Disclaimer: Harvest Moon dan segala karakternya bukan milik saya, saya cuma punya plot ceritanya :3
.
.
.
~1~
"One Million Joule Energy of Your Smile"
.
.
Spring.
Claire melihat ke luar jendela kereta, menikmati pemandangan pedesaan yang berlalu dengan cepat. Musim semi baru saja tiba dan sisa musim dingin masih terlihat sana-sini. Tunas-tunas hijau mulai muncul dari pepohonan yang meranggas selama musim dingin. Begitupun di atas tanah, rumput-rumput baru mulai tumbuh dari sela-sela serasah dan dedaunan mati. Udara yang segar, sejuk, dan mulai menghangat membuat Claire merasa sangat nyaman. Ia terus tersenyum sambil melihat pemandangan sepanjang perjalanannya. Namun bukan hanya karena pemandangan yang indah itu ia tersenyum. Ia telah menemukannya. Ya, dia: cinta, obsesi, dan mungkin seluruh hidup Claire.
Pukul 8.30 pagi. Setelah menempuh perjalanan selama 2 jam dengan kereta dan 3 jam perjalanan dengan kapal motor, akhirnya Claire tiba di desa kecil yang menjadi tujuannya: Mineral Town. Suara burung-burung camar yang berpadu dengan deburan ombak, pantai berpasir coklat muda, langit yang biru jernih dengan hanya secuil awan, menjadi pemandangan pertama yang dilihatnya di kota ini.
Claire merogoh saku jaketnya dan mengeluarkan sebuah notes kecil bertuliskan alamat tempat tinggalnya nanti. Karena ia sama sekali buta arah, ia bertanya pada salah satu awak kapal yang membawanya. Beruntung awak kapal itu mengenal daerah ini. Dengan mengikuti arahannya, Claire berjalan sambil membawa ransel besarnya. Ia dapat merasakan jantungnya berdetak cepat saat ia mulai memasuki wilayah pemukiman. Sebenarnya tak ada satu orang pun yang ia temui di jalan, namun matanya terus saja mencari-cari pria yang menjadi tujuannya datang ke kota ini.
Setelah berjalan beberapa menit akhirnya ia menemukan seseorang. Seorang pria berkaca mata, dengan potongan rambut yang sejujurnya sedikit aneh menurut Claire. Ia tampak sedang memberi makan ayam-ayam peliharaannya.
"Ah, halo, selamat pagi!" sapa Claire sambil berjalan mendekati pria itu. Pria itu menyambut sapaannya dengan ramah.
"Hey. Aku baru pertama kali melihatmu... kau turis? Ah, kau mencari penginapan?" tanyanya bertubi-tubi.
Claire tersenyum sambil menggeleng, "Bukan, aku orang baru yang akan tinggal di Farm. Perkenalkan, namaku Claire!"
Perkenalan Claire rupanya membuat pria itu cukup kaget. Claire bisa melihatnya dari cara pria itu membulatkan matanya sambil mengerutkan dahinya.
"Eh? Kau?" tanyanya sambil menunjuk Claire.
"Ya, aku. Kenapa?"
"Ah... tidak, haha. Kupikir yang pindah ke sana laki-laki!" serunya. "Yah, tak masalah. Namaku Rick! Jika kau butuh ayam atau apapun, katakan saja, Claire," lanjutnya dengan wajah tersenyum lebar.
"Tentu! Senang bertemu denganmu, Rick!" balas Claire. Keduanya kemudian berpisah dengan saling melambaikan tangan. Claire lalu melihat sebuah bangunan bertuliskan "Saibara's Blacksmith". Begitu matanya membaca papan nama itu, hatinya langsung menghangat. Dan entah bagaimana tiba-tiba air mata menetes dari ujung matanya. Inilah alasan Claire pergi ke desa kecil ini.
Clang!
Pintu blacksmith terbuka dan seorang pria berambut pirang keluar dari sana. Mata mereka bertemu untuk beberapa saat. Melihat Claire menangis, pria itu sempat menaikkan alisnya sedikit, agak kaget. Menyadari hal ini Claire dengan cepat mengusap mata dengan punggung tangannya.
"Ah, halo," sapa Claire dengan nada sedikit bergetar.
"Oh, ya. Permisi," kata pria itu. Tampaknya ia tak mau terlibat dalam keadaan canggung tadi terlalu lama dan memilih untuk pergi.
Di satu sisi perasaan Claire berkecamuk saat melihat punggung pria itu menjauh. Ia ingin meraihnya. Ia ingin memeluknya. Tapi seperti dugaannya... pria itu sama sekali tak mengenalinya.
Bagaimana ini?
Dia akan pergi...
Apa aku akan kehilangan kesempatanku lagi?
Tidak...
"Sen..."
Jangan pergi...
"GRAY-SENPAI!" teriak Claire sangat keras dengan sekuat tenaganya.
Mendengar namanya disebut, pria itu menghentikan langkahnya dan berbalik. Yang dilihatnya adalah seorang gadis berambut pirang dengan air matanya terus saja menetes satu per satu. Pemandangan yang janggal ini membuatnya mengerutkan dahi. Bagaimana gadis ini tahu namanya?
Claire mengepalkan tangannya sambil menatap Gray lekat-lekat.
"Aku... aku..."
Gugup.
"Aku..."
Aah... sudahlah!
"Aku suka padamu!"
.
Akhirnya kukatakan
.
"Eh?" Gray melongo mendengar pengakuan cinta tak terduga dari seorang gadis yang tak dikenalinya.
.
Perasaan yang telah kusimpan selama sembilantahun ini
.
"A... ah! Aku adik kelasmu di SMP. Mu-mungkin kau tidak mengenalku... tapi aku selalu, selalu, selalu menyukaimu selama ini!" kata Claire terbata-bata. Ia mencoba melihat mata biru Gray, tapi tak sanggup. Lebih dari ini, Claire merasa ia bisa mati karena serangan jantung.
Bagaimanapun, itu mata yang selalu ada di pikirannya. Wajah yang selalu muncul di balik otaknya meski ia telah berusaha menyingkirkannya. Keberadaan yang tak masuk akal, karena Claire sama sekali tak pernah menemui Gray sejak kelulusannya.
"Uhm... maaf? Mungkin kau salah orang? Namaku memang Gray, tapi..."
"Tidak, itu kau," potong Claire. "Gray Freecs-senpai. Lahir di Emerald City, 5 Winter. Siswa Sekolah Menengah Emerald, lalu Sekolah Teknik Forget-me-not valley. Teman dekatmu saat Sekolah Menengah adalah Mark-senpai dan Amir-senpai. Makanan kesukaan jagung bakar, suka tempat tinggi, waktu Sekolah menengah suka sekali membaca buku astronomi!" cerocos Claire panjang lebar.
Gray hanya terdiam, lebih tepatnya melongo. Cengo. Ia tidak tahu harus membalas apa, karena Gray yang dimaksud kemungkinan besar memang dia. Tapi ia sama sekali tak mengenal gadis pirang ini... mungkinkah...
"Kau stalker?" tanya Gray dengan kerutan dalam di dahinya. Pertanyaan yang tampaknya menjadi pukulan telak di ulu hati Claire.
"Eh... ti-tidak. Mu-mungkin? Ah... tapi aku tak pernah melakukan hal yang buruk! Aku..." Claire berusaha membela diri. "Aku hanya ingin bertemu denganmu. Karena itu aku mencari... tahu," lanjut Claire dengan suara yang semakin kecil.
Gray memperhatikan gadis itu dari ujung kepala sampai ujung kaki. Di punggungnya ada tas backpack yang cukup besar, jelas ia baru melalui perjalanan panjang. Lalu ia ingat Mayor Thomas beberapa lalu mengatakan akan ada petani baru yang membeli farm di selatan. Katanya, luar biasa ada yang mau membeli farm super terbengkalai itu. Dan saat itulah ia menyadari sesuatu. "Jangan bilang...?"
Kecurigaan Gray terjawab oleh senyum lebar Claire. Gray yakin ia bahkan bisa melihat bunga-bunga pink di sekeliling Claire saat ia mengutarakan tekadnya dengan terus terang.
"Aku kemari untuk mengejarmu. Yoroshiku, Senpai!"
Sejak itulah dunia Gray yang yang damai tampaknya akan mulai berubah.
"Kau dengar petani baru itu? Dia wanita, tapi dia sunguh pekerja keras!"
"Kau benar! Kemarin kutengok, ia masih menggarap tanahnya sampai jam 6 sore!"
"Eeh... aku sih tak akan sanggup melakukan itu!"
"Ahaha! Tapi kasihan juga. Anak seperti itu mungkin tak ada waktu memikirkan cinta-cintaan!"
"Ya, ya! Aku yakin di kepalanya cuma ada satu tujuan: jadi petani sukses!"
"Ahahahaha!"
Gray mengernyitkan dahinya saat mendengar suara keras ibu-ibu Mineral Town yang bergosip di Rose Square. Sebetulnya ia hanya kebetulan melewati Rose Square untuk mengantarkan sekardus paket pisau dapur pesanan pada Zack, tapi malah mendengar hal seperti ini. Entah kenapa jantungnya terasa gatal oleh perasaan tidak nyaman. Ibu-ibu itu salah besar. Tujuan Claire mungkin sama sekali jauh dari menjadi petani sukses. Begitu mengingat kata-kata Claire kemarin, Gray merasa bulu kuduknya berdiri.
"Mengejar... ku?" Gray memastikan apa yang didengar telinganya tidaklah salah.
"Yup! Ne, senpai, apa kau sudah punya pacar?" tanya Claire blak-blakan. Sebuah pertanyaan yang menohok bagi Gray yang sejak menetap di kota ini terus saja menjomblo. Bukan karena tidak ada gadis yang disukainya, bukan. Tapi karena ia tak punya keberanian untuk mengungkapkan perasaannya selama satu tahun ini. Begitu wajah gadis yang disukainya muncul di pikirannya, wajah Gray secara otomatis memerah.
"Be-belum. Tapi segera!" dengan seringai canggungnya, dengan yakin Gray memproklamirkan tekadnya.
Claire tersenyum simpul melihat sikap Gray itu. Matanya bersinar. Persis seperti penjelajah gua gelap penuh dedemit yang akhirnya menemukan sinar matahari setelah berjalan berhari-hari.
Sejak itu Claire benar-benar selalu datang ke Blacksmith setiap pagi untuk menyapanya. Gray menelan ludah. Mungkin ia sudah salah langkah. Harusnya ia bilang saja ia sudah punya istri sekalian, agar gadis itu menyerah. Bagaimanapun, dikejar gadis yang sama sekali tak diingatnya membuat Gray merasa tak nyaman.
Berjalan sambil berpikir membuatnya tanpa sadar sudah berada di depan rumah pantai Zack. Pintu rumah Zack terkunci. Pertanda pria berotot itu tak ada di rumah. Mata Gray menyusuri laut dangkal kehijauan di dekat daratan pantai, terus menyusuri tepi pantai, mencari tanda-tanda kehidupan di pantai itu. Tapi seperti biasa, pantai Mineral Town selalu sepi kecuali saat festival atau ketika ada kapal barang maupun penumpang yang berlabuh. Ah, tidak. Sebenarnya bukan hanya pantai ini yang sepi. Wilayah pemukimannya pun cenderung sepi. Apalagi jika menyusur jauh ke hutan Mother's Hill, tak ada orang di sana. Hanya Gotz si tukang kayu yang tinggal di pintu masuk hutan, sengaja mendedikasikan dirinya untuk mengamankan hutan.
Bagi Gray, tak banyak yang bisa dilakukannya di desa kecil ini. Hanya belajar blacksmith, ke perpustakaan, sesekali ke gunung dan tambang, mengobrol dengan sohibnya di Inn... Yah, mungkin itu cukup banyak. Tapi bagaimana dengan Claire? Apa dia benar ke desa yang tak ada apa-apanya ini hanya untuk mengejarnya? Seberapa gila gadis itu?
"Hah, terserahlah," gumam Gray, memutuskan untuk tidak peduli padanya. Ia lalu duduk di bangku panjang di depan rumah Zack, meletakkan kardus cukup besar berisi pisau di dekat kakinya. Suara angin, ombak dan burung camar membuatnya cukup hanyut dalam lamunan. Tak lama kemudian, ia mulai tertidur.
"Senpai!"
Gray membuka matanya. Dengan pandangannya yang masih kabur, ia bisa mengenali bayangan dua orang di depannya. Zack dan... Claire. Ah, tentu saja. Memang siapa lagi manusia di desa ini yang menyebutnya dengan 'senpai'?
"Kau menungguku?" tanya Zack.
"Ah... ya," Gray menganggukkan kepalanya. Ia merenggangkan otot leher, lengan dan kakinya yang kaku. "Tolong antarkan pisau-pisau ini ke tuan Chen di pelabuhan Sunshine Island," pinta Gray sambil menyerahkan amplop cokelat panjang pada Zack. Zack membuka amplop itu, mengintip sesuatu yang ada di dalamnya, lalu tersenyum.
"Baiklah, Mr. Blacksmith. Nanti sore kardus ini akan berangkat bersama barang-barang lainnya!"
Mendengar kesanggupan Zack, Gray merasa tenang. "Okay, terimakasih, Zack," ucap Gray sambil tersenyum. Senyuman yang biasa saja bagi Gray maupun Zack. Tapi tidak bagi satu-satunya gadis di antara mereka. Baginya, senyuman itu bagaikan sinar pembeku medusa. Ia telah disihir menjadi patung berpipi merah.
"Hey, Claire?" Zack mengibas-ngibaskan telapak tangannya di depan wajah Claire. Tak ada tanggapan. Gadis itu benar-benar sudah tersihir. Zack dan Gray saling berpandangan sambil mengerutkan dahi. Dan Claire baru tersadar ketika Zack meneriakinya dengan sangat keras, "Claire!"
"Ah... ya!" sahut Claire gugup. Pipinya merah. Jantungnya terasa mau meledak. Sampai ia merasa air matanya bisa mengalir kapan saja.
"Kau kenapa?" tanya Gray dengan alis mengkerut. Claire melihat Gray lagi dan sadar bahwa ia benar-benar tak bisa lagi menahan perasaannya. Claire menghirup napas dalam-dalam, memejamkan matanya.
"Me... menikahlah denganku!" seru Claire.
"T.I.D.A.K" jawab Gray tegas. "Zack, aku pulang dulu. Terimakasih sekali lagi," ucapnya pada Zack yang masih bengong mendengar 'lamaran spontan' Claire.
"Ah... ya. Sama-sama," balas Zack. Sepeninggal Gray, Zack memberanikan diri melihat gadis yang baru ditolak mentah-mentah itu. Pundaknya gemetar, pipinya menggembung, matanya menyipit, sepasang alisnya hampir menyatu. Begitu mata Zack bertemu dengan matanya, air mata gadis itu langsung menetes.
"Za-zaackk..." isak Claire.
"Ya?"
Tak disangka, Claire malah menggelengkan kepalanya keras-keras. Seperti menemukan tekadnya sendiri, ia menghapus air mata dengan punggung tangannya.
"Aku akan berjuang," katanya. Meski tak begitu mengerti situasinya, Zack tahu maksud perkataan Claire itu: ia belum menyerah meski ditolak. Dan Zack suka semangat Claire.
"Ya! Berjuanglah, Claire!"
Claire mengangguk, "Uhn. Senyuman satu juta joule itu pasti akan kudapatkan."
"Satu juta joule?"
"Uhn. Senyuman satu juta joule," ulang Claire dengan wajah masih menahan tangis.
.
Aku mencintaimu... sampai-sampai rasanya aku ingin menangis.
Dan senyumanmu itu... rasanya setara dengan energi satu juta joule untukku bertahan hidup.
.
.
*to be continued~*
A/N:
Aloha~ nurufufufu :D. Kali ini cerita tentang Claire yang terobsesi dengan Gray, sampai-sampai dia pindah ke Mineral Town untuk mengejarnya. Gomennasai, Field of The Moon Flower. Saya lagi nggak mood bikin yang terlalu serius *bow*
Kepribadian Claire di sini aneh? Tepat sekali! Haha. Author merasa bahwa kepribadian Claire maupun motifnya tinggal di Mineral Town itu tergantung pada masing-masing pemain. Anggap aja pemain jatuh cinta sama Gray gara-gara nemu fanart Gray yang super hot dan main HM dengan motif untuk menikah dengan Gray. Bertani super rajin sampai pingsan pun demi kebeli double bed, hihihi. Ini yang bikin main HM semangat dibanding main game farming tanpa unsur walkthrough.
Obsesi yang dialami Claire -nggak bisa move on dari unrequitted love nya selama sembilan tahun itu juga bukan hal yang nggak mungkin terjadi di dunia nyata. Hanya saja, berapa orang sih yang cukup nekad untuk mengejar obsesinya itu?
Ah, istilah senyum satu juta joule itu dulu author gunakan untuk gebetan author waktu jaman sekolah, hyahahah. You know lah, things which boosted your spirit to the scarriest level xD
Okay, terimakasih sudah membaca fanfic aneh ini, apalagi yang baca A/N panjang gaje ini, fufufu. See ya.
