Remake dengan judul yang sama

-Empat bulan sebelumnya-

Minseok baru saja pulang dari kerja, dihempaskan badannya ke sofa coklat di tengah ruangan dirumah mungilnya. Sulur-sulur yang merambat di depan jendela menghalangi cahaya matahari jingga yang terpekur sebelum terbenam. Dipejamkannya kedua mata, lalu menghela napas panjang, berusaha untuk santai. Biarpun memejamkan mata, Minseok masih tersenyum, teringat Sehun dan obrolan ringan mereka.

Kata Yixing, Sehun sebenarnya sudah mengincarnya sejak lama untuk didekati. Minseok termenung dalam senyuman yang tak kunjung hilang di bibirnya. Sejak pertama dia dikenalkan dengan Sehun, salah satu karyawan baru di divisinya, dialangsung jatuh cinta pada pandangan pertama. Tetapi tidak disangkanya Sehun mungkin menyimpan perasaan yang sama, hingga Yixing mengatakan kepadanya.

Siang tadi, Sehun tiba-tiba mendekatinya ketika Minseok sedang menuang air panas dari dispenser ke cangkirberisi kopi instantnya, Aroma kopi langsung menguar, memenuhi ruangan,menciptakan keharuman yang menyenangkan. Sehun menyapanya biasa-biasa saja, dan Minseok sudah salah tingkah menghadapinya. Tetapi kemudian lelaki itu bertanya apakah Minseok ada kegiatan di akhir pekan ini – yang langsung dijawab Minseok bahwa dia tidak kemana-mana- Dan kemudian ajakan kencan itu datang. Sehun mengajaknya ke sebuah acara pameran komputer di sudut kota. Bukan kencan dalam arti sebenarnya memang, tetapi bukankah ketika lelaki dan perempuan memutuskan untuk keluar bersama di akhir pekan... bisa disebut sebagai kencan?

Dan ternyata 'kencan' pertama mereka ltu berakhir dengan sukses, ketika Sehun tersenyum lembut di depan pintu rumah Minseok, dan mengucap terimakasih atas kebersamaan mereka di akhir kencan,Minseok membalasnya dengan senyuman. Senyuman yang dibawanya bahkan sampaimenjelang tidur malam itu.

Kencan... Minseok membuka matanya dan menatap ke sekeliling ruangan rumahnya. Dia bahkan tidak pernah memikirkannya sampai akhir-akhir ini. Sejak kecelakaan yang menyebabkan ayahnya meninggal, Minseok mencoba menyibukkan diri untuk mengurus harta peninggalannya. Tetapi bisa dibilang pengacara ayahnya yang mengurusi semuanya, menjual semua kenangan indah itu, karena Minseok tidak mampu untuk sekedar melihatnya...karena dia terlalu lama tenggelam dalam kepedihan.

Sambil menghela napas panjang, Minseok berdiri, lalu melangkah ke dapur, menuangkan kopi dari mesin pembuat kopi ke cangkirnya, kopiitu sudah tidak panas lagi, karena itu adalah sisa dari kopi yang dibuatnya dipagi hari sebelum berangkat kerja. Tetapi Minseok masih bisa merasakan rasa asam khas kopi yang nikmat di sana. Dahinya mengernyit dan menghela napas, dia hampir-hampir bisa disebut kecanduan kopi. Pagi, siang dan malam... dia tidak bisa hidup tanpa menuang secangkir kopi untuk mengisi lambungnya yang kadang-kadang menolak dan berunjuk rasa dengan rasa perih yang menggigit disana.

Tetapi Minseok butuh membuka kematian ayahnya, Minseok hampir terlalu takut untuk tidur. Benaknya dipenuhi ketakutan, ketakutan yang dia tidak tahu karena apa...ketakutan itu seperti menyimpan rahasia gelap yang mengerikan. Membuat Minseok dipenuhi ketakutan setiap malam, takut kalau-kalau kegelapan itu menyergapnya ketika diamemejamkan mata.

Minseok sudah menghubungi psikiater yang merawatnya sejak kejadian kecelakaan itu, kata psikiater, rasa takut tanpa alasan yang dirasakan Minseok hanyalah efek manifestasi trauma atas kecelakaan yang menyebabkan dia terluka parah, dan menewaskan ayahnya. Psikiater itu merawatnya dengan baik, session demi session, sampai kemudian Minseok merasa dirinya sudah sembuh, bebas, dan bahagia tanpa ketakutan yang menghantui.

Sekarang semuanya sudah baik-baik saja. Minseok mendesah dalam keheningan. Dia sudah bebas. Sekarang dia bisa memulai hidup yang baru, bisa mencoba membuka hati dan jatuh cinta lagi.

Rasa takut itu sudah ditinggalkannya jauh-jauh. Dia bebas sekarang, tidak akan ada lagi kegelapan yang mengintai danberusaha menyakitinya. Mungkin memang cahaya terang sudah memasuki kehidupannya. Minseok tersenyum, membayangkan jalan indah yang mungkin akan dilaluinya bersama Sehun nanti

...

Minseok duduk siang itu menghadap pot bunga yang tersusun rapi di teras cafe yang cukup ramai dengan pengunjung. Diliriknya jam tangan dipergelangan kirinya, masih 15 menit lagi sebelum orang itu datang. Disiapkan kembali beberapa surat perjanjian kontrak, dicek kembali beberapa helai materai yang akan diperlukan nanti.

It'sall set, Minseok membatin.

Ini aneh, karena sang klien meminta penandatanganan kontrak di sebuah cafe eksklusif yang sangat privat, biasanya para klien memilihmenandatangani kontrak di ruang rapat kantor pusat mereka yang sudah disediakan. Tetapi bagaimanapun juga, bosnya mengatakan bahwa ini adalah klien penting, dan apapun permintaannya sesulit apapun itu, harus dituruti.

Suara berisik di pintu membuatnya menoleh. Beberapa lelaki berpakaian hitam-hitam tampak memasuki ruangan, ekspresi mereka semua sama, datar dan kosong, membuat Minseok merinding. Dia memandang ke sekeliling dan terkejut, cafe itu beberapa saat tadi tampak cukup ramai, tetapi sekarang, tidak ada satu orangpun di sana, suasana cukup lengangdan tidak ada aktivitas apapun, selain beberapa orang berpakaian hitam-hitam yang terus menerus masuk, dan berdiri dengan kaku, hampir membentuk barisan,seolah-olah mereka memberi jalan untuk seseorang.

Satu.. dua ...tiga... Minseok menghitung jumlah orang-orang berpakaian hitam-hitam itu, seluruhnya ada dua puluh orang.Siapakah gerangan yang membawa dua puluh orang pegawai, memberi mereka pakaian yang sama dan membuat mereka memasang ekspresi sama?

Rupanya Minseok tidak perlu menunggu lama untuk menemukan jawabannya, dipintu, masuklah seorang lelaki, berpakaian putih-putih, sangat kontras dengan penampilan para pegawainya, dan langsung melangkah menuju Minseok.

Inikah klien penting mereka? Tiba-tiba Minseok gemetar,lelaki itu masih menguarkan aura mendominasi yang sedikit menyesakkan dada.

Lelaki itu berdiri, mengamati Minseok lalu mengangkat alisnya.

"Nona Minseok?"

Tiba-tiba Minseok tersadar bahwa dia tidak sopan karena tetap duduk sementara sang klien penting masih berdiri di depannya. Dia langsung berdiri dan mengulurkan tangannya dengan sopan.

"Betul. Saya Minseok. Anda ?"

Seulas senyum yang tak disangka muncul di bibir lelaki itu saat membalas uluran tangan Minseok, "Betul,Mari kita langsung bicarakan bisnis di sini."

Lelaki itu duduk, sementara Minseok melirik orang-orang berpakaian hitam-hitam yang tetap berdiri tanpa ekspresi di sana, merasa terganggu dengan kehadiran mereka. Tetapi lelaki itu rupanya sudah terbiasa, karena dia langsung membuka percakapan ke arah bisnis,

"Seluruh kontrak sudah disiapkan?"

"Sudah." Minseok membuka map itu dan menyerahkannya ke lelaki itu. Mr. Yifan langsung menerima dan memeriksa isinya, dahinya berkerut dalam ketika menelaah setiap klausul yang ada. Setelah lama, dia mengangkat matanya dan tersenyum.

"Bagus. Sesuai permintaan. Dimana saya harus tandatangan?"

Jantung Minseok yang sedari tadi menunggu dengan tegang langsung terasa lega, seolah napasnya meluncur dalam dan mengosongkan rongga dadanya. Dengan tangan agak gemetar, dia menunjuk ruang kosong yang sudah diisi dengan materai. Sebentar lagi tender untuk kontrak paling penting di perusahaannya akan ditandatangani.

Lelaki itu meraih pena emas dari saku jas putihnya dan kemudian dengan tenang dia menandatangani di tempat itu dan juga diseluruh bagian yang ditunjukkan Minseok, berkas asli dan beberapa salinannya. Setelahnya dia tersenyum, menyerahkan map kertas itu kepada Minseok, memasukan pena emas ke sakunya dan kemudian langsung berdiri.

"Senang berbisnis dengan anda, sampaikan salam untuk atasan anda."

Kemudian lelaki itu berbalik, melangkah meninggalkan Minseok yang masih termangu melihat langkah-langkahnya pergi. Para pegawainya yang berpakaian hitam-hitam langsung mengikutinya. Setelah semuanya pergi, cafe menjadi lengang, hanya Minseok yang duduk di sana. Bahkan para pegawai cafe seolah-olah lenyap ditelan bumi.

Minseok termangu, lalu mengemasi seluruh berkas penting itu, dan memasukkannya dengan teliti ke dalam map. Berkas ini sangat berharga dia harus menjaganya baik-baik dan memastikan tidak ada yang terlewat di sana. Setelah semuanya rapi, dia melangkah berdiri, menoleh ke kiri dan kekanan dengan bingung karena tak ada seorangpun di dalam sana. Kemudian setelah menghela napas panjang, dia meninggalkan uang di meja dan melangkah pergi.

Hatinya tenang dan lega karena sudah menyelesaikan tugas terpenting dari atasannya. Dia sudah tidak memikirkan lelaki itu lagi karena Minseok merasa dia tidak akan bertemu dengannya lagi.

Tidak disadarinya bahwa dia salah. Lelaki itu masih akan muncul dalam kehidupannya nanti di masa depan.

...

Sehun mendekatinya siang itu dengan senyum lebarnya yang khas,

"Kudengar kau meng-goalkan kontrak kerja paling hebat tahun ini."

Minseok tersenyum malu-malu mendengar sapaan Sehun itu. Semua orang memujinya, padahal yang dilakukannya hanya datang dan membawa berkas untuk ditandatangani seperti yang diperintahkan oleh atasannya. Dan Minseok sendiri menolak semua pujian itu. Goal atas tender besar itu bukan atas usahanya, melainkan atas usaha dari atasan-atasannya yang melakukan negosiasi dengan penuh upaya. Yang dilakukan Minseok hanyalah sentuhan akhirnya, menyiapkan semua kontrak dan surat perjanjian sesuai keahliannya, lalu memastikan bahwa itu ditandatangani.

"Itu semua bukan hanya karena aku." Jawab Minseok manis, setengahmalu-malu.

Sehun tertawa mendengarnya dan mengangkat bahu, "Apapun itu, kau telah berhasil, dan kurasa kita pantas merayakannya."

"Merayakannya?"

"Ya. Kau dan aku, makan malam bersama."

"Makan malam bersama?"

Kali ini Sehun tergelak geli, "Minseok, kau mengulangi setiap kata-kataku."

Pipi Minseok memerah, menyadari kekonyolan sikapnya. Tetapi Sehun malahan tampak geli, dia mengedipkan sebelah matanya menggoda,

"Bagaimana? Mau makan malam bersamaku malam ini?"

Mata Minseok berbinar, dadanya terasa hangat, dia menganggukkan kepalanyadengan malu-malu, "Ya aku mau."

Rasanya hari itu Minseok seperti lahir kembali, yang semula selalu bersembunyi dalam kegelapan, sekarang ditarik menuju cahaya terang yang menyilaukan bersama Sehun

...

Minseok berdiri dengan gugup di depan meja riasnya, kebingungan. Dia sudah mencoba tiga macam pakaian dan entah kenapa tidak ada satupun yang terasa cocok untuknya. Yang sekarang dia pakai adalah gaunnya yang terakhir, berwarnaungu muda hingga nyaris putih, bagian atasnya sederhana, tanpa aksen, hanya sedikit kancing dengan warna ungu gelap yang membuatnya lebih manis, bagian bawahnya melebar, membuatnya tampak sangat feminim

Sepertinya gaun ini yang paling cocok. Minseok membatin. Dia tidak tahu kemana Sehun akan membawanya makan malam, mungkin di tempat santai, tetapi bisa juga di tempat yang formal. Dimanapun itu, gaun ini adalah pilihan yang paling aman, mampu nampak formal sekaligus santai.

Setelah menyisir rambutnya, Minseok memakai sepatu berhak rendah warna putih miliknya, dan menatap dirinya di cermin untuk terakhir kalinya, sebelum meraih tas-nya dan melangkah ke luar kamar.

Tepat pada saat itu, bel pintu berbunyi.

Itu pasti Sehun. Dengan riang Minseok melangkah bersemangat ke arah pintu,untuk kemudian langkahnya terhenti mendadak, entah kenapa merasa ragu. Minseok mengernyit dan mendesah jengkel, rasa takutnya ternyata masih tersisa,bermanifestasi menjadi rasa waspada dan curiga. Dia mengintip ke lubang pengintai di pintu, dan melihat Sehun berdiri di sana. Minseok mendesah, dia kesal akan ketakutan bodohnya yang tidak beralasan ini. Setelah menghela napas panjang, Minseok membuka pintu dan berusaha tersenyum ceria.

Well sebenarnya Minseok tidak perlu terlalu berusaha untuk ceria, senyum manis Sehun ketika melihatnya, dan binar mata Sehun yang menunjukkan pujiannya akan penampilan Minseok, membuat Minseok merasa tersipu dan bahagia, entah kenapa.

Sehun berdehem dan mengangkat alisnya,

"Mungkin aku akan sibuk malam ini."

"Sibuk?" Minseok menatap Sehun bingung.

Sehun tersenyum penuh arti, "Aku akan sibuk mengusir lelaki-lelaki yang melirikmu dan mencoba mendekatimu karena penampilanmu ini sangat cantik." Sehun mengedipkan sebelah matanya dan setengah membungkuk, "Terimakasih sudah mau makan malam bersamaku, Minseok."

Minseok tergelak mendengar rayuan Sehun yang dibalut dalam canda Sehun mengulurkan tangannya dan mengajaknya memasuki mobil, Minseok mengikutinya dengan langkah ringan dan tanpa beban.

...

Ruangan itu tampak mewah, dihiasi oleh barang-barang berkelas,menunjukkan kekayaan pemiliknya, Lu Han yang sekarang sedang duduk di sebuah kursi besar. Wajahnya tampak muram.

"Well?" Yifan yang duduk di depan lelaki berwajah murung itu, "Dia bahkan tidak mengenalimu ketika kau berdiri menyamar dan berpakaian serupa seperti para pengawalku."

Luhan mengangkat alisnya, ekspresi sinis yang menawan muncul dimatanya yang gelap pekat, dia setengah mendengus ketika berkata, "Aku memang tidak mengharapkan dia mengenaliku."

"Jadi bagaimana sekarang?" Yifan menatap Luhan dengan senyuman menggoda. "Gadis itu tidak menyadari betapa beruntungnya dia. Tidak ada yang pernah lolos dari targetmu, Luhan, kau adalah lelaki yang terkenal sebagai sang pembunuh berdarah dingin. Dia adalah satu-satunya manusia yang bisa membuatmu menghancurkan reputasimu : sebagai yang tak pernah gagal dalam melaksanakan misimu." Yifan melemparkan pandangan memancing, "Akankah kau akan membiarkannya bebas dan tidak pernah tahu bahaya yang sedang mengintainya, ataukah kau akan menuntaskan tugasmu dan melenyapkannya seperti yang seharusnya terjadi?"

Luhan tidak terpancing tentu saja. Dia sangat mengenal Yifan,lelaki itu adalah mentor sekaligus sahabatnya, Yifan sangat suka memancing orang lain lalu menilai dengan ahli setelah melihat tanggapan orang itu. Hal itulah yang menyebabkan Yifan sangat sukses dalam bisnisnya, dia punya kemampuan jenius untuk menilai orang lain sampai ke dalam-dalamnya. Karena itulah Luhan memasang ekspersi dingin dan tidak terbaca, bersikap sesantai mungkin.

"Waktunya akan tiba nanti." Gumamnya seolah tak peduli.

...

"Kau tahu, sudah hampir tiga tahun sejak terakhir kali aku berkencan dengan seorang gadis." Sehun tersenyum lembut sambil menatap Minseok, mereka telah menyelesaikan makan malam di sebuah restoran elegan yang menyajikan menu-menu luar biasa nikmatnya. Lampu restoran ini sengaja didominasi oleh warna kuning hangat, dengan lantai dari panel kayu berwarna gelap yang menyatu dengan suasananya. Amat sangat indah. Minseok tidak pernah menyangka, kencannya dengan lelaki – sejauh yang dia ingat – bisa semudah ini.

Minseok tersenyum, menopangkan jemarinya dengan lembur di dagu, menatap Sehun yang tampak sangat tampan dibawah cahaya temaram lampu. "Apakah kau tidak tertarik mengajak seorang pun sebelumnya?"

Sehun menyesap minumannya, kemudian menatap Minseok penuh arti, "Aku kehilangan orang yang kusayangi, dan kemudian berusaha menyembuhkan jiwaku sendiri, ketika aku sadar, ternyata aku telah melewatkan banyak hal." Lelaki itu tampak sedih, "Tunanganku meninggal tiga bulan sebelum tanggal pernikahan kami."

Wajah Minseok memucat, "Maafkan aku."

"Jangan minta maaf, aku memang ingin bercerita." Sehun menatap Minseok lembut, "Sekarang aku sudah berhasil mengenang sambil tersenyum, dan bisa melepaskan jiwanya untuk pergi dengan tenang, tanpa diberati oleh kesedihanku."

Minseok paham perasaan Sehun. Di malam-malam sepi setelah penyembuhannya,ketika Minseok dihadapkan pada kenyataan bahwa ayahnya telah meninggal, Minseok selalu menangis dalam kepedihan di dalam kamarnya, meringkuk sendirian dalam kegelapan, dia saat itu yakin bahwa dia akan terus menangis, bahwa sakit ini tidak akan tersembuhkan, dan tidak mungkin waktu bisa menyembuhkan luka.

Tetapi waktu memang bisa menyembuhkan luka. Tuhan yang begitu mencintai manusia, telah menciptakan obat paling mujarab untuk menyembuhkan luka yangtertoreh dalam di hati manusia. Obat itu adalah 'waktu', sebuah obat ajaib yang bisa menyembuhkan pelan-pelan bahkan tanpa disadari oleh manusia itu -tiba Minseok sudah bisa mengenang sambil tersenyum, seperti yang dikatakan Sehun tadi, tiba-tiba ingatannya kepada almarhum ayahnya tidak terasa menyakitkan lagi.

"Aku pernah merasakan hal yang sama ketika ayahku meninggal," Minseok mendesah, "Dan aku bersyukur aku bisa mengenangnya sambil tersenyum."

Tatapan Sehun tampak menusuk ke dalam, seolah berusaha menjangkau kedalaman jiwa Minseok,

"Apakah kau sangat menyayangi ayahmu?"

"Tentu saja." Minseok tersenyum, "Dia ayahku... dan kami selalu berdua,ibuku meninggal ketika melahirkanku, aku tidak pernah bertemu dengannya, dan ayahku menyerahkan seluruh hidupnya untuk merawatku."

Sehun menganggukkan kepalanya, lalu jemarinya meraih tangan Minseok dan menggenggamnya lembut,

"Setiap orang pernah terluka. Tetapi manusia mempunyai kemampuan menyembuhkan diri, seperti kau dan aku."

Tatapan mereka berpadu dan entah kenapa Minseok merasa seperti berlabuh, dia merasa begitu tepat di sini, berdua bersama Sehun, seolah-olah mereka memang diciptakan untuk bersama.

...

"Aku tidak sadar kalau sudah larut malam. Aku harus mengantarkanmu pulang sebelum kemalaman." Sehun bergumam sambil melirik jam tangannya.

Mereka masih bercakap-cakap di restoran yang nyaman dan indah itu,memesan secangkir kopi dan bercerita tentang segala sesuatunya. Ada banyak sekali kemiripan Minseok dengan Sehun, kadang membuat mereka saling terperangah,lalu tertawa bersama seolah-olah sedang menyimpan rahasia milik mereka sendiri.

Minseok melirik jam tangannya, sudah hampir jam 10 malam. Meskipun sudah malam, tampaknya suasana di dalam restoran tetap banyak orang, masing-masing tampak menikmati sajian makan malam yang nikmat, dan beberapa pasangan tampaknya sengaja datang larut malam, untuk menikmati hari, karena ini malam minggu. Restoran buka sampai tengah malam khusus di malam minggu untuk mengakomodasi pengunjung yang ingin menikmati suasana sampai larut bersama.

Semua orang tampaknya tidak peduli akan malam yang larut, seolah-olah tidak mau mengikuti sang malam yang mulai beranjak makin dalam... Minseok membatin sambil mengamati ekspresi para pengunjung restoran yang tampak segar dan ceria.

Dengan tatapan menyesal, Minseok berkata kepada Sehun, "Aku juga tidak sadar kalau sudah malam, aku terlalu asyik menikmati percakapan kita." Gumamnya malu-malu.

Sehun terkekeh, "Kapan-kapan kita harus melakukannya lagi, ini benar-benar menyenangkan." Lelaki itu setengah berdiri, diikuti oleh berjalan bersisian, berdekatan. Dan ketika Sehun menggenggam jemarinya,Minseok tidak menolak.

Sampai kemudian mereka melewati sebuah meja. Meja itu kosong. Tetapi ada lilin yang menyala, seolah-olah menanti seseorang. Dan di atas meja itu...

Wajah Minseok pucat pasi ketika perutnya bergolak luar biasa.

Di atas meja itu... ada tepatnya sembilan lilin berwarna biru yang disusun dengan sempurna dan cantik menguarkan cahaya redup yang romantis,seolah-olah seorang lelaki sedang menunggu di suatu tempat untuk memberikankejutan kepada kekasihnya yang berbahagia di sana, siapapun perempuan itu pasti akan sangat senang melihat lilin biru itu diatur begitu romantis, menguarkan cahaya temaram yangmenghangatkan hati.

Tetapi alih-alih senang dengan pemandangan yang tanpa sengaja dilihatnya itu, Minseok malah dihantam oleh perasaan yang tidak dapat biru itu... pengaturan yang rapi itu... semuanya seolah memaksa Minseok untuk membuka kenangannya akan sesuatu... sesuatu yang gelap dan melawan rasa takut itu sehingga menimbulkan gelombang rasa mual yang luar biasa menyiksanya, tubuh Minseok limbung, membuat Sehun terperanjat dan menahannya bingung,

"Minseok... Minseok ? Kau kenapa?"

Minseok hampir kehilangan kesadarannya atas rasa nyeri yang seakan merobek kepalanya, dia melirik ke arah meja kosong dengan lilin biru itu, dan rasa mual kembali bergolak di dalam dirinya,

"Aku ingin keluar dari sini." Wajahnya pucat pasi, membuat Sehun panik,untunglah lelaki itu memilih menuruti apa yang dimaui oleh Minseok, denganlembut tetapi kuat, dia setengah menopang langkah lemah Minseok keluar ruangan.

Ketika berada di luar restoran, berhadapan dengan udara segar yang dingin dan menampar pipinya, Minseok menghirup napas -dalam-dalam,menghembuskannya beberapa kali untuk kemudian melepasnya lagi. Dia menahan rasa mual di perutnya, dan mengernyit.

Sementara itu Sehun menatap kernyitan Minseok dan tampak makin cemas,

"Kau kenapa Minseok? Apa yang bisa kulakukan? Apakah kau mau segelasair?"

Minseok menggelengkan kepalanya, "Tidak." Jemarinya yang lemah mencekallengan kemeja Sehun yang sudah akan berbalik masuk ke restoran, "Tolong.. tunggu sebentar lagi, aku akan baikan, jangan tinggalkan aku."

Sehun menatap Minseok dalam, lalu menghela napas panjang, dipeluknya Minseok dengan sebelah lengannya, membiarkan perempuan itu bersandar di sana,

"Jangan cemas, aku ada di sini." Bisik Sehun lembut, membuat perasaan hangat mengaliri dada Minseok, dia bersandar sepenuhnya di tubuh kokoh dan hangat Sehun, menikmati kehangatan yang menyebar di sana.

Setelah menghela napas panjang untuk kesekian kalinya, Minseok memutuskan bahwa dia sudah merasa lebih baik. Dia mendongakkan kepalanya, dan matanya bertemu langsung dengan mata Sehun yang bening,

"Terimakasih. Sepertinya aku sudah enakan."

Sehun langsung memeluknya erat, "Sama-sama Minseok, apakah kau benar-benar sudah tidak apa-apa?"

Minseok menganggukkan kepalanya dengan lembut, melepaskan diri dari topangan tubuh Sehun.

"Iya. Kita bisa pulang sekarang, mungkin tekanan darahku turun tadi jadiaku sedikit limbung, tetapi sekarang aku sudah tidak apa-apa."

Sehun mengamati Minseok dengan teliti, seolah-olah tidak yakin, tetapilelaki itu kemudian tersenyum lemah dan menyerah, dia cukup bijaksana untuktidak mengkonfrontasi Minseok di saat perempuan itu sedang lemah, masih banyak waktu nanti untuk menanyakan kondisi Minseok yang sebenar-benarnya. Sekarang diaharus mengantarkan Minseok pulang supaya bisa beristirahat.

"Ayo, kita pulang," dengan lembut Sehun menghela tubuh Minseok kembali kedalam pelukannya, dan mereka melangkah menuju mobil mereka.

...

Sementara itu, Luhan yang dari tadi berdiri di salah satu sudut yang tak kentara terkekeh geli melihat kejadian itu.

Tadi dia iseng. Memasang lilin biru itu, hanya untuk melihat sejauh mana hal itu akan mempengaruhi Minseok.

Ternyata hasilnya luar biasa.

Luhan tersenyum simpul, pada saatnya nanti, Minseok akan tahu, apa yang sudah dia lewatkan selama ini, dan sampai hal itu terjadi, Luhan akan menunggu... dengan perasaan tidak sabar