Disclaimer © Mashima Hiro-sensei
Warning!
Terinspirasi dari drama Mioka: my last days with you. Gaje, OOC, AU dsb.
Juvia, my last days with you
Chapter 01 - Kalau aku mati, apa kau akan menangis untukku?
Aku tahu mungkin ini konyol, namun ini adalah takdir. Takdir yang mempertemukan dan memisahkan kita. Maaf, bila aku pernah menyakitimu. Maaf, bila aku mengganggu hidupmu. Maaf dan maaf sajalah yang bisa terucap dari bibirku.
Ketika aku tidur dan tak bangun lagi selamanya, apakah kau akan menangis demi aku?
"Gray-sama! Ayo bangun! Hari sudah siang. Juvia tak mau, Gray-sama bangun terlalu siang. Ayo!"
"Hm.." ia terbangun dan mengusap matanya. Posisi dimana ia baru bangun tidur saja sudah tampan. Apa lagi saat dia ingin bertarung? "Pukul berapa ini, Juvia?"
"E-eh? Sudah pukul 12 siang."
Ia langsung bangun seutuhnya. "Me-mengapa tak kau bangunkan aku pukul 9?"
"Ju-juvia lupa. Maaf."
"Sudahlah. Terima kasih, Juvia." ia langsung turun dari kasur tempatnya tidur dan beranjak pergi ke kamar mandi.
Sepuluh menit kemudian, ia keluar dengan menggunakan handuj. Maksudkum handuk yang besar dibawah pusarnya hingga selutut dan handuk kecil dikepalanya. Guna mengeringkan rambutnya yang masih basah.
"G-gray-sama terlihat tampan."
"Iya iya. Aku tahu itu."
"Eh? Benarkah?"
"Ah. Kau mengatakan kalimat yang sama setiap hari ketikabaku baru keluar kamar mandi. Dan biar kutebak," ia mendekati wajahnya kedepan wajahku. Seketika itu, aku merasakan wajahku memanas. "Kau pasti belum mandi. Juga sebdlum mandi, kau pasti sudah memasak untuk kita makan, 'kan?"
Mataku berbinar dibuatnya. Apakah Gray-sama sudah tahu? Oh itu keren!
"Baiklah. Bisakah kau keluar dulu? Aku ingin memakai seragam kerjaku. Sana,"
"Ba-baik."
Aku-pun keluar kamar dan turun kebawah. Ya ampun! Apa yamh difikirkan Gray-sama? Ia ingin pergi bekerja pada pukul 12 siang? Ia ingin bekerja apa?
Sesampainya aku dobawah, aku langsung menuju meja makan. Ketika aku baru duduk, Gray-sama keluar dari kamar dengan memakai baju seragam kerjanya. Dan ia turun kearqh meja makan jugs. Setelah ia duduk dihadapanku, aku bertanya.
"Gray-sama? Mengapa Gray-sama ingin bekerja?"
"Memangnya kenapa? Tidak boleh?"
"Eh, tidak, maksudku, biasanya kau bangun lebih pagi dari Juvia. Dan ketika Juvia bngun, Gray-sama sudah tidak ada dikasur."
"Ngomong-ngomong, sekarang hari apa?"
"Sabtu."
Kami berdua sweatdrop. Aku lupa kalau hari ini hari Sabtu.
"G-gray-sama?"
Ia menoleh kepadaku dan bertanyw dingin. "Apa?"
"G-gray-sama, kau tak apa?"
"AKU TIDAK BAIK-BAIK SAJA!" tiba-tiba ia marah tanpa maksud yang jelas. "Tenang, Gray. Tenang. Baik, Juvia. Kenapa kau tidak bangunkan aku pada pukul 9 tadi, Juvia?"
"Juvia saja baru bangun satu jam yang lalu."
"Bagus. Aku akan berganti pakaian dan kau jangan kemana-mana selagi aku pergi, ya?"
"Baik."
-oOo-
Gray's P.O.V
"Dok-dokter?"
Dokter yang kupanggil akhirnya berhenti melangkah dan bertanya sinis. "Apa!?"
"A-apa benar, Ju-juvia hampir tidak bisa mengingat siapapun lagi? Maksudku, ia akan kehilsngsn ingatan? Apa yang harus kulakukan?"
Dokter berambut merah muda dan berkulit agak keriput itu menggangguk. "A. Tidak ada yang bisa kau lakukan lagi, Gray-kun."
"Tapi, Porlyusica-san! Pasti ada yang bisa kau lakukan untuk menyelamatkan Juvia!"
"Apa gadis itu sangat berarti bagimu, Gray-kun?"
"Bagiku, Juvia adalah segalanya. Tolong, Porlyusica-san! Lakukan sebisamu!"
"Baiklah. Akan aku lakukan sebisaku. Namun,"
Senyumku memudar ketika mendengar kalimat yang digantungkan dokter didepanku ini. Lalu ia melanjutkan, "terakhir kuperiksa, kesehatan Juvia menurun. Penyakitnya menyebar secara cepat. Jadi, kau harus mempersiapkan diri bila suatu hari gadis itu tak bisa mengingatmu, ataupun teman-temannya."
Aku tak bisa berkata apapun lagi setelah ,emdemgar pernyataannya. Apa yang harus kulakukan? "Porlyusica-san, kumohon! Apapun tolong selamatkan Juvia! Kumohon!" aku membungkuk sedalam mungkin.
"Ya ampun.. Baiklah, akan kulakukan sebisaku. Juga, bawa gadis itu kesini sesering mungkin, mengerti? Aku hanya ingin memastiksn kondisinys setelah berbulan-bulan tak kesini lagi. Mengerti, Gray-kun?"
"Aku mengerti! Terims kssih, Porlyusica-san! Sampai besok, ya?"
Ketika aku hampir sampai rumah, aku melihat seorang anak kecil sedang bermain dihalaman rumahnya. Anak kecil itu bernama Romeo. Romeo Conbolt. Ia tersenyum kearahku ketika melihatku. Aku hanya membalas senyumannya dan melanjutkan perjalanan pulang.
Sesampainya dirumah, aku langsung membuka pintu dan memberi salam. Juga membuka sepatu. "Aku kembali."
Aku tak mendengar jawaban dari dalam rumah. Apa ia tertidur lagi? Atau.. Jangan-jangan! Aku langsung berlari kearah ruang tamu, namun tsk menemukan apa yang kucari. Aku berlari kearah kamar mandi, dan hasilnya sama. Aku berlari kearah kamar, dan hasilnya sama. Kearah dapur, hasil yang sama. Satu bagian dari rumah ini yang belum aku periksa,
"Halaman belakang!" aku berlari kearah hsls,an belakang secepatnya. Dan aku menemukan apa yang kucari. "Juvia!" aku berlari menghampirinya. Mengangkat tubuhnya kepelukanku dan mengoyang-goyangkan pundaknya sambil memanggil namanya. "Juvia! Juvia! Jawab aku, Juvia!"
End P.O.V
Aku membuka mataku ketika aku merasakan guncangan dan suara teriakan dari seseorang.
"G-gray-sama?"
"Juvia, syukurlah!" seketika itu, Gray sama memeluk erat tubuhku. Aku senang sekali.
"Maafkan aku, Gray-sama. Aku tak mematuhi apa yang kau katakan. Karena kufikir, menyiram tamamam adalah hal yang tak berat, jadi aku menyiramnya. Seketiks itu, aku merasakan tub-" aku memejamkan mataku. Tak ingin mengingat kejadian itu.
Bibirku terasa berat. Ketika aku membuka mata, benar saja. Gray-sama menciumku. Astaga! Ini bukan mimpi? Bila ini mimpi, aku tak ingin bangun sama sekali.
"Juvia, besok ikut aku kerumah sakit, ya? Kita periksa penyakitmu." katanya seraya melepaskan ciumannya.
"Ah. Aku mengerti, Gray-sama."
~M.L.D.W.Y~
Keesokan harinya, aku dan Gray-sama pergi kerumah sakit untuk mengecek kondisiku. Gray-sama sangat mencemadkan aku bila nanti aku tak bisa mengimbangi keseimbanganku.
Ketika aku sampai dirumah sakit, Gray-sama langsung membawaku kelantai 4. Keruang UGD. Aku lupa apa maksud dari 'UGD' itu. Namun seingatku, ini ruangan terakhir aku check up.
"Selamat datang kembali, Juvia-san, Gray-san." para suster membungkuk dihadapan kami. Lalu mereka berdiri kembali. Kami tak menghiraukan salam suster-suster itu. Kami langsung menemui Porlyusica-san.
"Selamat pagi, Juvia-chan. Sudah agak lama, ya? Apa kabarmu?"
Sudah kuduga. Porlyusica-san tidak berubah. Maksudku, ia masih ramah seperti biasanya. "Pagi, Porlyusica-san. Ah, sudah lama, ya? Aku tidak baik-baik saja. Tapi,"
"Mari, kita memulai check up-nya, Juvia-chan. Dan Gray-kun, tolong tunggu diluar, ya?"
"Baik."
Tiga puluh menit kemudian, aku keluar dari ruangan untuk menemui Gray'sama. Ketika aku didepan pintu, aku melihat Gray-sama sangat frustasi. Mungkinkah ini salahku? Apa ini salah penyakitku? Atau ini salah siapapun yang melahirkanku?
"Gray-sama?" aku memberanikan diri untuk membuka obrolan.
"Ju-juvia!" ia berlari kearahku dan ketika ia sampai dihadapanku, ia meremas bahuku dengan kencang sambil bertanya, "bagaimana hasilnya, Juvia?"
"Aku tak tahu, Gray-sama."
"Juvia, panggil saja aku 'Gray'. Tak usah pakai 'sama'. Mengerti?"
"Ha.. Apa.. A.." aku tergagap mendengarnya.
"Itu adalah pertama kalinya"
"Eh? Pertama kali? Kenapa?"
"Iya, ini pertama kalinya aku meminta seseorang memanggilju dengan namaku sendiro. Selebihnya, mereka yang memanggilku begitu."
"Terima kasih, Gray-sama. Tidak, maksudkum Gra-" belum sempat aku melanjutkan kalimatku, tiba-tiba pengelihatanku berwarna gelap. Hitam gelap. Dan aku merasakan tubuhku terjatuh.. Dipelukan Gray-sama
~M.L.D.W.Y~
Keesokan haronya, ketika aku terbangun di Senin pagi, aku merasa ini bukan kasur biasa yang aku dan Gray-sama tiduri. Kenaoa?
"Juvia!" kudengar suara yang tak asing lagi. Itu seperti suara,
"Gray?" merasa namanya dipanggil, ia berhenti sejenak. Melihat keadaan sekitar dan melihat kearahku. "Gray-sama, tidak.. Gray? Apa yang kau lakukan disini?"
Ia melangkah mendekatiku. "Juvia? Kau,.. Kau tak apa?"
Aku menoleh kearah jendela dan menjawab pelan. "Iyw."
"Juvia, apa kau lapar?"
Aku menggeleng. "Hei, Gray."
"Iya?"
Aku masih menatap jendela kearah luar dan berfikir, kalau aku tidak terkena penyakit seperti ini, pasti aku bisa melakukan segalanya dengan bebas. Tapi ini tidak mungkin. "Bila suatu saat aku sudah tidak bisa bernafas lagi, apa kau akan menangis demi aku?"
"Apa maksudmu, Juvia?"
"Ah, tidak. Sudah kuduga. Gray pasti tidak akan menangis demi aku."
"Juvia, kau tahu apa maksud dari ucapanmu barusan?"
Aku menolehkan wajahku dari jendela dan menatap Gray-sama. Lalu aku bertanya dalam hati. Memang, apa yang salah?
-oOo-
A/N: hai! Ini fiksi pertamaku di fandom Fairy Tail, maafkan atas segala ke TYPO-an yang tidak sengaja menyempil dalam kalimat diatas. Maaf juga kalau aneh banget.. Langsung saja deh.. Bisa beri aku review kalian? Aku akan sanga menghargai itu. Namun tidak flame, ya? Trims.
