"Heichou... Heichou..."
"Apa?"
"Apakah di pertempuran selanjutnya aku akan mati?"
"Tentu saja tidak, bodoh. Karena aku akan melindungimu."
"Heichou berjanji?"
"Janji. Aku bersumpah akan selalu melindungimu sampai kapanpun..."
.
.
.
"Karena kau adalah Eren milikku satu-satunya..."
—oOo—oOo—oOo—
[Mont Amant est Un Vampire]
A collaboration fanfiction of chyorimentum and Tomoko Takami
.
Shingeki no Kyojin © Isayama Hajime
.
Warning(s): possibly typo(s), shounen-ai, alternate age, vampire!AU, school life, reincarnation
Pairing: Levi X Eren
.
Actually not-for-profit work. So, enjoy!
—oOo—oOo—oOo—
Jalur bias-bias sinar mentari terlihat melewati tirai berwarna hijau pastel, membuat wajah tan pemuda bernama Eren Yeager itu sedikit bersinar. Perlahan pemuda itu membuka kelopak matanya, membiarkan seberkas cahaya memasuki pupilnya. Ia mengerjap, lalu bangun dari tempatnya tidur setelah beberapa saat bergelung di dalam selimut.
Aneh.
Satu kata itulah yang terpikirkan di benak Eren. Ia memegangi kaus di bagian dadanya—tempat di mana jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Keringat dingin mengucur dari dahi dan lehernya, membuat kaus putih polos yang ia kenakan lengket di kulitnya yang kecoklatan—padahal sebuah air conditioner bersuhu rendah tengah menyala di atas sana. Nafasnya juga naik-turun, terus begitu hingga ia berhasil mengatur nafasnya kembali normal.
Ya, aneh.
Tak biasanya ia bangun dari tidur dengan kondisi seperti ini. Eren memegangi kepalanya yang mulai terasa nyeri lalu memberikan beberapa pijatan rileksasi. Mimpi buruk kah? Entah, rasanya yang barusan dialaminya bukanlah suatu hal yang bisa dikatakan mimpi buruk.
Lantas apa?
Masa bodoh, Eren tak peduli dengan itu dan menganggap itu hanyalah sebuah mimpi yang aneh. Ia menoleh, menatap jam digital berbentuk burung hantu di atas meja nakas. "Oh, jam delapan pagi..."
Hening tercipta di kamar sang Yeager muda.
"Tunggu, jam delapan?! Sial, aku telat!"
—oOo—oOo—oOo—
Dengan sekuat tenaga Eren berlari dari rumahnya ke SMA Shiganshina—tempatnya kini menuntut ilmu. Sebuah roti bakar yang rencananya akan ia makan sebagai sarapan terus bertengger manis di mulutnya, tak ia makan sama sekali saking fokusnya pada jalanan. Otaknya terus berputar, memikirkan jalan pintas yang bisa digunakan untuk mempercepat jalannya ke sekolah. Matanya terus melirik ke kiri dan ke kanan, berusaha mencari celah agar bisa mencari jalan tercepat. Dan setelah beberapa menit perjuangan yang mengorbankan roti bakar buatannya terbang entah ke mana, akhirnya Eren berhasil sampai di depan gerbang SMA Shiganshina.
"Oh sial," umpat Eren saat melihat gerbang telah tertutup dengan rapat. Digenggamnya besi-besi panjang bercat hitam itu lalu sedikit memasukkan wajahnya ke sela-sela di antara besi yang satu ke besi yang lain. Emerald-nya mencari siapapun orang yang bisa dipanggil di dalam lapangan sana. Sebuah senyum kemenangan terukir di sana saat sesosok yang dikenalnya terlihat di salah satu sudut lapangangan—mungkin sedang menikmati aktivitas menghisap rokok di pagi hari. "Hannes-san!"
Pria paruh baya yang barusan Eren panggil dengan nama Hannes itu menoleh. Air mukanya memperlihatkan bahwa ia sedikit terkejut dengan kehadiran Eren—juga dengan tampang Eren yang sangat aneh dengan wajah terjepit di antara gerbang SMA Shiganshina. Diliputi oleh rasa heran, kaki-kakinya melangkah untuk mendekati tempat Eren berdiri. "Eren, kau terlambat?"
Sebuah cengiran lebar tampak di wajah pemuda berambut brunette. "Yah, begitulah..." jawabnya. "Jadi, bisakah kau bukakan gerbang ini untukku?"
Mendengar permintaan Eren, Hannes mengerutkan dahi. "Kau bercanda? Setelah telat lima belas menit lebih—" telunjuk Hannes mengarah ke jam dinding yang digantung di dinding pos security, "—kau masih berani menyuruhku membukakan pintu gerbang untukmu? Yang benar saja!"
"Ayolah..." Eren merengek. "Hari ini ada ulangan dari Shardis-sensei. Kalau tidak ikut ulangan itu aku bisa mati!"
"Uh-huh." Hannes melipat kedua tangan di depan dada dan menggelengkan kepalanya. "Sekali tidak boleh tetap tidak boleh."
Tanpa sadar Eren mendecak sebal dan menggerutu dalam hati. Security yang satu ini memang sangat susah diajak bernegosiasi. Untuk kedua kalianya di pagi hari ini ia berpikir keras, harus dengan alasan apa agar ia bisa masuk ke dalam gedung sekolah?
"Hannes-san, ada apa ini?"
Suara bariton terdengar dari belakang Hannes, membuat kedua sosok yang tengah berseteru itu mengarahkan pandangannya ke asal suara. Sosok itu dipandangi dengan seksama oleh Eren dari ujung rambut hingga ujung kaki. Rambutnya sehitam eboni dengan poni belah dan cukuran tipis bawah belakang. Seragamnya lengkap dan rapi—bahkan ia memakai setelan jas dan dasi khusus SMA Shiganshina yang jarang sekali dipakai oleh kebanyakan murid. Atribut yang Eren pakai saja hanya dasi, kecuali jika cardigan berwarna navy blue yang dikenakannya tidak dihitung. Sepatu pantofel yang dikenakan pemuda pendek itu terlihat mengilap dan bersinar—sangat jauh berbeda dari sepatu kanvas milik Eren yang sudah mulai kotor oleh tanah dan debu. Dan jangan lupakan juga tingginya yang sedikit di bawah rata-rata standar tinggi laki-laki.
Tunggu sebentar, rasanya Eren pernah melihat sosok ini... Tapi di mana, ya?
"Ternyata kau, Levi. Kenapa kau ada di sini?" tanya Hannes. Wajahnya ramah, jauh berbeda jika dibandingkan dengan ekspresinya yang barusan ia tunjukkan untuk Eren.
Dan rasanya Eren pernah mendengar nama itu. Ia berusaha mengingat, namun tak ada satupun memori yang bisa menjadi titik cerahnya.
"Dispensasi bagi pengurus OSIS. Kami sibuk mengurus persiapan festival kebudayaan yang akan diselenggarakan bulan depan." Levi menjawab. Nadanya terdengar dingin, namun tak mengurangi rasa hormat pada Hannes selaku orang yang lebih tua. Sebuah berkas yang sedaritadi ia pengang diberikan kepada pria berambut pirang tersebut. "Ini dari Pixis-sensei. Katanya job list untuk semua security saat festival kebudayaan nanti."
"Begitukah?" Hannes mengambil berkas tersebut dari Levi.
"Hei, kalian tidak lupa 'kan kalau aku masih ada di sini?" Sindiran yang dikeluarkan Eren sukses membuat keduanya mengalihkan pandangan ke sosok Eren dengan wajahnya yang terlihat sebal dan cemberut.
Levi merasa terganggu—mungkin tidak terlalu terlihat karena wajahnya yang sedatar papan. Ia pun mengambil sekumpulan kunci yang digantung di ikat pinggang Hannes lalu berjalan mendekati gerbang dan membuka gembok, menggeser selot dan membuka pintu selebar-lebarnya. "Masuk."
Manik Eren melebar, kaget karena reaksi Levi yang tak ia sangka akan membukakan pintu gerbang untuknya. Rupanya ini jauh lebih mudah jika dibanding dengan merengek minta dibukakan pintu pada Hannes—bahkan ini segampang membalikkan telapak tangan! Tak menyiakan kesempatan, Eren pun masuk, ia juga melemparkan sebuah senyuman dan mengucapkan terima kasih pada Levi. Rasa lega membuatnya berlari menuju gedung utama SMA Shiganshina. Namun sayang, langkahnya itu harus terhenti saat sebuah tangan mencengkeram kerah belakang seragam Eren, bahkan membuatnya hampir terpeleset dan jatuh ke atas tanah kalau saja ia tidak memiliki refleks yang bagus. Pemilik iris emerald itu lalu menoleh, mendapati Levi—sosok yang ia anggap sebagai dewa penyelamatnya pagi ini, mencengkeram kerahnya dengan erat. Manik hitam keabuannya juga melemparkan tatapan tajam. "Aku hanya memperbolehkanmu melewati gerbang depan, siapa yang bilang kau boleh masuk ke dalam gedung sekolah?" tanya Levi sinis.
Eren mati kutu. Tak ada satupun kata yang terpikirkan di benak Eren untuk mengelak kali ini. Demi apapun yang ada di dunia ini, atmosfer yang terasa sekarang sangat awkward.
"Kalau kau ingin masuk, kau harus menjalani hukuman terlebih dahulu."
Salah satu tangan Eren menepis tangan Levi yang menggantung di kerah seragam Eren lalu menghadapkan tubuhnya pada Levi dan menyilangkan tangan di depan dada. Jujur saja, Eren merasa sedikit ilfeel saat mendengar kata 'hukuman'. Mungkin karena ia langganan dihukum? "Lantas mau kau apakan aku? Menciumku?" cibir Eren meremehkan.
Tak disangka, Levi mencengkeram kerah kemeja Eren lalu menariknya, membuat tubuh langsing Eren terbawa. Levi memajukan wajahnya, membuat jarak di antara mereka menipis. Manik Eren melebar—lebar selebar-lebarnya saat merasakan bibirnya menempel pada bibir Levi. Dadanya terasa begitu sesak saat menyadari bahwa Levi mengecup bibirnya. Eren tak bisa berpikir jernih, ia juga mulai merasakan panas menyelimutinya. Refleks, kedua tangan Eren mendorong dada Levi, membuatnya menghentikan kecupan itu. Sial, Eren mulai merasa jantungnya berdegup sangat kencang dan ingin menangis saat ini juga.
Ciuman pertama Eren telah direnggut oleh Levi.
Tanpa pikir panjang sang Yeager menutupi wajahnya, berpaling menuju gedung SMA Shiganshina dan melesat dengan mata yang berkaca-kaca. Melihat reaksi dari Eren, Levi hanya menyunggingkan sebuah seringai tipis yang nyaris tidak kelihatan.
—oOo—oOo—oOo—
Ruang OSIS terlihat sangat sepi. Di sepanjang meja dan kursi yang diatur sedimikian rupa agar menyerupai meeting room hanya tampak sesosok pemuda tampan yang tengah berkutat pada lembar-lembar proposal yang harus ia periksa. Pintu terbuka, namun pemuda itu tak menoleh hanya untuk sekedar mencari tahu siapa yang baru saja masuk ke dalam ruangan dan mendekati tempatnya duduk.
"Selamat pagi, Levi." Suara perempuan mendominasi ruangan itu. "Ini laporan untuk hari ini."
Levi menghela nafas lelah lalu menoleh ke arah sang gadis. "Petra, sudah kubilang jangan berikan aku laporan dari sponsor lagi. Kau tidak lihat hari ini aku sibuk mengurus proposal?"
Gadis yang dipanggil dengan nama Petra itu—atau Petra Ral, nama lengkapnya—menaruh map berisi laporan yang ia maksud. "Ini tidak ada hubungannya dengan festival kebudayaan." Jarinya menunjuk map tersebut. "Itu tugas untuk malam ini."
—oOo—oOo—oOo—
Eren keluar dari convenience store 24 jam. Ia baru saja selesai berbelanja bahan makanan untuk membuat nasi kari kesukaannya. Emerald-nya menatap pada jam tangan yang ia kenakan. Rupanya sekarang sudah hampir tengah malam, pantas saja langit sudah gelap dan jalanan mulai kosong. Pemuda itu melirik ke kiri dan ke kanan—melihat kondisi jalanan yang mulai sepi—dan mendapati sesosok yang hendak masuk ke dalam convenience store.
"Ah!" Eren tersentak kaget saat menyadari siapa sosok itu—Levi!
Levi yang malam itu mengenakan coat hitam panjang menegok lalu sedikit terbelalak. Ia benar-benar tak menyangka jika ia akan bertemu Eren malam ini.
Tiba-tiba saja Eren berlari menjauh—Eren tak tahu kenapa otaknya memerintahkan tubuh tinggi semampai miliknya untuk berlari. Wajahnya juga kini terasa panas, dadanya juga mulai sesak. Eren tak bisa memikirkan apapun kecuali berlari secepat mungkin menuju rumah.
"Hei, tunggu!" Levi berseru. Melihat reaksi Eren saat melihatnya, ia mengejar pemuda itu secepat yang ia bisa.
Eren terus berlari sekuat tenaga untuk menghindari Levi. Kantung plastik yang berisi bahan-bahan makanan ia peluk dengan erat, takut jika ada sayuran yang terbang atau kantung tiba-tiba saja berlubang dan menumpuhkan seisi belanjaan. Panik, ia tak bisa mengatur nafasnya dengan normal; terengah-engah hingga uap putih akibat udara yang mulai menjadi dingin.
Bukannya berlari menuju rumah, kaki-kaki Eren malah berlari tak tentu arah dan memasuki daerah perumahan yang tidak terlalu ia kenal. Tubuhnya membelok ke kiri seperti yang instingnya katakan. Kaki-kakinya terus mempercepat langkahnya, tak peduli tenaganya terkuras habis akibat aktivitas itu. Kepalanya menoleh ke belakang, memeriksa apakah jaraknya dengan Levi masih jauh atau tidak. Lari yang sangat cepat itu seketika melambat saat menyadari sosok Levi tak terlihat sedikitpun. Eren berhenti lalu menoleh ke segala arah; Levi benar-benar sudah tidak mengejarnya lagi! Sebuah senyum lebar penuh kemenangan muncul di wajah Eren—walaupun dalam hati ia menerka mengapa Levi berhenti mengejarnya. Terlalu lelah karena badannya terlalu kecil? Bisa jadi.
Eren yang terengah-engah membungkukkan badannya, mencoba menormalkan proses inspirasi dan ekspirasi yang dilakukannya. Setelah badannya sudah tidak penat dan nafasnya juga kembali seperti sediakala, Eren kembali berdiri dengan tegap dan membalikkan badannya.
Emerald itu melebar bersamaan dengan tubuh Eren yang membatu akibat syok. Wajar, pasalnya tiba-tiba saja tampak sesosok tinggi di sana, berdiri menghalangi jalan kembali bagi Eren. Pemuda itu kini merasa was-was. Bagaimana tidak? Sosok misterius itu kini memandangnya dengan tatapan dingin dan—katakanlah—lapar bak karnivor yang melihat mangsa empuk. Bulu kuduk Eren mulai meremang ngeri tatkala sosok di depannya tersenyum lebar, menampilkan deretan gigi yang rapi. "Halo, nak. Kau tersesat?" tanya pemuda tinggi misterius itu dengan suara yang berat dan dingin.
"Si—Siapa kau?" Suara Eren terdengar bergetar, takut dengan aura aneh pemuda di depannya yang semakin lama semakin terasa.
Pemuda itu tak menjawab apapun kecuali terkikik. Nafas Eren tercekat saat ia bisa melihat dua gigi taring atas pemuda itu memanjang, bahkan hingga terlihat keluar dari bibirnya. Seluruh tubuh Eren bergetar hebat, jelas-jelas pemandangan di depannya ini sering ia lihat di dalam film. Tapi ia benar-benar tak pernah menyangka bahwa ia bertemu dengan sosok ini di kehidupan nyata. Ya, bertemu dengan sesosok—
"Vampir..."
.
.
—to be continued—
—oOo—oOo—oOo—
a/n: Halooo~ kami Hyocchin (chyorimentum) dan Tomoko (Tomoko Takami)~ bisa disingkat Tomocchin(?). Kami adalah salah dua author di Fanfiction Paradise, sebuah grup yang berisi author dari berbagai macam fandom yang memiliki personality unik (dan abnormal, hehe). Sedikit bercerita tentang fanfiction collab ini, fic ini berawal dari keisengan Hyocchin yang ingin melakukan collab. Dan setelah dipikir, Hyocchin kepikiran untuk melakukannya bersama Tomoko. Mungkin karena kami sama-sama fujoshi dan penggila Levi? Bisa jadi. Oh, dan tentang sistem penulisan Mon Amant est Un Vampire ini, kami bersepakat untuk menulisnya satu orang per chapter. Jadi, chapter awal ini ditulis oleh Hyocchin~ tunggu chapter 2 yang akan ditulis oleh Tomoko ya~ stay tuned~ jangan lupa memberi kritik, saran, juga dukungan kalian lewat kotak review~
Merci beaucoup :*
