AMBER
Cast: Byun Baekhyun, Park Chanyeol
Genre: Romance, Crime, Fantasy
Pairing: Chanbaek / Baekyeol
Disclaimer: Fanfiction nista ini terinspirasi dan bisa dibilang remake dari film adaptasi novel terbaik sepanjang masa Harry Potter and The Goblet of Fire karya JK Rowling. Alur cerita yang sengaja dibuat berbeda dari sumber asalnya murni dari kepala saya. Cast bukan milik saya. Mereka milik diri pribadi mereka sendiri.
Warning: Boys Love, Yaoi, BoysxBoys.
P.S. Gatau, mungkin otak saya sudah gesrek sampe bikin ff ginian. Silahkan menistakan ff ini di kolom review. Wassalam.
Chapter 1—Gryffindor or Slytherin?
"100 tahun yang lalu hogwarts pernah mengalami masa terberatnya. Seorang penyihir hitam yang menamai dirinya Lord Voldemort mengancam kedamaian dunia sihir. Saat itu hogwarts dipimpin oleh kepala sekolah-"
"Albus Dumbledore, Severus Snape, lalu terjadi kekosongan kepemimpinan karena mereka semua meninggal. Oh sudahlah, kau menghafal itu sejak kereta ini berjalan. Tanpa menghafalkan itu aku tahu kau pasti lulus Kyungsoo. Berhentilah."
Aku tidak tahu apa yang ingin dicapai seorang darah murni brilliant seperti Kyungsoo sampai sampai ia tidak mau berhenti bergumam tentang sejarah Hogwarts. Ini sudah tahun ke lima kami dan dia masih saja menggebu gebu tentang sekolahnya seakan akan ia baru saja masuk. Aku sendiri juga heran kenapa sejarah Hogwarts tiba tiba diikutkan dalam salah satu syarat lulus OWL.
Dia memutar mata bulatnya lalu menutup buku tebalnya dengan keras.
"Kau mau lulus tidak sih?"
Aku kelabakan karena mata burung hantunya seakan memantraiku. "Tentu saja."
"Lalu kenapa tidak menghafal?"
"Aku sudah membacanya tadi malam dan itu cukup. Jangan berlebihan dengan cara menggumamkannya di kereta."
Kyungsoo menyilangkan kakinya lalu mencondongkan wajahnya kearahku. "Baiklah kalau begitu. Jawab ini."
Kyungsoo menyodorkan berlapis perkamen yang dibendel dengan serat rotan. Sampulnya coklat gelap dan sobek di bagian ujung bawahnya. Terlihat sangat tua, dan yang aku sangat anti, buku itu tebal.
"Apa ini?"
Ia melemparkan buntalan tebal itu ke pangkuanku saat bahkan aku belum siap menerimanya. Beratnya menimpa pahaku dan rasanya pahaku hampir penyet.
"Baek, itu kumpulan soal sejarah Hogwarts yang aku dapat dari profesor Ludwig. Ia memberiku semua itu ketika aku membantunya membereskan lembar tugas siswa tahun lalu. Jika kau memang sepintar yang mulut besarmu katakan, kau pasti bisa mengerjakannya."
Setelah tersenyum untuk mengejekku, Kyungsoo kembali menyandarkan tubuhnya dan melipat tangannya. Menampakkan wajah menang seakan aka ia baru saja mengalahkanku dengan kemenangan yang telak.
Aku membuka lembar sampulnya dan menemukan kata pengantar. Hanya dua baris yang muncul perlahan dari halaman perkamen kuning yang kosong. Tulisan itu menyesap keluar melewati pori pori perkamen dan membentuk sebuah kalimat. 'Pelajarilah tempatmu sebelum berperang.'
"Hah omong kosong macam apa ini? Lucu sekali."
Kyungsoo melemparkan pena bulu padaku dan berdecak. "Sudahlah kerjakan saja. Aku ingin tahu berapa score yang akan kau dapat untuk bab satu."
"Kupastikan kau menarik ucapanmu burung hantu jelek."
Aku membalik halaman selanjutnya dengan kasar. Aku heran, sebenarnya apa yang ia ingin buktikan dengan menyuruhku mengerjakan buntalan perkamen ini. Sungguh tak akan pernah aku melampaui kecerdasan Do Kyungsoo dalam ujian. Apa daya seorang pemalas Byun Baekhyun yang membaca saja perlu dipaksa. Aku menghela nafas sambil terus membalik dan menemukan soal soal sejarah Hogwarts yang tertulis rapi seperti hasil ketikan mesin. Aku mulai membacanya dan kemudian menjawabnya dengan cepat sesuai apa yang aku ingat. Lumayan mudah. Pendiri Hogwarts dan keempat asramanya, kepala sekolah pertama, kejadian kejadian luar biasa di Hogwarts, semuanya sudah diluar kepalaku. Terimakasih pada ayah kandungku yang selalu mendongengiku sebelum tidur tentang bagaimana ajaibnya Hogwarts ketika ia sekolah dulu. Penuh kesenangan dan kejahilan.
Soal ayahku tiba tiba saja aku teringat padanya. Aku membayangkan mungkin ia sekarang sedang sibuk menipu para muggle dengan bekerja sebagai pengusir hantu atau arwah. Sebenarnya ia tidak sekonyong konyong mengusir hantu dengan rapalan doa dan salib yang menggantung di leher. Ia hanya berkomunikasi dengan mereka, membuktikan pada para hantu bahwa dirinya adalah penyihir dan kemudian merapal mantra. Tidak heran jika ia begitu lihai mengakali muggle dan begitu licik karena dulunya ia tinggal di asrama Slytherin.
Namanya Allan Lantern. Seorang pria kebanggaan Slytherin. Setidaknya begitu seperti yang ia katakan saat mendongeng dulu. Salahkan aku yang percaya dengan mudah karena aku baru 7 tahun saat itu. Ia bercerita bagaimana ia secara sembunyi sembunyi mempelajari mantra jahil yang bahkan penyihir seusianya tidak pernah bermimpi untuk menggunakannya. Ayahku memantrai sapu lawan saat pertandingan Quidditch dan menyebabkankan sapu lawannya hilang kendali. Tak ada yang bisa dituduh karena mantra itu hanya bisa digunakan oleh penyihir tingkat lanjut. Ayahku bilang hanya rekan satu timnya dan seluruh anggota asrama Slytherin yang tahu sampai saat ini.
Allan Lantern benar benar seorang kebanggaan Slytherin. Terlihat bagaimana para penghuni asrama Slytherin mengelu elukanku saat namaku dipanggil untuk mengenakan topi sihir dan memilihkan asrama untukku. Tapi sayangnya mereka semua hampir muntah karena terkejut. Aku jadi ingat bagaimana wajah ayah yang juga terkejut saat ia tahu bahwa seragam yang aku bawa pulang ketika tahun pertamaku berakhir adalah sebuah jubah dengan panji ber bordir singa. Sebuah kenyataan yang tak dinyana.
Awalnya aku hanya santai dan sok menasehatinya kalau mungkin saja Gryffindor ini aku dapat dari ibu. Tapi aku juga terkejut ketika ayah berbisik dengan getir bahwa ibu ternyata juga si licik Slytherin. Ayah sampai sampai mengatai ibu kalau ia telah selingkuh dengan orang lain, tapi sayangnya tuduhan itu tak pernah ayah sampaikan pada ibu karena memang wanita cantik itu sudah lama meninggal sejak aku lahir.
Soal ibuku, beliau adah Byun Seupseul. Slytherin darah murni asli korea. Terpikat oleh ayahku karena kelicikan dan kecerdasannya. Ayah dan ibuku menikah di usia 25 tahun dan aku lahir dua tahun kemudian. Perpaduan kebangsaan inggris dan korea yang sama sama kental harusnya menghasilkan seorang putra yang tampan, tinggi, berhidung bangir, mata hitam gelap dan rambut terang yang lurus. Alih alih begitu, aku lahir dengan wajah delapan puluh persen mongolian dengan iris amber, sepasang iris serigala, coklat pucat dengan heterokromia di tepiannya. Beberapa orang bilang aku istimewa karena baru kali ini melihat orang asia yang ber iris amber, tapi sebagian besar mengatakan aku sangat aneh. Lebih tepatnya perpaduan gagal yang tidak sinkron. Salahkan ayahku yang mewariskan iris ini.
Mengingat ini semua aku jadi merindukan mereka. Meskipun mungkin tuduhan tuduhan selingkuh tak beralasan itu masih tersisa di pikiran ayahku, tak sekalipun ia meninggalkanku. Walaupun putra seorang Slytherin bisa masuk Gryffindor adalah sebuah penghianatan besar.
"Shoren?"
Teriakan heran terdengar bersamaan dengan pintu bilik kereta yang terbuka. Itu Helena, rekanku di Quidditch. Ia Gryffindor sejati. Ayah ibunya Gryffindor juga tanpa embel embel perselingkuhan.
"A-ya?", aku hanya menjawab sekenanya karena sebelah alis Helena sudah benar benar terangkat hampir mencapai dahinya.
"Sejak kapan kau mengerjakan soal soal?"
"Ah ini dari Kyungsoo. Kenapa? Aneh ya?"
"Oh tentu saja. Bahkan aksenmu benar benar aneh sekarang. Jangan biasakan berbicara bahasa planet itu dengan Dyo."
Oh tidak, Helena mengejek aksen korea kami. Kyungsoo akan meledak.
"Helena, sekali lagi aku katakan itu bahasa korea. Itu ada di asia timur dan itu adalah sebuah negara. Yak! Shibbal!"
Aku hanya bisa menahan tawa. Kyungsoo bahkan mengumpat dalam bahasa korea.
Helena meringsak duduk di sebelahku. Kulitnya semakin putih saja. Matanya biru, rambutnya hitam melebihi bahu dan sedikit bergelombang. Jika saja kelakukannya tidak mirip naga rumania mungkin aku sudah memintanya menjadi pacarku.
"Shoren!"
Dia mendelik ke arahku minta pembelaan.
"Baekhyun! Jinjja!"
Kyungsoo juga ikut ikutan.
"Maafkan aku teman teman. Aku netral. Silahkan lanjutkan pertengkaran kalian. Aku akan mencari kereta makanan karena aku akan sangat lapar mendengar celotehan kalian."
Aku memutuskan keluar bilik dan benar benar mencari kereta makanan. Aku pasti sangat kuwalahan nantinya saat Helena mulai mencaci bahasa korea Kyungsoo yang kental yang sering ia gunakan padaku saat ia sedang kesal atau sedang membicarakan orang lain, termasuk Helena, dan disaat kemarahan mereka sudah berada di ubun ubun mereka berdua akan dengan kompaknya meminta pembelaan dariku. Helena akan memanggil namaku dan Kyungsoo akan memanggil nama baptisku. Seorang blasteran inggris-korea yang disuruh membela pertengkaran seorang warga negara korea dan warga negara inggris bisa apa?
Aku berbalik dan menutup pintu geser bilik dengan keras. "Lanjutkan pertengkaran kalian. Aku lapar."
"Shoren Lantern!"
"Byun Baekhyun!"
Aku mendengar suara mereka bertabrakan. Oh dan jangan lupa suara tawaku juga.
Aku berjalan lurus kearah gerbong di depan gerbong kami. Aku lihat sebelumnya kalau Nyoya Springs telah kembali dari gerbong paling belakang dan sempat melewati bilik yang kutempati bersama Helena dan Kyungsoo. Aku berjalan lurus hingga melewati sambungan gerbong dan menemukannya sedang melayani salah satu bilik.
"Nyonya Springs, berikan aku beberapa camilan dan dua kotak permen segala rasa."
Nyonya Springs memberikan kembalian kepada seorang anak tahun kedua lalu kemudian menoleh ke arahku. Dia sedikit terkejut, mungkin karena aku tak mencoleknya lebih dulu sebelum memesan sesuatu.
"Astaga Mr. Lantern."
Nyonya Springs sudah sangat tua, dia sudah berjualan diatas gerbong dengan kereta dorongnya sejak ayahku masih sekolah. Ayah bilang dulunya Nyonya Springs sangat cantik dan selalu jadi bahan godaan para murid tahun akhir. Nyonya Springs selalu mengenakan baju hangat dan rok panjang berenda dengan sepasang sepatu bots. Aku menyukainya, kecuali bau rempah rempah yang selalu menguar dari tubuhnya. Nyonya Springs selalu tersenyum jika ia bertemu denganku, bahkan ketika aku mengunjungi toko camilannya di Honeydukes.
"Maafkan aku. Bisakah kau memberiku itu?"
Aku menunjuk keranjang permen permen dan beberapa sandwich segitiga.
Nyonya Springs tersenyum makin lebar sambil membantuku meraih sandwich yang terselip di trolinya. "Bagaimana kabar Allan?"
"Ayahku baik. Dia masih bekerja sebagai penipu."
Diam sejenak lalu kami tertawa bersama.
"Jangan bilang begitu Shoren. Kau tahu dia sangat baik. Dia selalu memantrai murid tahun akhir yang mengerjaiku dulu. Ah, bonus permen kodok untuk salamku pada ayahmu."
Nyonya Springs menambahkan satu kotak permen kodok kedalam kantung kertasku dan menepuk pundakku pelan. Aku tersenyum singkat lalu memberikan beberapa koin kepada Nyonya Springs.
Aku melihat kedua matanya yang jauh lebih rendah dibawahku. Sudah sangat lelah dan banyak keriput mengitarinya. Aku tahu mereka berdua—ayahku dan Nyonya Springs—dulunya cukup berteman baik, mengingat wanita tua ini yang menjodohkan ayahku dengan ibuku, dan juga ayahku sering kabur dari asrama dan bermalam di toko camilan Nyonya Springs. Mungkin dengan melihatku dia jadi ingat ayah.
"Shoren, jangan memandangku seperti itu. Mata serigalamu benar benar membuatku merinding."
Aku tersenyum. "Terimakasih, tapi mata indah ini jadi terlihat aneh karena wajah asia ibuku kan? Haha."
"Akhirnya kau sadar juga kalau kau aneh, Lantern!"
Suara jelek ini, suara menyebalkan ini, aku sudah cukup mengenalnya.
"Jangan memancingku, Bryer."
Eric Bryer. Seorang Slytherin berdarah murni. Aku tidak mengerti apa yang selalu diinginkannya. Dia benar benar terlihat membenciku sejak pertandingan Quidditch di tahun kedua kami. Tak sengaja aku mempermalukannya karena aku berhasil membuat banyak gol dibanding dia, dan semua kebencian itu bertambah saat tahun lalu aku menangkap snitch lebih cepat darinya. Semua kebencian ini hanya didasari perasaan kekanakan yang disebut iri hati.
"Aku heran. Allan Lantern adalah kebanggaan Slytherin, dan aku yakin dia begitu baik hati dan kuat malu karena masih membiarkan anak Gryffindor-nya bersekolah disini."
"Kau tidak membiayai sekolahku Eric. Kenapa kau begitu mau repot repot memikirkan pendidikanku sih?"
Aku menerima kembalian dari Nyonya Springs dan hendak pergi untuk menjauhi si sombong yang kurang kerjaan ini. Meladeninya sama saja dengan menekan tombol lift berkali-kali. Tidak ada gunanya.
"Setidaknya gunakan sesuatu untuk menutupi wajahmu Lantern. Seorang mongolian dengan mata serigala benar benar aneh."
Tawanya meledak, diikuti tiga orang dibelakangnya. Lalu satu bilik menertawakanku. Tanpa kusadari seluruh gerbong sudah dipenuhi gelak tawa. Kesalahanku karena menyusul Nyonya Springs di gerbong Slytherin.
Aku hanya bisa menahan amarahku. Aku sudah biasa ditertawakan. Kali ini aku hanya harus berfikir jernih dan membalasnya.
"Hei kalian."
Aku berteriak kearah tiga kacung Eric yang masih terpingkal pingkal. Mereka seketika diam dan gerbong pun berangsur angsur senyap. Aku merogoh sakuku dan melemparkan selembar foto hitam putih yang bergerak. Jika di dunia muggle foto seperti itu akan bergerak dengan format gif. Kacung Eric menangkapnya, kemudian melihatnya dengan seksama. Dalam lembar foto nampak seorang remaja laki-laki berwajah tegas dengan gagahnya berjalan cepat di lorong diikuti dengan dua orang dibelakangnya yang dengan kepayahan membawakan semua bukunya. Gambar itu diambil secara tidak sengaja dan sudah cukup tua.
"Eric, bukankah ini ayahmu? Yang mengikuti pria di depannya seperti pesuruh."
Kacung disebelah Eric yang kutahu bernama Scott menyodorkan foto itu dari balik bahunya. Eric merampasnya kemudian mengamatinya dengan seksama. Wajah Eric terkejut, ekspresinya mengeras dan dia terlihat tidak senang.
"Kenapa ayahmu membawa semua bukunya? Ayahmu adalah kacung yang menyedihkan Eric."
Scott berbisik kepada Eric, dia terlihat ragu sekarang. Mungkin Scott merasa lebih buruk karena ia menjadi kacung dari seorang anak kacung.
"Ini sihir! Ini jelas sihir! Apa apaan ini Lantern?!"
"Sihir? Sihir apa yang bisa kulakukan untuk memanipulasi? Kita bahkan belum memulai tahun kelima. Dimana otakmu?"
Eric bungkam. Tuduhannya bisa dengan mudah kutepis.
"Siapa orang ini? Orang yang berjalan di depan?!"
Eric berteriak. Gerbong senyap. Semua anak Slytherin penasaran sampai melongokkan kepala di pintu bilik. Nyonya Springs hanya menutup mulut, mungkin baru pertamakali ia melihat kemiripanku dengan ayah. Ahli dalam mengintimidasi.
"Aku khawatir kau akan menangis jika tahu siapa orang yang berjalan di depan ayahmu."
"Jangan main main denganku Shoren!"
Aku melemparkan selembar foto lagi tepat di wajahnya. Foto itu bergerak berulang ulang persis seperti foto sebelumnya.
Iris Eric bergerak cepat saat mengamati foto itu. Mungkin bola matanya hampir keluar jika teman temannya tidak berusaha merebut lembar fotonya. Scott berhasil merebutnya, tapi sebelum ia berhasil melihatnya, foto itu terbakar sendiri dan hangus menjadi abu.
"Apa itu tadi?", Scott nyeletuk.
"Tanyakan saja pada Eric."
Aku berbalik dan berjalan menjauh. Nafasku memburu karena aku benar benar marah sekarang. Aku hanya berharap cepat sampai ke gerbong Gryffindor dan menikmati camilanku di bilik kereta.
"Licik sekali Shoren!", Eric berteriak hingga seluruh gerbong mendengarnya.
Aku berbalik pelan dan menggeleng. "Kenapa kau begitu heran jika aku licik? Kau sendiri yang bilang kalau ayahku adalah kebanggaan Slytherin. Apalagi yang kau harapkan dari keturunannya?"
Aku berbalik dan berlari menembus pembatas gerbong. Aku tersenyum dalam diam dan merasa puas setelah melakukannya. Sangat bukan tipikal Gryffindor kan? Tapi aku tak peduli. Aku hanya merasa puas setelah melakukan itu pada Eric. Aku yakin setelah ini dia akan berfikir dua kali untuk menggangguku.
Aku sampai di bilik kereta dengan sekantung penuh camilan dari kereta makanan. Aku hampir saja melupakan perdebatan yang terjadi diantara Kyungsoo dan Helena gara gara Eric si pengecut. Aku berharap setiap camilan yang aku beli bisa mengurangi perdebatan diantara kedua sahabatku yang sudah seperti kucing dan anjing.
Aku sampai di bilikku dan melihat mereka dari balik cermin. Aku berharap mereka sudah saling mengacungkan tongkat, tapi nyatanya mereka malah asyik membaca saling melesakkan kepala masing masing di satu kolom koran.
"Apa apaan ini? Kenapa tidak saling melucuti tongkat?"
Aku tersenyum separuh melihat betapa Kyungsoo mengurut tiap barisan berita di koran dengan ujung telunjuknya. Lebih lucu lagi karena Helena juga menempelkan pelipisnya ke pelipis Kyungsoo.
"You must follow this event, Shoren!"
Mata Helena menggebu gebu. Terakhir kali aku melihatnya seperti ini saat ia tahu aku dan dirinya terpilih menjadi tim inti Quidditch mewakili asrama kami.
"What? Quidditch-e?", tanyaku sambil mengeluarkan isi kantung makanan ke kursi bilik.
"Jangan gunakan aksen planetmu jika berbicara padaku Mr. Lantern!"
"Ups sorry."
Terlalu lama liburan di kampung halaman ibuku di jeju agak mempengaruhi aksenku. Sayangnya itu tidak pernah terjadi pada ayah.
"Sudahlah. Ayo baca ini, Baek."
Kyungsoo menyodorkan kertas koran kekuningan yang agak lusuh. Mungkin koran ini sudah saling mengoper dari gerbong paling depan. Aku menerimanya lantas duduk dihadapan mereka berdua. Aku penasaran apa yang menbuat dua orang paling acuh di Hogwarts bisa sangat peduli dan heboh.
Seketika mataku menangkap headline koran yang bertuliskan 'Turnamen Triwizard ke 75. Hogwarts kini menjadi tuan rumah'
"Triwizard turnament?", alisku terangkat heran. Apa pula yang mereka bayangkan sampai sampai begitu antusias menyambut ini.
"Jangan bilang kalian akan-"
"Yah, mendaftarkan diri untuk ikut turnamen triwizard."
Gadis mata biru itu tak pernah membiarkanku menyelesaikan sebuah kalimat.
Kyungsoo melipat tangannya di dada dan melihat kuku kukunya yang pendek, "Yah, Secara teknis bukan triwizard lagi omong omong. Triwizard diikuti oleh 3 penyihir muda dari 3 sekolah sihir. Tapi sejak triwizard ke 63 mereka menambah jumlah peserta menjadi 2 orang untuk masing masing sekolah. Di triwizard 65 malah ada 7 orang."
Kyungsoo benar. Kyungsoo tahu segalanya.
"Yah itu juga sudah terjadi sejak dulu. Triwizard ke-entah berapa-aku lupa. Ada 4 penyihir dan dua diantaranya dari Hogwarts."
Helena malah terbelalak untuk kedua kalinya. "Darimana kau tahu itu semua? Jangan bilang kau membaca buku."
"Semuanya dari ayahku Helen. Jangan histeris, tolong."
Helen kembali duduk di sebelah Kyungsoo dan mengemasi barangnya. "Apapun yang terjadi aku harus daftar."
Aku mengernyit, dia bilang dia akan daftar tapi kenapa malah beres beres. Apakah otak gadis ini benar benar geser sampai sampai di mau daftar sekarang juga. Bahkan kereta kami saja belum melewati jembatan di atas danau Hogwarts. "Kau mau kemana Helen? Kau tidak berfikiran akan daftar sekarang kan?"
Gadis itu melototiku dengan laser biru nya dan menggeleng seperti meremehkan orang bodoh. "Of course not, Lantern! Dont be a fool. Aku hanya akan pindah ke gerbong sebelah. Kau tahu, bergabung dengan para gadis untuk membicarakan ini."
Kyungsoo tiba tiba membantu Helena memasukkan peratalan ke dalam tas. "Semakin cepat kau pergi semakin baik."
"Thanks Mr. Do", Helena memutar matanya begitu cepat jika berhadapan dengan Kyungsoo.
Kyungsoo justru mendengus, "Baru kali ini kau menyebut namaku dengan benar."
Helena menyampirkan sling bag nya ke bahu dan berputar menghadapku. Ia mengikat rambut hitamnya buru buru dan berkata cepat. "Begitu keretanya melambat aku akan kembali ke bilik. Tolong jaga barangku Shoren."
"O-gurae. Sorry, i mean, okay."
Hampir saja aku ditimpuk mantra batu kalau saja aku tidak cepat cepat meralat kalimat korea tadi.
Helena melengos dan keluar dari bilik. Aku menutup pintu geser bilik yang ditinggalkan terbuka begitu saja. "Sumpah. Ada apa sih dengan bahasa korea? Kenapa anak itu begitu membencinya?"
"Itu karena disini korea sangat aneh. Kau sadar tidak sih warga berdarah korea di sekolah ini cuma kau dan aku Baekhyun."
"Benarkah?"
Jujur saja aku baru tahu kenyataan ini. Aku kira ada banyak kebangsaan korea karena aku juga sering bertemu dengan beberap murid ras mongolian.
"Astaga kau sudah sekolah disini lima tahun Baek. Aku tak percaya kata kata bodoh ini akan keluar dari mulutmu. Acuh seperti Slytherin saja."
"Yah jangan salahkan aku karena aku sering berpapasan dengan ras mongolian."
"Bukan berarti mereka orang korea Baek."
"Kalau begitu kemana orang korea yang lain? Aku yakin saat berlibur di jeju kemarin ayahku banyak menemui rekan penyihirnya."
"Mereka lebih banyak masuk Dumstrang. Asrama laki laki yang penuh disiplin. Yah hampir hampir seperti wajib militer lah. Bersyukur deh orang tuaku tidak mendaftarkanku kesana. Kalau itu terjadi mungkin aku akan nekat kabur dari kastil Dumstrang."
Ah ya, Dumstrang. Asrama laki laki yang isinya cuma laki laki tentu saja. Ayah bilang Dumstrang sudah sama tuanya seperti Hogwarts. Berbasis disiplin seperti di pelatihan militer. Beruntung aku bukan warga negara korea karena jika iya aku akan diikutkan wajib militer. Siapa sih di dunia ini yang suka aturan. Mm yah mungkin cuma aku yang kontra dengan aturan.
"Oh ya Kyung. Kau serius soal turnamen itu?"
Aku sedikit senang jika berdua dengan Kyungsoo, membuatku bisa berlatih bahasa korea agar liburan tahun depan aku bisa mengejutkan keluarga ibu. Rasanya agak aneh saat dari kecil kau terbiasa bercakap dengan bahasa inggris, tumbuh dan diprogram dengan bahasa inggris kemudian mempelajari bahasa asing yang bahkan huruf R dan L ditulis persis sama.
Kyungsoo malah nyengir dan bibirnya membentuk hati. "Tentu saja, itu kesempatan emas kau tahu?"
Kesempatan emas? Kesempatan emas dia bilang?! Aku rasa otaknya sudah jungkir balik di dalam tempurungnya.
"Melawan naga, menyelam di danau Hogwarts dengan makhluk aneh? Dari sisi mana kau menemukan kesempatan emas?!"
"Tentu saja jika kau menang."
"Kyungsoo, seseorang dari sekolah kita pernah mati karena turnamen itu!"
"Itu dulu Baekhyun. Dalam masa kegelapan. Dan sekarang apa yang kau khawatirkan? Masa itu bahkan sudah lewat seratus tahun yang lalu."
Sekali lagi kyungsoo benar. Kyungsoo selalu benar.
"Baiklah kau benar. Tapi aku tetap pada pendirianku, aku tak ingin ikut apalagi terlibat."
Kyungsoo mendengus lagi. Mungkin selain membaca, mendengus adalah hobi barunya.
"Ya terserah kau. Asal kau tahu jika kau menang semua pandangan aneh yang orang orang lakukan padamu akan berubah."
"Itu tidak ada sangkut pautnya."
"Akui saja Baek. Itu yang kau inginkan."
"Tidak. Aku hanya perlu pakai contak lensa."
"Mereka hanya tidak tahu kau istimewa. Itu saja."
Aku mengedikkan bahuku untuk menjawab kalimat Kyungsoo barusan, aku tidak tahu apakah diriku ini benar benar istimewa, atau mungkin aku ini memang se istimewa yang ayahku katakan sampai sampai orang orang melihatku dengan aneh? Entahlah. Sejujurnya keinginanku cukup sederhana. Aku ingin semua pandangan aneh dari orang orang menghilang. Aku sangat tidak nyaman saat seseorang sampai memutar kepalanya 180 derajat saat berpapasan denganku.
Aku melihat keluar jendela, sebentar lagi kereta akan sampai di jembatan diatas danau, itu artinya kami akan segera sampai dan memulai tahun ini dengan hal-hal baru yang luar biasa. Aku selalu enggan berangkat ke stasiun kereta saat mengingat pandangan jijik yang diberikan orang orang, tapi aku selalu semangat untuk kembali saat mengingat Kyungsoo, Helena, dan teman teman seasramaku.
Fokusku berubah dari danau Hogwarts menuju bayanganku di kaca jendela. Aku menemukan iris coklat pucat dengan semburat merah di tengahnya akibat hiperkromia, dan akan semakin aneh saat terkena sinar matahari karena akan muncul pendar kekuningan di dekat pupil kananku. Kyungsoo sendiri heran kenapa begitu banyak warna yang muncul di irisku.
"Kau tadi beli dimana? Seperti anak kecil saja membeli cokelat kodok."
Kyungsoo membuyarkan lamunanku dan aku mau tak mau harus mulai menanggapinya. "Oh, tentu saja dari kereta makanan Nyonya Springs. Itu hanya bonus karena aku beli banyak."
Kyungsoo mencomot satu buah sandwich segitiga dan membuka bungkusnya. "Seharusnya saat kau mengejarnya tadi Nyonya Springs sudah ada di gerbong Slytherin."
"Ya memang, dia ada di sana."
Mata bulat Kyungsoo hampir keluar dari rongganya karena terkejut. Bahkan aku nyaris mengulurkan tanganku untuk menangkap bola matanya. Aku takut saja kalau bola matanya lepas dan menggelinding ke sepanjang gerbong.
"Apa Bryer mengganggumu?"
Aku mengangguk dan mengedikkan bahu, "Tapi mungkin kali ini aku kira dia sudah sedikit kapok."
"Oh ya? Apa yang kau lakukan?"
"Ya aku memberinya sebuah foto saat ayahnya masih sekolah di Hogwarts, ternyata ayahnya hanya seorang kacung pesuruh."
Aku terkekeh saat menceritakannya lagi. Wajah kalah Bryer setelah mempermalukanku adalah kepuasan mutlak.
"Serius? Kau masih punya fotonya?"
Aku mengangguk dan memberikan selembar salinan kepada Kyungsoo. Kyungsoo menyahutnya dengan cepat dan meneliti gambarnya seperti mesin scanner. "Ini benar benar ayahnya Eric. Daebak!"
Kami berdua tertawa keras di dalam bilik. Sampai akhirnya Kyungsoo diam dan mencondongkan wajahnya ke arahku.
"Darimana kau dapat foto ini? Dan siapa ketua genk keren dalam foto ini yang bikin Bryer mati kutu?"
Aku bertepuk tangan senang karena Kyungsoo menanyakannya. "Aku yakin Bryer mengajukan pertanyaan yang sama sepertimu, dan sebagai jawabannya ia kuberikan ini."
Aku memberikan selembar foto lagi. Kali ini yang tanpa mantera penghancur diri, jadi fotonya bisa dipandangi selama yang kau mau. Kyungsoo seketika bisu saat melihat lembar foto yang sudah kuberikan padanya. Ia menggelang pelan dan memegangi dadanya.
"Kau gila! Ini adalah balas dendam terkejam yang pernah aku lihat. Apakah semua orang melihat foto ini?"
Kyungsoo mengacungkan foto yang terakhir kuberikan. Aku menggeleng sebagai jawaban. Aku tentu saja tak akan menyebarkan foto se pribadi itu untuk menjadi konsumsi publik apalagi mempermalukan seseorang. Ketua genk yang membuat ayah Eric Bryer mati kutu dan menjadi kacung adalah orang yang sama dengan sosok yang tersenyum di foto itu. Aku mengambilnya dari tangan Kyungsoo dan memandanginya dengan senyum. Aku melihat diriku yang tersenyum disamping ayahku.
"Jadi, ketua genk tadi adalah ayahmu? Allan Lantern?!", Kyungsoo sampai berdiri saking senangnya.
"Oh itu kejam dan licik Baek. Bayangkan wajah Eric yang tahu bahwa ayahnya adalah pesuruh ayahmu. Sangat ironis mengingat dia sebelumnya telah mengejekmu selama ini. Byun Baekhyun, kau itu Gryffindor atau Slytherin sih?"
Gryffindor atau Slytherin? Entahlah, mungkin aku adalah perpaduan keduanya.
.
.
.
.
.
Silahkan hujat ff saya yang nista ini T_T
