Cha's Note:

Entah Cha kesambet setan apa ,

Tiba-tiba aja kepengen bikin yang pairingnya Itadei …

Padahal nggak ada dalam rencana sama sekali …

Akhirnya …

Jadilah fict ini …

Enjoy !!


YOUR SMILE = MY SUNSHINE

An ItaDei fict.

Rate: T

Romance/Family

Story by Charlotte.d'Cauchemar

Naruto by Masashi Kishimoto

Warning:

OOC. AU. Yaoi.

Chapter 1

Summary:

Rambut pirang panjangnya yang tertiup angin, menyibakkan poninya. Helaian kelopak sakura yang terbawa angin menambah suasana nostalgia, mengingatkannya pada pertemuan pertama mereka entah berapa tahun yang lalu. An Itadei fict. Slight Sasunaru.


Pemuda itu terus memandangi bingkai foto yang ada di meja belajarnya. Mata hitamnya tak lepas dari sosok pemuda berambut pirang yang menatapnyanya balik dari bola mata sebiru langit dengan senyuman lebar di wajahnya.

Dia menarik napas panjang.

Lupakan… sudah 4 tahun. Dia pasti tak akan ingat padaku.

Ditariknya selimut merah bergaris hitam hingga menutupi kepalanya, berusaha mengosongkan pikirannya dan segera menuju dunia mimpi.

Lima menit…

Lima belas menit…

Tiga puluh menit…

Tak berhasil.

Disibakkannya selimutnya dengan kasar dan matanya segera terbuka lebar. Sekali lagi ditatapnya objek yang sedari tadi menyita perhatiannya sebelum meraih benda itu dan dipandanginya lekat-lekat, seakan takut jika dia mengerjapkan matanya barang sejenak, maka senyum yang selalu membuat hatinya terasa hangat itu menghilang.

Kau akan pulang, kan?

Disentuhnya wajah dalam foto itu perlahan-lahan. Ada sedikit perasaan sedih yang singgah di hatinya ketika dia berpikir bahwa dia mungkin tidak akan pernah melihat senyuman itu ataupun pemiliknya lagi.

Kali ini dia tersenyum –sebuah senyum yang sangat jarang terbentuk oleh bibirnya- saat mengingat hari-hari yang dilaluinya bersamanya.

Bodoh… kau benar-benar bodoh… dan sangat ceroboh… Kau tahu itu kan?

Walaupun begitu, dia tak bisa membencinya. Karena bagaimanapun, pemilik senyuman sehangat matahari itu adalah orang yang pertama kali membuka hatinya untuk mempercayai orang lain. Orang yang dengan sepenuh hati membuatnya menerima sebuah ikatan bernama 'persahabatan'.

Dimiringkannya badannya dan diletakkannya bingkai foto itu dengan hati-hati di samping badannya.

"Selamat malam… Dei…" ucapnya pelan sebelum menutup matanya.

XxXxX

"Tachi-kun…"

"Hn?" jawab pemuda berambut hitam itu tanpa mengalihkan pandangan dari sarapan paginya.

"Nanti siang, bisa kau jemput Sasuke di sekolahnya?" Seorang wanita keluar dari dapur sambil mengelap tangannya yang masih basah setelah mencuci piring.

Kalimat itu berhasil menyita perhatiannya. "Kaa-san mau ke mana?"

Mikoto mengambil kursi di seberang anak laki-lakinya itu. "Ada teman lama Kaa-san yang akan datang. Kami sudah lama tidak bertemu."

Itachi berpikir sebentar sebelum menjawab, "Kenapa tidak biarkan dia pulang sendiri? Dia kan sudah kelas 1 SD…"

Mendengar jawaban anaknya, Mikoto tersenyum. "Tapi kalau dibiarkan pulang sendiri, Kaa-san tak bisa jamin dia akan pulang dalam keadaan selamat. Kau ingat kan terakhir kali dia pulang sendiri?"

Tentu saja Itachi mengingatnya. Hari itu kaa-sannya tiba-tiba saja sakit. Karena dia juga ada rapat OSIS hari itu, maka Sasuke pun pulang sendiri. Dan hasilnya? Lecet di tangan dan kaki juga lebam di pipi dan matanya. Butuh waktu lebih dari dua minggu untuk menghilangkan luka-luka itu.

Berbeda dengan Itachi yang tenang dan kalem, Sasuke sedikit lebih liar. Sikapnya yang tidak mau kalah itu adalah kekurangan -sekaligus kelebihan- terbesar adiknya. Jika melihat ada hal yang tidak disukainya, maka ototnya akan bergerak lebih cepat dari otaknya. Makanya, walaupun usianya masih 6 tahun, keahlian berantemnya tidak bisa diremehkan.

"Baiklah…"

"Ah, terimakasih, Tachi-kun…"

Itachi bangkit dari kursinya dan membawa piringnya ke dapur. Ketika kembali ke ruang makan, Mikoto menyodorkan beberapa lembar uang kepadanya.

"Kalian bisa makan siang di luar, karena Kaa-san akan pulang sekitar jam 6 sore. Tou-san juga ada meeting di kantornya sampai malam."

"Hn." Diambilnya uang itu dan dilangkahkan kakinya menuju pintu depan kemudian memakai sepatunya. "Aku berangkat…"

"Hati-hati, Tachi-kun…"

XxXxX

"Lemes amat sih…" sebuah suara mengganggunya dari pikirannya.

"Kisame…" katanya ketika melihat –mungkin- manusia super biru di hadapannya. "Apa maumu?"

"Hei… Cuma mengkhawatirkan seorang teman yang terlalu banyak melamun, nggak boleh?"

"Oh, makasih…" jawabnya dengan nada yang dibuat-buat.

Segera, Itachi bangkit dari kursinya dan menuju pintu kelas.

"Mau ke mana?" tanya si wajah hiu itu lagi.

"Sekarang kau mau jadi ibuku? Bahkan mau ke kantin pun harus lapor padamu?" Itachi melihat kisame hanya mengangkat bahu dan melanjutkan perjalanannya menuju kantin.

"Itachi-kun!"

Oh… jangan gadis menyebalkan itu lagi.

"Karin-senpai…" ujarnya basa-basi sekedar untuk menghormati kakak kelas yang seharusnya tidak pantas untuk dihormati.

"Sudah kubilang, panggil Karin saja. Kita cuma beda dua tahun, kan?" katanya sambil tersenyum menggoda. Itachi bergidik, walaupun ia tak menampakkannya. "Kau mau ke mana, Tachi-kun?"

What the… dia juga mau jadi ibuku? Bukan urusannya kan? "Ke toilet…" Tidak, dia tidak akan bilang ke kantin. Kalau iya, Karin dan gengnya tidak akan berhenti untuk mengikutinya sampai bel masuk jam pelajaran berikutnya. Satu-satunya tempat yang tidak mungkin dimasuki Karin hanyalah toilet cowok.

"Oh!" Karin memekik tertahan. "Kalau begitu, nanti siang sepulang sekolah, mau keluar makan siang denganku?"

"Aku harus jemput adikku…"

"Bagaimana kalau besok?"

"Aku sibuk. OSIS mau menyiapkan acara untuk ulang tahun sekolah bulan depan."

"Kalau begitu…"

"Maaf Karin-senpai, sampai akhir bulan depan aku sangat sibuk. Permisi." Masih dengan ekspresi datar, dia berjalan meninggalkan Karin. Bukan menuju kantin ataupun toilet, dia melangkah kembali ke kelasnya. Meninggalkan Karin yang melotot tak percaya, ditolak mentah-mentah oleh adik kelasnya di depan banyak orang.

"Balik lagi? Katanya mau ke kantin…" Kisame bertanya padanya ketika dia kembali duduk di kursinya di samping jendela.

"Kau jahat, Tachi-kun," ujar Pein yang baru saja masuk ke dalam kelas dengan nada mengejek. "Karin sepertinya sudah siap ditelan bumi…"

"Bukan urusanku."

Dua orang di depannya, Kisame dan Kakuzu, terkikik mendengar perkataan Pein yang kini mengambil kursi di samping Itachi.

Itachi tidak menggubris teman-temannya yang kini memulai topik tentang 'cewek idaman Itachi'. Bukan urusannya.

Pandangannya tak lepas dari jendela. Bukan, bukan karena ada yang menarik di sana. Cuma ada kumpulan siswa-siswa yang lalu lalang di sana atau duduk-duduk di bangku kayu yang ada di tengah taman di halaman depan Konoha Junior High School. Tapi karena di dalam kelasnya pun tidak ada hal yang menarik untuk dilihat.

Apalagi, di atas semua itu, dia adalah Uchiha Itachi. Anak pertama dari Uchiha Fugaku dan Mikoto, sekaligus kakak dari Uchiha Sasuke. Pemuda jenius yang bahkan di usianya yang baru 12 tahun ini sudah memiliki masa depan yang terjamin. Walaupun masih kelas 1, -hampir- tidak ada seorang pun yang tidak mengenalnya. Calon paling kuat untuk mengisi posisi ketua OSIS tahun depan, lawan-lawannya sudah mundur dengan teratur.

Semua cewek –yang seangkatan dengannya atau kakak kelas yang nggak sadar umur seperti Karin- berharap bisa menarik perhatiannya. Tapi tidak, tidak ada yang benar-benar menarik perhatiannya. Dalam hal apa pun. Bukan berarti dia tidak serius dalam menjalani setiap pekerjaannya. Hanya tidak betul-betul tertarik. Kecuali satu.

Dia ingat kenapa dia suka memandang ke luar jendela. Karena di bawah sana ada pohon Sakura. Pohon yang selalu mengingatkannya pada pertemuan pertamanya dengan seorang bocah pirang ceroboh yang punya senyum bodoh di wajahnya. Bukan pertemuan yang manis sebenarnya. Bocah itu jatuh dari pohon karena digigit semut –alasan konyol, tapi Itachi tak mau mendebatnya-, sementara yang menjadi tempat mendarat bocah itu tak lain dan tak bukan adalah tubuh Itachi.

Dan bocah itulah yang mampu membuat seorang Uchiha Itachi merasa tertarik.

Bocah itu… di mana dia sekarang ya?

XxXxX

"Bilang padaku sekali lagi, kau mau ke mana?"

Lama-lama, Itachi semakin sebal melihat kelakuan manusia hiu di hadapannya. "Che… kau semakin terdengar seperti ibuku…" gerutunya sambil terus melanjutkan jalannya. Ketika melewati sebuah taman, diliriknya jam besar yang berdiri tegak di tengah-tengah taman itu. Sudah jam satu lebih. Kuharap baka otouto belum bikin masalah…

"Hei… aku cuma mau memastikan kalau pendengaranku masih berfungsi dengan baik…" Kisame berusaha mensejajarkan langkahnya dengan pemuda berambut hitam yang semakin mempercepat jalannya. "Kau serius? Pergi ke Sekolah Dasar? Dan selama ini kupikir kau benci anak kecil…"

"Memang," jawabnya tanpa mengurangi kecepatannya, malah memperlebar jarak setiap langkahnya.

"Lalu, untuk apa kita ke sana? Aku nggak mau berlama-lama dengan dengan anak-anak ingusan di sekitarku…"

"Dan sejauh yang kuingat, setahun ke belakang kau masih menjadi salah satu dari anak-anak ingusan itu kan, Kisame?" Tentu saja, Itachi dan Kisame berasal dari sekolah yang sama sebelum mereka masuk SMP.

Itachi tersenyum penuh kemenangan dalam hati mendengar Kisame menggerutu tentang 'anak autis' dan sesuatu yang terdengar seperti 'terjebak bersama Uchiha yang abnormal'.

"Kau lama, baka aniki. Aku hampir mati bosan dibuatnya." Sebuah suara anak kecil menyambut kedatangan mereka berdua. Seorang anak lelaki bersandar di tembok depan sekolah, tangannya disilangkan di dadanya. Rambut ayamnya tetap berdiri dengan bangga.

Ah… nggak pernah aku kira bisa punya adik sok banget kaya gini. Padahal aku berharap bisa punya adik yang manis dan bisa di banggakan…

"Aku langsung ke sini begitu pulang sekolah, baka otouto. Bukan salahku kalau SD-mu pulang lebih pagi dari SMP-ku." Itachi memberikan penekanan pada kata SD dan SMP, tahu bahwa adiknya yang masih kelas 1 itu tidak suka jika dia dianggap anak kecil.

"Heh, terserah…" Sasuke berjalan menuju kakaknya, menyadari ada sosok lain yang menyertai kakaknya. "Ngapain si muka ikan ini ikut juga?"

Kisame tidak menjawab pertanyaan itu dan sepertinya Sasuke tidak membutuhkan jawaban. Anak itu berjalan mendahului dua anak SMP itu.

"Sumpah… tu anak songong bener… salut kamu kuat ngasuh dia…" kata Kisame sambil menepuk pundak Itachi dengan tatapan mengiba.

Akhirnya mereka berdua berjalan mengikuti anak laki-laki yang sekarang sudah berjalan menjauh dari sekolah.

"Mau ke mana?" Akhirnya Itachi bertanya kepada adiknya yang sepertinya tidak berjalan menuju arah rumah keluarga Uchiha.

"Makan di taman. Kaa-san ngasih uang kan?" jawabnya tanpa mau susah-susah berbalik menghadap kakaknya.

Itachi menahan keinginannya untuk menjitak kepala adiknya saat itu juga.

XxXxX

"Sudah selesai?"

Itachi memandang adiknya yang masih terkagum dengan pertunjukan membuat crepe yang dilakukan oleh seorang pria berambut cokelat gelap yang diikat ke atas. Sebuah bekas luka terlihat memanjang di pangkal hidungnya.

"Dasar anak kecil…" gumamnya ketika dilihatnya Sasuke menerima crepe isi smoke beef dengan mata berbinar-binar. Namun setelah crepe itu berpindah ke tangannya, ekspresinya kembali seperti semula.

"Mau makan di mana?" tanyanya kepada adiknya yang sepertinya sudah lupa dengannya. Sedangkan Kisame sudah lebih dulu pergi menjelajahi taman untuk berjalan-jalan –alasan konyol yang selalu digunakannya untuk mencari cewek nganggur untuk digoda yang selalu berujung ditolak sebelum dia sempat bicara-.

Sasuke mengindahkan pertanyaan kakaknya dan berjalan menuju salah satu sudut taman sebelum akhirnya berhenti di bawah pohon sakura.

Musim semi… sakura bermekaran… Itachi kembali teringat anak berambut pirang itu. Karena di tempat inilah mereka pertama bertemu bertahun-tahun yang lalu.

"Jangan bengong, baka aniki. Kau menghalangi jalan tahu…"

Itachi terkesiap dari lamunannya. Bukan karena omongan pedas adiknya, tapi karena seorang pemuda berambut orange yang menepuk bahunya.

"Mengasuh adik, eh, Tachi-kun?"

"Kalau cuma mau mengejekku, kau salah pilih waktu, Pein. Aku lagi nggak ada mood untuk ngeladenin kamu." Itachi melepaskan pegangan Pein di bahunya. Pein hanya tertawa kecil.

Itachi berjalan menuju tempat adiknya yang sekarang sudah duduk dengan manis di bawah pohon sakura tanpa memakai alas dan sedang memakan crepe miliknya. Pein sendiri mengambil tempat di seberang mereka di sebuah bangku kayu yang memang disediakan di taman itu.

Itachi mengeluarkan sekotak bento yang tadi dibelinya di supermarket dalam perjalanan menuju taman dari tasnya. Mereka berdua makan tanpa suara, sedangkan Pein asyik dengan HP Sony Ericsson K710i-nya.

Kesunyian mereka itu dipecahkan dengan suara Sasuke yang berusaha menahan lidahnya yang terbakar rasa pedas dari crepe yang baru setengah dimakannya. Itachi mengulurkan jus apel yang dibelinya bersamaan dengan bentonya kepada adiknya yang langsung menyambar jus itu tanpa ba-bi-bu lagi.

"Aku nggak suka rasa apel…" ujarnya setelah selesai meneguk minumannya –minuman Itachi lebih tepatnya-.

"Aku kan bukan beli buat kamu…" Itachi mengambil kotak jus itu dari tangan adiknya dan mengocoknya pelan. "Nggak suka tapi kok dihabisin juga?"

Sasuke membuang muka. "Terpaksa…"

Itachi menarik napas panjang. Sabar… sabar Itachi. Orang sabar disayang Tuhan…

Kemudian Sasuke kembali melanjutkan makannya yang sempat tertunda tadi. Sepertinya belum kapok, masih penasaran sejauh mana dia bertahan dengan rasa pedas itu.

Tak lama Itachi sudah menyelesaikan makannya. Dia membuang bungkus bento itu di tempat sampah terdekat –motto: buanglah sampah pada tempatnya-.

Itachi memperhatikan cara makan adiknya. Walaupun suka bersikap sok dewasa, tapi tetap saja usianya masih 6 tahun. Maka tidak heran kalau cara makannya masih sedikit berantakan.

Dilihatnya ada saus yang menempel di sudut bibir Sasuke. Dia mengambil sapu tangan di saku celananya.

"Lihat tuh… makanmu ke mana-mana." Disapukannya sapu tangan itu ke wajah Sasuke.

Bocah itu sedikit terkejut dengan perlakuan kakaknya. Kemudian dia segera menepis tangan kakaknya itu dan membuang muka. Tak cukup cepat sehingga Itachi masih sempat melihat semburat merah yang muncul di pipinya yang pucat.

"Jangan perlakukan aku seperti anak kecil, Aniki…" Kemudian Sasuke berdiri dan berjalan menuju keran yang ada di salah satu sudut taman untuk membersihkan wajahnya.

Bibir Itachi membentuk sebuah senyuman tipis yang sangat jarang diperlihatkannya. Sekali anak kecil tetap anak kecil…

"Kau sudah selesai, Itachi?"

Itachi baru menyadari Pein yang masih belum beranjak dari tempatnya tadi.

"Memang kenapa?"

"Itachi nggak akan bisa main hari ini, Pein. Dia harus jadi babysitter adiknya sampai nanti sore," ujar Kisame yang baru saja muncul. Di sampingnya sudah ada seorang pemuda yang mengenakan cadar.

"Kamu ngapain ke sini, Kakuzu?" Pein heran melihat kehadiran bendahara kelasnya itu. Kakuzu bukan tipe orang yang suka menghabiskan waktunya untuk berjalan-jalan karena hanya akan menghabiskan uangnya saja.

"Bosen," jawabnya, "…lagian ini tempat yang paling nggak ngabisin duit. Tapi kalian tega ya, ngumpul gini tapi aku nggak diajak…"

Pein dan Kisame tertawa mendengarnya, sedangkan Itachi hanya mengangkat bahu.

"Ngajak kamu percuma… udah lama nungguin kamunya buat ngitung berapa ongkosnya, ujung-ujungnya juga nggak jadi ikut…" jelas Pein.

"Paling nggak dicoba dulu dong…" Kakuzu cemberut(?).

"Adik kamu lama tuh… jangan-jangan dia nyasar lagi…" Pein mengacuhkan Kakuzu dan mengingatkan Itachi tentang adiknya.

Itachi menyeringai. "Walaupun menyebalkan, dia itu tetap seorang Uchiha. Dan seorang Uchiha pantang nyasar… paling juga lagi nyari temen berantem."

Mendengar kalimat Itachi, ketiga temannya mengikuti dengan koor panjang 'Uchiha Rules'.

Itachi menunggu adiknya sembari mendengarkan ketiga temannya berceloteh. Dia hanya sesekali menimpali perkataan mereka dengan 'hn'-nya.

15 menit berlalu… dan Itachi sudah mulai tidak sabar menunggu adiknya yang tak kunjung muncul batang hidungnya.

Oke… kalau sampai dia berantem, aku yang bakal kena masalah…

Itachi bangkit dari duduknya. Dia hanya memberi lambaian kecil ketika Pein menanyakan tujuannya.

Itachi berjalan memutari taman yang bisa di bilang cukup besar itu. Di satu sudutnya penuh dengan permainan anak-anak seperti ayunan dan jungkat-jungkit. Itachi menggelengkan kepalanya. Sudah sejak lama Sasuke meninggalkan permainan seperti itu, gengsinya terlalu tinggi.

Dia melanjutkan langkahnya di jalan setapak yang terbentang di taman itu. Sudah beberapa keran yang dilewatinya, namun adiknya sama sekali tidak kelihatan.

Akhirnya setelah sampai di sisi terdalam dari taman yang lumayan jarang dikunjungi karena pohon-pohon tinggi yang menghalangi cahaya matahari, dia melihat seorang anak memakai jaket berwarna biru tua dengan lambang kipas Uchiha di bagian punggungnya, Itachi bisa menarik napas lega. Jekat milik adiknya itu tidak mungkin salah lagi.

"Otouto…"

Panggilannya membuat bocah berambut ayam itu berbalik.

Kemudian, Itachi bisa melihat bahwa adiknya tidak sendirian di tempat itu. Di hadapannya ada seorang anak berambut pirang yang sedang menahan tangis. Bisa dilihatnya lutut anak itu sedikit mengeluarkan darah.

"Siapa dia?"

"Aku juga nggak tahu… tadi aku bertemu dengannya. Sepertinya dia terpisah dari keluarganya." Sasuke menjawab sambil memandangi anak itu.

Itachi berlutut di depan anak itu. Dia memang tidak meyukai anak kecil, tapi sebagai yang paling tua diantara mereka bertiga, maka mau tidak mau dialah yang harus mengambil tindakan.

"Siapa namamu?"

"Hiks… Hiks… kaa-chan…" hanya itu jawaban yang didapatnya. Anak itu mengucek-ngucek matanya dengan kedua tangannya. Air mata mulai meluncur di wajahnya yang berhiaskan 3 buah garis seperti kumis kucing di masing-masing pipinya.

"Dia terus seperti itu dari tadi. Ditanya nggak mau jawab apa pun. Dasar anak kecil," rutuk Sasuke.

"Hei… kami mau membantumu, kalau kamu nggak jawab, kami nggak bisa cari orang tuamu…" Itachi berusaha menenangkan anak itu. Inilah kenapa dia nggak suka berurusan dengan anak kecil. Mereka cengeng.

"Naru… hiks… mau kaa-chan…" tangisannya bertambah keras.

"Makanya, beritahu kami siapa nama…"

"Kaa-chan… huwe… hiks… Naru mau kaa-chan… huwe…" sekarang tangisan anak itu benar-benar kencang.

Itachi benar-benar tidak berjodoh dengan anak kecil. Baru sekali ingin membantu anak yang tersesat, dia malah harus berurusan dengan anak cengeng. Dalam hati dia bersyukur adiknya sedikit lebih mandiri daripada anak ini –walaupun sifat keras kepala khas Uchihanya sangat menyebalkan-.

Sudah tidak sabar lagi menghadapi tangis anak itu yang semakin menjadi-jadi, Itachi tanpa pikir panjang mencubit pipi anak itu dengan kedua tangannya.

"Kamu cowok, kan? Jangan cengeng dong!"

"HUWE… SAKIT… KAA-CHAN…"

"Ni anak bener-bener…" Itachi tidak melepaskan cubitannya dari pipi chubby anak itu.

"Hei, baka aniki, kau malah membuat dia semakin nggak mau kasih tahu…" Sasuke menghentikan kalimatnya.

"Apa?" tanya Itachi yang masih berusaha 'mendiamkan' bocah berambut pirang itu.

"Mending lepas tanganmu dari dia, baka aniki… atau kamu bakalan dalam masalah besar."

Otomatis Itachi melepaskan tangannya yang sekarang basah gara-gara air mata yang jatuh di tangannya. Dia berbalik memandang adiknya. Kemudian dilayangkan tatapannya kepada objek yang sedang diperhatikan oleh adiknya.

Seorang pemuda –Itachi melihat celana panjang yang dipakainya, kalau tidak dia akan salah mengira sebagai seorang gadis- berambut pirang seperti anak di hadapannya, hanya saja lebih panjang, sedang berlari ke arahnya, lebih tepatnya arah bocah berambut pirang.

Pemuda itu langsung berlutut di depan bocah pirang itu yang langsung memeluknya erat.

"Ssstt… Naru-chan… jangan nangis lagi, un… aniki di sini…" pemuda itu membelai lembut rambut anak yang dipanggilnya Naru-chan itu.

"Takut… hiks… hiks…"

"Makanya, aniki kan udah di sini, jadi Naru-chan diem ya, un…"

Nafas Itachi sedikit tercekat. Kata 'un' di akhir kalimatnya itu seperti…

"Deidara?" bisiknya, namun cukup keras untuk membuat pemuda itu berbalik memandangnya.

Itachi menatap seakan berusaha mengenali pemuda di hadapannya. Tadi tidak terlalu diperhatikannya, tapi mata birunya hampir sama dengan bocah dalam pelukannya. Rambut pirang panjangnya yang tertiup angin, menyibakkan poninya. Helaian kelopak sakura yang terbawa angin menambah suasana nostalgia, mengingatkannya pada pertemuan pertama mereka entah berapa tahun yang lalu.

"Itachi-kun, un?" tanyanya. Setelah yakin bahwa dia tidak salah orang, Deidara menambah seyuman di wajahnya. Kali ini, bukan cengiran bodoh yang dilihat Itachi bertahun sebelumnya, tapi sebuah senyuman tulus yang menambah… keindahannya?

Deidara berdiri dan bermaksud untuk memberi salam padanya, namun tangan mungil Naruto menggenggam erat lengan kaos panjangnya.

"Kakak itu… jahat… hiks… Pipi Naru dicubit…"

Senyum di wajah Deidara menghilang seketika bersamaan dengan Itachi yang merasa kedudukannya terancam. Itachi sepertinya menyadari satu hal. Nggak ada yang pernah bilang padaku kalau Deidara itu brother complex!

Tatapan Deidara serasa menembus jantungnya.

"Jangan berani jahatin Naru-chan lagi, un," Deidara menarik tangan adiknya. "Aku benci Itachi-kun!" tambahnya sebelum berjalan meninggalkan Itachi yang masih membatu di tempatnya. Sasuke? Dia sibuk menertawakan wajah bodoh kakaknya yang baru pertama kali dilihatnya.

-TO BE CONTINUED-


Cha's Note:

Mau dibilang Itadei juga,

Cha tetep nggak bisa lepas dari Sasunaru…

Gimana?

Anehkah?

Perlu lanjutkah?

Gimme review key?

Pwweeasee??!!

With Love

_Charlotte.d'Cauchemar_