Aesthetic – ZenWilder
Harry Potter – J.K. Rowling
Warning : Chara OOC, alur cerita terlalu cepat, Semi AU.
Scorpius mengangkat alisnya, kemudian berjalan menuju tempat Rose berada. Membungkukkan badan, Scorpius mendekatkan bibirnya ke arah telinga Rose, "Well, Rosie, artinya aku masih memiliki peluang, ya?"
-oOo-
Aesthetic – Chapter I
The New Comer
"Apa kau sudah dengar tentang anak baru itu, Rose?" Rose menggeram kesal ketika mendengar pertanyaan yang sama, meskipun dari orang yang berbeda. Kali ini, Molly Weasley-lah yang bertanya dengan wajah antusias.
Rose, perlahan-lahan, menoleh ke arah gadis berambut merah (semua Weasley memang berambut merah) tersebut dengan mimik bosan setengah mati. Entah di dalam kelas Ramuan, Aula Besar, kamarnya, bahkan di Perpustakaan, Rose tetap harus menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh orang yang berbeda.
Rasanya, Rose sudah jemu mendengar pertanyaan yang sama. Lily, sepupunya yang sudah menginjak tahun keempat, sudah menanyakan hal itu berkali-kali, Hugo tampak tak tertarik namun tetap bertanya kepada Rose, Albus menyenggol bahu Rose setiap kali lewat seraya bersenandung, 'Pendatang baru! Kekasih baru!', disusul oleh suara tawa James, dan kini, dia harus siap melahap pertanyaan lain dari Molly.
Menarik napas panjang, Rose mengerjapkan matanya sejenak, berusaha tidak terlihat bosan di depan sepupunya yang sensitif. "Oh—" Rose sudah bingung harus menjawab apa. Rose memang sudah tahu dan sudah melihat anak baru tersebut, namun, Rose sama sekali tidak berniat untuk membicarakannya. "Ya," akhirnya, lidah Rose yang semula terasa kelu dapat digerakkan. "Aku sudah tahu." Sudah tahu sejak pagi-pagi benar, ketika Lily membangunkanku dan menjerit histeris bahwa pendatang baru itu dari Durmstrang, tambah Rose dalam hati.
"Pendatang dari Durmstraaaang!" seru Molly histeris, tak terganggu dengan tatapan tajam dari Madam Pince, perpustakawan Hogwarts yang galak bila ada yang berisik di daerah teritorialnya (yang dalam kasus ini berarti Perpustakaan). "Waah, aku berharap aku sekelas dengannya!"
"Aku sekelas dengannya," kata Rose datar. Namun, Rose sadar bahwa dia mengambil langkah yang salah. Bisa-bisa, Rose ditodong dengan rentetan pertanyaan lain yang tiada habisnya. "Tadi, saat pelajaran—"
"Yang benar?" Molly terpekik, kini tambah menjadi-jadi. "Bagaimana—"
"Hei, kau!" Rose bergidik ngeri ketika Madam Pince beranjak dari duduknya. Kini, wanita paruh baya berwajah kaku itu melangkah ke arah Rose dan Molly dengan langkah panjang layaknya gladiator. "Ya, ya. Seorang Weasley! Bukan kau, Rose." Suara Madam Pince terdengar lebih lunak ketika menatap Rose. Setidaknya, ini adalah keuntungan Rose akibat setiap hari berkunjung ke Perpustakaan.
Molly masih tampak begitu santai. "Aku?" tanya Molly enteng, menunjuk dadanya sendiri.
Tampaknya, Madam Pince sudah siap berteriak dengan lantang. Namun, Molly sudah mengatakan sesuatu yang sama sekali tidak penting, "Madam Pince, sudah dengar mengenai pendatang baru?"
Wajah Madam Pince kini merah padam karena marah. Emosinya sudah mencapai ubun-ubun sebelum akhirnya dia berseru, keras, "Keluar dari perpustakaanku!"
Molly mengangkat bahunya, mendelik ke arah Madam Pince. "Ya sudah kalau begitu," kata Weasley tersebut. "Rose, nanti kau harus bercerita kepadaku, ya. Lalu, Madam Pince, Madam akan menyesal setengah mati, lho, kalau—"
"Keluar sekarang!"
Rose terkekeh geli ketika Molly menampakkan ekspresi cemberut andalannya. Kemudian, gadis dengan mata sebiru lautan itupun melangkah keluar dari Perpustakaan dengan langkah panjang-panjang serta kaki yang dihentakkan keras-keras.
Madam Pince tampak puas ketika berhasil mengusir seorang pengganggu ketenangan daerah kekuasaannya. Setelah melemparkan senyum tipis kepada Rose, perpustakawan itu kembali membalikkan badannya dan melangkah ke tempat duduknya.
Rose merasa benar-benar beruntung karena tidak perlu menjawab pertanyaan Molly yang beruntun dan tiada akhir.
Pendatang baru dari Durmstrang, sekolah sihir kenamaan dari Skandinavia, Swedia Utara, tersebut tidak begitu menarik. Dengan kulit sepucat mayat hidup dan rambut pirang nyaris putihnya, serta ekspresi kaku di wajah, lelaki tersebut terlihat lebih mirip seperti vampir ketimbang penyihir. Kalau tidak salah, lelaki yang menjadi pusat perhatian 80% dari populasi murid gadis Hogwarts tersebut bernama Hyperion Malfoy—ah, Rose tidak begitu mengingat namanya. Toh, lelaki itu sama sekali tidak penting di mata Rose. Yang Rose ingat jelas adalah, nama lelaki itu mirip dengan nama rasi bintang.
Keluarga Malfoy ... Ketika mendengar marga dari lelaki itu, lantas Rose menunjukkan ekspresi ingin tahunya. Ibu dan Ayahnya seringkali menyinggung mengenai lelaki bernama Draco—Draco Malfoy. Tak jarang kedua orang tuanya tertawa bila topik sudah menyerempet sesuatu yang berhubungan dengan 'albino', 'pucat', 'ferret', maupun 'Malfoy'.
Dari wajah lelaki-bermarga-Malfoy tersebut, Rose tidak heran bila Draco Malfoy disebut 'pucat'. Tapi, Rose tidak melihat unsur apapun yang berhubungan dengan 'albino' serta 'ferret'. Rose segera menyadari bahwa prestasinya kini dalam bahaya karena lelaki-bermarga-Malfoy itu menunjukkan kepintarannya. Professor Slughorn dan Professor McGonagall, yang jarang memuji murid selain Rose, bahkan mengatakan bahwa pekerjaan lelaki-bermarga-Malfoy tersebut gilang gemilang, setara dengan Rose.
Begitu kedua Professor itu menyatakan pendapat mereka mengenai lelaki yang rupanya masuk ke dalam asrama Slytherin tersebut, para Slytherin-berotak-udang-namun-culas tersebut langsung menyeringai lebar ke arah Rose, sedangkan para Gryffindor-pemberani-dan-menyenangkan segera menatap Rose dengan penuh harap, tidak ingin Rose Weasley, murid terpintar di Gryffindor, dikalahkan oleh seorang Slytherin.
Yah, dari semua yang Rose lihat dari lelaki-bermarga-Malfoy, Rose sama sekali tidak tertarik. Ditambah lagi, dengan wajah angkuhnya, lelaki-bermarga-Malfoy itu mengangkat dagunya tinggi-tinggi setiap kali berjalan, diiringi langkah kaki panjang kemanapun ia pergi.
Rose tidak habis pikir mengapa Lily, Molly, dan rentetan saudara Weasley-nya harus repot-repot tertarik kepada pemuda berwajah layaknya mayat seperti si Pendatang Baru itu.
Setelah puas menjejalkan seluruh isi buku ke dalam otaknya yang berkapasitas luas, Rose beranjak dari duduknya, mengembalikan kembali buku berjudul Sejarah Sihir Dari Era Pertama ke rak dimana Rose menemukannya.
Rose berjalan mengelilingi perpustakaan Hogwarts yang tergolong luas. Ini salah satu alasan mengapa Rose betah sekolah di Hogwarts, sekolah sihir beken yang merupakan tempat kedua orangtuanya bersekolah. Buku yang Hogwarts sediakan tak ada habisnya. Bila ada buku baru bermutu tinggi, Hogwarts akan memesannya langsung dari media cetak. Langkah Rose berhenti di depan rak yang diisi buku Transfigurasi, mulai dari tingkat amatir hingga tingkat tinggi.
Mengangkat tangan kanannya, Rose berusaha mengambil buku yang lebih tinggi tiga puluh centi darinya. Mengutuk karena lupa membawa tongkat sihirnya, Rose masih berusaha untuk meraih buku tersebut.
"Bodoh."
Mendengar seseorang berbicara dengan volume rendah, Rose bergegas menoleh dengan refleks. Awalnya, Rose mengira bahwa Albus, Hugo atau James yang akan ia lihat ketika berbalik. Namun, alih-alih saudara lelakinya, yang kini berdiri di hadapan Rose adalah lelaki-bermarga-Malfoy tersebut, sedang mengayunkan tongkatnya sehingga buku itu melayang di depan kepala Rose.
Rose mengangkat alisnya, namun meraih buku tersebut dengan rasa janggal.
"Seharusnya kau pakai tongkatmu—" lelaki itu kini malah memarahi Rose seenak hati. Rose menggerutu. Padahal, sebagai pendatang di Hogwarts yang baru berada di sini selama satu setengah hari bersikap sopan sedikit. "—Git."
Rose tambah berang mendengarnya. Seenaknya saja lelaki itu mengomelinya!
"Aku lupa bawa tongkat." Niat Rose untuk berbaik-baik kepada lelaki itu karena menolongnya pupus sudah. Suaranya kini terdengar ketus serta membekukan tulang.
"Pantas," komentar lelaki itu pedas. Rose tampak heran dengan jawabannya. "Kau ini, kan, seorang Gryffindor. Gryffindor memang tidak berotak."
Ingin rasanya Rose mendaraskan mantra Sectusempra, atau mungkin Kepak-Kelelawar andalan Bibi Ginny yang pernah ia pelajari dari Bibinya yang baik hati. Namun, mengingat resiko nama baiknya akan tercela dan poin Asramanya tentu akan berkurang drastis, Rose menahan diri untuk merapalkan mantra non-verbal jenis apapun yang ia hapal di luar kepala.
Rose mendelik ke arah lelaki itu. Mata coklat keturunan ibunya kini memicing, menatap lelaki itu tajam. Rose sedikit kecewa karna tatapan membunuhnya tak dapat mencincang lelaki-bermarga-Malfoy tersebut menjadi potongan halus. "Oh, diamlah," gerutu Rose kesal.
"Kau ini tidak tahu berterimakasih, ya?" tanya lelaki itu, jelas-jelas menghina Rose. "Seharusnya orang tuamu mengajarkannya. Oh, mengingat marga Weasleymu serta ibumu, Granger, yang merupakan keturunan Muggle, aku tidak heran ..."
Rose melotot mendengarnya. Dia sudah diajarkan etiket sejak masih kecil! Dia tahu caranya berterimakasih kalau seseorang membantunya! Tapi, mana mungkin, sih, lelaki ini berharap Rose berterimakasih setelah meledek Asrama kebanggaannya? Lagipula, ugh, perbedaan status darah, kan, sudah ditiadakan!
Lalu, apa hak lelaki itu meledek keluarga dan ibu—
—tunggu dulu. Darimana lelaki itu tahu marga keluarganya? Ditambah, lelaki itu mengetahui marga ibunya, pula!
"Bagaimana kau tahu mengenai margaku dan ibuku?" Rose menelengkan kepalanya, menatap lelaki itu dengan ekspresi jengkel. Dasar lelaki angkuh menyebalkan.
Sesaat, lelaki itu tampak salah tingkah. Rose bersumpah ia melihat lelaki itu tampak terkejut. Kemudian, lelaki dengan surai platina tersebut melirik jam tua yang terpampang di ujung perpustakaan. Dia mendecakkan lidahnya. "Tak kusangka aku baru saja menghabiskan waktuku bersama seorang Gryffindor," gerutu lelaki tersebut. "Lima menit! Lebih dari lima menit kuhabiskan hanya untuk berdebat dengan gadis tolol."
Setelah berkata begitu dengan tidak sopannya, lelaki itu membalikkan tubuh dan keluar dari perpustakaan.
Rose tak habis pikir dengan lelaki itu. Dia adalah pendatang baru! Dan dia sudah seenaknya bersikap tidak tahu diri kepada Rose, menjelek-jelekkan Asrama, ayah, dan ibunya, pula!
Rose bersumpah takkan mau berdekat-dekatan dengan lelaki itu. Dasar pendatang baru menyebalkan.
-oOo-
Rose bergegas melangkah memasuki Aula Besar. Setelah hampir enam tahun menuntut ilmu sihir di Hogwarts, Rose masih tidak terbiasa berdesakkan dengan kerumunan murid lainnya yang tampaknya tak mengenal kata 'sabar' dan 'mengalah'. Setelah terbebas dari kerumunan menyebalkan tersebut, Rose melangkahkan kakinya dengan terburu-buru menuju meja Gryffindor tepat ketika Minerva McGonagall, kepala sekolah yang merangkap menjadi guru Transfigurasi, berdiri dari duduknya.
"Harap diam." Suara Professor McGonagall yang tegas menimbulkan keheningan panjang yang tak nyaman.
Setelah merasa para murid sudah diam seluruhnya, Professor tersebut menarik napas. "Nah, bagus. Aku disini untuk memperkenalkan pendatang baru kita dari Durmstrang. Dia datang di tengah semester karena bisnis keluarga yang mendesak—"
Tanpa mendengar Professor McGonagall menyebutkan nama si Pendatang Baru, Rose sudah dapat menebak yang dimaksud.
"Scorpius Hyperion Malfoy, harap maju."
Oh, ternyata namanya Scorpius sedangkan Hyperion adalah nama tengahnya, benak Rose mencerna baik-baik perkataan Professor McGonagall, tidak tahu mengapa tiba-tiba dia menjadi begitu tertarik.
Terdengar seruan serta pekikkan di sana-sini. Kebanyakkan yang Rose dengar adalah suara anak gadis. Begitu Scorpius melangkah maju untuk diperkenalkan, keheningan melanda meskipun ada bisik-bisik di tiap sudut Aula.
"Kumohon agar kalian dapat menjaga ketenangan," ulang Professor McGonagall sekali lagi, kini tampak kesal karena para murid mulai histeris. "Jadi, Mr Malfoy, bisakah kau memperkenalkan dirimu?"
"Scorpius Malfoy, 15 tahun, pindahan dari Durmstrang," terang Scorpius singkat. "Apa itu cukup?"
Melebihi cukup, Rose mendengus dalam hatinya. Beberapa anak bergidik ngeri. Kalau saja salah satu dari mereka mendekati tingkat kekurangajaran seperti Scorpius kepada Professor McGonagall, pasti mereka akan dikenai detensi berat nan menyiksa.
Professor McGonagall tampaknya masih dapat bersabar dengan kelakuan pendatang baru tersebut. "Ya. Dan saya harap anda dapat bersosialisasi dengan cepat—"
Rose sudah mengalihkan perhatiannya dari ceramah dan nasehat Professor McGonagall yang berkepanjangan. Lily menyenggol-nyenggol bahunya dengan wajah histeris.
"Ya, Lils?"
"Damn it, Rose!" seru Lily dalam volume rendah, namun cukup memekakkan telinga. "Dia benar-benar kereeen!"
Rose memutar bola matanya. "Cukup sudah kita membicarakan segala sesuatu yang berhubungan dengannya."
"Lihatlah cara dia menatap sesuatu! Mata abu-abunya begitu tajam dan menggoda—"
"Aku tidak mau mendengar apapun lagi, oke?"
"Kau harus menemaniku sore ini!"
"Apa?" Rose melongo. "Menemanimu untuk apa?"
"Berkenalan dengannya, tentu saja!" pekik Lily kelewat antusias. "Kau juga naksir dengannya, kan, Rose? Maksudku, lihatlah cara dia berjalan! Dan, oh, demi Merlin, bibirnya—"
Rose mengerjapkan matanya beberapa kali. "Tidak, terimakasih banyak, Lils," kata Rose jemu. "Kau bisa mengajak Molly kalau kau mau. Dan, oh, mengenai perkataanmu barusan yang mengatakan kalau aku naksir—" Rose mungkin lebih memilih untuk menelan cacing Flobber ketimbang mengucapkan kata tabu tersebut, "—kepada dia, aku yakin itu adalah hal yang tidak mungkin. Tanpa bertanyapun aku sudah yakin Dad akan meledak layaknya gunung berapi bila mendengar aku naksir dengan seorang Malfoy."
Lily merengut, namun tak menunjukkan keinginan untuk membantah. Semua kerabat Rose-pun sudah tahu kalau ayah Rose, Ronald Weasley, membenci keluarga Malfoy sampai akhirat. Bahkan, kalau tidak tahu menahu soal masalah tata krama, mungkin ayahnya akan membuat komunitas Anti-Malfoy.
James yang duduk di sebrangnya bersiul nyaring, melirik Rose dengan pandangan menggoda. Mendadak Rose merasa mual karena melihat pandangan itu. Gadis mana, sih, yang akan tergoda oleh James? Oh, yeah, setengah gadis Hogwarts memuji-muji si Sulung Potter itu.
"Rosie," kata James dengan nada mendayu. Suara cekikikkan Hugo tetap terdengar meski adik Rose itu sudah menutup mulutnya rapat-rapat. "Pendatang baru, kekasih baru~"
Rose mengerucutkan bibirnya. Ia masih di tahun keenam, dan, please, Rose tidak memiliki waktu untuk mencari kekasih. Tidak. Satupun. "Tidak, James, terimakasih," sahut Rose galak. "Lebih baik aku dipaksa menelan cacing Flobber ketimbang harus berpacaran dengan mayat itu!"
"Kau tahu, Rose, kulit pucat adalah ciri khas keluarga Malfoy," terang Lily antusias. "Maksudku, itulah yang membuat mereka terlihat memesona!"
"Kupikir kau masih terlalu kecil untuk berpacaran, Lils," celetuk James enteng. "Simpan saja semua imajinasimu untuk tahun ini. Kasihan Rose sudah sendirian selama enam tahun di Hogwarts. Padahal, aku cukup yakin ada banyak lelaki yang mengantri hanya untuk mendapatkan perhatiannya. Aku heran kenapa si tolol Nott masih mengejarnya—meski aku yakin karena sepupu Rose ini memiliki daya tarik sebesar diriku. Lalu, ada Pucey dan Goldstein juga yang sempat Rose kencani—"
"Mereka datang untuk menanyakan perihal pelajaran," bantah Rose, kini cemberut. "Aku ini prefek, James."
"Well, demikian juga aku," sahut Albus geli.
"Tidak adil!" seru Lily sebal. "Kau sudah mengencani tiga—atau empat gadis, entahlah, aku tak peduli lagipula mengenai jumlah gadis yang kau ajak kencan—di tahun kelimamu!"
"Ingin tahu kenapa, Lils?" James nyengir lebar. "Itu adalah keuntungan menjadi seorang pria. Lagipula, aku yakin Mommy dan Daddy belum mengijinkanmu berkencan."
"Bukan berarti mereka mengijinkanmu!" cetus Lily, kini melipat kedua tangannya di bawah dada. "Mereka tidak memarahimu karena mereka tidak tahu soal itu."
"Dengan begitu, Lily, jadilah gadis baik-baik dan jangan melapor, oke?"
Profesor McGonagall berdeham cukup keras. "Saya harap para Weasley di ujung sana—ya, ya, meja Gryffindor—bisa mendengarkan amanatku sebentar saja? Dan bukan hanya Weasley, Potter juga tampaknya bisa diam sebentar."
Rose dapat mendengar sepupunya mendengus.
-oOo-
Rose sedang berada di ruang Prefek ketika mendengar bunyi pintu yang terbuka. Berharap kalau yang masuk bukanlah Albus (karena acara membacanya akan terusik), Rose menutup bukunya, tentu saja setelah menandai halaman terakhir yang ia baca.
Rose terbelalak ketika melihat seseorang yang lebih buruk daripada Albus, atau James, atau Hugo, atau Lily, atau Molly, atau seluruh sepupunya.
"Kau!" Rose berseru, tak dapat menyembunyikan rasa keterkejutannya.
Scorpius Malfoy memasukan tangannya ke dalam kantung celana sembari menampakkan ekspresi datarnya.
"Bagaimana caranya kau dapat masuk ke dalam sini?" Pertanyaan Rose terdengar lebih mirip dengan hinaan secara tak langsung. "Kau menyelinap masuk? Atau kau meminta kata sandi masuk ke dalam sini secara paksa dari seorang prefek?"
"Bisakah kau menghentikan sikap hiperbolamu?" tanya Scorpius, tak berselera menjawab rentetan pertanyaan Rose. "Kau membuat kepalaku terasa pusing."
"Oh, maaf, tapi mungkin kaulah yang harus menghentikkan sikap sok kerenmu itu!" tukas Rose. "Potong sepuluh poin dari Slytherin karena menyelinap masuk ke dalam ruang Prefek!"
"Potong sepuluh poin dari Gryffindor karena menuduh seorang prefek menyelinap masuk ke dalam ruang Prefek," jawab Scorpius puas.
Rose merasa mulutnya akan jatuh ke lantai. Ia setengah berhara[ agar lantai yang ia pijak tiba-tiba berlubang dan menelannya ke perut bumi sampai makhluk seperti Scorpius Malfoy enyah.
"Kau—" Rose mengatupkan bibirnya rapat-rapat kembali. Setidaknya, ia harus jaga imej di depan lelaki sialan ini. "—adalah—"
"Prefek," lanjut Scorpius bosan.
"Di hari pertamamu di Hogwarts?" tanya Rose tak terima.
Setidaknya, lelaki ini harus berusaha, dong, untuk meraih gelar membanggakan ini? Rose menghabiskan lima tahun dengan sikap sopan dan rapi untuk mendapatkan lencana yang kini ia pakai sedangkan lelaki ini hanya perlu datang di tengah tahun ajaran dan menerima gelar sebagai Prefek? Profesor McGonagall pasti sedang tidak sadar ketika menyerahkan lencana itu kepada Scorpius Malfoy! Atau—jangan bilang kalau Profesor McGonagall juga terpesona oleh Malfoy ini? Oh, please!
"Di hari pertamaku di Hogwarts. Puas menginterogasiku, Weasley?" tanya Scorpius sarkastik. "Atau kau diam-diam menikmati setiap gerakan bibirku?"
Bunuh saja Rose sekarang.
-oOo-
Kehadiran Scorpius Malfoy tak ubahnya bagai awal dari kesialan Rose. Kini Rose tahu mengapa ayahnya membenci Malfoy sampai ke akar-akar terdalam; karena mereka semua memang terlahir menyebalkan dan arogan.
Dengan adanya Scorpius, Rose tidak heran kalau Hogwarts Daily memuat artikel '10 Murid Hogwarts Paling Arogan' dan Scorpius menempati posisi pertama. Namun, alih-alih memuat artikel seperti yang Rose bayangkan, ternyata Scorpius menjadi Headline Hogwarts Daily selama tiga minggu berturut-turut dan menyandang status 'Anak Baru Paling Fenomenal'!
Penduduk Hogwarts pasti sudah kehilangan akal sehat.
Terlebih lagi, tak hanya harus bertemu Scorpius di dalam kelas, Aula, dan ruang Prefek, Rose harus menerima kenyataan bahwa Scorpius sering berada di dekatnya (semoga ini semua hanya perasaannya saja) dan berusaha mengganggu tiap momentum di hidupnya.
Rose benar-benar sial.
Lalu, adanya Albus, Hugo, dan terlebih lagi James yang terus-terusan meledeknya, hidup Rose tidak mungkin bisa lebih merana daripada ini. Kalau tak meledek Rose dengan filsafat konyol seperti 'Cinta dan benci adalah dua sisi koin yang sama', mereka bertiga akan nyengir lebar sembari mengatakan, "Apa kau sudah mengucapkan sampai jumpa kepada kekasihmu, Rose? Karena ia terus memperhatikanmu!".
Rose mungkin akan menerima Order of Merlin sebagai penyihir tersial sepanjang masa.
Singkatnya, begini :
Malfoy yang Arogan + Albus yang Menyebalkan + Hugo yang Berisik + James yang Sok Tahu + Lily yang Cerewet = Kehancuran Hidup Rose Weasley
Rose mengerang, nyaris membenturkan kepalanya ke meja Perpustakaan karena begitu frustasi.
Dan, asal kalian tahu saja, nyaris setengah dari jumlah populasi anak perempuan di Hogwarts—dari tahun pertama hingga tahun ketujuh—sudah terobsesi dengan mayat hidup itu. Parahnya lagi, kini sudah ada KPM (Klub Pecinta Malfoy), yang sebenarnya lebih cocok disebut sebagai KPMYADM (Klub Pembenci Malfoy yang Arogan dan Menyebalkan). Tak hanya itu, seringkali murid-murid melemparkan pandangan penuh benci kepada Rose hanya karena Rose lebih sering berpatroli dengan mayat hidup itu. Uh, kayak Rose benar-benar menginginkannya saja!
Lagipula, kan, Jadwal Patroli tak diatur oleh Prefek ataupun semau-mau para Prefek! Jadwal Patroli diatur oleh Ketua Murid, dimana itu berarti yang mengatur adalah—
—James Potter.
Crap.
-oOo-
Scorpius memiringkan kepalanya. "Well, well, lihat siapa yang sedang melamun," Scorpius terkekeh. "Melamunkan masa depanmu yang sudah diberi jaminan gelap gulita, ya?"
"Maaf saja tapi aku tidak memiliki waktu untuk mengobrol dengan lelaki yang sudah membuat puluhan gadis menangis karena patah hati," sahut Rose sarkastik, membalik halaman bukunya.
"Bukan salahku kalau mereka dengan sukarela menawarkan diri untuk kucumbu, kan?" Scorpius kembali bertanya, tetapi ada sebersit rasa puas di dalam nada bicaranya.
"Aku sibuk."
"Lagipula, aku cukup yakin kalau mereka menikmati tiap sentuhanku, kok."
"Bisakah kau berhenti menceritakan kronologismu bersama gadis-gadis itu?" tanya Rose bosan. Karena ketenangannya yang terusik, ia tak dapat memfokuskan diri lagi dengan bacaannya.
"Bisakah kau berhenti memasang ekspresi cemburu yang kentara sekali di wajahmu?" Scorpius tertawa geli. "My, my, rupanya kau cemburu selama ini, ya?"
Rose mengerjapkan matanya beberapa kali. Ia yakin kalau ia tidak menampakkan perasaan cemburunya di wajah! Oh, lagipula, memangnya Rose punya waktu untuk cemburu karena Scorpius? Maaf saja, ya, tetapi Rose yakin kalau ia lebih tertarik dengan lelaki berkulit normal ketimbang sepucat mayat seperti lelaki di hadapannya sekarang.
Lagipula, alih-alih cemburu, Rose malah amat sangat terganggu dengan adanya kehadiran Scorpius Malfoy selama tiga pekan terakhir ini yang entah kenapa selalu muncul dengan tiba-tiba.
Pokoknya, Rose harus melakukan apapun untuk menjauh dari pria berambut platina nyaris putih itu!
"Maaf saja, ya, Malfoy, aku lebih tertarik dengan Percy Pucey ketimbang dirimu," dengus Rose datar.
"Oh?" gumam Scorpius. "Kau menyukainya?"
Rose terbelalak. Ia yakin kalau kata tertarik bukan berarti ia menyukai Percy Pucey. Lalu, kenapa lelaki ini malah menanyakan hal sebodoh itu?
"Aku harap kau lebih pintar," Rose menghela napas. Pupus sudah harapannya untuk menghabiskan waktu luang untuk membaca dengan tenang. "Asal kau tahu, kata tertarik dan menyukai itu tidak memiliki arti yang sama, bodoh."
Scorpius mengangkat alisnya, kemudian berjalan menuju tempat Rose berada. Membungkukkan badan, Scorpius mendekatkan bibirnya ke arah telinga Rose—yang kini mematung di tempat dengan mata yang hampir melompat dari korsetnya.
"Well, Rosie, artinya aku masih memiliki peluang, ya?"
Entah Rose berada di alam mimpi atau pendengarannya mengkhianatinya, Rose masih tak kuasa bergerak. Apalagi, usai membisikkan kalimat menggoda itu, Scorpius langsung pergi dari Perpustakaan—dan tak lupa melemparkan senyum, tentu saja.
Siapa saja, bunuh dirinya sekarang.
TBC
Zen's Note :
Hai'-') Ada beberapa hal yang harus dijelaskan biar readers gak bingung, ya'-')b
Soal Prefek, anggap aja kalo Prefek Slytherin yang laki-laki kosong gara-gara gada yang cocok, trus Scorpius datang menyelamatkan Hogwarts~ /maksa
So sorry kalo charanya OOC (ga ditulis di warning, pula), ditambah lagi, Paw yakin pake banget kalo ada kesalahan di FF ini-3-
Err ... harus dilanjutkan atau stop sampai disini?
Semuanya bergantung review, ya'-')
See you on the next chapter (hopefully)!
Z. Wilder
