh cengkeraman otot kekasihnya yang lumayan kekar.
Namun sekali lagi bibirnya dicuri, dibungkam oleh lumatan panjang penuh tuntutan. Seharusnya Sasuke mengerti, tidak mudah menjadi kekasih seorang artis ternama seperti dirinya. Sejak ia memutuskan menjalin kasih dengan mantan boduguardnya ini, mereka sudah sepakat untuk tidak akan mengganggu aktifitas masing-masing pihak. Sasuke tidak akan mengeluh jika Naruto tak bisa menemaninya karena harus menyelesaikan sebuah misi, dan Naruto juga tidak akan melarang Sasuke menjalani kehidupannya sebagai seorang artis. Dan tentunya Naruto memiliki syarat tambahan atas semua hal yang dilakukan Sasuke untuk pekerjaannya.
Dia memperbolehkan Sasuke melakukan kontak fisik pada lawan mainnya, seperti; berpelukan, atau ciuman- jika memang hal itu diperlukan dalam proses syuting, asalkan setelahnya Naruto boleh menyalurkan perasaan cemburunya pada apapun yang ingin ia lakukan kepada Sasuke. Tetapi sejauh ini Naruto hanya akan mencium atau menghajarnya di atas ranjang jika hal itu memang terlalu panas untuk hatinya yang mudah terbakar oleh cemburu.
"Naruto, setelah ini aku masih ada syuting lagi-"
"Berhentilah, Sasuke… Kumohon berhentilah, aku sudah tidak sanggup lagi."
Permintaan lirih itu membungkam keinginan Sasuke untuk berdiri. Ia kembali terdiam dan membiarkan dirinya dipeluk erat-erat oleh lengan lebar kekasihnya. Sasuke paham jika Naruto sudah tidak kuat melihatnya disentuh orang lain, karena iapun juga akan melakukan hal demikian jika Naruto yang berada di posisi dirinya. Tetapi, dunia entertainment adalah mimpinya sejak kecil. Ketika dirinya sudah berada di puncak kesuksesan apakah ia harus berhenti dan merelakan semua usaha kerasnya demi Naruto?
"Kumohon Sasuke, berhentilah… Lalu menikahlah denganku."
Tremor dadakan menghinggapi seluruh otot-otot di tubuh Sasuke. Naruto baru saja melamarnya setelah sekian lama ia menunggu kalimat itu terucap dari bibir kekasihnya.
Wajah Sasuke diraih, bibirnya kembali dikecup. Perasaan hangat menyelubungi persendian hatinya hingga terasa melayang bagaikan kapas ringan.
"Kau mendengarku kan? Menikahlah denganku."
Iris biru yang selalu dikaguminya tengah memandang tepat pada dua retinanya yang mengembun penuh rasa haru.
"Naruto… aku…."
"Ooops, maaf! Aku tak sengaja," Sasori menutup pandangannya dengan gestur pura-pura menyesal. Lelaki itu berdiri di depan pintu ruangan khusus Sasuke dan baru saja membukanya dengan lancang.
Naruto dan Sasuke lekas tersentak dan menjauh secara naluriah, meskipun sebenarnya hal itu tidak perlu, mengingat keduanya adalah sepasang kekasih yang telah bertunangan. Hal ini juga tidak akan menjadi skandal jikapun awak media yang memergoki mereka sekarang.
"Sasori! Apa yang kau lakukan disini?" seru Sasuke spontan. Keterkejutan masih nampak jelas terlihat dari sorot matanya.
"Gai-san menyuruhku untuk memanggilmu. Kau lama sekali sih, jadi kupikir kau tertidur tapi ternyata…," kelereng coklat milik Sasuke melirik raut sangar Naruto. Ia meringis dalam hati karena sudah berani-beraninya membangunkan rubah tidur. "Sekali lagi aku minta maaf. Aku benar-benar tak sengaja."
"Ck!" perkataan Sasori menuai decakan sinis dari Naruto.
"Sudah tidak apa-apa. Aku akan segera menyusul sebentar lagi," cepat-cepat Sasuke bangkit dari sofa dan membenarkan penampilannya yang sempat diacak-acak oleh Naruto.
"Baiklah aku akan mengatakannya pada Gai-san. Kalau begitu kutunggu kau di lokasi," seulas senyum tipis terpoles di bibir delima Sasori. Dan Sasuke turut membalasnya dengan senyuman serupa.
Namun sekilas ia melihat perban yang melingkari pergelangan tangan Sasori dan nampaknya luka itu masih terlihat baru karena kemarin ia tidak melihatnya saat syuting.
"Sasori, tanganmu."
Ucapan Sasuke sedikit menyentak gerakan Sasori. Lelaki itu nyaris menutup pintu kalau suara Sasuke tidak mencegahnya pergi. "Oh, ini?" ia menunjukkan lilitan perban itu lalu tersenyum kikuk. "Semalam aku terbentur pinggiran bak mandi saat ingin mengambil handuk. Ceroboh sekali ya? Hahaha."
"Oh, kau harus berhati-hati lain kali," tanggap Sasuke. Sasori mengangguki nasihat itu dengan sedikit rona merah di pipinya. Ia nampak senang mendengar Sasuke berkata demikian. Tapi lain halnya dengan Sasuke yang justru kembali teringat pada sosok penyusup di kamarnya kemarin malam. Kalau tidak salah penyusup itu juga seharusnya terluka di bagian yang sama dengan Sasori karena menepis kaca lampu tidur yang pecah lalu menggores sedikit kulit tangannya.
"Sasuke," Naruto mengagetkan lamunan Sasuke sampai membuat lelaki itu berjengit. "Ada apa?"
Wajahnya dibungkus hangat oleh telapak tangan lebar Naruto. Melihat ekspresi kekasihnya yang mendadak khawatir sedikitnya membuat perasaan Sasuke bagai tercubit. Ia tak boleh berprasangka buruk, apalagi sampai hal ini diketahui Naruto. Kekasihnya yang tempramental itu pasti akan langsung mendesak Sasori, lalu menyeretnya ke kantor polisi untuk segera diinterogasi.
"Aku tidak apa-apa. Hanya melamun, dan… aku harus segera keluar kalau tidak Gai-san akan menceramahiku panjang lebar."
Setelah berkata demikian Sasuke lekas mencium singkat bibir Naruto, kemudian melesat cepat keluar ruangan. Sasuke tidak ingin dugaannya membebani kegiatan syutingnya hari ini. Tapi nampaknya hal itu hanya menjadi angan-angannya semata, karena sampai proses syuting selesaipun Sasuke tetap tidak bisa mengenyahkan bayangan siluet si penyusup dari pikirannya.
"Suke, aku akan menunggumu di mobil," pesan Naruto padanya sambil mengangkat dua jinjingan tas besar berisi semua keperluan syuting milik Sasuke.
"Hn, aku akan segera menyusul," kata Sasuke. Tanpa sadar ia terlalu banyak melamun sampai mengganti bajupun terkesan lama. Untung saja Naruto tidak memperhatikannya, kalau tidak, lelaki kuning itu pasti akan mendesaknya sampai ia menceritakan semua isi pikiran yang membebani otaknya terkuak.
Sasuke membuang napas pelan-pelan. Letih yang memberati dua bahunya membuat ia ingin secepatnya terlelap di atas kasur. Sasuke mengusap raut wajahnya yang dihiasi butiran keringat, lalu menyampirkan pakaian bekasnya di antara lengan kiri. Ia harus menyusul Naruto secepatnya, kalau tidak lelaki itu pasti akan kembali mengkhawatirkannya secara berlebihan.
"Sasuke-kun!"
'Bruk!'
Belum sempat Sasuke berbalik, sebuah pelukan erat lekas menerjang pinggang beserta dua lengannya yang terperangkap bersamaan.
"Sasuke-kun, ternyata kau disini. Aku mencari-carimu sejak tadi."
"Siapa kau?"
"Aku? Sakura, calon istrimu."
"Ap-ah!"
"Ayo kita menikah sekarang, Sasuke-kun," ajak wanita itu tanpa mempedulikan raut kesakitan yang tercetak di wajah tampan idolanya. Sakura justru semakin mengeratkan pelukannya yang sekuat lilitan anaconda.
"Lepaskan, lepaskan aku!" sentaknya.
"Tidak mau~" bukannya takut Sakura justru malah menarik Sasuke ke arah sofa. Ia sedikit kesulitan ketika Sasuke mulai memberontak melepaskan dirinya dari pelukan itu. Bagaimanapun Sasuke itu laki-laki jadi wajar kalau tenaganya lebih kuat dari perempuan, tapi sayangnya Sakura juga bukan tipe perempuan biasa. Tenaganya jauh lebih kuat dari lelaki-lelaki kebanyakan, dan hal itu juga yang menyulitkan Sasuke untuk melepaskan dirinya dari lingkaran tangan si gadis.
"Sebentar," ucapnya lagi. Segera ia banting tubuh Sasuke menabrak sandaran sofa empuk. "Kyaa! Sasuke-kun tetap tampan walaupun tanpa make up! Sasuke-kun memang sangat tampan, pokoknya Sakura suka!"
Sasuke bergerak risih ketika gadis itu kembali menubruknya namun kali ini dari depan, membuat tubuh Sasuke terjungkal ke belakang dan lagi-lagi menabrak sandaran sofa. Ia meringis nyeri, dan seketika pandangan berbinar Sakura mengunci manik onyxnya.
"Sasuke-kun tidak lupa pada Sakura kan?" rajuk si gadis dengan mata berkaca-kaca. Tak lama ia menangis. Sangat keras sambil menarik sesuatu dari saku celana hotpantsnya. "Berhenti memberontak Sasuke-kun! Sakura sudah lelah main kejar-kejaran sama Sasuke-kun. Jadi Sasuke-kun tidak boleh menghindariku lagi!"
Benda tajam berkilat teracung di depan ujung hidung Sasuke. Benda itu adalah pisau. Rupanya gadis itu sudah gila, karena untuk apa menyembunyikan benda berbahaya seperti itu di dalam sakunya, terlebih lagi mengacungkannya begitu saja di depan orang lain. Mau tak mau Sasuke berhenti meronta-ronta dan membiarkan gadis itu menatapi wajahnya.
Mencoba tetap bersikap tenang, Sasuke bertanya dengan suaranya yang datar. "Apa maumu?"
"Maunya Sakura?" dua kerjapan mata hijau si gadis menatap polos raut risih Sasuke. "Kyaaa hahaha! Maunya Sakura tentu saja menikah. Sakura kan mencintai Sasuke-kun."
"Ja-jangan bercanda."
"Siapa yang bercanda, Sasuke-kun? Sakura kan serius."
"Tolong menyingkirlah."
"Tidak mau!" tanpa diduga-duga gadis itu berteriak kencang. Pisau yang sejak tadi teracung di depan wajah Sasuke, menusuk ganas sandaran sofa di sebelah tubuhnya. "Sakura benci ditolak! Sasuke-kun sama saja seperti mereka! Padahal Sakura cantik, tapi semuanya tidak pernah mencintai Sakura dengan tulus," setelah marah-marah tidak jelas, gadis itu kembali menangis. Kali ini disertai umpatan pada nama-nama yang tidak Sasuke kenali. Sekarang Sasuke ingat gadis ini, dia adalah gadis yang sempat membuat keributan di lokasi pemotretan waktu itu.
"Pokoknya semua yang menyia-nyiakan cinta Sakura harus mati!" tatapan dingin Sakura membekukan pergerakan Sasuke. Gadis itu memeluknya sangat erat, kepalanya tertumpu di atas bahu Sasuke yang sebelah kiri, sementara mulutnya dengan lancang mengecupi leher sang idola.
"Lepaskan aku! Hey!" tangannya menelusup dari segapan kuat Sakura dan mulai mendorong-dorong tubuh si gadis sampai terjatuh dari atas pangkuannya menuju lantai.
"Sasuke-kun, jahat~" dan dia melancarkan tangisannya lagi.
Sasuke sudah tidak peduli. Naruto telah lama menunggunya di dalam mobil, dan Sasuke juga harus secepatnya pergi dari tempat ini sebelum gadis gila itu-
"Aargh!" tak sempat melangkah lebih dari dua hasta, kaki Sasuke lekas terjungkal lemas dengan dua betis yang berdarah. Serat kain yang melekat di sepasang kaki jenjangnya telah digores tajam oleh Sakura yang nampak marah. Gadis itu mendekati Sasuke yang terbaring di atas lantai ubin dan hendak menindihnya lagi.
'Buak!'
Tiba-tiba Sakura terlempar ke arah samping. Kepala merah mudanya mencetak sebuah memar dan sedikit darah.
"Sasuke-kun kau tidak apa-apa?"
Itu suara Sasori. Sasuke menoleh terkejut pada sesosok lelaki bersurai merah yang telah menolongnya.
"Sasori, kau…."
"Ayo pergi, Sasuke-kun," ajaknya dengan nada khawatir. Gadis bernama Sakura itu sedang berusaha bangkit setelah kepalanya ia tendang sangat keras. Sasuke tak pernah menyangka kalau Sasori berani melukai seorang gadis meskipun gadis itu orang gila.
Sasori memapah tubuh Sasuke sambil mengatur langkah mereka sedikit lebih cepat. Ia sempat melihat adanya luka goresan di kedua betis belakang Sasuke. Tak heran kalau lelaki raven yang begitu ia gila-gilai setengah mati mendadak pincang begini.
"Dimana Naruto-san?"
"Dia menungguku di mob-aargh!" helai rambut Sasuke terasa dijambak sampai kepalanya terseret ke belakang. Pegangan Sasori seketika itu lepas dari tubuhnya, dan Sasuke kembali terjungkal di atas lantai.
"Hahahaha Sasuke-kun mau pergi kemana? Sakura kan belum selesai," Sakura mendekati Sasuke seraya menyentuhkan ujung pisau yang ia pegang di sekitar bibir dan pipi sang raven.
"Sial, gadis gila ini…," ucap Sasori geram. Dia beranjak cepat untuk melayangkan sebuah pukulan di perut si gadis. Sasori lekas membantu Sasuke yang terlihat shock, dan mendadak kepalanya serasa dihantam dengan sesuatu yang keras sampai ia memekik jatuh. "Uarrgh!"
"Sasori!"
"Sasuke-kun~ Hehehe…."
"Be-berhenti kau gadis gila!" pandangan Sasuke berubah semakin horor ketika menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri saat Sakura tiba-tiba bangkit dan langsung menghantamkan ujung sol sepatu ketsnya ke kepala Sasori.
"Sakura tidak ingin ditolak lagi! Sakura hanya butuh hati Sasuke-kun, jadi Sakura akan memaksa mengambilnya jika Sasuke-kun bersikeras menolak Sakura!"
Pisau teracung tinggi-tinggi bersiap mengoyak kulit dan daging Sasuke dengan ganas. Lelaki raven itu terlalu terkesiap ketika melihat adanya kilatan cahaya yang terpantul pada benda stainless itu. Dan secepat kerjapan mata sesuatu yang lebih cepat sudah lebih dulu melesat menusuk dada Sakura. Membuat gadis itu tersentak kaget untuk mencabutnya. Tapi tak lama tubuhnya langsung terhuyung jatuh tak sadarkan diri.
"Suke!" Naruto meneriaki nama kekasihnya tak jauh dari tempat Sasuke tergeletak. Lelaki kuning itu masih mengacungkan pistol biusnya setelah menembak Sakura tepat di dada. Gadis itu hanya pingsan, dan untunglah ia membawa pistol itu untuk berjaga-jaga kalau-kalau ada fans fanatic yang kembali mencoba membuat keonaran seperti ini.
"Na-Naruto," ujar Sasuke terbata-bata. Ia menenggelamkan dirinya ketika Naruto datang dan memeluknya dengan erat.
"Kau terluka?"
"Kakiku, dan… Sasori… Sasori juga terluka karena menolongku."
Pandangan tajam Naruto menelisik keadaan sekitar termasuk Sasori yang sedang berjuang untuk duduk dengan kepala yang berdarah. Lelaki itu tak banyak bersuara selain mendesis saat dirasanya pusing yang berdendam-dentam di kepalanya semakin parah.
TBC
Notes : Ga maksud nambah utang kok tapi ini memang kepanjangan. Maaf kalo akhir-akhir ini saya sering ngaret ataupun menghilang dari ffn. Maklum wanita kurir itu super sibuk hehehe dan kemungkinan selama bulan puasa doang saya punya waktu kosong selama sebulan penuh, tapi tetep akan saya usahakan untuk up selagi sempet kok. Sebenernya tinggal ngerampungin draft2 yang ada di lepy tapi tiap kali mau ngelanjut ataupun nyelesaian kerangka yang sudah ada, otak tiba2 mumet dan mood juga jungkir balik kaya rollercoaster. Jadi saya cuma bisa elus dada sambil minta dukungan semangat dari kalian.
