6 Years
Cast : Atobe Keigo, Oshitari Yuushi, dan beberapa OC karangan saya sendiri
Plot : AU
Genre : Angst, Drama
Rating : K+/T
Disclaimer : all characters belong to Konomi-sensei
Warning : so many OC, typos, OOC, don't like don't read!
Los Angeles International Airport, 5.00 pm
Aktifitas di Bandara Internasional Los Angeles begitu padat hari ini. Dari pagi hari mereka buka hingga sore ini, semua pekerja di bandara tampak sibuk melayani keberangkatan dan kedatangan penumpang. Baik penerbangan domestik maupun internasional, semuanya dilayani di bandara ini.
Oshitari Yuushi sedang duduk di ruang tunggu VIP, menikmati secangkir tiramisu latte hangat dan sepiring pia apel. Langit senja menjadi pemandangan indah dari tempat dia menunggu keberangkatannya. Dia tidak menggunakan pesawat komersil, melainkan sebuah jet pribadi dari perusahaannya. Kesuksesannya memimpin cabang perusahaan otomotif milik ayahnya di California membuat dia bisa menikmati segala macam fasilitas super privat. 6 tahun dia berkarir di sini, entah kenapa dia merindukan negeri tempat dia dibesarkan. Setelah mendapat izin dari ayahnya, dia akhirnya memutuskan untuk pulang ke Jepang selama 2 minggu. Pekerjaan tiada akhir membuatnya jenuh dan penat. Sesekali rehat bisa menyegarkan pikirannya.
Awalnya dia ingin pergi sendiri. Namun ayahnya mencemaskannya dan menyuruhnya berangkat dengan pengkawalan. 2 orang pengawal pribadinya akan ikut terbang bersamanya ke Jepang. Mereka dijadwalkan terbang pada pukul 5 sore, dengan harapan bisa tiba di Jepang kira-kira sore atau malam hari.
"Tuan Muda Oshitari, saya mendapat kabar dari Kapten Gerard kalau pesawat Anda sudah siap," kata pengawal pribadinya yang bernama James.
Setelah melihat jam tangannya, Oshitari pun meneguk habis minumannya dan beranjak dari tempat duduknya. "Kita ke hangar sekarang," katanya kemudian sambil berjalan keluar dari ruang tunggu VIP.
Terus terang, dia baru 2 kali ini naik jet pribadi untuk penerbangan jauh. Pertama dia pergi bersama ayahnya melakukan kunjungan kerja ke Jerman demi melihat salah satu pabrik mobilnya di sana. Kapten Gerard adalah pilot pribadi keluarganya. Beberapa kali ayahnya bepergian ke luar negeri, pria kelahiran Glasgow inilah yang mendampinginya.
Tiba di hangar, dia langsung disambut oleh Kapten Gerard dan kopilotnya, Lucas. "Selamat sore, Tuan Muda," sapa pria bermata hijau itu kepadanya. "Sudah siap untuk perjalanan selama 8 jam ke depan?"
"Ya, aku sudah siap," jawab Oshitari sambil tersenyum. "Aku perlu mengabari orang yang akan menjemputku di Bandara Narita. Beri aku waktu kira-kira 10 menit untuk menghubunginya, Kapten Gerard."
-000-
Atobe Co. Hospital, Tokyo, 7.30 AM
Sebuah mobil sedan berwarna putih berhenti di teras rumah sakit. Keluar dari sana seorang laki-laki berambut kelabu mengenakan jas dokter dan kacamata tanpa bingkainya. "Selamat pagi, Atobe-sensei," sapa seorang petugas keamanan dan 2 orang pegawai rumah sakit kepadanya. Laki-laki itu memberikan kunci mobilnya kepada salah seorang pegawai dan menyuruhnya memarkirkan mobilnya. Dia sedikit terburu-buru untuk pergi ke ruang kerjanya. Waktu masih menunjukkan pukul 7.30 pagi, tetapi ada hal yang ingin dia kerjakan pagi ini sebelum memulai prakteknya sebagai seorang asisten psikiater.
"Selamat pagi, Atobe-sensei. Anda ingin teh atau kopi untuk pagi ini?" tanya seorang perawat perempuan di ruang kerjanya.
"Nanti saja, Yumiko. Aku harus mengerjakan sesuatu dulu," balas Atobe Keigo yang langsung menyalakan komputer di meja kerjanya. Perawat bernama Yumiko tadi pun memohon diri keluar dari ruangannya.
Sebelum dia berangkat bekerja tadi pagi, dia mendapat pesan singkat dari Oshitari Yuushi yang menyuruhnya untuk terhubung via Skype. Dia bilang akan ada kejutan, dia ingin bicara secara langsung tatap muka. Tidak via SMS atau layanan pesan singkat lainnya.
"Baiklah, aku menunggumu, Yuushi," ditemani secangkir teh hangat dan potongan buah apel, Atobe menunggu Oshitari mengaktifkan Skype-nya. Dia sungguh tidak bersabar ingin berbicara banyak dengannya. Oshitari tinggal di California karena tuntutan pekerjaan. Meski terpisah oleh jarak dan waktu, mereka hampir tidak lupa untuk berkomunikasi. Cara apa pun mereka lakukan agar tetap bisa terhubung.
Ding…
Pada layar komputernya muncul pop-up webcam yang terhubung dengan Oshitari. Laki-laki berambut biru gelap itu melambaikan tangan sambil tersenyum kepada Atobe. Dia menyapanya, "Selamat pagi, Atobe Keigo-sensei. Maaf membuatmu berangkat terburu-buru pagi ini."
"Jangan buatku menunggu lebih lama, Yuushi. Ada hal apa yang ingin kau sampaikan padaku?" tanya Atobe bersemangat.
"Sore ini aku terbang ke Jepang."
Atobe terkejut dan nyaris terlonjak dari kursinya, "Hah?! Kau serius, Yuushi? Kau sudah di bandara sekarang? Atau malah sudah di pesawat?"
Oshitari tertawa melihat Atobe terkejut. Dia pun melanjutkan, "Aku sudah berada di jet pribadiku dan sebentar lagi aku akan berangkat, Keigo. Pilotku bilang paling tidak aku akan tiba di Narita kira-kira sore hari mengikuti zona waktu di sana."
"Sore ini kau tiba di Narita? Berapa jam perjalananmu?"
"Kurang lebih 8 jam. Ah, pesawatku sudah mulai bergerak ke landasan terbang. Keigo, aku akan menghubungimu lagi nanti setelah aku sudah mendarat."
"Banyaklah berdoa, Yuushi. Semoga perjalananmu menyenangkan dan selamat sampai tujuan. Aku akan menunggumu di bandara."
"Aku merindukanmu, Keigo. Sampai nanti…"
-000-
Meski Oshitari sudah terbiasa dengan perjalanan jauh menggunakan pesawat, baik jet pribadi maupun pesawat komersil, dia tetap merasa lelah dan jenuh. Di atas kabin, tidak peduli ini adalah jet pribadi, menyalakan ponsel atau mengakses internet pun tidak diperbolehkan demi keamanan. Satu-satunya yang bisa menghilangkan rasa jenuhnya adalah mendengarkan musik, membaca buku, koran, majalah, atau menonton film. 2 orang pramugarinya dengan setia melayani segala kebutuhannya. Selama 3 jam perjalanan, mereka tak hentinya menawarkan makanan dan minuman kepadanya. Namun kali ini, Oshitari tidak ingin makan atau minum. Perutnya terasa penuh, tidak mungkin diisi apa pun lagi.
"Apa yang bisa saya lakukan untuk Anda, Tuan Muda? Anda terlihat jenuh," kata salah seorang pramugarinya yang bernama Lisa.
"Aku baik-baik saja, Lisa. Aku akan memanggilmu jika aku butuh sesuatu," jawab Oshitari sambil tersenyum.
"Mungkin Anda ingin membaca buku atau majalah? Akan saya ambilkan untuk Anda."
"Boleh saja. Antarkan ke ruang tidur. Terima kasih, Lisa."
Oshitari pergi ke ruang tidur di belakang tempat duduknya. Dia meregangkan semua ototnya sebelum kemudian berbaring di tempat tidur. Pramugari berambut pirang tadi mengantarkan 2 buah buku kepadanya. Tepat saat perempuan itu keluar, pengawal pribadinya yang bernama James datang menghampirinya.
"Apa saya mengganggu istirahat Anda, Tuan Muda?" tanya pria bertubuh tinggi tegap itu kepada Oshitari.
"Oh, kau tidak menggangguku. Aku hanya ingin meluruskan badanku. Ada apa, James?" tanya Oshitari kemudian duduk di tempat tidur.
"Saya ingin mengajukan permintaan kepada Anda, Tuan Muda."
"Apa yang bisa kulakukan kepadamu?"
Kedua mata biru James menatap wajah tuannya begitu dalam. Dia menghela nafas sebentar, kemudian menjawab, "Saya ingin Anda memerintahkan kepada Kapten Gerard untuk mengubah haluan ke Korea Selatan."
Sempat terdiam sejenak dan masih tidak mengerti maksud perkataan James, Oshitari berkata, "Kita akan ke Jepang, James. Aku tidak mungkin memutar haluan ke Korea Selatan."
"Kita akan mendarat di Korea Selatan, Tuan Muda."
"Apa kau perlu pergi ke sana? Jika memang benar, kau boleh ke sana setelah aku mendarat di Jepang-"
"Tidak, Tuan Muda," potong James cepat. "Kita akan mendarat di Korea Selatan sekarang."
Merasa ada yang tidak beres, Oshitari turun dari tempat tidurnya dan mengajak James duduk di ruang tengah kabin pesawat. Keduanya kini duduk berhadapan. "Aku tidak mengerti, James," kata Oshitari. "Mengapa tiba-tiba kau memutar haluan ke sana?"
"Jika Anda tidak melakukannya, maka saya akan meledakkan pesawat ini," tegas James.
Belum sempat Oshitari mengatakan apa pun, seorang pengawal pribadinya yang bernama Oscar berdiri di sebelahnya sambil mengarahkan pistol ke kepalanya. Dia berusaha untuk tetap tenang menghadapi situasi ini. Dia tidak menyangka ada pengkhianat di atas jet pribadinya. Apalagi yang berkhianat adalah orang-orang yang sudah bekerja untuknya selama 6 tahun dia berkarir di California.
"Bisa kau jelaskan apa maksudmu, James?" tanya Oshitari tenang. Kedua tangannya terkatup di depan dagunya.
"Saya tidak punya banyak waktu untuk menjelaskan kepada Anda, Tuan Muda," jawab James sedikit ketus. "Jika Anda ingin penjelasan, Anda harus setuju agar pesawat ini mendarat di Korea Selatan."
"Aku atasanmu dan kau tidak berhak memerintahku!" bentak Oshitari. Namun dia kembali terdiam setelah pistol yang diarahkan oleh Oscar kini benar-benar menempel di kepalanya. Pria yang duduk di hadapannya kini beranjak dari kursi dan mengambil headphone yang tersambung ke kokpit. Dia berbicara lewat alat itu kepada Kapten Gerard, "Kapten, berapa lama lagi kita akan sampai di Jepang?"
"Kurang lebih 2 setengah jam lagi, James," jawab pilot berkebangsaan Inggris itu lewat pengeras suara.
Headphone itu diletakkan kembali ke tempatnya. James mendekati Oshitari yang masih duduk tenang di kursinya. Kedua tangannya diletakkan di pegangan kursi, mengunci pergerakkan tuannya. Dia menatap lekat kedua mata biru tuannya dan berkata, "Beri perintah kepada pilot Anda, Tuan Muda. Maka saya akan menyuruh Oscar menjauhkan pistol itu dari kepala Anda."
"Aku sungguh tidak mengerti mengapa kau melakukan ini, James," kata Oshitari sedikit geram. "Kau tidak menjelaskan apa pun maka aku tidak akan memutuskan apa pun-"
BUAGH!
Sebuah pukulan keras melayang tepat ke wajah Oshitari. Laki-laki berambut biru itu menggeram menahan sakit. Kerah bajunya dicengkeram oleh James dan dipaksa untuk menatapnya. Pria itu berkata, "Beri perintah, Tuan Muda. Atau saya ledakkan pesawat ini! Bahan peledak sudah kami siapkan di bagasi pesawat. Tombol pemicunya ada di ponsel saya. Hanya dengan sekali tekan, pesawat ini bisa hancur berkeping-keping."
"Aku tidak takut! Ledakkan saja-"
BUAGH!
Sekali lagi James memukul wajah tuannya dengan keras. Ada darah segat mengalir dari sudut bibir Oshitari. Kacamatanya pun jatuh menjauh darinya. James menyeringai kepadanya dan berkata, "Saya tidak ingin meledakkan pesawat ini, Tuan Muda. Tetapi jika Anda mendesak saya seperti ini, mau tidak mau saya harus meledakkannya. Paling tidak, saya harus mengancam Anda agar mau melakukan apa yang saya inginkan."
"Keh! Kau mau mengancamku sampai harus melompat dari pesawat pun aku tidak akan memberi perintah apa pun kepada pilotku, James. Ada yang lebih berhak memberi perintah, dan itu bukan ayahku."
"Hah? Apa maksud Anda, Tuan Muda?"
Oshitari tertawa, "Kau mau tahu bagaimana keputusanku kan? Jika kau mengizinkan aku terhubung pada orang ini, maka aku akan memutuskan sesuatu untukmu."
"Kita hanya punya waktu 2,5 jam untuk mengubah haluan ke Korea Selatan!"
"Ledakkan pesawat ini jika kau tidak mau mendengarkanku juga, dasar bodoh!"
DUAGH!
Bukan hanya pukulan, kini tendangan pun dilayangkan ke perut Oshitari. Laki-laki berambut biru itu semakin kesakitan di kursinya. Darah segar kembali keluar dari mulutnya. James mengambil headphone tadi dan diberikan kepada Oshitari.
"Bicara pada pilot Anda sekarang!" serunya.
Sebelum menjawab, Oshitari sempat meludahkan darah segar yang terkumpul di bawah lidahnya. Dia masih menatap pengawal pribadinya itu dengan geram. Dia lalu mengambil headphone itu dan berbicara dengan pilotnya.
"Kapten Gerard, kau bisa dengar aku?" tanya dia sedikit menahan sakit.
"Ya, saya mendengar Anda dengan jelas, Tuan Muda," jawab pilotnya dari pengeras suara.
"2,5 jam lagi kita akan tiba di Narita, benar?"
"Benar, Tuan Muda. Ada apa?"
"Bagaimana persediaan bahan bakar?"
"Semuanya masih cukup. Saya mengisi untuk keperluan 10 jam perjalanan memang. Kita akan mengisi bahan bakar begitu tiba di Narita."
Kepala Oshitari sudah sangat pusing, nyaris tidak bisa berpikir dengan jernih. Namun kini dia dihadapkan pada situasi yang mengancam nyawanya. Dia tidak bisa memutuskan semuanya sendiri. Hanya ada 1 orang yang bisa memutuskannya, dan orang itu tidak berada di sini bersamanya.
"Kapten Gerard, sambungkan aku dengan menara komunikasi Bandara Narita…"
-to be continue-
Chapter 2 coming up next!
