~ Based on Fairy Tail by Hiro Mashima ~

Genre : Romance, Hurt/Comfort

Pairing : Gray, Juvia

Rate : T

.

A Fairy Tail Fanfiction Story

-Lewat Telepon -

Chapter 1 : Kau dimana?


Juvia POV

Akhir-akhir ini aku sedikit resah dengan hubungan yang sudah ku jalani selama hampir 3 tahun ini. Pacarku Gray, semakin terasa aneh setiap hari nya. Sejak satu setengah tahun lalu, ia pergi ke kota Crocus bersama Lyon, Natsu dan Lucy untuk melanjutkan kuliah. Sedangkan aku masih di Magnolia, memilih untuk tetap disini kuliah bersama Erza. Sejujurnya, Aku ingin sekali ikut kesana. Tapi apa daya, aku tak bisa meninggalkan ibuku seorang diri di sini. Bukannya aku tak terima dengan hubungan jarak jauh ini. Hanya saja, aku sedikit merasa takut..

Atau mungkin aku yang terlalu berlebihan?


15 Desember, tahun lalu

Aku menunggunya di depan stasiun Magnolia. Sejak pagi tadi, hujan terus saja turun mengguyur kota ini. Suara tetesannya menemani kala penantianku seorang diri. Hari ini adalah hari jadi kami yang ke dua, tak terasa telah kulewati waktuku dua tahun bersamanya. Aku merasa aku adalah orang yang paling bahagia di dunia. Bukan karna memiliki pacar yang sangat tampan. Tapi karna teringat tentang Gray yang menyatakan perasaannya atau lebih tepatnya membalas perasaanku tepat dua tahun lalu, ditempat ini.

Aku sangat menantikan kedatangannya. Aku tak peduli dengan hujan yang mengguyurku. Meski menggunakan payung, tetap saja setengah tubuhku sedikit basah dibuatnya. Tapi, yang terpenting adalah aku bisa bertemu dengannya setelah sekian lama.

Aku benar-benar tak sabar ingin melihat wajahnya...

Tak lama aku menunggu, akhirnya kereta dari Crocus tiba. Aku segera bangkit dan mendekati kereta itu, berharap pintu gerbong didepanku ini cepat terbuka. Begitu aku selesai berharap, langsung saja pintu itu terbuka dengan cepat.

Aku langsung menyebar pandang, menjelikan mata memperhatikan satu persatu penumpang yang keluar. Hingga pintu itu sepi, dan keluar penumpang terakhir. Tubuhku bergetar. Rasanya perasaan aneh tiba-tiba saja menghantui seluruh tubuhku.

Mungkin ia keluar dari pintu yang lain.

Aku langsung memutar balik badan diikuti dengan pintu kereta yang mulai tertutup. Lagi-lagi aku memutar pandang, tapi masih tak kutemui sosok putih berambut raven itu. Aku mengatupkan tangan didepan dada, memainkan jari sambil menekan perasaan aneh itu.

Ah, mungkin saja dia naik kereta yang lain.

Aku segera menoleh pada jadwal keberangkatkan kereta diujung sana. Satu jam lagi.. Aku menggigit bibir bawahku dan kembali duduk untuk menunggu. Aku merunduk takut. Perasaan tak enak itu lagi-lagi mulai memakan tubuhku. Aku mengatupkan bibir. Air mataku serasa mau terjatuh. Apa dia lupa...

Ah, aku segera menggeleng kepala kuat. Ku hentikan perasaanku barusan, menghembuskan napas panjang dan menengadahkan kepala.

Kau pasti akan datang kan, Gray-sama? Kumohon, jangan menakutiku.

Sudah satu jam aku disini. Hujan juga masih belum reda. Malah sepertinya bertambah deras. Sekarang sudah hampir pukul lima sore. Dan kereta yang kunantikan akhirnya tiba juga.

Aku berdiri, penuh harap, dan masih berharap. Kereta itu berhenti tepat didepan mataku. Pintu gerbongnya pun terbuka. Penumpang kali ini lebih banyak dari yang tadi. Ah, aku baru ingat ini jam pulang kerja. Aku mengintip dari balik jendela-jendela bening didepan mataku. Dari sekian banyaknya orang, Gray-sama pasti ada disana kan? Aku masih menatap dengan penuh harapan. Dimana kau, Gray-sama? Kali ini mataku berhasil meneteskan air mata.

Gerbong mulai sepi. Sampai tak ada seorang pun didalam sana, aku masih menatap pintu gerbong kereta itu. Yang kutakuti ini tidak benar kan? Ini pasti mimpi kan? Kataku dalam hati disela dada yang sudah sesak ini. Pintu itu tertutup. Dan hancur sudah harapanku.

Aku menghapus air mata dan kembali berjalan ke papan jadwal disana. Aku akan tetap menunggumu sampai kau datang. Kau tidak lupa janji kita kan? Kau tak akan mengingkari janji kita kan? Aku meneguhkan hati. Menahan perasaan menyebalkan ini dan menahan getar tubuhku yang semakin menjadi.

Tuhan, tolong aku.. aku akan tetap menunggunya. Jadi, aku mohon datangkan lah dia. Aku kembali duduk dibangku dekat jalur kereta. Menatap jam tangan dan menggigit bibir bawahku lagi, aku tak peduli walau harus menunggumu sampai pagi.

Tiba-tiba saja, aku teringat akan sesuatu. Aku mengerjap dan segera mengeluarkan ponsel dari kantung rokku. Kenapa aku tak menghubungi, sekedar bertanya kau akan menaiki kereta jam berapa. Ah aku baru ingat sudah sejak tiga hari yang lalu kau tak pernah membalas telepon atau sms ku. Tapi, aku akan coba lagi kali ini!

Begitu membuka layar ponsel. Betapa terkejutnya aku saat melihat sudah ada pesan masuk disana. Itu Gray-sama. Rasanya aku ingin terbang ke langit melihat namanya lagi dilayar depan ponselku.

Tak menunggu lagi, segera ku buka pesan itu.

Juvia, maaf. Aku tidak bisa datang.

Pesan singkatnya itu kontan membuat airmata yang tengah kutahan tadi jatuh seketika. Kutatap waktu pengiriman pesan itu. Itu sudah terkirim sejak satu jam lalu. Bodohnya aku...

Aku tak tahu lagi, aku tak mengerti lagi, bahkan aku tak peduli lagi aku ini berada dimana sekarang. Yang aku tahu, aku menangis sejadi-jadinya kini.


Sejak saat itu, kau makin jarang menghubungiku. Hari itu aku tak berani meneleponmu, untuk sekedar mengeluh atau memarahimu. Aku hanya mengirim beberapa pesan yan bahkan tak kau balas sampai air mataku mengering.

Setelah seminggu sejak hari itu, kau meneleponku dan berkata "Juvia, Aku merindukanmu."

Oh ayolah Gray-sama, siapa yang tidak merindukanmu ?

Aku kembali menangis dalam diam, mendengarmu berkata begitu, dengan mudah aku melupakan janji kita yang kau ingkari waktu itu. Aku sangat senang bisa mendengar suara mu.

Dan itu berlanjut hingga seminggu penuh setelah itu. Kau selalu membuat ponselku berbunyi setiap malam. Walau sudah menunggu, aku selalu saja kaget tiap mendengarnya. Aku sangat senang sampai-sampai aku gugup tak menentu.

Dari malam ke malam aku selalu menunggu, mulai dari kau meneleponku setiap hari, berlanjut hingga dua hari sekali. Aku memakluminya, karna aku juga berpikir kau pasti juga punya kesibukan disana bukan?

Aku tetap menunggumu..

Dari dua hari sekali..

Tiga hari sekali...

Seminggu sekali..

Dua minggu sekali..

Sebulan sekali..

Dan hingga akhirnya,

menghilang...

sampai sekarang.

..

Aku masih menunggumu.

Hari ini ibu ku meninggal. Tepat delapan bulan dari hari jadi kedua kita kemarin. Setelah lima tahun dari sakit yang dideritanya belakangan ini, akhirnya ia menghembuskan napas terakhirnya pagi tadi. Aku benar-benar sendiri sekarang, Gray-sama. Aku bahkan sudah lelah menangis, sampai didepan makam ibuku pun aku hanya terus meneteskan airmata, tak mengeluh apapun selain menatap kosong nisan itu. Hanya Erza dan Mira yang berdiri disampingku kini. Bahkan dari sekian banyak temanku yang kuliah dan bekerja di Crocus, hanya Lisanna lah yang pulang menemuiku. Aku tak berharap mereka semua datang. Aku hanya memikirkanmu. Kenapa kau tidak datang? Kau sudah tak peduli lagi denganku kah? Kau dimana, Gray-sama?

Aku sudah berusaha menghubungimu. Tapi Nihil. Sama sekali tak ada jawaban apapun darimu. Bahkan nomormu saja jarang aktif. Aku ingin mati rasanya, kau tahu?

"Juvia..." Panggil Erza. Aku hanya tersenyum tipis dan berjalan meninggalkan makam ibuku.

Gray-sama, sepertinya aku akan berhenti kuliah. . . Aku ingin ke Crocus, menemuimu...


Normal POV

Sudah dua bulan sejak ibu Juvia pergi. Sejak saat itu pula, Juvia tinggal bersama keluarga Scarlet yang memang sudah sejak dulu mengenal kedua orang tua Juvia. Ia sudah tak melanjutkan kuliahnya lagi. Bukan tak punya uang untuk melanjutkan. Hanya saja, ia tak berniat untuk kuliah disini lagi, bahkan untuk bekerja sebagai desainer di butik ibunya pun ia sudah tak bersemangat. Untuk apa ia bekerja? Ibu sudah tak ada? Hanya untuk mengangkat pensil membuat desain saja ia tak sanggup. Semua hanya mengingatkan kalau ia benar-benar tinggal sendiri.

"Juvia, kau yakin akan ke Crocus?" Tanya Erza memastikan. Ia manatap Juvia yang tengah membereskan barang-barang ke dalam koper.

Juvia mengangguk dan tak membalas tatapan dari Erza. "Haah, apa yang kau pikirkan? Kau akan kemana nanti setelah sampai disana?"

"Aku akan mencari apartemen dan mungkin mencari pekerjaan. Yah pekerjaan. Aku harus kerja. Tapi bukan sebagai desainer." Kata Juvia seraya bergumam.

"Kau kesana Untuk Gray, kan?" Tanya Erza dengan menekan dua kata terakhirnya. Kali ini Erza berhasil membuat Juvia berhenti dari aktivitasnya.

"Aku... tidak tahu." Balas Juvia ragu.

"Kalau kau ingin menemuinya aku bisa mengantarmu kesana. Tapi kau tak perlu pindah kesana kan?" Kata Erza tapi tak diacuhkan Juvia sama sekali. Ia kembali memilah barang, yang berada dilemari coklatnya itu.

"Oh ayolah Juvia. Ini bukan main-main. Kalau terjadi sesuatu disana bagaimana? Kau tak punya siapa-siapa disa.."

"Aku punya Gray-sama." Potong Juvia. Ia tersenyum dan akhirnya membalas tatapan mata Erza. Erza mengerjap. Mata orang dihadapannya ini benar-benar terlihat sangat yakin bahwa ia ingin pergi.

Erza menghela napas berat. "Baiklah, Baiklah.." Keluh Erza yang akhirnya mengalah juga. "Tapi aku akan mengantarmu sampai disana dan menemanimu sampai kau benar-benar mendapatkan tempat tinggal. Mengerti?!"

"Itu gak perlu, Erza. Aku sudah cukup merepotkan mu dan keluargamu dua bulan ini." Tolak Juvia. Erza seketika menatap Juvia sangat tajam. Siapapun tahu, tak akan ada yang bisa membantah Erza saat ia seserius itu.

"Mengerti?!" Seru Erza dengan memberatkan suaranya.

"Iya, aku mengerti. Hehe." Tak ada alasan apapun untuk bisa menolak gadis itu. "Oke kita berangkat besok pagi, jam 10." Tegas Erza.


Keesokan paginya..

"Erzaaaa!" BRUK! BRUK! BRUK!

Suara panggilan dan ketukan pintu dahsyat terdengar berulang kali dari balik pintu kamar Erza. "Erza bangun!" Teriak suara parau seorang wanita diluar sana.

Erza langsung mengerjap dan dengan sigap segera melesat menuju pintu.

"Ada apa, bu?" tanyanya begitu membuka pintu sembari mengucek mata.

"Juvia..." kata ibunya seraya berkerut cemas. "Dia tidak ada dikamarnya." Erza kontan membelalak, ia baru ingat akan keberangkatan Juvia ke Crocus hari ini. "Hah? Ini jam berapa?" Balas Erza seraya menoleh cepat ke jam putih didinding kamarnya.

"Jeeh, anak itu!" Geram Erza begitu menangkap ini masih pukul tujuh pagi. Tanpa menunggu apapun, Erza segera mengambil sweeter abu-abunya dan meraih ponsel yang tergeletak disamping bantal tidurnya.

"Eh, mau kemana?" Tanya ibu yang masih dilanda cemas seraya menatap Erza berlalu keluar melewatinya. Ibu Erza benar-benar sudah menganggap Juvia sebagai putrinya sendiri.

"Ke Stasiun. Juvia pasti disana!" Pekik Erza seraya berlari.

Tunggu aku Juvia! Gerutu Erza begitu membanting dahsyat pintu mobil dan menghidupkan mesinnya. Kumohon jangan pergi dulu, Bodoh!

Gadis berambut biru muda terlihat bersandar pada tepi jendela kereta. Kereta yang dinaikinya ini sudah bersiap untuk melesat menuju Crocus beberapa menit lagi.

Erza maaf. Aku tak bisa merepotkanmu dan keluargamu lagi disini. Terima kasih sudah menerimaku dua bulan ini. Terima kasih telah menganggapku keluarga. Terima kasih sudah baik padaku. Kalian tenang saja, Om, Tante, Erza, aku pasti baik-baik saja. Aku berjanji akan menghubungi kalian jika aku sudah sampai disana.

-to be continued-


Ah, aku harus bilang apa ya..

Semoga suka dengan fic ku yang satu ini.

Maaf kalau ceritanya terlalu gaje, OOC dan Typo berlebihan.. hehe :v

Terima kasih telah meluangkan waktunya untuk membaca fic ku ini.

Jangan lupa tinggalkan review ya, aku mengharapnya loh :') hihi

Happy Reading Minna-san

Dont be a silent reader

Sampai jumpa di chapter berikutnya~