Musim semi, selalu ada kebahagiaan baru saat kuncup sakura perlahan mulai mekar dan menghiasi taman-taman publik di Seoul. Pada akhir pekan, akan ada banyak cerita menarik yang dibagi oleh setiap keluarga yang menghabiskan waktu di bawah guguran sakura yang cantik dan sinar hangat mentari.

Musim semi kali ini harusnya juga membuat Jeon Jungkook bahagia. Esok, ia akan mengikat janji sehidup semati dengan pemuda tampan yang meminangnya di bawah gerimis. Tapi nyatanya, hari ini Jungkook gelisah bukan main. Beragam spekulasi memenuhi otaknya. Banyak hal yang sebenarnya tidak perlu ia khawatirkan. Jungkook pernah mendengar dari Wonwoo—kakak sepupunya—jika gugup menjelang hari pernikahan itu normal. Apalagi, saat ini Jungkook sudah hampir dua minggu tidak bertemu calon suaminya, maupun bertukar pesan.

Jungkook mendesah pelan, ia merebahkan kepalanya di atas meja kerjanya. Binar cemerlangnya tidak sengaja bertemu pandang dengan calendar desk di samping tumpukan diktat kedokterannya. Ia melihat lingkaran merah yang menandai satu tanggal di atas kertas kalender milik Jungkook dan tampak seperti mengejek segala rasa cemas Jungkook yang tak beralasan. Ia mengerang pelan, tak tahan dengan semua pikiran-pikiran rumit dalam kepalanya. Ia kemudian menarik satu lembar kertas putih dari rak di samping printer dan mulai menggoreskan tinta di atasnya.

'Dear, Kim Taehyung—'


A Vkook/TaeKook Fanfiction

(Kim Taehyung x Jeon Jungkook of BTS)

.

Love Letter©peachpeach

.

All cast belongs to God, themselves, family and management. Story line is mine. No profit taken.

.

Even if I'm not a good talker, please understand me.

I will tell you all of the truth that I've been keeping.

[VIXX – Love Letter]

.

Awal musim semi, 2016.

Jungkook tampak mendorong pintu ganda Rumah Sakit Yonsei dengan tenaga yang tersisa usai mengikuti jadwal asistensi operasi pemasangan ring pada jantung yang dilakukan oleh dokter senior di tempatnya bekerja. Ia memang masih menjalani masa residennya sebagai dokter spesialis. Setiap hari, hidupnya selalu berputar pada diktat kedokteran, jurnal kasus epidemi, operasi berjam-jam, serta omelan dengan unsur senioritas yang kuat dari para sunbae-nya di rumah sakit. Jungkook baru dua puluh tujuh tahun dan lajang, tapi beban pikirannya hampir sama dengan pria berusia paruh baya yang berusaha menghidupi anak-istri. Kantung matanya tampak tebal, helaian cokelatnya tampak berantakan, dan kemeja biru langitnya tampak kusut akibat terlalu lama dipakai di balik jas putihnya.

Ia setengah tidak sadar ketika langkah kakinya sudah membawanya ke halte di depan rumah sakit. Setidaknya Jungkook harus bersyukur saat mendapatkan ijin pulang dua hari, ia bisa istirahat sejenak sebelum kembali dengan rutinitas monotonnya di ruang operasi atau berkutat dengan tumpukan medical record yang harus ia analisis bersama tenaga kesehatan yang lain.

Bus berhenti ketika Jungkook baru saja memasukkan sebutir permen rasa lemon ke dalam mulutnya. Perutnya keroncongan, tapi ia tidak sedang ingin makan makanan di kantin rumah sakit usai operasi selesai. Ia ingin pulang, makan kimchi jigae buatan Ibunya dengan semangkuk nasi yang uapnya masih mengepul. Akan lebih baik jika ada tambahan hanwoo di samping mangkuk nasinya nanti. Tanpa sadar ia mendesah pelan dengan imajinasinya, dan perutnya semakin keroncongan ketika ia sudah masuk ke dalam bus dan duduk di samping jendela.

"Nak, ambillah…" Jungkook mengerjap sejenak, kemudian baru menyadari jika ia tak duduk sendirian di bangkunya. Seorang bibi baru saja naik dan berbaik hari menyodorkan kue beras yang masih hangat.

"Oh, tidak perlu Bibi…terima kasih." Jungkook menolak dengan halus, bibirnya melukis sebuah senyum canggung, tapi wanita paruh baya di sampingnya tetap meletakkan tiga buah kue beras di atas telapak tangannya.

"Tidak perlu sungkan, kau terlihat butuh sekali energi Nak." Wanita di sampingnya tertawa pelan, kemudian menepuk paha Jungkook, "—bekerja di Yonsei?" Jungkook mengangguk, ia menelan kue beras dalam mulutnya sebelum menjawab pertanyaan dari wanita baik hati di sampingnya. "Iya, Bi…"

"Aku juga baru saja mengunjungi apartemen anakku yang berada di sekitar Yonsei. Ia juga bekerja di Yonsei. Kau di bagian apa, Nak? Mungkin mengenal anakku juga…"

"Saya di bagian Bedah Jantung, Bi." Wanita di sampingnya tidak bisa untuk tidak berdecak kagum ke arah Jungkook, sedangkan Jungkook kembali mengulum senyum canggung.

"Perawat?" Kali ini Jungkook menggeleng, namun senyum canggungnya sama sekali belum hilang. "Bukan, saya dokter residen Bi…"

"Oh, anakku perawat. Mungkin kau mengenalnya, ah! Sebentar…" Wanita di sampingnya tampak mengeluarkan ponselnya dari dalam tas, kemudian menunjukkan sebuah potret kepada Jungkook, "—namanya Eunha, mungkin kau mengenalnya?" Wanita di sampingnya menatapnya penuh harap, reaksi yang selalu diterima Jungkook ketika wanita paruh baya lainnya bertanya dimana ia bekerja. Ia kemudian menggeleng sopan, dan wanita di sampingnya kentara sekali menghela napas kecewa sebelum kembali tersenyum. "Sapalah dia jika kalian bertemu. Dan, siapa namamu?"

"Nama saya Jungkook, Bi…" Setelah itu tidak ada topik lagi dari mereka berdua, Jungkook tampak menyandarkan kepalanya di jendela dengan raut lelah, sedangkan wanita di sampingnya sibuk dengan ponsel di tangannya. Mungkin memberi tahu anak gadisnya jika ia baru saja bertemu dengan seorang calon dokter spesialis bedah jantung yang tampan.

. . .

"Jungkook, ireona…" Jungkook mengerang, ia seperti baru saja tidur selama beberapa menit setelah kekeyangan menyantap makanan yang disiapkan oleh Ibunya. Tidak ada kimchi jigae memang, tapi Jungkook tidak bisa untuk tidak puas pada satu set burger steak yang disiapkan untuknya, "Jungkook…" Ibunya memanggil lagi, kali ini dengan sebuah guncangan pelan pada bahunya. Ia melenguh sekali, kemudian mengerjap pelan untuk menyesuaikan intensitas cahaya yang masuk pada pupilnya. Jungkook mengubah posisinya menjadi duduk, ia menguap sekali lagi, dan mengacak helaian rambutnya yang semakin mirip dengan sarang burung.

"Ada apa, eomma?" Ibunya mengulum sebuah senyum, menyisiri helaian halus Jungkook dengan jemarinya sebelum menepuk puncak kepala adeulnya dengan lembut. Jungkook memang boleh saja berusia dua puluh tujuh tahun dan calon dokter spesialis bedah jantung, tapi bagi Ibunya ia tetap bayi manisnya yang semenggemaskan kelinci.

"Mandi dan bersiaplah, kita akan menjenguk Wonwoo di Daegu. Wonwoo punya bayi kembar!" Ibunya berseru antusias, tapi Jungkook tidak bisa untuk tidak mengerang malas. Ia hanya ingin tidur di hari liburnya. Tidak ingin pergi kemanapun, termasuk ke Daegu untuk menjenguk sepupu manisnya yang baru saja melahirkan. Perjalanan dari Seoul ke Daegu memakan waktu satu setengah jam dengan KTX, jika menggunakan mobil pribadi pasti akan lebih lama. Lagipula ini jam dua siang, bukan waktu yang menyenangkan untuk berpergian jarak jauh.

"Tidak bisakah aku di rumah saja eomma? Sampaikan salamku pada Wonwoo-hyung dan Mingyu." Jungkook setengah merengek, berharap Ibunya mau mengabulkan permintaannya. Tapi Ibunya menggeleng dan rengekannya terdengar sia-sia.

"No, mandilah dan bersiap. Kau bisa tidur lagi di mobil saat perjalanan menuju Daegu. Eomma dan appa menunggu di luar, oke?"


Kau tahu? Pertemuan pertama kita memang diatur lewat sebuah acara konyol bernama perjodohan.

Kita kala itu sama sekali tidak mengenal satu sama lain terpaksa tersenyum demi menyenangkan kedua orang tua dan keluarga besar kita. Aku tahu kau tidak menyukaiku kala itu.


Jungkook kehabisan ide ketika ia menginjakkan kaki di kediaman orang tua Wonwoo di Daegu. Memangnya harus ada banyak orang ya untuk menjenguk Wonwoo? Bukankah ini hanya acara baby shower? Pikirnya. Saudaranya bahkan ada yang jauh-jauh datang dari Jeju. Ia masih duduk diam di atas sofa dengan segelas jus jeruk di tangannya setelah selesai menyapa anggota keluarga besarnya, sampai Wonwoo menghampirinya dengan seorang bayi perempuan dalam gendongannya.

"Jungkook samchu—" Wonwoo memekik pelan ketika ia sudah di samping Jungkook dan memeluk yang lebih muda dengan sebelah tangan. Jungkook tersenyum, ia meletakkan gelas berisi jus jeruk di atas meja, kemudian menyentuh pelan pipi kemerahan bayi dalam gendongan Wonwoo.

"Aigo, siapa ini? Kenapa cantik sekali?"

"Minseo imnida, samchu…" Keduanya kompak terkikik bersama ketika Wonwoo lagi-lagi menggunakan aegyo untuk bicara kepada Jungkook. Wonwoo kemudian tak segan untuk menaruh Minseo dalam buaian lengan Jungkook. Binar cemerlang Jungkook tampak senang dan takjub saat Minseo menggeliat pelan dalam buaiannya. Bayi perembuan yang tengah di gendongnya menguap kecil, kemudian kembali tidur dengan nyaman.

"Lucu sekali…" Jungkook mengguman kecil, bayi dalam gendongannya mirip sekali dengan kakak sepupunya. Kulitnya putih, bibirnya juga merah, benar-benar blueprint Wonwoo. Sedangkan Wonwoo hanya mengulum sebuah senyum hangat sembari mengusap pipi Minseo yang masih tak terganggu dengan suara para tamu.

"Kau harusnya segera menyusul untuk punya satu yang selu—"

"—Sayang, Taehyung dan keluarganya sudah datang." Ucapan Wonwoo otomatis terhenti ketika Mingyu—nampyeonnya—menghampiri mereka berdua dengan seorang bayi laki-laki yang mirip sekali dengan Minseo. Jungkook bahkan hanya mengerjap pelan ketika Minseo diambil dari gendongannya, kemudian suasana menjadi lebih ramai dengan beberapa orang lagi yang datang.

Jungkook yang terlanjur penasaran akhirnya berdiri, mengulum sebuah senyum penuh formalitas yang sudah biasa ia latih ketika orang tuanya dan orang tua Wonwoo mempersilahkan para tamu untuk duduk di ruang tamu. Jungkook sendiri masih bingung, tapi ia menurut saja saat Ibunya menyuruh untuk duduk disampingnya. Binar cemerlangnya mengamati satu persatu tamu yang baru saja datang, sampai kemudian pandangannya terpaku pada satu figur yang duduk tepat di depannya.

Tampan, satu kata itu sepertinya cukup untuk mendeskripsikan figur yang duduk di depannya. Mereka hanya terpisah meja ruang tamu dengan banyak camilan dan gelas-gelas jus di atasnya.

"Maafkan kami yang terlambat, kami harus menunggu Taehyung selesai dengan pekerjaannya." Seorang laki-laki paruh baya di samping figur yang Jungkook amati tadi membuka pembicaraan diantara keluarga mereka. Sepertinya ia adalah Ayah dari figur yang bernama Taehyung.

"Tidak apa-apa, lagipula kita masih asyik dengan Minseo dan Minwoon. Taehyung pasti sibuk sekali ya?" kali ini Ibunya menimpali dengan suara tawa di akhir kalimatnya.

"Oh, senang rasanya melihat Minseo dan Minwoon sehat—" Ayah Taehyung ikut mengulum senyum sebelum melanjutkan, "—sebenarnya, Taehyung tidak sesibuk yang kalian kira. Masih lebih sibuk Jungkook yang menyelamatkan banyak orang di atas meja operasi. Benar begitu, Nak?" Jungkook mengerjap pelan, namanya baru saja disebut dalam pembicaraan yang ia sendiri tak mengerti kemana arahnya. Jadi ia kembali menarik sudut bibirnya untuk membentuk sebuah senyum menawan disertai dengan anggukan kecil.

"Ah, sepertinya mereka perlu bicara satu sama lain, mungkin berkenalan dan bertukar nomer ponsel terdengar seperti awalan yang bagus?" Jungkook semakin gagal paham ketika melihat Taehyung berdiri setelah Ayahnya selesai bicara, kemudian menunduk sopan dan mengulurkan tangannya ke arah Jungkook.

"Kalau begitu kami pamit, mungkin kami akan bicara di gazebo." Suara berat Taehyung menarik kesadaran Jungkook dari masa trans-nya. Ia tak punya pilihan lain selain menyambut uluran tangan Taehyung dan mengikuti pemuda tersebut ke arah gazebo.

Taehyung melepas tautan tangan mereka segera setelah mereka sudah tidak menjadi pusat perhatian. Ia otomatis langsung memasukkan kedua tangannya ke dalam saku dan menatap keping hazel Jungkook dalam satu garis lurus. Jungkook memandang Taehyung penuh tanya, tapi ia menunggu figur di depannya berbicara.

"Kau tahu kita terjebak dalam situasi konyol dengan label baby shower tapi nyatanya ini adalah sebuah acara perjodohan?" Jungkook tertegun sejenak, kemudian memroses sederet kata dari Taehyung dalam otaknya yang penuh dengan prosedur pembedahan di atas meja operasi.

Ah, perjodohan ya? Pantas saja Ibunya menyuruhnya untuk kembali berganti pakaian ketika ia turun dengan hoodie dan celana denim. Kemudian Ibunya menyiapkan kemeja berwarna mint dan celana bahan berwarna putih untuk melengkapi penampilan semi formalnya. Ia ingat, dulu juga pernah terjebak dalam situasi konyol bernama perjodohan. Calonnya dulu seorang dokter, sama sepertinya. Namanya Jung Jaehyun. Tapi sayang mereka terpaksa tidak melanjutkan ke jenjang yang lebih lanjut karena Jaehyun sudah punya kekasih. Dan bodohnya lagi, ia kembali terjebak dalam situasi yang sama. Bersama Kim Taehyung yang belum ia ketahui apa profesinya.

"Ya, aku tahu ini perjodohan. Memangnya kenapa?" Jungkook akhirnya menjawab setelah detik-detik diam diantara mereka. Taehyung berdecak sebal, kemudian menyugar helaian raven-nya ke belakang dengan frustasi.

"Kau akan menolaknya kan?" Bahu Jungkook diremas dengan gerakan terlalu keras dari Taehyung, tapi Jungkook tak gentar. Ia hanya terkekeh kecil, kemudian menyingkirkan tangan Taehyung dari bahunya.

"Tidakkah kau berpikir jika aku menolaknya sekarang juga akan membuat mereka sedih? Tidakkah kau berpikir jika berapa banyak uang yang terbuang percuma untuk sebuah acara ini? Lagipula, penolakkanku nanti akan merusak reputasiku, Tuan Kim. Berpikirlah sedikit." Taehyung terperangah, apalagi ketika Jungkook menarik sudut bibirnya. Ia adalah pengacara di salah satu firma hukum terbesar di Seoul, ia sudah bisa beradu argumentasi untuk memenangkan sebuah kasus. Tapi malam ini lidahnya terasa kelu di hadapan seorang dokter yang bahkan belum menyelesaikan masa residennya.

"Aku punya seorang kekasih Jeon Jungkook. Tidakkah kau berpikir dia akan sakit hati ketika tahu kekasihnya akan menikah dengan orang lain?"

"Kekasihmu hamil anakmu?"

"Kau—" Taehyung menggeram rendah, emosinya tersulut dengan hebat ketika Jungkook berhasil mematahkan semua kata-katanya.

"Kita bisa membatalkan perjodohan ini, tapi tidak sekarang. Lagipula, tidakkah kau ingin membalas semua budi orang tuamu dengan menerima perjodohan ini? Aku yakin, mereka akan kecewa padamu ketika kau menolak perjodohan ini. Buatlah mereka senang, sedikit saja. Setidaknya malam ini, apa susahnya?" ucap Jungkook dengan nada kelewat santai. Taehyung sudah tersulut amarah, maka Jungkook akan berperan sebagai pemadamnya.

Ia sesungguhnya juga tidak menginginkan perjodohan ini. Tapi ia kembali teringat raut lelah Ayahnya sepulang bekerja untuk mencari biaya kuliahnya atau Ibunya yang lelah mengurus rumah tanpa ada seorang pun yang membantunya. Jungkook anak tunggal, sudah seharusnya ia membahagiakan orang tuanya dengan cara apapun. Toh, pilihan orang tuanya pasti yang terbaik. Selama ini Jungkook sudah banyak sekali menyusahkan mereka, kali ini saja ia ingin membalasnya.

"Baiklah, jika itu maumu. Berikan aku nomer ponselmu dan waktu. Berikan aku waktu untuk meyakinkan diri jika kau merupakan pilihan yang terbaik dari orang tuaku. Jika di tengah jalan kita tidak menemukan alasan untuk melanjutkan perjodohan ini, ku harap kau tidak sakit hati nantinya."

Malam itu, Jungkook menyerahkan nomer ponselnya dan sepakat memberi waktu untuk figur di depannya. Sama seperti acara perjodohan yang sudah berjalan sebelumnya.


Kim Taehyung, calon pendamping hidupmu kelak hanya seseorang yang manja dan terjebak dalam tubuh dewasanya.

Ia masih menyukai grup idola yang tengah populer.

Ia juga punya kesenangan aneh terhadap kamera.

Tidak hanya itu, ia bahkan belum bisa makan dengan rapi.


Seharusnya Jungkook tidak kaget ketika Taehyung muncul di depan meja resepsionis rumah sakit tempatnya bekerja setelah beberapa minggu berlalu dari acara perjodohan. Eksistensi Taehyung dalam setelan resminya itu membuat beberapa pasien serta perawat memekik heboh—mungkin mereka mengira Taehyung itu member boy band.

"Hei, ada apa kemari?" Kening Jungkook membuat kerutan dalam, tapi Taehyung hanya membalasnya dengan sebuah senyum menyebalkan.

"Ini akhir pekan, kenapa Jeon-uisanim tidak bersenang-senang sedikit hmm?"

"Jika kau berpikir orang-orang yang membutuhkan bantuanku akan libur saat akhir pekan, kau salah besar Tuan Kim." Taehyung terkekeh pelan, ia menemukan hal baru yang ternyata menyenangkan untuk dikerjakan. Membuat Jeon Jungkook kesal dengan mata bulatnya memicing sadis menjadi kesenangan sendiri yang tanpa disadari oleh Taehyung.

"Chill, Jungkook-uisanim. Aku kemari juga setelah menyelesaikan kasus domestic violent untuk sidang hari Senin, jadi kita sama-sama sibuk di akhir minggu. Kenapa tidak kau katakan jam berapa shift-mu selesai dan aku bisa mengajakmu untuk menikmati buritos atau burger yang enak di Hongdae? Aku tahu kau belum makan siang."

Jungkook menghela napas lelah, kepalanya pusing bukan main karena pasiennya baru saja mengalami pendarahan di meja operasi dan Jungkook yang menjadi sasaran kemarahan seniornya. Lalu Taehyung datang membuat kepalanya semakin sakit dan kesabarannya yang tinggal seutas benang, diuji mati-matian. Taehyung yang muncul di rumah sakit tempatnya bekerja pada akhir pekan, jelas bukan karena inisiatif pemuda itu sendiri. Mungkin suruhan Ibunya untuk mengajak Jungkook jalan-jalan dan menikmati akhir pekannya. "Tunggu sepuluh menit lagi, aku akan bersiap untuk pulang."

"Oke, aku akan menunggu…" Taehyung memamerkan senyum rectangle menawan miliknya, kemudian dengan kurang ajar mengacak helaian kecoklatan milik Jungkook. Perawat di balik meja resepsionis bahkan berbisik ribut, dan dengan cepat gosip mengenai Dokter Jeon yang sudah tidak lajang lagi menyebar seperti api yang membakar daun kering.

Jungkook diam saja sembari menyesap latte dingin yang Taehyung belikan di coffee shop di samping rumah sakit. Taehyung juga tampaknya fokus dengan jalanan di depannya dan tidak memiliki topik untuk di bicarakan bersama Jungkook. Ia menginjak rem ketika lampu lalu lintas di depannya berubah menjadi merah dan telunjuknya menekan tombol play pada pemutar musik. Mendengarkan radio mungkin akan sedikit menurangi kecanggungan dengan Jungkook.

Taehyung baru saja akan memindah saluran radionya ke saluran berita Seoul sampai tangannya di tahan oleh Jungkook dengan cepat. "Jangan dipindah! Lagu BTS sedang diputar!" Taehyung terperangah, lagi-lagi Jungkook menarik semua ekspetasinya. Ia pikir seorang dokter akan cenderung kaku dan tidak menyukai musik hip-hop. Taehyung baru kembali dari masa trans-nya ketika suara klakson kendaraan di belakangnya menyalak dengan berisik dan membuatnya mengumpat pelan.

"Berapa usiamu, Jeon-uisanim?" Jungkook menghabiskan sisa latte dinginnya sampai menimbulkan suara berisik dari sedotan yang terjepit di bibirnya sebelum menjawab. "Dua puluh tujuh usia Internasional, kau?"

"Aku dua puluh sembilan, mungkin mulai sekarang kau harus terbiasa memanggilku hyung." Jungkook mengangguk paham, dalam hati ia mencatat jika laki-laki di sampingnya berusia lebih tua.

"Ngomong-ngomong, usiamu dua puluh tujuh dan kau menyukai idol group seperti BTS?! Luar biasa. Jangan bilang kau juga mengoleksi pernak-pernik dan album mereka? Atau kau menggilai salah satu dari mereka?" Taehyung terkekeh tapi tetap fokus dengan kemudi di tangannya, sedangkan Jungkook hanya bisa cemberut selera musiknya diejek. Memangnya kenapa dengan selera musiknya? Ibunya saja masih menggilai TVXQ dan selalu menjerit histeris ketika drama Park Yoochun tayang di televisi. Ayahnya sama sekali tidak mempermasalahkan itu, kenapa Taehyung yang belum resmi jadi pendamping hidupnya sudah protes dengan selera musiknya?

"Ada yang salah memangnya?" Ujar Jungkook dengan nada ketus. Taehyung kemudian menggeleng pelan sembari tersenyum, "—tidak, tidak ada yang salah. Hanya lucu saja mengetahui fakta jika kau menyukai idol group. Setelah makan siang kau mau kemana?"

"Bagaimana jika ke toko kamera? Cairan pembersih lensaku habis, dan aku belum sempat membelinya."

"Boleh, ikut aku juga untuk membeli kertas dan buku ya?" Jungkook mengangguk, kemudian ia baru menyadari jika mobil Taehyung berhenti tepat di sebuah restoran ala Amerika.

Mereka berdua duduk di samping jendela dengan pesanan masing-masing. Jungkook segera melahap buritosnya setelah selesai mencuci tangannya dengan hand sanitizer yang selalu ia bawa dalam tasnya. Tadi pagi ia lupa sarapan karena ada panggilan darurat saat dini hari dan memaksanya untuk kembali berdiri di samping meja operasi untuk asistensi pembedahan.

"Pelan-pelan saja makannya, tidak akan ada yang mengambil buritosmu." Jungkook mengerjap sejenak ketika Taehyung menyodorkan selembar tisu dan menunjuk noda di sudut bibirnya. Dalam hati, Taehyung tak percaya jika figur di depannya adalah seorang calon dokter bedah spesialis jantung yang bekerja di Yonsei. Dimatanya, Jungkook tak lebih dari haksaeng ketimbang seseorang yang telah membantu menyelamatkan banyak nyawa.

"Taehyung? Sedang apa disini?" Atensi Taehyung yang sedang mengamati Jungkook teralihkan ketika namanya dipanggil dan bahu tegapnya disentuh dengan lembut.

"Joohyun?" Jungkook mengangkat kepalanya, dan mendapati seorang wanita muda dalam balutan dress cantik sedang menyapa Taehyung.

"Siapa?" Joohyun bertanya kembali, sekarang ia juga memaku atensinya kepada Jungkook yang masih belepotan saus mustard di sekitar bibirnya. Joohyun mengulum sebuah senyum yang begitu cantik, tapi entah mengapa itu terlihat seperti mengejek Jungkook.

"Halo, kau pasti adik sepupu Taehyung dari Daegu? Kenalkan, aku Bae Joohyun…kekasih kakakmu." Buritos di tangan Jungkook sudah tak terlihat menarik, ia dengan cepat membersihkan mulut dan tangannya dengan tisu, kemudian dengan cepat berdiri dengan tas yang sudah tersampir di bahu.

"Senang bertemu denganmu, Joohyun-noona. Maaf tidak bisa menjabat tanganmu, tanganku sedang kotor. Dan…ah, sepertinya aku harus pulang. Nikmati waktu kalian—"

"Jungkook, kau pergi bersamaku itu artinya kau harus pulang bersamaku." Taehyung dengan cepat mencekal lengan Jungkook, tapi figur yang lebih muda menggeleng pelan sembari tersenyum dan menyingkirkan tangan Taehyung.

"Tidak usah hyung, aku bisa pulang sendiri. Jangan khawatir soal Ibu…"

. . .

Taehyung memencet bel kediaman rumah Jungkook dengan tidak sabar ketika ia tahu pemuda itu tidak kembali ke rumah sakit atau ke apartemennya yang berada di dekat rumah sakit. Ia tahu jika ia menyakiti Jungkook yang notabene adalah calon pendampingnya, tapi ia juga tak bisa mengabaikan Joohyun begitu saja tanpa penjelasan. Hubungannya dengan Joohyun sudah memasuki tahun ketiga, dan mereka melalui banyak hal bersama. Tapi Taehyung jelas paham jika ia tidak boelh menyakiti keduanya.

"Taehyung? Ada apa kemari?" Ibu Jungkook yang membuka pintu untuknya, wanita paruh baya itu menatap penuh tanya ke arah Taehyung.

"Uh—ponsel Jungkook tertinggal di mobil saya, imonim dan sepertinya ada telepon penting masuk dari rumah sakit. Boleh saya menemui Jungkook?" Taehyung menggaruk tengkuknya dengan gugup, sedikit bersalah karena harus membohongi wanita di depannya.

"Jungkook ada di kamarnya, mungkin sudah tidur karena kelelahan. Tapi jika kau ingin menemuinya, masuk saja. Imo antarkan ke kamarnya…"

Taehyung berdiri dengan ragu di depan pintu berwarna putih. Ibu Jungkook pamit untuk membuatkan minum, meskipun sudah dengan sopan Taehyung tolak. Ia menghela napas pelan, mengangkat tangannya untuk mengetuk pintu di depannya.

"Jungkook, ini aku Taehyung. Boleh masuk?" Tidak ada jawaban, dan Taehyung memutuskan untuk memutar kenop pintu yang ternyata tidak dikunci.

Kamar Jungkook rapi dan nyaman. Diktat kedokterannya disusun rapi pada rak tinggi di samping meja kerja dengan seperangkat komputer dan printer. Jungkook juga menyimpan beberapa action figures Iron Man yang membuat Taehyung tersenyum. Jangan lupakan juga deretan foto polaroid yang Jungkook jepit pada seutas tali di dinding dan poster besar BTS di atas ranjangnya. Dilihatnya ada buntalan besar di atas ranjang dengan seprai biru toska yang lembut. Taehyung otomatis tersenyum kembali ketika menyadari siapa yang ada di balik selimut tebal itu. Ia kemudian menutup pintu dengan gerakan perlahan, kemudian duduk di ruang kosong yang masih tersisa di atas tempat tidur Jungkook.

"Jungkook, maafkan aku. Maaf jika aku tidak mengatakan pada Joohyun kalau kau adalah calon pendampingku, aku belum—"

"—Jika hyung hanya ingin minta maaf, hyung tahu dimana pintu keluarnya. Aku sedang tidak ingin di ganggu." Suara Jungkook teredam, tapi Taehyung masih mendengar jelas setiap kata dari bibir Jungkook. Ia menghela napas, kemudian menyentuh pelan gumpalan selimut di sampingnya, dan ia terkejut ketika Jungkook tiba-tiba saja mengubah posisinya menjadi duduk.

Jungkook tidak dalam keadaan baik-baik saja. Surai kecokelatannya terlihat berantakan. Taehyung tahu Jungkook tidak menangis, tapi ia yakin jika pemuda di depannya sangat kesal kepadanya.

"Perjodohan ini bukan untuk menyakiti siapapun hyung. Tidak aku, tidak juga Joohyun-noona. Hyung harus memutuskan, siapa yang akan hyung pilih. Jika hyung memilih Joohyun-noona, maka secepatnya kita harus memberi tahu keluarga kita tentang perjodohan ini." Taehyung mengerjap, kemudian meraih tangan Jungkook untuk di genggam.

"Beri aku waktu untuk memberitahu Joohyun dan meyakinkan diriku. Kau mau menunggu kan?"


*To be continue*

a/n : mau geplak Taehyung? Silakan ^^

fanfik ini versi longer dari postingan instagramku. Yang follow aku pasti tahu deh yang mana ini XD yang belum follow, yuk follow : peachpeach_22 ehehehe /promosi terselubung/

poster cantique-nya by kak glowrie :*

Review ? ^^

p.s : I have something on weekend guys :3