judul. pemimpi

disclaimer. BLEACH © titekubo

warning. ichiori, referensi pada BLEACH 237: Goodbye, Halcyon Days. 3, 4 tahun pasca Thousand Year Blood War Arc.

Selamat membaca.

.

.

.

"Seandainya aku bisa hidup lima kali."

Ichigo mendongak, buku yang tengah dibacanya terabaikan untuk sejenak. Duduk di hadapannya, Orihime menatap tanpa fokus penuh ke langit di luar jendela. Warna lembayung kala sore perlahan turun menutupi langit.

(Ichigo menyadari bahwa walaupun Orihime berada di sini bersamanya, pikiran gadis berimajinasi super aktif tersebut tengah berada entah di mana di luar sana, tinggi, jauh tinggi berada di angkasa. Sementara dia, Ichigo, dia selalu merupakan seorang realis dengan baik pikirannya maupun tubuhnya sendiri terpaku pada tanah tanpa mampu pergi ke mana-mana.)

"Kenapa, memangnya?" tanyanya, setengah hati mengalihkan perhatiannya kembali pada bukunya. Ia memiliki tugas membuat esai dari salah satu karya Neruda yang dikumpulkan hari Senin, dan jika ia tidak menyelesaikan ini sesegera mungkin, ia mungkin akan kehilangan kesempatan menikmati sisa Sabtu sore dengan santai.

Ia tidak mendengar ada jawaban untuk sementara waktu, namun kemudian Orihime perlahan menjawab.

"Aku ingin mencoba melakukan banyak hal. Aku mau membuka toko kue..."

"Yah, kau kan bisa membuka toko kue kapan saja kalau kau mau."

"... jadi guru..."

"Kau juga bisa membuka toko kue dan mengajar di sana."

"... terus, jadi astronot juga."

"... hah...?"

Jika Orihime menyadari ekspresi tak paham yang diarahkan Ichigo kepadanya, ia tidak menunjukkannya.

"Apa menurutmu aku bisa membuka toko kue di luar angkasa?"

Itu adalah pertanyaan sederhana yang hanya membutuhkan jawaban ya atau tidak, tetapi Ichigo menemukan dirinya kehilangan kata-kata.

Ichigo sempat berpikir bahwa Orihime sedang bercanda, pula, tetapi kedua mata oranye Orihime terarah kepadanya dan ia dapat melihat bahwa Orihime sedang serius. Ada kilauan kekanakan di kedua matanya, kilauan yang hanya muncul ketika ia sedang berada di depan makanan favoritnya—kentang panggang lapis mentega—dan Ichigo tidak tega untuk mengatakan 'tidak'. Toh tidak seperti ia pernah bisa tega terhadap gadis tersebut, dari awal.

Tetapi Orihime tidak sedang menanti jawaban Ichigo.

"Aku juga ingin mencoba melakukan banyak hal lain. Aku ingin mencoba punya lima pekerjaan berbeda, tinggal di lima kota berbeda, dan makan lima makanan berbeda sampai kenyang..." lanjut Orihime dengan nada setengah bermimpi, tangan kanannya meraih udara kosong di hadapannya, sebelum berhenti di tengah jalan dan kembali jatuh ke lantai.

"... tapi, aku... mau satu hal tetap sama di setiap kehidupan yang berbeda itu."

Suasananya berubah. Mendadak, tanpa disadari Ichigo, Orihime berdiri lalu duduk tepat di sampingnya. Ichigo merasa tenggorokannya tercekat saat memandangnya, sisa sinar matahari sore menyentuh helai halus rambut oranye kemerahan Orihime yang menjuntai melewati bahunya, lengannya, kakinya, dan meskipun itu berat bagi Ichigo, ia berusaha memanggil suaranya kembali untuk mengatakan satu hal.

"Apa..." Ichigo menelan ludah. "... apa itu...?"

Orihime tidak menjawab, tetapi ia meletakkan kepalanya di bahu Ichigo dan semua jawaban terasa jelas.


(Kamu,

Orihime berucap,

dengan tatapan matanya, dengan setiap gerakan lembut tubuhnya,

tanpa satu pun kata terdengar dari bibirnya,

kamu, kamu, kamu, kamu.

Aku ingin selalu bersamamu.

Tanpa kata-kata pula, tanpa aba-aba, Ichigo menariknya mendekat dan seisi dunia terasa terlupakan.)


Dan walaupun Ichigo, dengan wajah merah seakan demam, membisikkan balasannya dalam wujud kata-kata tak terkontrol yang didekatkan pada telinganya, pada mulutnya, yang makin lama terdengar makin putus asa dan mendesak pada setiap gerakannya, Orihime mengangkat tangannya untuk dengan lembut menyentuh wajahnya—tangan yang, kemudian, Ichigo tangkap di antara pipi dan tangannya sendiri, letakkan di permukaan kasur yang lembut, sementara ia merengkuh jemari halus gadis tersebut dengan jari-jari yang lebih besar dan kasar miliknya sendiri saat mereka melanjutkan, dan—

Beberapa saat kemudian, Orihime dengan nyaman meletakkan diri di sisi Ichigo sementara Ichigo menariknya lebih dekat lagi dengan tangannya yang bebas. Pada saat itu, Ichigo menyadari bahwa apa yang dikatakan Orihime itu bukan sekadar racauan, bukan sekadar mimpi. Tapi janji.

Janji yang entah mengapa rasanya pernah didengarnya di masa lalu, yang menggema melalui mimpi dan realita yang terlupakan.

.

.

.

(Persis rasanya seperti mimpi yang terlupakan tersebut, dulu, dulu sekali, ia merasakan tetesan air mata dingin berjatuhan di atas pipinya dan kekosongan yang mengerikan memenuhi dadanya saat perlahan kehangatan tubuh Orihime meninggalkan dirinya.)