Wanita cantik dalam balutan dress biru muda tersebut hanya bisa menatap ekspresi gusar pria berambut coklatdi hadapannya heran.
"Naruto ...,"
Rasa gugup dan rasa takut pun seketika menyeruak begitu saja, ketika mendengar namanya dipanggil dengan nada suara yang terdengar getir. Wanita cantik yang sejatinya merupakan seorang penulis novel best seller itu pun sebisa mungkin menyembunyikan segala perasaan tidak mengenakkan yang tiba-tiba menyeruak dan terasa menggerogoti relung kalbunya; dengan seulas senyum lembut nan menenangkan. Namun—
"Kita sudahi saja sampai di sini."
—ketika mendengar perkataan menyakitkan yang terasa menghantam telak hatinya; senyum lembut nan menenangkan yang semula terulas di bibirnya pun seketika berubah menjadi sebuah senyuman getir.
"Kenapa?" bertanya lemah, Naruto—nama wanita muda tersebut— menatap sendu pria yang selama empat tahun belakangan ini telah menjadi kekasihnya.
Tak langsung menjawab, pria di hadapannya menghela napasnya berat dan kemudian menyunggingkan sebuah senyuman sarat akan rasa bersalah. "Karena aku sudah memiliki orang lain yang kucintai, Naruto."
"..."
"Kau pantas marah dan membenciku, Naruto. Tapi, tolong ..."
Nada suaranya terdengar bergetar.
"Tolong kau percaya bahwa aku pun juga masih sangat mencintaimu."
Tercengang, Naruto hanya mampu diam dan menatap sosok di hadapannya.
"Aku tahu kau bingung, karena aku sendiri pun tidak tahu harus memulai semuanya dari mana, dan mengatakan semuanya dengan cara seperti apa," mengulurkan tangannya dan meraih jemari Naruto, kepalanya pun ditundukkannya dalam. "Aku minta maaf. Aku ingin sekali tetap mempertahankan keberadaanmu di sisiku, tapi belakangan ini aku sadar ... aku tidak bisa selamanya bersikap egois dengan terus bermain di belakangmu. Maka, karena itu kuputuskan untuk melepaskan dirimu, agar kau segera bisa menata hidupmu yang baru tanpa diriku. Kemudian hidup berbahagia dengan mendapatkan orang yang lebih baik, Naruto."
Masih hanya terdiam. Setitik air mata nampak menetes jatuh; perlahan membasahi permukaan wajah berkulit tan milik sang wanita cantik tersebut.
Mengangkat wajahnya yang ditundukkannya cukup lama, senyuman getir tersungging pada wajahnya. "Sekali lagi aku minta maaf. Maaf karena telah menyakitimu, maaf karena harus melanggar janji untuk menikahimu dan ...—" jeda sejenak, "—sampaikan maafku pula untuk puterimu. Katakan padanya bahwa aku sangat menyayanginya, walaupun akhirnya tak bisa benar-benar menjadi Tou-san untuknya."
Menutup kedua bola matanya ketika mendapatkan sebuah kecupan pada keningnya, wanita itu pun menangis dalam diam.
"Selamat tinggal, Naruto."
Isakan bernada lirih pun terlantun dari bibirnya, ketika sang pria berambut coklat— yang baru saja menjadi mantan kekasihnya—tersebut berbalik dan kemudian berlalu pergi meninggalkan dirinya; sendiri di depan sepinya basement apartement sederhananya.
.
.
.
Wanita itu tidak tahu apa sebenarnya yang salah dengan dirinya. Skenario berulang yang terjadi dalam perjalanan kisah cintanya; di mana lagi-lagi dirinya harus menjadi pihak yang ditinggalkan dan tersakiti.
Naruto menangis, terisak hingga bahunya terguncang. Setelah fase penyembuhan luka dalam hatinya membuahkan hasil, dan membuat dirinya mampu menerima kehadiran sosok pria lain dalam hidupnya, kenapa lagi-lagi kejadian menyakitkan yang telah dikuburnya dalam-dalam kembali terulang.
Menatap nanar langit-langit kamarnya yang bercat biru muda, wanita tersebut menggerakkan tangannya ke atas; seolah hendak menggapai sesuatu di atas sana.
"Apa aku seorang pendosa, Tuhan?" tersenyum sendu, Naruto meringis. "Kenapa lagi-lagi aku dicampakkan dengan begitu mudahnya? Sampai kapan, Tuhan?"
.
.
.
.
Yeah, I Know What I Need.
Chara selalu milik Masashi Kishimoto Sensei, tapi fict ini punya Sao.
Warning : AU, OOC, FemNaru, OC, Typo's, alur cerita monoton dan pasaran, 3shot, dll.
Pairing : SasuFemNaru, slight other.
Didedikasikan untuk daku pribadi dan untuk kamu-kamu yang berkenan menunggu sequel fict 'Broken Heart?' ini.
Don't like, don't read. Pilihlah bahan bacaan dengan bijak.
Happy reading ...
.
.
.
.
.
Seorang gadis kecil berkuncir dua menatap malas hiruk pikuk bandara yang kini tengah disinggahinya. kedua bola mata beriris berlainannya memancarkan kebosanan yang sangat kentara. Mengembungkan kedua pipi chubby-nya, gadis tersebut memalingkan wajahnya ke samping kanan; di mana seorang pria bertubuh tegap hanya tersenyum maklum ke arahnya.
"Sampai kapan?" bertanya dengan nada jengah, senyum kecut disunggingkan gadis itu kemudian.
Mengabaikan fakta bahwa gadis kecil tersebut masihlah terlalu belia untuk berekspresi dan bertingkah layaknya gadis remaja di masa pubertas, pria itu justru merasa gemas sendiri dengan segala tingkah laku keponakan ciliknya tersebut.
"Sabarlah, Sa-chan," mengulum senyum lembut khas seorang ayah yang ingin menenangkan anaknya, pria tegap berambut merah tersebut menepuk puncak kepala gadis berkuncir tersebut. "Kau tentu ingat seberapa jauh perjalanan dari Suna menuju Uzu, bukan?"
"Aisssh ... Paman tidak asyik." serunya sebal.
Mendesah pelan, kepala berambut merahnya pun digelengkannya beberapa kali. "Yeah, terserah Saori-sama saja kalau begitu."
"Bhuu~"
Dan suara tawa pelan yang terlantun dari bibir pria itu pun sukses membuat gadis kecil bernama Saori tersebut sontak melengkungkan bibirnya ke bawah.
.
.
.
.
Entah skenario apa yang sebenarnya telah dipersipakan penulis jalan hidupnya, Naruto sama sekali tidak mendapat bayangan apa pun. Selang seminggu setelah acara pemutusan secara sepihak hubungan antara dirinya dengan pria berambut coklat;yang notabene-nya merupakan rekan kerjanya pada tempat di mana dirinya bekerja sebagai seorang penyunting ahli—dengan tetap mempertahankan profesinya yang lain sebagai novelis— selama ini, dirinya tiba-tiba mendapatkan kabar yang cukup mengejutkan dari puterinya yang selama ini terpaksa ditinggalkannya bersama keluarganya di Uzu.
Masih teringat jelas dalam benaknya ketika sang puteri mengatakan melalui sambungan telpon dengan suara bernada datar khasnya; bahwa dirinya menjadi utusan sekolahnya dalam rangka pertukaran pelajar. Rasa bangga seketika menyeruak ketika mengetahui fakta bahwa puterinya mampu meraih kesempatan berharga nan langka tersebut, mengingat hanya segelintir siswa atau siswi terpilihlah yang layak mendapatkan kesempatan tersebut. Namun, sebuah perasaan yang menyesakkan dadanya pun ikut mengiringi diri ketika mengetahui ke mana puterinya akan dikirim pihak sekolahnya nanti.
'Konoha.'
Sebuah nama tempat tujuan yang terasa begitu taboo untuk dikunjungi oleh dirinya, apalagi untuk puteri kesayangannya tersebut.
Tak ingin terjadi hal yang buruk atau melewatkan sesuatu yang tak diinginkan, maka dengan tanpa perlu untuk berpikir panjang; wanita itu pun memutuskan untuk kembali ke Uzu— agar kemudian bisa mendampingi puterinya.
Tersadar dari pemikirannya sendiri ketika mendengar pemberitahuan pesawat yang akan segera melakukan pendaratan, wanita berusia kurang dari tiga puluh tahun itu pun menghembuskan napasnya kasar sebelum akhirnya memasang sabuk pengamannya.
'Kaa-san tak akan membiarkan dia atau siapa pun mengusik kehidupan dan kebahagianmu, Sa-chan. Karena ... kau adalah prioritas utama Kaa-san.'
Berikrar penuh tekad dalam batinnya, pesawat yang ditumpanginya pun dengan perlahan dan hati-hati melakukan fase pendaratan.
.
.
.
.
.
Bersambung ke chapter 1.
.
.
.
.
a/n.
Hai, hai, hai ...
Lama daku menelantarkan sequel fict ini. Adakah yang masih ingat?
Rencananya mau bikin Epilog, eh ternyata muncul jalan cerita baru dengan rancangan OS, judulnya 'Hope' . Tapi, gak jadi juga karena ternyata berujung tragedi. Ehehe ... 3Shot asalkan tamat sebelum sepuluh hari ke depan rasanya tidak buruk juga. Yeah ... semoga benar-benar terealisasikan dan gak sekedar jadi PHP. Aamiin.
Btw ... thank's banget untuk para reviewer, follower, yang nge-fav, atau kamu-kamu yang sekedar baca fict 'Broken Heart' dulu, dan tentunya buat kamu-kamu juga yang lagi baca fict ini sekarang.
Maaf tidak membalas review, soalnya bingung mau jawab apa. #ditabokmassa
Oke, see you ...
.
.
Spoiler :
"Aku memang selalu ingin punya ayah, tapi bukan seperti dia yang kuinginkan untuk menjadi figur ayahku."
.
.
"Cinta? Kurasa itu hanya masa lalu."
.
.
"Dobe ..."
.
.
"Sekedar sayang tak akan cukup untuk menjadi rantai pengikat di antara kita. Karena sejauh apa pun kau berlari, dia akan selalu membayangimu."
.
.
"Dia memang buta, tapi setidaknya hatinya tidak buta, dan aku lebih memilih orang buta itu untuk kupanggil Otou-san."
.
.
"Kita menikah secepatnya."
.
.
"Biarkan aku hidup bahagia dengan hidupku, Suke."
.
.
"Otou-san?"
.
.
Berkenan mereview?
