Disclaimer by Tite kubo

(Bleach bukan punya saya)

Wish

By

Ann

Warning: Au, Ooc, typo's.

Tidak suka? Bisa klik 'Close' atau 'Back'

Pengharapan terkadang tidak sesuai dengan kenyataan.

Aku bertemu dengannya di dunia tak kasat mata. Dunia tak berbatas, tempat siapa pun bisa menjadi apa pun yang mereka mau. Berganti topeng semaunya, tanpa ada larangan, tanpa ada aturan jelas yang tak memperbolehkan. Orang sering menyebutnya sebagai dunia pelarian. Dunia itu adalah dunia maya. Dunia dimana kebohongan adalah kebenaran, dan kebenaran adalah kebohongan. Dunia dimana kau tidak bisa memberikan kepercayaanmu sepenuhnya.

Aku berkenalan dengannya lewat sebuah grup pecinta anime di facebook. Kami terlibat obrolan seru di salah satu postingan grup yang membahas tentang anime bertema shinigami. Lalu setelah obrolan seru itu, dia mengirimiku permintaan pertemanan, yang tentu saja langsung kuterima tanpa pikir panjang. Aku jarang bertemu 'teman' seperti dia, seseorang yang mempunyai hobi yang sama denganku. Di dunia nyataku sendiri—lingkungan sekitarku— aku tak bisa menemukan satu orang pun yang sepertiku, pecinta manga dan anime. Jadi, saat aku berkenalan dengannya serasa menemukan oase di tengah padang pasir yang gersang.

Kami menjadi akrab dengan mudah. Setelah hari itu, kami chatting setiap hari, entah itu lewat inbox facebook, e-mail, WhatsApp, Line, atau Blackberry Messages, bahkan sering kali lewat pesan pendek dan obrolan telepon juga. Awalnya pembicaraan kami hanya sekitar anime dan manga, lalu kemudian berkembang menjadi kehidupan harian kami di dunia nyata. Dari obrolan kami, aku tahu jika dia bersekolah di SMA Espada di kota sebelah, dan lebih tua setahun dariku. Dan lewat perkenalan tak nyata itu, aku jatuh cinta. Merasakan perasaan lebih pada seseorang yang belum pernah kugenggam jemarinya, yang sinar matanya belum pernah kutatap langsung, yang peluknya belum pernah menghangatkanku.

Setiap hari kami membicarakan banyak hal. Tentang buku, film, musik, olah raga, bahkan pelajaran, juga tentang rasa, tentang cinta. Aku sering bertanya-tanya, apakah cinta bisa hadir dari sosok kaku dan mati bernama... ponsel? Mungkin jika pertanyaan ini kulemparkan pada teman-teman sekelasku mereka akan menertawakanku. Rukia Kuchiki si Putri Salju jatuh cinta pada pemuda yang dikenalnya di dunia maya. Aku pasti akan jadi bahan ejekan mereka semua. Yah, tidak semua sih, ada satu orang yang pastinya tidak akan menertawakanku. Dia hanya akan mengernyit, menampilkan kerutan yang selalu muncul di dahinya saat berpikir keras.

Aku tidak tahu bagaimana perasaannya padaku, aku hanya bisa menebak dan terus menebak. Hanya bisa bertanya dan menjawab pertanyaanku sendiri dengan dugaan, tanpa pernah berani menanyakan langsung pertanyaan itu padanya.

Tetapi terkadang dia memberiku kecupan lewat emoticon berlambang titik dua dan bintang, atau pelukan sayang berupa tanda kurung dan kurung kurawal, hal itu cukup membuatku tenang. Apalagi saat ia memberikan kecupan mesra di ujung perbicangan kami di tengah malam. Meski aku tahu yang dikecupnya adalah ponselnya, tetapi tetap saja aku merasa berdebar dan senang bukan main karenanya. Aku menyukai suaranya yang berat dan penuh semangat. Menikmati setiap candaan yang dilemparkannya padaku. Dan merindukannya saat ia tak membalas pesanku. Seringkali aku berharap dia ada di sini, di sisiku, menemaniku.

"Ketemuan yuk."

Aku segera bangun dari tiduran—kebiasaanku saat berbicara dengannya lewat telepon—dan menjawab penuh semangat, "Kapan?"

"Akhir minggu ini aku dan temanku mau pergi ke Karakura, sekalian aja kita ketemu."

"Boleh, boleh, di mana?" Aku benar-benar kegirangan mendapat kabar ini. Bertemu dengannya adalah sesuatu yang memang kunanti dari dulu.

"Di Park Zone gimana?"

Park Zone, adalah sebuah taman bermain di tengah kota Karakura yang sangat terkenal, baru dibuka setengah tahun yang lalu. Tempat yang benar-benar bisa membuat ketagihan, apalagi Chappy House-nya. Aku saja sudah tiga kali ke sana. Tempat itu benar-benar luar biasa. Dan akan menjadi tempat bersejarah jika tempat itu yang menjadi tempat pertemuan pertama kami.

"Oke." Aku menjawab dengan antusias. Setelah itu kami menentukan hari dan jam pertemuan, juga posisi yang tepat untuk bertemu. Dan akhirnya kami sepakat bertemu di bawah menara jam chappy di dekat pintu masuk, hari Sabtu pukul sepuluh pagi.

Hatiku berbunga-bunga, senyumku bahkan belum luntuh bermenit-menit setelah dia menutup teleponnya. Akhirnya... impianku untuk bertemu dengannya terwujud. Namun, semua rasa bahagia itu mengkerut ketika kulihat ada panggilan lagi di ponselku. Awalnya kukira dia yang menghubungiku lagi, tetapi aku salah. Itu bukan dia. Itu teman sekelasku, bisa dibilang sahabatku karena kami sudah berteman sejak Sekolah Dasar.

"Ada apa?" tanyaku malas, dalam hati berharap temanku ini tidak berniat mengobrol panjang lebar denganku.

"Hoi, kenapa bicaramu begitu?" Suara di seberang telepon terdengar sebal.

"Siapa suruh kau nelpon malam-malam begini, aku udah ngatuk tau," sahutku.

"Udah mau tidur ya?" Dia bertanya, nada suaranya berubah, mungkin dia tak enak hati karena menggangguku.

"Sudah jam dua belas, besok kan harus sekolah."

"Benar juga."

"Jadi, ada apa?" Aku mengulang pertanyaan pertamaku.

"Cuma mau kasih tahu, besok ada ulangan Fisika."

Gawat! Aku lupa. Tapi karena gengsi aku jawab saja, "Tau kok."

"Udah belajar?"

Sial! Pasti dia tahu kalau aku belum belajar.

"Belum." Akhirnya aku menjawab dengan jujur.

"Dasar. Makanya jangan kebanyakan chatting, jadinya lupa kan sama belajar." Dia mulai menasehati.

"Iya, aku tahu," sahutku setengah menggerutu.

"Ya sudah, tidur sana. Nanti subuh kutelepon lagi."

"Mau apa telepon subuh-subuh?!" tanyaku bingung.

"Membangunkanmu. Biar kau bisa belajar buat ulangan."

Mau tak mau senyumku terbit. Meski kadang menyebalkan, sebenarnya dia sangat perhatian denganku. "Makasih," ucapku.

"Sudah, tidur sana."

Setelah tiga kata itu yang terdengar hanya bunyi: "tut! tut! tut! tut! tut!", tanda sambungan sudah dimatikan. Ck! Dasar, mikan. Padahal aku baru saja berpikir dia sangat perhatian.

...

Akhirnya hari yang kunanti tiba. Hari Sabtu yang biasanya kulalui dengan bermalas-malasan di rumah, kali ini kumulai dengan bangun pagi dan menyibukkan diri di dapur. Aku sengaja menyiapkan bento —bekal makan siang—untuk dua orang hari ini. Aku ingin dia mencicipi masakan buatanku.

Jam sembilan pagi aku sudah berangkat menuju Park Zone dengan bus. Hatiku senang sekaligus gugup di saat bersamaan. Senang karena bisa bertemu langsung dengannya, dan gugup memikirkan bagaimana pertemuan pertama kami, akankah kami bisa berbicara lancar seperti saat di telepon? Ah, aku tidak yakin aku bisa bicara dengan lancar. Jujur saja, aku bukan tipe gadis yang bisa lancar berbicara di depan orang yang baru kutemui. Memang kasus kami istimewa, karena kami sudah saling kenal di dunia maya, tetapi tetap saja aku kan belum pernah bertemu dengannya.

Saat aku sibuk memikirkan berbagai skenario pertemuan pertama kami, bus yang kutumpangi berhenti. Aku segera bergerak turun ke halte. Ketika aku mendongak, di depanku sudah nampak gerbang masuk Park Zone, yang loket penjualan tiket masuknya sudah dipenuhi oleh antrian pengunjung. Aku bergegas berdiri di antrian paling belakang, sebelum antrian itu bertambah panjang.

Sepuluh menit kemudian aku sudah berada di dalam Park Zone, tepat di bawah menara jam Chappy. Jam besar berbentuk kelinci itu menunjukkan pukul sembilan lewat tiga puluh menit. Masih setengah jam lagi dari waktu janjian kami. Aku mengeluarkan cermin kecil dari tas, meneliti kembali dandananku. Make up tipis yang kusapukan di wajah sebelum berangkat tadi masih ada, dan rambutku masih tergerai sempurna tanpa ada bagian yang mencuat nakal. Kusimpan kembali cermin itu dan mendudukkan diri di bawah jam. Menunggu dengan tak sabar kemunculannya di depanku.

Tak lama ponselku berbunyi. Sebuah panggilan masuk darinya. Segera saja kujawab telepon itu.

"Kau sudah sampai?" Dia bertanya.

"Iya. Kau?"

"Masih mengantri tiket."

"Aku sudah di dalam. Nunggu di bawah jam Chappy," ujarku.

"Oke. Tunggu ya, sebentar lagi kami sampai."

Kami? Pasti yang dia maksud dia dan temannya. Aku hampir lupa kalau dia berniat datang bersama temannya.

"Aku tunggu."

Aku menunggu dengan kesabaran yang dipaksakan. Pandanganku kuedarkan ke sekeliling, mencari pemuda berambut merah yang sangat ingin kutemui. Ya, pemuda teman dunia mayaku itu memiliki rambut berwarna merah, bertubuh tinggi, dan berwajah tampan, namanya Ashido Kano. Namun, bukannya menemukan pemuda dengan rambut merah, aku malah menemukan pemuda berambut jingga tengah mengintipku dari balik mesin penjual minuman otomatis. Hampir saja aku berderap menghampirinya untuk bertanya mengapa dia mengikutiku, tetapi sebuah suara yang sangat akrab di telingaku menghampiri indera dengarku. Aku segera berbalik dan memasang senyum terbaikku. Senyum yang seketika luntur saat kulihat dia datang sambil menggenggam erat jemari seorang gadis. "Teman" yang dia bilang rupanya bukanlah teman laki-laki, tetapi teman perempuan, atau bisa kubilang "pacar".

Hatiku mencelos. Remuk seketika. Pengharapanku... bayanganku... tentang pertemuan pertama kami bukan seperti ini.

"Kau Rukia, kan?" Dia bertanya diikuti sebuah senyum manis padaku.

Aku mengangguk. Tenggorokanku masih tercekat, hingga rasanya belum mampu mengeluarkan suara.

"Aku Ashido Kano." Dia memperkenalkan diri. "Akhirnya kita bisa ketemu juga," tambahnya dengan riang. Tanpa menyadari jika hatiku kini remuk redam.

Kembali aku hanya bisa mengangguk, suaraku masih belum bisa keluar. Kulirik gadis yang menempel di sisinya. Gadis berkacamata itu sangat manis.

"Ah, aku hampir lupa," ujar Ashido. "Kenalkan ini Nanao. Dia teman yang kuceritakan padamu."

Cerita? Kapan kau bercerita tentangnya? Kau hanya bilang datang akan datang bersama "teman". Kau tidak pernah sekalipun menyebut tentang "pacar" padaku.

"Hai, aku Nanao." Nanao mengulurkan tangan untuk menyalamiku. Dengan enggan akhirnya aku balas uluran tangan itu. "Rukia."

Entah mendapat keberanian darimana, aku akhirnya mengajukan pertanyaan itu pada Ashido. "Apa dia pacarmu?"

Ashido tersenyum malu-malu, dan akhirnya menjawab. "Iya, kami baru jadian minggu lalu."

Sekali lagi, entah siapa yang memberiku suntikan keberanian dan kekuatan. Sudut-sudut bibirku terangkat membentuk sebuah senyuman yang diikuti sebuah ucapan selamat untuk mereka berdua. Lalu setelahnya aku menyuruh mereka untuk pergi dan menikmati kencan mereka. Awalnya mereka memaksa agar aku ikut, tetapi aku memiliki seribu alasan untuk mengelak, hingga akhirnya mereka berhenti dan pergi meninggalkanku.

Rasanya seperti ada palu besar menghantam tubuhku. Perasaan yang tadinya begitu berbahagia, kini berganti menjadi lara. Aku kembali duduk di bawah menara jam, terduduk lemas dengan kepala tertunduk. Di tanganku masih tergenggam erat sebuah tas kain berisi bento yang tadinya ingin kunikmati berdua dengan Ashido. Tanpa bisa kucegah mataku berair, bulir-bulir air mata menetes jatuh, membuat tanda-tanda basah di gaun lavenderku.

Saat tangis itu mulai bersuara, seseorang duduk di sampingku. Aku mengabaikannya, enggan mengangkat wajah untuk mencari tahu siapa dia. Tetapi aku tak perlu mencari tahu, karena sosok itu membuka identitasnya sendiri padaku.

"Kau kenapa?"

Aku menggeleng, kini aku tahu siapa yang duduk di sampingku. Pemuda jingga yang tadi mengintipku dari balik mesin penjual minuman otomatis. Pemuda itu teman sekelasku, seseorang yang kukenal sejak bertahun-tahun lalu, seseorang yang seringkali kuakui sebagai sahabatku, seseorang yang selalu memerhatikanku.

"Pergilah, Ichigo. Aku mau sendirian," ujarku pelan.

Ichigo tak menuruti permintaanku. Ia malah menyodorkan lembaran tisu kepadaku. Yang kuterima tanpa mampu mengucapkan terima kasih.

"Aku tidak akan meninggalkanmu."

Aku mengangkat mataku. Mata madu milik Ichigo balas menatapku, rasanya begitu menenangkan.

"Mau pinjam bahuku?"

Tawaran itu bukannya meredakan tangisku malah membuatnya semakin menjadi. Air mataku semakin banyak yang tertumpah, hingga lembaran tisu yang diberikan Ichigo tadi tak mampu menghapusnya.

Tanpa kata Ichigo membelai rambutku, kemudian merangkulku dengan hangat. Aku masih melanjutkan tangisku di bahunya, namun masih bisa kudengar bisikan Ichigo di telingaku, "Orang yang paling menyayangimu adalah orang yang memelukmu saat kau menangis."

Aku tertawa geli. Dan tangisku berhenti seketika.

Kau benar, Ichigo. Aku tidak akan lagi mengharapkan cinta semu yang kukenal dari dunia maya. Aku lebih memilih percaya pada orang yang kulihat setiap hari, yang meminjamkan bahunya untuk tempatku bersandar, yang memelukku erat saat aku menangis, yang menyayangiku dengan tulus.

...

fin

...

Terima kasih sudah menyempatkan diri membaca fanfic ini. Dan maaf jika ada kekurangan.

See ya,

Ann *-*