PROLOG
Kata orang cinta itu buta.
Cinta itu tak mengenal waktu dan tempat.
Tak 'kan ada perbedaan dalam cinta.
Kasta, harta, keegoisan, gender, hingga agama lebur dalam cinta.
Betulkah itu cinta?
Atau hanya pelabuhan nafsu sesaat?
Manusia hidup bersama.
Memercikkan getar-getar dalam rasa.
Menumbuhkan sulur-sulur percintaan.
Sesosok tubuh terbujur kaku dalam diam. Kulit putihnya sangat pucat bagai tak berpigmen, jauh dari kata indah sebagaimana gelar yang sejak lahir di dunia disandanganya. Lengkung bibirnya kehilangan polesan merah alami yang senantiasa terhias tanpa make up. Rona kemerahan yang kerap mewarnai pipi mulusnya kala tersipu hilang tak berbekas. Kedua mata bulatnya yang selalu berbinar cerah mengalahkan kalau sang mentari di siang hari kini tertutup kedua kelopak matanya yang enggan bergerak. Seakan waktu berhenti baginya. Selosong kosong tanpa jiwa yang bahkan tak menunjukkan hadirnya kehidupan. Selang-selang bertebaran di sekujur tubuhnya tanpa cela, menopang harapan akan keberadaan nyawa di dalamnya. Alunan peralatan canggih kedokteran sebagai satu-satunya penanda bahwa dalam raga dingin tersebut masih terdapat tanda-tanda kehidupan. Menegaskan bahwa tubuh itu masih hidup. Tak peduli meski bernapaspun melalui perantara selang-selang transparan, yang pasti nyawa masih bersemayam di dalamnya. Dalam tidur panjangnya yang entah kapan terbangun. Sang puteri membutuhkan pangeran untuk tersadar dari lelap mimpinya.
Di sisi kiri pembaringan Sang Puteri Tidur, duduk seorang lelaki membelakangi pintu masuk. Tampan. Itulah kesan yang akan digumankan setiap orang yang melihatnya. Sekarang pun, dengan wajah kuyu yang enggan terpejam, lingkaran hitam yang menghiasi kedua mata sipitnya, pakaian yang acak-acakan, rambut yang mencuat tanpa aturan, serta berat tubuhnya yang menurun drastis tetap tak mengurangi pesona ketampanannya. Kedua tangannya yang tak lagi sekekar dulu menggegam erat tangan kiri Sang Puteri Tidur, satu-satunya area yang tak terjajah jarum infuse. Tatapan sendu penuh penyesalan tak pernah lepas dari kedua manic hitamnya. Bisikan-bisikan lirih tak pernah alfa dari bibir jokernya.
Kelahiran.
Kematian.
Kebahagiaan.
Kesedihan.
Penderitaan.
Cobaan.
Kesakitan.
Kesalahan.
Tak pernah urung dari keseharian manusia.
Warna-warni kehidupan yang menjadikan waktu lebih bermakna.
Di balik pintu, di luar ruangan bernuansa biru itu, berdirilah sesosok lelaki dalam diam. Mata rubahnya tak berkedip menatap pemandangan miris di hadapannya. Amarah dan kesedihan terpancar jelas dari kedua matanya yang berkaca-kaca tanpa airmata. Andai sepasang tangan tak menahan tangan kanan dan memeluk pinggangnya dengan erat, sudah dipastikan dirinya akan menerobos masuk dan menerjang si pria kekar di dalam ruangan yang tengah terduduk meratapi keadaan Sang Puteri Tidur hingga babak belur. Tubuh mungil tidak berarti dirinya lemah, malah kemungilan dirinyalah yang menutupi keganasan amukan maut Sang Iblis Ahli Beladiri takk terkalahkan yang bahkan ditakuti para preman.
"Ssshh,,,tenanglah,,tenanglah," bisik si pemilik tangan kurus yang masih setia menggenggam erat tangan kanan si lelaki berpakaian serba putih itu. Lelaki jangkung dengan tubuh kurus itu menatap si mungil dengan berbagai pancaran sarat emosi.
Tak ada respon sama sekali dari lelaki mungil tersebut.
"Redakan emosimu, amarah tak akan mengubah keadaan," sambung orang tersebut. Tangan kirinya yang bebas mengelus pelan punggung si lelaki mungil.
"Tuhan tak akan membiarkan hamba-Nya menanggung cobaan yang tak sanggup dipikulnya," ujarnya bijak, kalimat yang mustahil diucapkan olehnya jika dalam keadaan biasa mengingat sifat evilnya.
Lelaki mungil bertubuh dalam balutan kaos pink dan jeans putih itu tetap bergeming. Diam dalam puncak amarahnya.
"Lepaskanlah semuanya, tak apa. Jangan takut, ada aku yang akan menanggung semua emosimu," direngkuhnya si mungil dalam pelukan hangat, menyalurkan kasih sayang dan kekuatan.
Perlahan-lahan tubuh mungil itu bergetar tanpa suara. Namun basah yang terasa di kaos bagian depannya cukup membuat si pemuda jangkung menyadari bahwa si mungil sedang terisak melepas beban.
