Chapter one: Okazaki Yuukio

Aku membenci dunia ini…

Aku sangat membenci kenyataan…

Aku tidak mempercayai adanya takdir…

Semua ini tidak ada artinya dimataku…

Aku tidak pernah tertawa sejak aku mengetahui semua itu…

Japan, 07.10 AM

Seorang pemuda berambut biru, dan poninya melewati alis matanya—mempunyai kesan yang baik, ramah, dan pintar—ia baru saja keluar dari sebuah rumah, yang bernamakan Okazaki.

Pemuda itu berjalan menjauhi rumahnya, memegang tas sekolahnya itu dengan sangat malas, ia terus berjalan—pada saat ia melewati sebuah toko roti, seorang perempuan keluar dari toko dan berpamitan pada kedua orang tuanya.

Pemuda itu terdiam, entah kenapa ia terdiam, tetapi ia terpaku kepada perempuan berambut cokelat, panjang dan sangat manis dan langsing, hanya saja mempunyai kesan chubby, dan lemah terhadap semua kegiatan fisik—perempuan itu baru keluar dari toko roti tersebut, karena merasa di perhatikan perempuan itu menoleh pada pemuda itu.

"Ohayou gozaimasu1" katanya sambil tersenyum.

Pemuda itu tidak menunjukan ekspresinya, gambaran pemuda itu sangat dingin—tetapi terlihat sangat baik.

"Hmph." Jawab pemuda itu yang langsung berjalan melewati perempuan tadi.

Perempuan tersebut melihat pemuda itu melewatinya—setelah beberapa langkah, ia ikut berjalan mengikutinya.

"Kamu memakai seragam sekolah yang sama denganku." Kata perempuan itu tiba-tiba.

Pemuda itu masih diam, dingin—tak ada ekspresi.

"Apakah kamu se-angkatan denganku." Lanjut perempuan itu.

"Entahlah." Jawab singkat pemuda itu sambil terus berjalan.

"Aku kelas 2—" kata perempuan tersebut yang berlari pelan, supaya bisa berjalan di samping pemuda itu.

Pemuda itu tidak menjawab, ia sangat dingin—tak ada ekspresi, ia hanya memandang kedepan, dan terus berjalan.

"Ya," akhirnya pemuda itu berbicara. "Aku se-angkatan denganmu."

Perempuan itu tersenyum—terlihat senang sepertinya.

Tak lama kemudian, mereka sampai di sekolah mereka, di kanan kiri menuju gedung utama sekolah tersebut—banyak sekali pohon sakura yang indah—

Sejak perjalanan tadi, mereka berdua hanya terdiam—bukan saling membenci, karena pemuda yang berambut biru itu tidak banyak bicara.

Akhirnya, mereka sampai di gedung utama tadi, mereka melepaskan sepatu mereka dan memasukannya kedalam loker—lalu mengeluarkan sepatu sekolah.

Mereka masih bersama, meskipun perempuan tersebut sudah selesai duluan—tetapi ia menunggu pemuda yang tadi berjalan bersamanya menuju sekolah.

"Kenapa kau menungguku?" tanya pemuda tersebut yang menyadarinya.

Perempuan itu menggeleng sambil tersenyum—pemuda itu memalingkan wajah, dan berjalan meninggalkan perempuan tersebut.

Tetapi perempuan tersebut tidak mau ketinggalan, ia berlari pelan untuk mengejar pemuda itu, dan berjalan disampingnya.

Pemuda itu tidak menghiraukannya—ia terus berjalan, mereka berjalan menuju lantai dua—karena semua kelas, anak kelas 2 berada di lantai dua.

Akhirnya, mereka sampai di lantai dua—dan masih diam tanpa kata, ada jeda sebentar—dan terlihat pemuda itu mendesah, malas.

Lalu ia berjalan menuju kelasnya—tetapi perempuan itu tidak kunjung lepas dari sisinya.

"Kenapa kau mengikutiku?" tanya pemuda itu tanpa melihat wajahnya.

"Hmmhmm." Jawabnya sambil menggeleng.

Pemuda itu tidak bertanya lebih lanjut—Akhirnya setelah beberapa menit, pemuda itu menghentikan jalannya dan langsung berbelok menghadap pintu.

"Apakah kelasmu disini?" tanya perempuan tadi.

Pemuda itu tidak menjawab—ia menggeser pintu dan langsung masuk, lalu menutup pintu meninggalkan perempuan tadi di luar.

"Ohayou, Okazaki." Sapa pemuda berambut kuning, poninya hampir di-emo, tetapi lebih sedikit pendek, ia memakai seragam lebih rapih dari pada Okazaki.

"Ohayou, Kyosuke." Jawab pemuda berambut biru itu.

"Tumben kau datang jam segini?" tanya pemuda bernama Kyosuke tersebut.

Okazaki, menyimpan tasnya di tempat biasa ia duduk, yaitu di baris paling belakang dan dekat jendela—

Okazaki tidak menjawab, ia hanya melihat keluar jendela, dari jendelanya ia bisa melihat murid-murid datang dari gerbang masuk, dan kota yang masih tidak banyak makhluk hidup yang berkeliaran.

"Haah—masih dingin seperti biasa ya." Kata Kyosuke yang menyadari bahwa pertanyaannya tidak di hiraukan oleh Okazaki.

Okazaki melemparkan pandangan jijik pada Kyosuke, Kyosuke tersenyum ragu—

"Melihat wajahmu itu—aku jadi teringat, apakah kau sudah mengerjakan tugas sastra jepangmu?" tanya Okazaki sambil melihat keluar.

Kyosuke tersentak mendengar hal itu, ia baru saja teringat tentang tugasnya—

"Kenapa kau tidak meng-email ku kemarin malam sih!" tanya Kyosuke sambil membuka tasnya—Kyosuke duduk di samping bangku Okazaki.

Okazaki tersenyum—pemuda berambut biru itu terkenal tidak pernah tertawa, sangat dingin—namun dalam segi nilai ia lumayan bagus.

Okazaki menghabiskan waktunya untuk melihat keluar—sekedar melamun, dan menyesali hidupnya yang terlalu sederhana itu.

Lalu tak lama kemudian bel tanda masuk berbunyi—

Saat istirahat adalah saat yang paling tepat untuk memakan bento2 kebanyakan dari siswa maupun siswi berbondong-bondong mencari tempat yang nyaman untuk memakan bentonya, ada yang dibawah pohon rindang, di kantin, di kelas, dan semacamnya.

Okazaki tidak pernah membawa bento ia hanya duduk diam dibangkunya—dan seperti biasa memandang keluar jendela, mengamati orang-orang yang berada taman dekat gerbang sekolah.

"Hei Okazaki—" Kata Kyosuke yang sama dengan Okazaki tidak pernah membawa bento.

"Apa?" Okazaki balik bertanya—tetapi pandangannya masih tertuju keluar jendela.

"Kau mau membeli sesuatu di kantin?" Tanya Kyosuke.

Okazaki diam, ia tidak menjawab—Kyosuke masih diam di bangkunya, menunggu jawaban Okazaki.

Pandangan Okazaki masih tertuju keluar jendela, memandang orang-orang yang berada di taman, memakan bentonya masing-masing.

Dan—ia melihat seorang gadis, berambut cokelat—gadis yang tadi pagi.

Okazaki tidak melepaskan pandangannya dari gadis tersebut, ia terhipnotis oleh gadis itu.

Gadis itu sedang membuka bentonya di bawah pohon sakura, sendirian disana ia membuka bentonya—dan memakannya sendirian.

Kyosuke mulai menggeliat-geliat, mendandakan ia sudah sangat lapar—Okazaki menyadari hal itu, lalu ia mengeluarkan uang selembaran dari saku seragam jasnya.

"Nih—belikan aku sesuatu yang bisa dimakan." Katanya pada Kyosuke.

Kyosuke tersenyum, lalu melompat bangun dari bangkunya.

"Apakah aku—" Kata-kata Kyosuke terpotong oleh Okazaki yang sudah menjawab duluan.

"Ya—kau boleh membeli apapun." Katanya.

Kyosuke semakin kegirangan, ia langsung berlari keluar kelas—dan menuju lantai 1 seberang gedung kelas.

Karena sekolah ini lumayan luas—terdapat 4 gedung yang berbeda—2 gedung dipakai untuk kelas, perpustakaan, dan ruang guru—1 gedung yang lumayan besar yang berada di belakang gedung utama, dan gedung sekunder(gedung kedua untuk kelas.) dipakai untuk kantin—dan 1 gedungnya lagi dipakai untuk gym, dan aula.

Gedung-gedung itu saling berhimpit dan membentuk persegi, lapangan olah raga di tengah persegi tersebut—dan bukit di belakang gedung kantin.

Okazaki tidak pernah berkeliling, ia banyak menghabiskan waktunya di bangku dekat jendelanya itu, tetapi kali ini ia berdiri dan keluar kelas.

Ia menuruni tangga, dan memakai sepatu keluarnya—lalu berjalan menuju taman.

Ia berjalan mendekati perempuan yang tadi pagi—sepertinya Okazaki punya rasa pada gadis itu.

Perempuan tersebut menyadari bahwa ada seseorang yang mendekat, ia menaikan kepalanya dan mendapati Okazaki sedang berada di depannya.

"Ah—" kata perempuan tersebut.

Okazaki duduk dan tiduran di samping perempuan tersebut—memandang kelangit.

"Apa yang kamu lakukan disini?" tanya perempuan itu.

Okazaki tidak langsung menjawab—ia memandang ke langit, dengan pemandangan daun sakura yang indah.

"Mencari tempat yang indah." Jawabnya sambil menutupkan mata.

"Kamu—maksudku—" kata perempuan itu ragu-ragu.

Okazaki membuka sebelah matanya—ia menoleh ke perempuan itu, perempuan itu menunduk memandang bentonya.

"Okazaki," katanya. "Okazaki Yuukio."

Perempuan tersebut mengangkat wajahnya dan terlihat senyum kesenangan di wajahnya.

"Perkenalkan namaku Amamiya Yukine, senang bertemu denganmu." Katanya memperkenalkan diri.

Okazaki tidak menghiraukannya, ia menutup mata lagi dan perlahan-lahan mulai mengantuk.

"Jadi—umm, Okazaki-san, kenapa kamu tidak membawa bento?" tanya Yukine.

Okazaki seperti biasa tidak langsung menjawabnya, ia membuka mata dan memandang langit.

"Okazaki-san?" kata Yukine sekali lagi.

Okazaki memandang Yukine—wajah Yukine cemberut.

"Jawab." Kata Yukine.

Okazaki bangun dan mendekati wajah Yukine— "Karena aku tidak bisa memasak." Jawabnya pelan.

Yukine tersenyum—lalu menyondorkan bentonya—

Okazaki bingung, ia tidak mengerti apa yang dilakukan Yukine—memberikan bentonya?

"Okazaki-san, makanlah—nanti kamu bisa kelaparan lho." Kata Yukine sambil tersenyum.

Okazaki memandang Yukine tanpa ekspresi—ia bingung, kenapa ada seorang gadis yang sangat peduli padanya?

Memang Okazaki pria yang tampan, tetapi karena sikapnya yang dingin—tidak banyak perempuan yang menyerah untuk mencuri perhatiannya.

"Ayo, ayo—" paksa Yukine sambil menyondorkan bentonya lebih dekat dengan Okazaki.

"Tidak—" tolak Okazaki dingin.

"Harus—" paksa Yukine.

"Ti—"

"Harus!" kata Yukine yang memotong penolakan Okazaki.

Okazaki menggaruk-garuk lehernya, ia memandang Yukine heran—Akhirnya dengan sangat terpaksa—Okazaki menerimanya, dan memakannya—

Dalam wajah Okazaki terpancar cahaya yang sangat cerah—

"Bagaimana?" tanya Yukine yang melihat ekspresi Okazaki yang dingin.

Okazaki tidak menjawab—ia hanya memakan bento Yukine sedikit demi sedikit.

"Tidak enak ya?" tanya Yukine khawatir.

Okazaki menoleh pada Yukine—dan mengembalikan bentonya.

Yukine menerimanya dengan wajah keheranan—bentonya belum habis, masih tersisa lumayan untuk mengenyangkan seorang anak kecil.

"Hmm—" kata Okazaki yang terlihat senang.

"Kenapa?" tanya Yukine khawatir.

"Ini enak, tetapi kau harus tetap menghabiskannya." Jawab Okazaki sambil tiduran lagi.

Yukine tersenyum, lalu ia memakan bentonya lagi—menghabiskannya sesuai dengan perintah Okazaki.

Sementara itu—jauh di ruangan kelas, Kyosuke sudah kembali dari kantin—ia melihat kesana kemari mencari sosok pemuda berambut biru yang selalu dingin itu—ia keheranan, tidak menemukan pemuda yang pendiam itu, lalu akhirnya ia memutuskan untuk menaruh makanannya di meja Okazaki—

Kyosuke memandang kebawah—melihat Okazaki sedang duduk—Ia terkikik ketika melihat seorang pemuda berambut biru itu sedang memakan bento dan mengembalikannya lagi kepada Yukine—Kyosuke berteriak dan memanggil teman-temannya—mereka semua tertawa dan mulai menyebarkan gossip ini ke semua orang yang berada di sekolah.


please review