Hari itu, kau datang tanpa pemberitahuan. Menyebarkan benih-benih kebencian di hatiku. Membuatku muak akan keberadaanmu.
Namun di saat kau tak ada, itu membuatku menjadi gundah, resah. Dan kau berdiri di sana dengan senyuman aneh itu, seakan-akan menikmati semua hal ini.
Kau datang dan pergi sesukamu. Membuatku semakin tak karuan jadinya. Ku ingin melupakanmu saja, tapi kemanapun aku pergi kau selalu ada.
Hei, apa ini kebetulan saja atau memang takdir?
.
.
.
Disclaimer : Masashi Kishimoto
Genre : Romance, maybe?
Warning : OOC, AU, typo(s), abal, nista, dll.
Summary : Siapa kau, rubah bodoh? Kau yang menyebarkan benih ini. Aku hanya menyiraminya dan merawatnya, kau tahu? Maka dari itu, kau harus sukarela untuk memetik bunga kebencian ini.
.
.
Flower of Hatred
Chapter 1
.
.
.
Musim panas telah berakhir, namun langit biru itu masih ada. Panas. Kenapa di sini juga tetap panas?
Aku melirik sekelilingku yang hanya terdiri dari pepohonan dengan dedaunan yang beberapa masih hijau dan sisanya telah menguning dan memerah. Angin sepoi-sepoi beberapa kali memainkan baju terusan tipis selutut berwarna putih yang aku kenakan. Rambut pirang pucatku juga sedikit berantakan karenanya.
Huh, beruntung aku datang ke pegunungan yang sepi ini untuk libur musim panasku. Tidak dapat kubayangkan bagaimana keadaanku jika aku memilih pergi ke pantai. Di sana pasti sangat panas. Aku menggerutu sambil melangkahkan kaki telanjangku ke sebuah pohon besar yang aku temukan di sini beberapa hari yang lalu.
Kududukkan diriku tepat di bawah pohon yang kaya akan dedaunan itu. Membuatku nyaman karena terhalau oleh teriknya matahari yang menyengat kulit untuk sesaat.
Kusandarkan punggungku pada batang pohon yang nyaman namun keras itu. Saatnya untuk istirahat. Aku tersenyum simpul sebelum akhirnya jatuh ke dunia mimpi.
"Teme! Benarkah kau telah menjadi kekasih Sakura-chan?" Lelaki berambut kuning jabrik itu tiba-tiba menerobos kelasku saat istirahat siang itu dan langsung membombadir lelaki yang kusukai, Uchiha Sasuke.
Sasuke hanya menatap lelaki yang mengusik istirahat siangnya dengan deathglare-nya yang mematikan namun tak digubris oleh lelaki dengan tiga garis tipis di masing-masing pipinya itu, Uzumaki Naruto. Naruto masih menatap Sasuke dengan pandangan yang dapat diartikan "Jawab-pertanyaanku-Teme!".
Gadis-gadis di sekitarku menjerit dan langsung saling bergosip ataupun mencurahkan hati masing-masing. Bahkan ada yang sudah menangis saat mendengar pertanyaan Naruto.
Sasuke adalah putra bungsu dari keluarga Uchiha yang terpandang. Tak hanya nama keluarganya saja yang terkenal. Ia sendiri terkenal akan wajah tampannya yang mampu membuat hampir semua gadis jatuh hati. Ya, termasuk aku.
"Teme! Jawablah!" Tuntut Naruto yang merupakan orang terdekat dengan Sasuke setelah keluarganya.
Aku menggigit bibir bawahku, menahan tangisan yang akan pecah ketika Sasuke menganggung singkat pada Naruto.
"Tidak, hilang sudah kesempatanku. Namun, kenapa harus Sakura? Kenapa harus sahabat karibku? Dia kan memiliki banyak lemak di pinggangnya. Dahi lebarnya juga terlalu menarik perhatian. Dan yang terpenting, aku LEBIH cantik daripadanya!" Gerutuku dalam hati sambil mengemasi barang-barangku dan berjalan meninggalkan kelas.
Tak kupedulikan tenten yang memanggilku dan mengingatkanku bahwa 15 menit lagi ada upacara penutupan sebelum libur musim panas benar-benar terjadi. Aku ingin pergi saja dari sini. Melupakan Sasuke. Melupakan rasa sukaku padanya. Dan juga, melupakan rasa sakit ini.
"Uh ...," Aku mengerjap-ngerjapkan mata, mencoba beradaptasi dengan cahaya matahari yang masih menyilaukan.
"Sudah berapa lama aku tertidur?" Tanyaku pada diri sendiri. Kusibakkan rambutku yang telah berjatuhan menutupi sebagian wajahku.
"Sekitar 30 menit," jawab sebuah suara.
Sontak aku menoleh ke sebelah kiriku. Seorang lelaki yang tak aku kenal tengah duduk bersandar di batang pohon yang sama denganku.
"Si, siapa kau?" Tanyaku sambil beranjak dari posisiku yang bagiku sangat tidak menguntungkan.
Laki-laki itu menghentikan gerakan tangannya dalam mencoret-coret sebuah buku di tangannya itu. Iris matanya yang hitam kelam itu menatapku sebelum kelopak matanya menutup, menampilkan sebuah senyuman aneh di wajahnya.
"Ah, namaku Sai. Tidakkah kau mengenalku? Atau hanya sekedar tahu akan diriku?" Ia beranjak mendekatiku dengan senyuman yang masih bertengger di wajahnya yang terlihat pucat itu.
Aku menggeleng. Tidak, aku tidak mengenalnya. Bahkan bertemu dengannya pun kurasa tidak pernah.
Iris berwarna hitam itu kembali terlihat. Senyuman itu juga menghilang.
"Aah, tidak aneh. Kau, Yamanaka Ino, adalah gadis yang tidak pernah memperhatikan sekelilingmu. Hanya melihat 'teman-temanmu' saja."
Perkataannya menohok hatiku. Ya, aku memang tidak pernah memperhatikan sekelilingku. Namun, ia tidak perlu mengatakannya secara blak-blak-an seperti itu juga, kan?
"Ap-apa urusanmu?"
Aku mundur beberapa langkah, mencoba memperlebar jarak di antara kami. Tapi lelaki tak tahu diri itu malah berjalan mendekatiku, mengurangi semakin banyak jarak di antara kami.
"Aku tak ada urusan denganmu. Hanya saja ...," ia mengeluarkan sebuah kertas dari sela-sela bukunya dan mengulurkannya padaku. Dengan sedikit ragu-ragu, kuambil kertas itu. Sketsa, ya, kertas itu berisi sketsa diriku yang tengah tertidur. Mungkin ia menggambarnya di saat aku tertidur tadi? Jika iya, sungguh hasil yang sangat bagus sekali.
Ia berjalan menjauh, tak memperdulikan atau berniat menunggu reaksiku. Menyebalkan, namun ia berbakat dalam hal ini.
"Ano! Sai, Arigatou ne!" Teriakku ke arah punggungnya yang semakin menjauh.
Dia tak memberikan reaksi. Membuatku tak mengetahui apakah ia mendengarkan ucapan terima kasihku atau tidak. Namun, sebelum ia menghilang di antara bayang-bayang pepohonan, ia menghentikan langkahnya dan membalikkan badannya menghadapku lagi.
Dipamerkannya kembali senyum aneh—rubahnya itu. "Tapi cara tidurmu mengerikan jika kau tetap tertidur sambil mengeluarkan dengkuran dan air liur dari ujung bibirmu."
Shock. Oh benarkah tadi aku tidur seperti itu? Kuusap ujung bibirku dengan ibu jariku. Tidak ada. Aku tertipu!
"Ukh, dasar rubah sialan!" Jeritku membahana di pegunungan yang sepi ini.
"Ittekimasu!" Teriakku sebelum meninggalkan sebuah pondok kecil di sebuah tanah lapang.
Kulangkahkan kakiku ke arah yang asal, tak kupedulikan walaupun aku akan tersesat nantinya. Ini adalah hutan pegunungan milik keluarga temanku, dan sejak kecil aku sudah sering menjelajahinya. Setidaknya sampai sekarang aku selalu dapat kembali dengan selamat.
Seperti hari sebelumnya, aku hanya memakai baju terusan tipis selutut berwarna putih dan bertelanjang kaki. Namun hari ini rambut pirang pucatku tak ku biarkan tergerai begitu saja, kali ini kuikat menjadi satu seperti biasanya.
Aku berjalan semakin jauh dari pondok, tak kuingat lagi di daerah mana aku berada sekarang. Aku tersenyum kecut. Tidak, tidak, aku tidak mungkin tersesat. Dengan pemikiran itu akupun tetap melanjutkan langkahku sesuai dengan instingku.
Suara langkah kaki yang menginjak daun rapuh atau pasir kering terdengar sesekali karena ulahku. Tak ada suara lain yang terdengar. Terkadang hanya suara angin yang berlalu saja yang terdengar. Membuat suasana semakin sunyi senyap.
Setelah beberapa saat sendirian, akhirnya aku menemukan seorang teman. Seekor rusa sedang memakan rumput di dekat sebuah sungai yang airnya mengalir dengan tenang.
"Hei," sapaku pada rusa itu, walaupun aku tahu ia tak dapat mengerti maksudku.
Rusa yang bertubuh tidak terlalu besar itu menghentikan kegiatan memakan rumputnya untuk sesaat dan menolehkan kepalanya menatapku yang mendekatinya. Ia tak menampilkan ekspresi takut ataupun senang karena kehadiranku.
Namun dengan tiba-tiba ia berbalik dan berlari meninggalkanku, menuju ke seekor rusa bertanduk yang seakan tengah berdiri menunggu kedatangan rusa pertama tadi. Aku terperangah. Rusa saja memiliki teman—atau malah kekasih, yang menunggunya. Tapi aku? Aku tersenyum kecut sebagai jawaban atas pertanyaanku sendiri.
"Kau mengganggu saja," sebuah suara tertangkap oleh telingaku. Diakhir kalimatnya ia menghembuskan napas berat seakan ia benar-benar merasa frustasi.
Aku menoleh ke sekelilingku mencari pemilik suara tersebut dengan pipi memanas. Kesal dan marah karena perkataannya.
"Siapa?" Tanyaku entah pada siapa.
Kemudian, ia menangkap sesosok lelaki yang sedang duduk di seberang lain sungai dengan buku dan alat tulis di tangannya. Wajahnya datar, tak menampilkan sebuah ekspresi apapun. Aneh.
"O-oh! Si tuan besar Sai ternyata!" Ujarku dengan menganggukkan kepala tanda akan mengerti sesuatu. "Dan apa maksud perkataanmu?" Tanyaku tajam.
Ia mengangkat sebelah alisnya, seakan-akan dia kaget dengan pertanyaan yang kulontarkan. "Apa perkataanku belum jelas?" Tanyanya lebih pada dirinya sendiri.
Aku hanya diam dan memasang wajah polos seakan-akan tak mengerti dengan perkataannya. Ia mengerutkan keningnya sesaat sebelum membuka mulutnya kembali. "Keberadaanmu itu mengganggu."
Kini berganti aku yang mengerutkan dahi dengan tambahan wajah yang memanas. "Jika kau tak suka dengan keberadaanku, pergi saja sialan!" Teriakku sambil menghentak-hentakkan kaki.
Sial. Memang dirinya siapa, coba? Kalau tak suka denganku, pergi saja sana! Dan lagi, harusnya aku yang marah dan terganggu dengan keberadaan dirinya, bukan dia!
"Aku yang pertama datang ke sini, jadi seharusnya kau yang pergi." Dengan masih dengan nada datar ia membela dirinya sendiri.
Oh? Jadi sejak tadi dia sudah berada di sana? Peduli apa!
"Lagipula, paras wajahmu itu merusak pemandangan."
Grr! Aku tak tahan lagi! Dengan dada bergemuruh, aku berjalan membelah sungai yang airnya hanya semata kakiku, tak kuhiraukan dinginnya air yang membelai-belai kulit putihku.
Laki-laki berkulit pucat itu hanya diam tak bergeming melihat reaksiku yang bergejolak ini. Tak ada tanda ketakutan maupun senang darinya. Secuil emosi pun tak terlihat di matanya. Dasar lelaki aneh!
"Akh!"
BRUK!
"Ittai."
Aku meringis sambil mengusap-usap pantatku yang terasa nyeri karena menghantam bebatuan di dasar sungai. Sial, karena tidak berhati-hati melangkah, aku menginjak bebatuan licin yang membuatku jatuh terpeleset.
Kutatap lengan, kaki, dan seluruh bagian tubuhku yang dapat aku lihat. Basah kuyub! Karena orang itulah hal ini terjadi padaku. Aku menggerutu dan menyesali apa pun yang terlintas di pikiranku.
"Aa."
Aku tersadar oleh suara berat yang saat itu kulupakan keberadaannya untuk sesaat. Aku menoleh dan melihat dia masih dengan posisi yang sama namun kedua pipinya yang seharusnya pucat itu terlihat sedikit rona merah.
"Hm?" Aku mencoba mencerna apa yang tengah lelaki rubah itu pikirkan atau lihat.
Aho! Ternyata ia sedang melihatku—menatap dadaku dengan penuh nafsu! Sial. Karena basah, pakaianku yang tipis membuatnya dapat melihat pakaian dalamku.
Aku bangkit dan reflek melemparkan bebatuan kecil yang entah mengapa berada di dalam genggaman tanganku ke arahnya. Dengan seketika ia mengangkat tangannya membuat tameng.
"Apa yang kau lihat, bodoh!"
Dengan kedua tangan rampingku, aku mencoba menutupi dadaku yang sudah tak suci lagi karenanya. Kugigit bibir bawahku menahan tangis yang entah mengapa mulai siap pecah.
Dengan kaki yang sedikit gemetaran, aku mencoba berlari meninggalkan tempat itu. Mencoba memberi jarak dari lelaki sialan itu. Tepat sebelum sosokku ditelan oleh pepohonan, suara itu kembali terdengar.
"Kurasa warna hitam tak cocok denganmu. Dan celana dalam model seperti itu tak dapat membuatmu terlihat seksi."
Seketika aku melirik ke arah bawah dan terperangah.
"RUBAH BODOH!"
.
.
.
[TBC]
[A/N] Yahooo! Hyuu kembali datang dengan pairing Sai x Ino! Uuuh, mereka memang pairing yang terbaik! *pamer jempol* Tidak seperti fanfic yang kemarin yang hanya oneshot. Kali ini mungkin akan menjadi twoshot atau paling banyak threeshot. Tapi jangan terlalu berharap fanfic ini akan menjadi panjang. Nee~
Jika ada yang kurang di mengerti harap dibaca kembali chapter ini atau tanyakan saja melalui review.
Mata ne!
