Dunia ini dapat dengan mudahnya ditelusuri oleh seorang Igarashi, dengan tumpukan uang yang tak terhitung jumlahnya, bagai bermandikan uang ia dapat menggunakannya sesuai keinginanannnya untuk mengelilingi dunia. Berbagai sarana dapat dipenuhinya, hanya dengan sebuah keputusan yang terlontar sempurna, pembayaran dari rekening yang tampaknya tak akan habis sekalipun telah dipakai berkali-kali banyaknya, dunia ini tampak begitu mudah untuk diobservasi.
Melaju ke luar angkasa bukanlah hal yang sulit, menyewa atau bahkan membeli sebuah roket atau pesawat luar angkasa bukanlah suatu permasalahan. Memiliki kapal selam pribadi dengan kualitas terbaik untuk menelusuri dalamnya dasar laut hingga ke dasarnya yang terdangkal bukanlah sesuatu yang seharusnya terus-menerus tinggal di kepala.
Satu pernyataan, semua akan terlaksana.
Dunia ini begitu indah, dan membosankan dalam waktu yang bersamaan, penerus dari Igarashi Corporation menyadari akan hal itu. Tidak jarang ia mengutarakan pendapatnya, entah pada dirinya sendiri atau orang lain. Dengan tampang yang mampu mengikat seluruh kaum hawa, harta yang melimpah tak terhingga jumlahnya, dan juga kemampuan dan statusnya yang melambung begitu tinggi di masyarakat, semua dapat didapatnya dengan mudah.
Satu pernyataan, ingat? Satu niat, satu keinginan dan ia dapat mengubah segala hal yang ada.
Tapi apakah ia tidak terlalu naif? Memikirkan bahwa ia dapat menguasai seluruh bumi ini dan juga isinya, meskipun dirinya sendiri tidak memiliki sebuah niat yang bersangkutan. Hanya ada satu yang berada di pikirannya, hanya ada satu yang diinginkannya selama ini.
Apa ia tak bisa bersenang-senang lebih lagi dengan ciptaan Tuhan yang telah dibuat sedemikian rupa ini? Tidak bisakah ia bertemu dengan sesuatu yang lain, berbeda dan memikat hatinya hingga ia sendiri tidak ingin melepaskannya begitu saja. Mengobservasi inci demi inci hal yang ada, mempelajarinya hingga dirinya merasa puas.
Mungkin memang sudah saatnya bagi Igarashi Tora untuk berjumpa dengan sesuatu yang tidak bisa ia beli dengan uang, tidak bisa ia taklukkan semata-mata dan tidak bisa ia klaim begitu saja.
Atau mungkin, seseorang?
Prologue
Scerent
Disclaimer:
Kuroko no Basuke © Tadatoshi Fujimaki
Kaichou wa Maid-sama! © Hiro Fujiwara
Scerent © Ayano Suzune
Bulir-bulir waktu tak pernah berhenti bergulir, kembali lagi pada musim panas setelah melewati berbagai piknik sambil makan di bawah gugurnya pohon sakura. Banyak orang yang kian mengeluh akan teriknya matahari yang tak pernah lelah memandikan bumi dengan cahayanya sendiri, banyak siswa-siswi yang berteriak kesenangan pada saat-saat terakhir hari terakhir mereka di sekolah sebelum liburan musim panas.
Tora tidak termasuk keduanya. Meskipun telinganya mendengar sahutan-sahutan yang berasal dari teman-teman seumuran yang mengenakan seragam yang sama—atau pantaskah mereka disebut teman, meskipun mendapat fasilitas yang sama dan juga diperlakukan secara adil dalam Miyabigaoka ini?
Kedua tangan yang semula digunakan untuk mencatat soal-soal liburan musim panas itu kini berpindah, memangku kepala, memposisikan diri di belakang suraian keemasan yang menjadi ciri khasnya tersendiri. Sementara kedua mata itu menatap ke depan dengan malasnya.
Bel berbunyi bersamaan dengan teriakan dan juga deritan kursi-kursi yang didorong begitu saja. Satu per satu murid mulai meninggalkan kelas yang bagi mereka tak ada bedanya dengan penjara itu. Beda dengan Tora, pemuda itu memilih untuk membereskan barang-barangnya dengan perlahan, tak ada sedikit pun kesan terburu-buru dalam dirinya saat ia memasukkan buku-buku dan kotak pensil yang semula berada di atas meja ke dalam tas.
Hingga wanita yang menggunakan seragam guru itu melewati pembatas antara koridor dan kelas, barulah Tora bangkit dari kursinya. Seperti biasanya, dengan gerakan seseorang yang berasal dari golongan kelas atas. Bunyi decit kursi hampir tak terdengar sedangkan dengan jarak yang sedemikian sempit, ia dapat meyusupkan diri itu dengan mudahnya. Berjalan menuju pintu dengan tenang, ia bertindak seperti biasanya.
Apa yang bisa diharapkannya dalam liburan musim panas yang lamanya kurang lebih seminggu? Mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah untuk porsi liburan musim panas kali ini dan juga proyek-proyek dari organisasi yang dikepalainya dalam beberapa hari pertama? Atau mungkin seminggu pertama?
Kaki-kakinya terus berjalan, meniti marmer mengkilap yang menyusun koridor sekolah khusus untuk golongan kelas atas itu. Dengan pemikiran di kepalanya, mengira-ngira berapa hari yang dibutuhkannya untuk menyelesaikan semua pekerjaan itu, Tora bahkan tidak melihat seorang wanita dengan seragam yang serupa dengan milik wanita sebelumnya; seorang guru yang berjalan dari arah yang berlawanan, sepertinya ingin menyampaikan sesuatu.
"Igarashi-san," panggilan itu sudah lebih dari cukup untuk Tora menghentikan kedua kakinya yang panjang, memaku pandangan ke wajah wanita paruh baya yang berada di depannya dibanding menatap kosong udara sementara ia tenggelam dalam arus pikirannya sendiri. Dan sebelum ia dapat memisahkan kedua belah bibirnya untuk menyampaikan sebuah kalimat, wanita itu kembali melanjutkan. "Mobil jemputanmu sudah menunggu."
Heran. Untuk apa ia mau repot-repot berjalan menemui penerus Igarashi Corporation ini hanya untuk menyampaikan suatu hal yang bahkan sudah diketahui Tora sendiri, sesuatu yang amat jelas karena sudah menjadi rutinitasnya sehari-hari. Mobil limosin pribadinya itu tidak akan pernah terlambat menjemput, selalu setia menunggu meskipun tuannya masih menjalankan aktivitas di dalam sekolah.
"Tampaknya mereka ingin kau segera kembali," perkataan yang ini mengundang rasa penasaran secara diam-diam, hanya Tora yang mengetahui hal itu. "Katanya ada sesuatu yang ingin dibicarakannya."
Bibirnya membentuk sebuah kurva, terbentuk sempurna bahkan hampir tak dapat disadari oleh wanita yang tak lain dari gurunya itu. Seringai kecil itu hanya merupakan sebuah bentuk yang dapat terlihat untuk dirinya sendiri. Orang-orang lebih sering menyebutnya sebagai senyum—ya, senyum palsu andalannya.
"Begitu," berbasa-basi sebentar, pemuda dengan surai keemasan itu memejamkan kedua matanya, membuka keduanya kembali sedetik kemudian dan melempar sebuah senyum palsu. Membungkukkan tubuhnya seperti yang biasa dilakukannya, postur tubuhnya tampak begitu sempurna. Semua juga mengetahui, tak ada lagi keraguan bahwa darah Igarashi mengalir dalam pembuluh darahnya. "Kalau begitu, saya permisi dulu. Selamat sore," begitu sopan, begitu suci, tepatnya terdengar begitu suci dan tulus meskipun makna yang terkandung malah berbanding balik.
Tidak berniat untuk merekam senyuman guru yang bahkan tak dianggapnya spesial, Tora kemudian melanjutkan jalannya. Kembali meniti langkah sementara tubuhnya semakin mendekat ke arah gerbang, mobil limosin hitam yang tampak begitu familiar di depan mata mulai terlihat.
Seringai itu kembali tampak, lebih jelas kali ini mengingat sekelilingnya tidak begitu ramai dengan kepulangan siswa-siswi yang bagaikan bocah lima tahun yang tidak sabar untuk menikmati es krim mereka.
Ada yang ingin dibicarakan.
Apa yang ingin dibicarakan, apa sang Ayah pada akhirnya memberikannya sesuatu yang berbeda, sesuatu yang tak membuatnya bosan, sesuatu yang tak terduga?
Sebaiknya pria itu akan memberikan salah satu pemikiran yang dimiliki putranya.
Atau ia akan menyesal karena telah mendidihkan darah Igarashi Tora tanpa sebuah alasan yang masuk akal.
.
Pintu itu ditutup oleh seorang pria paruh baya dengan pakaian serba hitam, tampaknya seragam yang diklaim sebagai pelayan di rumah keluarga Igarashi tempatnya bekerja. Mengundurkan dirinya dari balik pintu ruangan yang tertutup karpet merah, menyisakan tuan dan tuan mudanya.
Tora menatap ke arah ayahnya, yang masih sibuk dengan tumpukan kertas dan pena dalam genggaman, sosok yang penuh wibawa itu masih terpaku pada pekerjaannya sendiri. Namun kehadiran satu-satunya putera yang dimilikinya mampu membuyarkan semuanya.
Diangkat kepalanya, menatap lurus-lurus pemuda yang suatu saat akan mewarisi seluruh hartanya, yang diharapkannya dapat menjadi seorang suksesor yang melampaui dirinya.
"Ada yang ingin dibicarakan?" Kalimat yang didapatnya tadi terulang, kini disampaikannya sendiri pada orang yang berbeda. Ayahnya hanya menatap sosok di hadapannya yang kini menaikkan sebelah alisnya, tampak tidak peduli meskipun ia dapat memastikan bahwa jauh di sana, ia penasaran akan apa yang ingin disampaikan.
"Sebuah proyek baru," kata-kata mulai mengalir, mengundang rasa penasaran yang lebih lagi. "Kali ini besar, dan aku ingin kau yang mengambil alih akan hal ini," tangan yang sebelumnya menggenggam pena itu melepaskan benda yang berbahan dasar tembaga, beralih pada salah satu kertas yang tadi berada dalam sebuah tumpukan, yang paling bawah.
Iris keemasan itu mengikuti gerak-gerik sosok yang tak lain dari ayahnya, kedua kakinya mulai bergerak ketika isyarat untuk mendekat berupa tatapan mata diberikan. Selanjutnya ia menerima kertas yang sebelumnya disodorkan, melihat sekilas apa yang tertulis di sana.
"Proyek pembangunan?" Ayahnya tak langsung menjawab, hanya membiarkan indera penglihatan yang sedari tadi digunakan untuk beristirahat sejenak, sekalian untuk membuang waktu selama anaknya itu masih membaca. "Akan disponsori dua perusahaan, berarti aku tidak akan bekerja sendiri?"
"Seperti yang kauketahui," kedua lensa yang sempat menutup itu terbuka. "Sudah tertulis 'kan, perusahaan mana yang akan kauajak kerja sama?"
Tora memberikan sebuah anggukan, meskipun matanya masih saja mencari-cari nama perusahaan lain di samping marganya, Igarashi. Hingga akhirnya ia menemukan sebuah nama, terdengar khas namun tidak familiar.
Akashi.
"Kenapa mereka?" Pertanyaan itu dilontarkan begitu saja, sebuah dengusan mengikuti. Seingatnya perusahaan yang akan diajak berkolaborasi itu bukanlah sebuah perusahaan kecil, lantas kenapa harus memaksa untuk bekerja sama?
"Kita yang mengundang mereka untuk bekerja sama," pikiran yang berkeliaran di otak Tora itu berhenti sejenak, mendengar ketika ayahnya memutuskan untuk memberi jawaban, menunggu jawaban yang lain, yang lebih masuk akal dan spesifik. "Kalau mereka sudah royal, untuk apa mengajak bekerja sama, toh tidak akan begitu berefek banyak? Begitu, yang kau pikirkan?"
Jawaban itu memang mengutarakan seluruh pikiran yang sempat ada, namun ia memutuskan untuk diam sampai mendapat keterangan yang selanjutnya. "Keturunan Athena ada di sana."
Ha? Apa? Athena yang mana? Sekarang Tora meragukan apa yang dikatakan ayahnya, kenapa tiba-tiba—
"Tidak banyak yang mengetahui akan hal ini, karena mereka menjadikannya sebuah rahasia." Sebuah jeda tercipta saat pria itu menarik oksigen untuk mengisi paru-parunya. "Dari empat anggota keluarga yang ada, hanya satu di antara mereka yang mewarisi kekuatan spiritual untuk membaca pikiran orang lain, mengetahui rahasia orang dan metode pemikirannya, sebagai keturunan Dewi Athena."
"Salah satu dari kedua kembar saudara yang merupakan pewaris keluarga mereka, kau mengetahuinya?" Bayangan tentang kedua kembar Akashi ini sepertinya samar, namun mengetahui bahwa Akashi memang memiliki dua penerus, Tora hanya mengangguk. Yang satu perempuan, yang satu laki-laki.
"Akashi Seishina," nama itu terdengar samar karena minatnya tentang perusahaan ini tak seberapa besarnya. "Ia yang akan memegang kendali atas proyek kali ini, kembarannya sedang berada di luar negeri untuk sementara waktu. Dan kami—aku dan ayahnya sudah setuju bahwa kali ini kita akan mempercayakan proyek pembangunan hotel ini pada penerus-penerus kami."
"Agak gila memang, tapi apa salahnya?" Sebuah seringai kecil mulai terbentuk saat ia mendengar penjelasan dari ayahnya. Dan tanpa bertanya lebih jauh, ia langsung menanyakan poinnya.
"Jadi, Otou-san secara tidak langsung memintaku untuk menjeratnya supaya kita juga dapat mendapat keuntungan dari kemampuan langka itu?"
"Aku tidak pernah bilang, tapi semua pilihan yang kau ambil—aku tidak akan menyalahkannya." Tora mengeluarkan tawa kecil, semakin tertarik dengan proyek pembangunan yang akan dijalankannya—bukan, ia lebih tertarik pada orang yang akan diajaknya kerja sama.
"Aku harap kau tidak menyesal telah memberiku sebuah kekuasaan penuh akan hal ini."
.
Di antara ketiga anggota keluarga yang identik dengan warna merah, salah satu di antara dua laki-laki yang ada mengerutkan keningnya. Dapat diputuskan bahwa ia tak setuju oleh keputusan sang kepala keluarga yang begitu mendadak saat ia diharuskan meninggalkan Jepang untuk sementara waktu mulai esok pagi.
"Otou-sama tidak salah? Kenapa memberikannya pada Seishina, dan bukannya padaku?" Kalimat itu hanya mendapat sebuah respon berupa lirikan dengan satu-satunya perempuan yang menempatkan diri di sofa-sofa berlapis beludru merah, datar meskipun tak ada yang mampu menebak apa yang tertinggal dalam pikirannya yang tak tersentuh itu.
"Kau sadar kalau besok kau memiliki pekerjaan lain," menanggapi puteranya dengan sabar seperti hal yang merupakan sebuah kebiasaan, ia tak memedulikan tangan Seijuurou yang sudah mengepal. "Apa salahnya memberikan pada adikmu, hanya untuk sekali ini saja. Aku pikir kemampuan kalian berdua tak berbeda jauh."
"Seharusnya—"
"Seijuurou meragukan kemampuanku?" Satu-satunya yang tak ikut dalam pembicaraan kecil ini akhirnya angkat bicara, masih dengan ekspresi yang sama; kedua iris dwiwarna yang menatap sosok yang begitu mirip dengannya. Keduanya memang bagai pinang dibelah dua, hanya saja keras kepala mereka tak ada bedanya, tak ada yang akan mundur begitu saja.
"Bukan berarti aku meragukan kemampuanmu," Seijuurou mendesis, tampaknya tidak terlalu suka dengan situasi dimana saat ia berbicara dan seseorang akan memutuskannya begitu saja. Bukan berarti kembarannya akan mengambil serius tentang pemikiran itu. Masa bodoh.
"Sudahlah, Seijuurou," sebuah tangan mendarat di bahu yang sedari tadi menegang, menahan segala emosi yang ada ketika kepala keluarga itu malah memberikan proyek ini pada kembarannya dan bukan pada dirinya. Bagaimana kalau ada kesalahan-kesalahan yang tidak diinginkan? "Sebaiknya kau istirahat saja, mengingat pukul berapa besok pesawatmu lepas landas?"
"Delapan pagi," Seishina yang menjawab, bersamaan dengan dirinya yang meninggalkan sofa yang setia menampung tubuhnya sejak tadi. "Istirahat yang benar, Seijuurou. Aku harap kau baik-baik saja," suara itu terdengar sedikit mencemooh, meningkatkan atmosfir yang berada di ruangan secara tidak langsung.
Seijuurou menatap lurus-lurus ke arah gadis yang kini menggunakan kedua kakinya untuk mendekati pintu keluar, entah tatapan apa yang terpancar di kedua matanya. "Dan satu lagi," suara yang sama menggema, tanpa sosok yang membelakanginya itu memutar tubuh. "Aku juga seorang Akashi, kuharap kau ingat akan hal itu."
Suara pintu yang tertutup terdengar, bersamaan dengan berkurangnya salah satu anggota dengan marga Akashi di ruangan itu.
.
.
To be continued
A/N
Dedicated to my lovely senpai; Tiger_Igarashi /o/ /uhuk
Semoga gaada yang ooc orz terima kasih sudah membacanya sampai akhir ;w;/
[19.06.14]
