"He's Different"

Kuroshitsuji (c) Yana Toboso

This ff (c) FrankiezCrazy

.

Enjoy this, with NO bashing!

.

June, 20XX

Aku pulang ke tanah kelahiranku, Inggris...

Sudah 5 tahun aku menetap di Jerman atas permohonan Ayah. Ayah memiliki banyak rekan bisnis di sana, itu sebabnya ia lebih enjoy berada di negara Nazisme itu.

Ayah memutuskan aku untuk bersekolah kembali, secara normal. Aku siswa homeschooling sebelumnya. Aku bukan anak yang berpenyakitan, aku juga bukan anak seorang bangsawan, hanya saja Ayahku yang menginginkan begitu. Itu sebabnya aku sangat tertutup dari dunia luar dan sosialisasi sejak kecil.

Sejak kecil aku memang tinggal bersama Ayah, tanpa Ibu di sisiku. Ibu meninggal saat melahirkanku. Itu sebabnya Ayah tidak mau kehilangan diriku. Dia sangat overprotective atas keselamatan putra semata wayangnya, sekaligus satu-satunya keluarga yang masih ia miliki, yaitu aku.

Hari ini aku bersekolah di tempat yang berbeda, dimana banyak anak-anak sepertiku yang saling menjalin persahabatan. Awalnya kukira berteman itu sulit, tapi ternyata tidak seperti yang ada dibayanganku, berteman itu ternyata asik, kami saling berbagi cerita dan tertawa.

Hanya saja aku punya masalah dengan chairmate-ku sendiri, namanya—

.

=Great Britain International School=

"Nama saya Sebastian... Sebastian Michaelis. Senang bertemu kalian semua, semoga kita dapat bekerja sama di tahun terakhir berada disini." Remaja bertatanan rambut belah tengah itu berbungkuk kepada seluruh teman barunya, dengan senyum simpul dibibir tipisnya yang semerah delima.

"Baiklah Mr. Michaelis... anda bisa duduk disana bersama anak itu." Wanita muda berambut pirang-ikal sebahu menunjuk kearah bocah berambut kelabu yang duduk di meja pojok ruangan.

"Thank you, Maam." Remaja yang diketahui namaya Sebastian itu berjalan diatas sepatu pantopel berkilatnya yang mahal.

"Baiklah, kita mulai materi pagi ini. Membahas negara-negara maju yang ada di dunia." Guru muda itu sudah stand by di mejanya.

"Hai..." sapa Sebastian sekedar basa-basi pada bocah berambut kelabu yang notabene adalah chairmate-nya sekarang.

Bocah itu sama sekali tidak menghiraukan kehadirannya, ia hanya memandang keluar jendela kelas.

Sebastian, pemilik rambut berkilau dengan poni yang menjuntai di dahinya itu angkat bahu, kemudian duduk di kursi kosong sebelah bocah itu.

"Kau pikir bisa dengan mudahnya berada di sebelahku?" seru bocah itu tiba-tiba.

GREEEEKK... bocah itu mendorong meja milik Sebastian dan dirinya kearah yang berlawanan.

"Jangan pernah sentuh teritori-ku!" ujarnya ketus, kemudian membuka buku catatannya.

.

Sebastian itu aku...

Aku bingung sekaligus jengkel dengan sikap bocah tanpa nama itu.

Di hari pertama aku bertemu dengannya, aku dibuat kebingungan dengan sikapnya yang aneh. Dia bocah yang egois, dingin, dan menyebalkan!

.

"Pusat industri di negara-negara maju sering mendapat julukan 'The Black Country'. Itu disebabkan karena sebagian besar wilayahnya ditutupi asap hitam hasil pembakaran industri." Jelas wanita muda itu sambil menggoreskan apa yang barusan diucapkannya pada papan tulis kapur.

Sebastian melirik kearah bocah yang asik menekuni bukunya itu. Dia hanya menulis dan menulis. Entah menulis apa, yang jelas tulisannya itu tak ada hubungannya dengan pelajaran yang sedang diterangkan sang guru, remaja itu tak mengerti apa yang ditulis bocah aneh itu—dia tidak memakai huruf latin.

"Di negara kita, Inggris, daerah yang berjulukan 'The Black Country' terletak di—"

"BIRMINGHAM dan SHEFFIELD!" bocah yang sedari tadi diperhatikan oleh Sebastian memekik jawabannya dengan lantang.

"Great, Mr. Phantomhive!" puji wanita muda itu bangga.

"Sementara di USA, negara bagian yang berjulukan 'The—"

"PITTSBURGH!" potongnya lagi.

"Exellent...!"

'Dia bocah luar biasa...' puji Sebastian dalam hati.

.

Dia bocah yang cerdas, tapi aku tak pernah memergokinya memperhatikan guru. Waktunya dikelas hanya di habiskan untuk menulis dibuku catatannya dengan tulisan yang sama sekali tak kumengerti. Dugaanku, tulisan yang ditulisnya menggunakan 'Kanji Jepang' (aku pernah menemukan tulisan seperti itu dalam buku milik seorang distrbutor perusahaan Ayah yang berasal dari Jepang). Terkadang dia hanya melamun memandang keluar jendela. Bahkan, ia sama sekali tak membuka buku paketnya.

Dari potret wajahnya yang imut dan manis, mungkin dia lebih muda dariku, sekitar 12 tahun usianya. Apakah benar dia semuda itu? Ini kelas 9 lho...

Aku baru tahu, Mr. Phantomhive namanya... nama itu tak asing bagiku...

.

"Sekarang, dimanakah letak industri pesawat terbang di USA?"

"HAAAAAMPHHH..."

Wanita muda itu mengisyaratkan bocah bermata deep ocean itu untuk tidak menjawabnya, "Biarkan yang lain menjawab..." ujarnya halus.

Bocah itu mengangguk paham, wajahnya seperti anak kecil yang menuruti perintah orang dewasa, terlalu polos, kemudian ia menekuni bukunya lagi.

"Bagaimana dengan jawabanmu, Michaelis muda?" wanita itu mengalihkan pandangannya kearah Sebastian, chairmate-nya. Seisi kelas memperhatikannya.

DEG... DEG... DEG... dari raut wajahnya, Sebastian terlihat gugup.

'Entah kenapa aku jadi nge-blank seperti ini. Tak ada yang kuingat sama sekali. Habis sudah materi yang kupelajari semalam.' Rutuknya dalam hati, ia tak berani menatap wajah gurunya.

"Ada yang bisa menjawab?" raut guru muda itu berubah kusut.

"LOS ANGELS, SAN DIEGO, DALLAS!" pekik bocah disebelahnya lagi.

"Bisa kau ulangi, Mr. Michaelis?" ia menatap Sebastian dengan tajam.

"Urrrmmm... L.A, San Diego, Dallas?" jawabnya ragu-ragu.

"Industri mobil?" tanya guru itu lagi masih dengan tatapannya yang tajam.

"Di USA? Buffalo, Kansas, Detroit." Ia menggaruk tengkuknya yang sebenarnya tidak gatal.

"Great." Pujinya singkat.

KRIIIING... KRIIIING... bel istirahat pertama akhirnya berbunyi.

.

Aku berniat untuk mengajak 'Mr. Phantomhive' berbasa-basi sebelum keluar kelas, hanya ingin mengetahui nama lengkapnya, kalau beruntung mungkin dia bisa menjadi teman pertamaku selama sekolah disini.

Tapi, saat aku menoleh ke arahnya untuk mengucapkan sepatah kata—

.

"Dasar bodoh!" bocah kecil itu mendorong kursinya ke belakang tanpa melirikku sedikitpun, lalu pergi.

.

"Dasar bodoh," begitu katanya.

Sedikit membuatku jengkel setengah mati menghadapi manusia yang akan menjadi chairmateku selama setahun.

Aku tak keberatan dengan bocah 'tengil' itu. Toh aku punya banyak teman yang mau menerimaku, bukan hanya dia. Aku tak peduli dengan mental perempuan seperti itu. Aku tidak lembek!

Saat istirahat, banyak yang menemuiku untuk berkenalan. Aku didaftarkan di sekolah khusus laki-laki oleh Ayah. Jadi, temanku semuanya laki-laki. Aku mulai dekat dengan 2 orang yang kukenal baik, ternyata mereka tetangga baruku di Inggris, namanya Alois dan Claude, mereka teman yang baik.

.

Sebastian bersama 2 teman barunya—Claude dan Alois—jalan beriringan keluar kelas.

"Mau main basket?" Claude remaja berkacamata itu bertanya.

"Urrmmm..."

"Ayolah, sekalian berbaur dengan klub basket nomor satu di Inggris."

"Aku belum pernah main basket sebelumnya."

"..." hening.

"Benarkah begitu, Ayahmu itu payah ya!" celetuk Alois kelepasan.

"Hey, jangan bawa-bawa nama Ayahku karena aku tak segan-segan memukul wajahmu!" bentak Sebastian garang. "Aku mau ke perpustakaan saja!"

"Hey... kau terlalu sensitive rupanya. Hanya dengan kata-kata seperti itu saja kau marah, seperti perempuan! Lagipula benar apa yang Alois bilang, Ayahmu itu payah—"

"Bilang sekali lagi, aku benar-benar akan—"

"Aku belum selesai bicara! Apakah tak terpikir oleh Ayahmu, kalau olahraga itu penting! Kalau hanya seharian duduk di perpustakaan dan membaca buku, peredaran darahmu jadi tidak lancar, tahu! Aku tahu seluruh keturunanmu itu orang pendidikan semua, tapi olahraga juga penting buat tubuhmu, mengerti?" ceramah Claude cepat sebelum pemuda dihadapannya itu melayangkan tinjunya.

"..." hening kembali.

SET... Sebastian melihat siluet orang yang sangat dikenalnya keluar dari perpustakaan yang tak jauh dari mereka. Bocah aneh itu lagi, kali ini dia berjalan sendirian sambil menenteng ensiklopedi tebal yang dikepit di ketiaknya.

.

Aku baru tahu kalau anak itu kutu buku juga...

Jadi itu rahasia kepintarannya, dia menghabiskan waktu istirahatnya dengan banyak membaca ensiklopedi yang tidak bisa dibilang tipis. Di bangku taman dekat UKS biasanya dia duduk sendirian sambil membaca. Lokasinya memang strategis dari kebisingan.

.

"Anak itu siapa sih?" Sebastian mengalihkan pembicaraan.

"Yang mana?" Alois celingak-celinguk kearah yang ditunjuk Sebastian.

"Anak itu?" Claude lebih dulu melihatnya. "Itu chairmate-mu kan? Kenapa?" Claude memasang wajah datar.

"Tidak, aku hanya berpikir kalau dia anak yang aneh." Jawab Sebastian pelan.

.

Kemudian Alois dan Claude menceritakan siapa sebenarnya anak itu, dan kami tidak jadi main basket karenanya.

Anak itu—

CIEL PHANTOMHIVE

Anak tunggal dari pendiri perusahaan Phantom yang menjadi saingan bisnis Ayahku. Anak dari seorang Earl dan Anjing Penjaga Ratu, serta tunangan dari anak bungsu Ksatria Inggris, Marquess Midford.

Dia anak yang sangaaaaat jenius. Sudah 3 kali dia lompat kelas. Dia terlalu tertutup dengan anak lain, pemarah, individualis. Soal hobinya yang menulis, menulis, dan menulis, anak-anak sekelas tak ada yang tahu apa yang ditulisnya.

Itu karena—

Dia AUTIS...

Dan info terakhir yang kudapatkan, dia sudah tak memiliki Ayah dan Ibu lagi, ia hanya tinggal bersama kakeknya yang bernama Tanaka (keturunan Jepang-Inggris) di manor house tengah hutan. Perusahaan Phantom dia yang menghandlenya ats instruksi dari sang kakek, jadi selama ini Ayahku bersaing dengan seorang bocah dan kakek-kakek?

.

.

To Be Continue

.

.

AN : Fufufu... ini ff ketiga saya di fandom ini...

Serta ff collab pertama saya dengan 'FAZA' Phantomhive, dia itu teman dekat saya dirumah dan disekolah... tapi kerjaannya cuma ngasih ide aja, yang nulis dan ngerangkai saya (_ _")

Saya males merapikan typo...

Okedeh, nggak perlu basa-basi lagi, silahkan di komen biar saya semangat ngerjain chap 2nya... :D

Regards,

_FrankiezCrazy_

( FR_CRZY)