CHAPTER 1
Hetalia Axis Power
Disclaimer: Hidekaz Himaruya owned this anime
Warning: OOC, MISS TYPO, etc.
Tik Tik Tik
Suara jam berdetik terdengar di ruangan gelap itu. Ruangan itu hanya memiliki sebuah lampu kecil yang diletakkan di atas sebuah meja kayu, cukup untuk menerangi sebuah papan catur yang berada di atasnya. Pion-pion berada dalam posisi mereka, sebuah kuda hitam bersiap memakan ratu putih.
"Skak"
Suara ringan seorang anak kecil terdengar. Tidak ada yang bisa dijelaskan tentang dirinya maupun lawan mainnya selain mereka mengenakan jubah hitam panjang yang menutupi tubuh mereka. Lawannya yang bertubuh lebih besar hanya diam sebelum memindahkan raja putih miliknya ke samping sebuah benteng.
"Apa mereka sudah siap?" Pria yang lebih dewasa itu memperhatikan lawannya yang menggerakkan sebuah pion kecil. Dia terdiam sebentar sebelum menggerakkan kuda putihnya untuk memakan pion itu.
"Sesiap yang mereka bisa… kau yakin ingin melakukan ini?" si anak hanya menatap pion hitamnya di makan.
"Skak," Benteng putih berada dalam satu garis lurus dengan raja hitam. Pria itu mengangkat tangannya dan memainkan ratu putih yang sudah keluar. "Tidak."
"Tapi tidak ada pilihan lain" Tangan kecilnya meraih menteri hitam dan menggerakkannya ke arah benteng putih. "Skak mat"
Pria itu meliht kearah papan catur dengan seksama, raja putihnya di kepung dari berbagai arah. Dia mengamati ratu putih di tangannya. Pion itu perlahan berubah warna menjadi merah. Dia melempar pion itu ke arah temannya yang langsung menangkapnya.
"Ratu merah"
"Baiklah. Aku memilih Raja biru"
Dong Dong Dong
"Ayo kita mulai permainan ini"
.
HetaliaxCardverse
.
BUM
Suara ledakan terdengar menggema di sebuah ruangan. Ruangan indah yang awalnya berhiaskan gorden biru tua dan ornamen-ornamen bernilai seni tinggi kini hanya berupa serpihan-serpihan kaca dan kain-kain sobek kotor. Selain itu dinding-dinding bersih dari pualam berubah penuh retakan dan lubang di berbagai sisi. Tiga orang pria berdiri, nafas mereka terengah-engah.
Suara desisan yang tidak manusiawi masih terdengar. Salah satu dari mereka langsung menerjang monster buas yang berlari kearah salah satu rekannya. Sabitnya dia ayun ke arah tubuh monster itu, namun tidak meninggalkan bekas apapun. Monster itu mendesis lebih kencang dan menyerangnya
Seseorang lagi yang berdiri paling belakang langsung merapal mantra. Sebuah lingkaran sihir muncul di bawah kakinya. Dia memejamkan mata emerald-nya sejenak sebelum akhirnya melemparkan sebuah bola sihir ke arah sang monster yang berwujud ular.
Pria yang terakhir langsung berlari ke arah si monster ular, membantu rekannya yang mencoba bertahan dari gigitannya yang beracun. Dengan cepat dia langsung memotong kepala si monster yang kemudian menggelinding ke lantai. Tubuh monster itu kemudian berubah menjadi debu.
Ketiga pria itu melihat sekeliling ruangan, memastikan tidak ada monster lagi.
"Kalian lama sekali."
Pria yang berdiri paling jauh itu langsung jatuh terduduk. Kakinya gemetaran, tidak kuat menahan berat tubuhnya lagi. Dia menggunakan terlalu banyak energi sihir saat bertarung. Rambut emasnya yang berantakan kini basah oleh keringat. Alis tebalnya mengerut kesal ke arah orang yang sembari tadi duduk manis di belakangnya.
"Mereka lebih kuat dari pada yang sebelumnya. Kau kira kami bisa langsung menang begitu saja!" Pria itu menggeram kesal. Tangannya masih gemetaran dan dia menyesal kenapa dia tidak menyisakan sedikit energi sihir untuk melempar sebuah bola sihir kearah orang itu.
"Sudahlah, Arthur. Kau lelah dan butuh istirahat" Pria pemilik sabit berjalan perlahan ke arah rekannya, sabit di tangannya bercahaya biru sebelum akhirnya menghilang. Mata violetnya menatap Arthur dengan tenang.
"Matthew benar, aru. Ini masih pagi dan kau masih stress karena rapat kemarin" Pria yang memegang pedang langsung menyarungkan pedangnya. Dia berjalan ke arah Matthew dan Arthur.
"Yao, aku menghargai jika kau tidak ikut campur dalam argumen ini. Apa kau tidak kesal di bilang lama setelah bersusah payah mengatasi monster tadi?" Arthur mencoba untuk berdiri walaupun kakinya masih gemetaran. Pria yang duduk itu besikap santai sebelum akhirnya berdiri dari tahta yang di dudukinya.
"Aku tidak meminta kalian untuk melakukan ini. Aku bisa membantu kalau saja seseorang tidak akan berteriak-teriak ditelingaku jika aku melakukannya." Dia melirik ke arah Arthur yang kini menatapnya dengan tatapan kesal.
"Kau Raja Spade, tidak mungkin kami menyuruhmu untuk bertarung langsung, Al." Matthew berbicara pelan. Raja mereka, Alfred, hanya tersenyum kecil.
"Apa agenda hari ini" Alfred bertanya ke arah Yao.
"Ada rapat dengan petinggi-petinggi dari setiap kota di Spade tentang kemunculan monster-monster aneh di sekitar kota. Rapatnya di mulai jam 10"
Alfred mengeluarkan jam dari saku jaket birunya. Sebuah jam berbentuk spade menunjukan angka Sembilan. Dia langsung memasukkan jamnya dan melihat ke arah teman-temannya. "Kalian beristirahat saja dulu. Aku ingin keluar sebentar."
"Awas kalau kau terlambat!" Arthur mengancam Alfred, namun membiarkan dia keluar dari ruangan yang hancur itu. Mereka tidak bisa menahan Alfred kalaupun mereka mencoba. Mereka tahu kalau Alfred biasanya langsung ke kota untuk melihat sendiri keadaan penduduknya kalau dia punya waktu luang.
Alfred melihat keadaan di kota yang baik-baik saja. Memang ada laporan monster-monster buas muncul di malam hari dan menyerang orang, namun tidak pernah ada korban jiwa dan yang diserang hanya mendapat luka ringan. Dia berjalan keluar gerbang kota, prajurit yang menjaga gerbang langsung menunduk ketika melihatnya. Dia hanya mengangguk pelan sebelum berjalan kembali.
Dia bisa melihat salju memenuhi tanah. Musim dingin sudah tiba di Spade. Suhu di Spade cukup dingin karena terletak di selatan walaupun tidak sedingin di Club yang selalu dingin dan bersalju di musim apapun. Alfred tidak pernah keberatan dengan dinginnya suhu, dia sudah terbiasa dan menganggap ini masih hangat. Dia lebih penasaran dengan sesuatu yang berada di dekat hutan. Awalnya dia mengira itu sebuah batu. Namun lama dia mengamati, itu seperti tubuh seseorang.
Dia berjalan mendekat dan bisa melihat kalau itu seorang pria. Alfred langsung mendatangi orang itu, khawatir jika saja orang itu adalah korban yang di serang monster. Apa lagi orang itu bisa mati kedinginan. Alfred berjalan mendekati tubuh itu dan berniat untuk menolongnya ketika dia melihat wajah si pria.
Wajahnya sangat mirip dengan Alfred. Seakan-akan kalau orang yang pingsan itu adalah dia sendiri.
'Siapa…?'
Orang itu tidak memiliki lambang apapun di pakaiannya yang bisa dia kenali. Dia hanya mengenakan jaket coklat dari kulit dengan kerah hitam, sebuah bintang merah terletak di bagian dada kanan jaket dan juga sebuah celana panjang berwarna coklat muda yang kini mulai basah oleh es.
Alfred menatap cukup lama sebelum akhirnya membungkuk ke bawah dengan niat untuk membangunkan si pria. Dia tidak mendengar jam di sakunya berdetik lebih kencang. Jam itu mengeluarkan cahaya biru dan langsung menyelimuti tubuhnya ketika tangannya nyaris menyentuh si pria. Cahaya itu bersinar terang sebelum menghilang bersama dengan Alfred, meninggalkan pria yang mirip dengannya sendiri.
.
HetaliaxCardverse
.
"Inilah akhirnya!"
Sebuah tebasan cepat dari sebuah katana mengakhiri hidup seekor monster berkepala serigala yang hendak mencakar seorang pria yang jatuh terduduk di lantai, tombak panjang yang merupakan senjatanya terlempar cukup jauh dari jangkauan tangannya. Pria berkatana itu segera menarik temannya untuk berdiri.
"Kau tidak apa-apa, Feliciano-kun?"
Pria itu mengangguk ke temannya sebelum berdiri. Dia berjalan ke arah tempat di mana senjatanya berada. Seorang pria dengan pedang langsung memperhatikan seisi ruangan. Dia berjaga-jaga kalau-kalau akan muncul monster lainnya. Dia tidak boleh lengah. Setelah beberapa saat, kini fokus perhatiannya adalah kehancuran di ruang tahta kerajaan Heart. Kalimat yang bisa mendeskripsikan keadaan ruangan itu adalah kapal pecah.
"Ludwig-kun?"
Pemuda bermata biru itu langsung berbalik ke belakang. Sebuah tatapan khawatir di tujukan kepadanya.
"Hm, aku baik-baik saja," Dia mengangkat tangannya untuk membuktikan kalau dia tidak terluka. "Kiku, apa kau sudah mengetahui apa penyebab semua ini?" Ludwig mengedarkan pandangannya, menyayangkan ketika dia melihat pintu besar dengan ukiran kerajaan hancur patah menjadi dua bagian, salah satu daun pintunya hancur seperti di jebol oleh sesuatu dengan cakar tajam.
Kiku menyarungkan katananya yang mengeluarkan cahaya merah. Senjata itu akhirnya menjadi sebuah pisau dengan sarung kayu yang kemudian disematkan ke lengan yukatanya. "Belum. Aku sudah mencari tapi sejauh ini tidak pernah ada catatan tentang apapun yang bisa menjelaskan kehadiran monster secara tiba-tiba di dalam istana. Seharusnya semua istana di Deck memiliki perisai sihir… kecuali−"
"Aku sudah memastikan kalau perisai istana ini berdiri kuat." Feliciano bergabung dengan kedua temannya. Dia mengerutkan keningnya, berpikir keras untuk menemukan apa yang salah.
"Monster-monster itu muncul melalui portal hitam, seperti ada yang memanggil mereka… seorang penyihir, mungkin? Yang lebih kuat dan berasal dari luar kerajaan Heart?" Pedang Ludwing bersinar sebelum akhirnya berubah menjadi tongkat kayu sepinggang dengan kristal merah berhiaskan emas, di tengah kristal itu terdapat berntuk hati berwarna merah darah.
"Kita seharusnya sudah mengetahui tentang ini dari lama…" Kiku menyilangkan kedua tangannya. Hal paling ganjil yang dia temui selain kemunculan aneh monster-monster itu adalah mereka muncul di hari yang sama setiap minggu sehingga memudahkan peminimalisiran kerusakan dan korban jiwa.
"Mungkin ini berkaitan dengan banyaknya laporan kemunculan monster di sekitar pinggiran hutan setiap malam. Tadi pagi saja sudah ada lima laporan dari kota yang berbeda." Feliciano merasa kalau semua ini memiliki arti tersendiri, sesuatu yang besar.
"Bukan hanya Kerajaan Heart sendiri yang mengalami hal yang serupa. Banyak berita kalau kerajaan lain juga diserang monster misterius." Ludwig menatap kedua rekannya, mata birunya menatap dengan seksama kalau saja ada sesuatu yang mereka lewatkan. Mereka bertiga terdiam, berpikir tentang kemungkinan-kemungkinan yang ada.
"Sudahlah, kita sekarang harus focus dengan tugas kita. Biar aku bersihkan ruangan ini. Kalian berdua masih memiliki tugas, kan?" Feliciano segera menarik tangan kedua temannya itu menuju ke arah tempat di mana pintu keluar seharusnya berada. Dia mendorong mereka dan mengisyaratkan mereka untuk pergi, sebuah senyum kecil terlukis di wajahnya.
"Feliciano-kun, aku bisa membantu−"
"Kiku, kau Ratu Heart. Kau memiliki pekerjaan yang lebih penting daripada membantuku membersihkan ruangan ini"
Kiku dan Ludwig diam. Mereka tidak akan bisa mengubah keputusan Feliciano kalau itu menyangkut bersih-bersih. Ludwig mengangguk dan mengucapkan selamat tinggal, meninggalkan Kiku sendiri. Mereka memiliki tugas mereka masing-masing, dan dia tahu apa perannya. Dia masih memiliki banyak pekerjaan di ruangannya, dan itu belum termasuk membaca dokumen-dokumen penting yang dia yakin Feiciano tumpuk di mejanya tadi pagi.
Kiku membungkuk pelan dan melambaikan tangannya yang kemudian dibalas Feliciano. Kiku tersenyum kecil sebelum meninggalkan Feliciano sendiri dengan pekerjaannya. Tujuan Kiku sudah jelas, perpustakaan kerajaan Heart. Dia masih memiliki tugas untuk menyelidiki apa penyebab kehadiran monster-monster itu. Tapi kali ini dia memilih untuk memutar dan singgah sebentar di sebuah balkon di lantai dua yang langsung menghadap ke taman istana di sisi timur.
Taman ini diciptakan khusus untuknya. Terletak di lantai dua dengan pagar rendah sehingga dia bisa langsung melihat isi taman. Awalnya dia tidak percaya ada yang repot-repot melakukan hal ini, tapi ketika dia mengetahui bahwa ini hasil kerja Feliciano dan Ludwig (walaupun dia bilang dia tidak ikut membantu) itu membuatnya terharu. Dia sangat menyayangi taman ini, terutama pohon sakura yang berada di tengah-tengah taman yang mulai mekar di awal musim semi ini. Tempat ini selalu mejadi tempat istirahat jika dia lelah dengan pekerjaannya.
"Kiku"
Suara seseorang terngiang di telinga Kiku. Suara itu cukup jelas karena Kiku tidak perlu menengok untuk mengetahui siapa yang memanggilnya. Jika ada yang melihatnya berbicara mungkin mereka mengira bahwa Kiku hanya bergumam pada dirinya sendiri.
"Kuro" Kiku bergumam pelan, menanggapi suara yang muncul di kepalanya.
"Kau tidak apa-apa, kan? Tidak terluka sedikit pun?"
"Tenang saja. Aku bisa membela diriku sendiri. kau tidak perlu khawatir"
"…Syukurlah… Aku mendengar percakapan kalian tadi…" suara itu, Kuro, kembali terngiang. Kali ini Kiku bisa mendengar suara sesuatu tejatuh di air yang tenang.
"Aku masih mencarinya. Kau tahu sendiri"
"Ya. Apa mungkin kalau ini semua perbuatan dari Joker?"
"Joker? Apa maksudmu?"
"Mereka yang menentukan 'peraturan', bukan. Apalagi Ratu Diamond sudah memasuki posisinya. Tinggal menunggu masalah waktu sebelum 'permainan' dimulai."
"Maksudmu ini seperti pembukaan dari 'permainan' ini?"
"Mungkin saja. Mereka bisa membuat peraturan yang mereka mau, bukan?"
Kiku tidak melihat bahwa seseorang berdiri di belakangnya, jubah hitamnya menjuntai hingga ke lantai. Tidak ada hawa yang keluar dari tubuhnya membuat Kiku maupun Kuro tidak sadar ada yang berdiri di belakang mereka. Orang itu berjalan tanpa suara ke arah Kiku. Tangannya terulur, kulit pucat bisa terlihat. Tangan orang itu berhenti sebelum menyentuh pundak Kiku sebelum akhirnya tangan mendorongnya ke depan.
Kiku kaget ketika merasakan dorongan kuat. Dia mencoba untuk memutar badannya, namun tubuhnya terasa kaku. Dia melihat ke arah pendorongnya yang berdiri di balkon. Kiku memejamkan matanya dan bersiap menghadapi rasa sakit.
Orang itu terus melihat Kiku. Mata merahnya menatap Ratu Heart yang tertelan cahaya merah sebelum menghilang. Dia tersenyum puas sebelum berbisik pelan.
.
.
Siapa yang akan menang,… ya?
Cerita baru. Aku gak yakin kalau aku bisa nulis sesuatu kayak gini. Mana ceritaku yang satunya juga masih gantung gitu. Ngocol. Tapi gak apa-apa deh. Soalnya cerita ini udah kebayang-bayang dari lama. Untuk karakter dari Cardverse, sifar dan kepribadian mereka beda sama di Hetalia.
Review!
